11

1314 Words
Sedang sibuk memeriksa PR muridku, suara Didi Kempot tiba-tiba mengalun merdu. Mungkin, Mas Yus yang menelepon. Seharian HP sengaja kumatikan karena tak ingin bicara dengannya dulu. Aku ingin, ia berpikir bahwa kekasihnya ini tak main-main bahwa aku memang tengah berada dalam masa sulit. Akhirnya, benda itu berhenti dengan sendirinya. Namun, tak lama kemudian HP kembali berdering dan bergetar di atas meja, mengganggu konsentrasi. Di layarnya yang menyala terang, tertera nama ‘PANGERAN. Aku menghela napas, memilih membiarkannya dan kembali fokus pada pekerjaan. Aku membelalak saat membaca tulisan di sebuah kertas nyaris kosong tanpa jawaban, juga tanpa nama. Bu Guru jahat, soalnya terlalu sulit. Aku malas mengerjakannya. Bu Guru kerjakan sendiri saja!!! Kuremas kertas di tangan sekuat tenaga. Sudah tak mengerjakan tugas, mengatai gurunya jahat, pula! Selama mengajar, aku ingat betul tak pernah memarahi atau memukul murid. Hanya saja, kemarin, di mataku Amirul begitu kurang ajar. Mataku memanas saat mengingat kemalangan-kemalangan yang menimpaku sebulan belakangan ini. Aku harus tegar. Tegar! Tak boleh cingeng. Bukankah Allah tak akan menguji di luar kemampuan hambanya? Kuembuskan napas sambil mendongak, agar air mata yang sudah merebak di pelupuk mata tak luruh ke pipi. Akhirnya, kembali kuperiksa ulang PR semua murid. Namun, aku tak dapat menemukan pelakunya karena semua murid mengerjakan tugas. Telah juga kucocokkan tulisan Amirul dengan tulisan di kertas yang kini begitu lusuh. Hasilnya tidak ada yang cocok. “Mungkin anak iseng,” gumamku mencoba menghibur diri. Kembali kuremas kertas sampai menjadi bulatan kecil lalu melemparnya ke kolong meja. Terkintil-kintil ... Cintaku terkintil-kintil ... Suara Didi Kempot kembali mengalun merdu. Seperti beberapa menit lalu, aku enggan mengangkat. Tapi begitu melihat di layar tertera deretan angka yang belum disave, akhirnya kuraih HP dan menempelkannya ke telinga. “Halo.” Hening. “Halo,” ulangku. “Assalamualaikum, Nona. Bisakah membuka pintu untukku?” Tut. Tut. Tuuuut. Sambungan diputus sepihak. Tok... tok... tok... Aku tak langsung berdiri untuk membuka pintu. Sementara Bapak dan Mamak tak mungkin melakukannya karena mereka sudah tidur usai salat Isya. Mereka pasti sudah dibuai mimpi. Kutatap jam dinding yang telah melewati angka delapan kemudian berdiri. “Ada perlu apa?” tanyaku saat berhadapan dengan Aldri. Rambutnya yang tak dijambul begitu acak-acakan dan ia masih memakai jas kerjanya. Aldri tersenyum kecil. “Boleh aku masuk?” tanyanya sambil melongok ke dalam. “Sudah malam." “Belum jam sembilan. Klinik banyak pasien jadi aku baru bisa ke sini. Aku datang, mengantar obat untuk Ibu.” Ibu. Akrab sekali kedengarannya. Kenapa ia tak menyebut, ibumu? Aldri menyebut ibu seolah-olah, Mamak sudah menjadi ibu mertuanya. “Boleh aku masuk?” Tatapnya dengan wajah berharap. Meskipun enggan, akhirnya aku menyingkir. Aldri melangkah masuk lalu mengenyakkan diri di sofa. Aku berdiri tak jauh darinya. “Berikan obat ini pada Ibu." Ia menatapku. “Ibuku sakit apa?” tanyaku, lekat pada beberapa tablet obat di atas meja. “Biar bapak atau ibumu sendiri yang memberitahumu. Sekali dilarang, aku ti—“ “Baiklah.” Aku mengembuskan napas. “sekarang, kamu sudah boleh pergi.” “Nona ....” Ia memandangku. “Karena kamu udah gak ada keperluan, sebaiknya kamu pergi.” “Aku masih ingin bertemu kamu.” Keterusterangannya membuatku tercekat. Benar-benar. Bagaimana caranya bersikap agar ia berhenti mengejarku? Padahal, sikap tak sukaku padanya sudah kentara begitu terang. Seharusnya, ia tahu atau memang pura-pura ... ya ampun, tak mungkin Aldri tak menyadarinya, kan? Tanganku terjulur ke arah pintu. “Pulanglah!” Aldri berdeham. “Jangan begitu. Kita kan sebentar lagi nikah. Sejujurnya, aku sungguh merindukanmu.” Kubuang napas perlahan. Anehnya, meski begitu kesal mendengar kata-katanya, tapi wajahku menghangat. Dadaku berdebar keras. Aneh. Aku tak ingin menikah dengannya, tapi saat ia mengatakan ‘merindukanmu’, tubuh ini bereaksi aneh. Apa ini pertanda aku mulai menyukainya? Tidak. Tidak. Aku menggelengkan kepala, berusaha menepis geliat aneh dalam d**a. Aldri melangkah mendekat, berdiri diam di depanku, menatapku tanpa kedip. “Pulanglah,” kataku sambil melangkah menuju pintu. “Nona ....” Ia bergegas menyusul. “Apa karena ulahku kemarin kamu jadi bersikap begini?” Tatapnya tajam. “Soal