Tidak terfikir sebelumnya kalau ternyata Danu memiliki kekasih. Yang Shalsha tahu kalau pria ini pernah patah hati dimasa lalu. Kemudian sekarang apa ini? dia bahkan dengan percaya dirinya memperkenalkan Tatiana sebagai kekasihnya tanpa rasa takut. Iya, Shalsha memang tidak mengharapkan pernikahan ini berhasil. Namun dengan orang ketiga sebagai sandungannya? Shalsha pikir hanya waktu.
“Aku dokter disalah satu rumah sakit di Bekasi. Umur aku 28 tahun, kita belum beda jauh kan?” tersenyum simpul. “Panggil Mbak aja ya, jangan kaku gitu,” ucapnya pada Shalsha. “Aku mampi kesini, soalnya abis dari RS di Pusat Kota. Sekalian katanya dia banyak kerjaan, jadi charger energy dulu.”
Alis Shalsha naik mendengarnya. “Charger energy?”
“Eh, gak kayak yang kamu pikir kok. kangen-kangenan aja,” ucapnya sambil malu-malu.
Ini orang gak waras atau bagaimana? Shalsha heran kenapa dia mau dengan Danu padahal pria itu sudah menikah. Dan tampaknya dia tidak masalah dengan status Shalsha sebagai istrinya Danu? “Mbak, maaf ya mau tanya.”
“Eh iya tanya apa?” tanya Tatiana yang sekarang sedang membuat minuman racikannya sendiri.
“Mbak…, gak masalah status Pak Danu yang udah jadi suami orang?”
“Nggak kok, kami udah lama pacaran. Jadi kami saling percaya, lagipula kalian dijodohkan ‘kan?”
“Kenapa nggak Mbak aja yang nikah sama Pak Danu? Kenapa gak larang Pak Danu? Kan bisa tuh perjodohannya dibatalkan soalnya alasannya logis.” Shalsha bukanlah wanita yang mau ditindas, jelas dia memperjelas statusnya disini dan bagaimana kedepannya.
Tatiana menghela napasnya dalam. Dia mendekat dengan gelas dikedua tangannya. Salah satunya diberikan pada Shalsha. “Ini buat kamu, teh herbal ini bagus buat kesehatan,” ucapnya meminum lebih dulu.
Shalsha tidak tertarik dengan minuman itu. dia butuh kejelasan, kalau perlu Danu juga disini. Tapi pria itu sedang menelpon dibalkon.
“Iya, selama ini kami pacaran sembunyi-sembunyi. Jadi keluarga Mas Danu gak tahu kalau aku ini pacarnya.”
“Kenapa gitu?”
“Ada hal yang gak bisa aku ceritain ke kamu. intinya aku sama Mas Danu saling cinta dan tetap berhubungan baik selama sepuluh tahun terakhir ini.”
“Sepuluh tahun?” Wah, Shalsha sampai kaget mereka berpacaran selama itu. berarti…. Dari umur Tatiana 18 tahun? Gila! “Selama itu?”
“Hmmm, iya. Intinya keluarga aku sama Mas Danu gak ngeretuin. Mas Danu bisa aja lawan keluarganya, tapi aku enggak. Jadinya ya kita sembunyi-sembunyi selama ini.”
“Terus? Rencana kalian kedepannya gimana? Gak akan selamanya sembunyi ‘kan? ini gimana sih? aku pusing, Mbak.”
Tatiana malah terkekeh. “Gak usah pusing gitu, kamu cukup lakukan apa yang kamu sama Mas Danu sepakati aja. Masalah aku dan Mas Danu, biar itu kami yang cari jalan keluarnya.” Memberikan penjelasan dengan santai.
“Aku gak mau terjebak diantara dua orang yang saling jatuh cinta. Maunya mundur aja.”
“Eh jangan gitu dong. Nanti ngomong baik-baik sama Mas Danu ya. soalnya aku juga bingung, percaya semuanya sama dia.” Tatiana menatap memohon. “Jangan kasih tau keluarga Danu juga kalau…. Kami berhubungan. Please, aku mohon, Shalsha.”
Ini hubungan yang rusak menurut Shalsha.
“Sayang gak balik?” tanya Danu yang sudah selesai menelpon. “Nginep ajadeh. Ngapain juga pulang sekarang.”
“Gak bisa, Mas. aku harus ke Bekasi lagi besok pagi. Nanti temen aku nyari lagi.”
“Ini udah tengah malem loh?”
“Mas anterin, jadi gak akan takut.”
Danu terkekeh dan mengusak rambut perempuan itu. “Yaudah ayok, Mas anterin kamu ya.” kemudian menatap Shalsha. “Tidur duluan saja kalau kamu ngantuk. Kita bisa ngobrol besok.”
“Gak, saya mau nunggu bapak pulang. jangan lama-lama,” ucapnya dengan ketus dan melipat tangan didada.
Tatiana tidak nyaman dengan hal itu. “Shalsha,” panggilnya.
“Gak papa, Sayang. Nanti Mas yang ngomong sama dia.” Menahan sang kekasih saat hendak mendekati Shalsha dan membawanya keluar dari apartemen.
Shalsha tidak tidur, dia tetap menunggu Danu dengan wajahnya yang menahan kesal. Danu baru pulang saat jam menunjukan setengah satu malam. “Kesasar dijalan?”
Danu sampai mengerutkan keningnya. “Kita udah sepakat gak akan ngurusin urusan masing-masing. Kamu dapat jatah kamu, saya tetap dapat privacy saya sendiri. dan apa yang kamu lihat, apa yang kamu dengar disini, gak usah dibawa