kembalian itu, aku hanya ingin mengajakmu bercanda. Maaf.” Ia menangkupkan kedua tangan ke dadanya. “Sudah malam. Aku sangat mengantuk. Pulanglah.” “Aku mencintaimu.” “Gak ada cinta secepat it—“ Aku refleks mundur karena dengan gerakan cepat Aldri, memajukan tubuhnya, menatapku dengan jarak yang begitu dekat. Jantungku mengentak-entak. Wajahku menghangat. Aku berpaling, lalu kembali mengacungkan tangan. “Pulanglah. Aku mau tidur.” Aldri menangkup kepalaku, menatap mataku dengan lembut dan dalam. “Aku ingin bersamamu. Aku akan melamarmu besok. Baiklah, aku pulang. Sampai jumpa besok.” Aku tak menyahut. Bahkan saat ia mengucap salam, aku tetap membisu. Aku masih terlalu syok karena ucapannya tadi. Ia akan melamar. Melamar...? Bulir hangat perlahan meleleh di pipi. Jika ia melamar ... aku harus bagaimana? Waktu seminggu yang diberikan Mamak agar kami saling mengenal satu sama lain sudah berakhir. Jika Aldri melamar .... “Non ....” Lekas kuusap air mata saat melihat tirai tersibak. Bapak menghampiri, berdiri diam di depanku. Bapak kentara sekali begitu mengantuk. “Bapak kenapa bangun?” Tatapku. “Tangismu bisa membangunkan mamakmu,” ucap Bapak lirih. Aku tersengal tanpa suara. “Bapak tahu kamu tidak menyukai Al. Tapi, Non." Suara Bapak teramat lirih. Ia menyentuh lembut bahuku dan melanjutkan, “Mamak sakit parah. Mamak menyuruh Bapak merahasiakannya darimu.” Kutatap Bapak lekat, mencari-cari kesungguhan di matanya. “Mamakmu, sebenarnya merasakan sakit sudah lama. Satu bulan lalu, bapak mengajak mamak cek ke rumah sakit. Dari beberapa pemeriksaan, Mamakmu ... mamak terkena ... kanker otak,” jelas Bapak dengan suara tercekat. Wajahnya tampak begitu sedih. “Kanker?” Kuulangi ucapan Bapak. Jantungku berdetak kencang membayangkan yang tidak-tidak. “Menikahlah dengan Al, Non. Agar mamakmu bahagia.” Lirih suara Bapak merasuk ke benakku. Agar mamakmu bahagia. Agar mamakmu bahagia. Bahagia. “Non ....” Aku tersengal. Dadaku begitu sesak seolah beban berat tengah menindihnya. Bapak membalikkan badan. Ia melangkah pergi dengan lunglai. Dari bahunya yang berguncang, aku yakin Bapak tengah menangis. Mungkin, menangisi Mamak. Atau menangisi nasib anak gadisnya yang mau tak mau harus menikah walau tanpa cinta? Kututup pintu lalu duduk bersandar di dinding yang dingin. Tanganku memijit-mijit dahi yang berdenyut pusing. Tangan lainnya tak henti mengusap air mata. Kanker otak. Kanker. Kugigit bibir kuat. Apa mungkin Mamak ingin anaknya segera menikah karena ia terkena kanker? Apa karena ia takut tak bisa melihatku menikah jadi sekarang mendesakku agar mau menikah dengan Aldri? Duh, Gusti .... Dengan tubuh lunglai aku berdiri, perlahan menyaruk kaki menuju kamar. Membuka jendela, lalu menatap jalanan yang dibiasi lampu temaram. Apa yang harus kulakukan? Mamak sakit parah. Mas Yus tak ada kepastian. Aku memejamkan mata, menggigit bibir kuat. Lagi-lagi terisak lirih. Obat penenteram hati ada lima. Paling tidak, agar menjadi lebih tenang, aku menjalankan salah satunya. Aku menarik napas, melangkah ke belakang untuk mengambil wudu, lalu membaca Al-Quran. Membaca sambil terisak. Dengan pikiran bergentayangan ke mana-mana: Ke Mamak. Mas Yus. Aldri. Aku berusaha mengusir segala kecamuk dengan mencoba menghayati bacaan. Menerjemahkan artinya yang kutahu sedikit demi sedikit. Arrahman ... aku membaca sambil tersengal. Di ruang tamu, HP berdering nyaring. Aku terus membaca. HP tak henti berdering. Terkintil-kintil .... Cintaku terkintil-kintil .... Tresnaku karo kowe ra bakal tak cuil-cuil .... Yayayaya .... Opo tenan mas mana buktinya .... Aku aku tak mau .... Jo ojo kowe mung ngerayu .... Suwer dik Tresnaku ora tak ecer Tenan mung kowe sing cemantel Suwer dik Tresnaku ora tak ecer Nek ra pethuk rasane koyo wong teler Kusudahi bacaan lalu berdiri menghadap jendela dengan Alquran dalam dekapan. Lampu tiba-tiba padam. Kamar gelap gulita. Di langit yang pekat, bintang tak tampak. kunang-kunang terlihat terbang rendah di udara. Aku memperhatikan hewan-hewan itu sambil bershalawat. Sesekali tersengal. Allahumma solli was salim ngala .... Sayidina ... wamaulana muhammadin .... Yuuk baca juga, Nikah Dengan Kakak Ipar yang akan membuatmu sedih, kesal, bahkan senyum sendiri. Gak percaya? Cuus buktiin. Ketik, Nikah Dengan Kakak Ipar di pencarian. Follow dan subscribe ceritanya Temaan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD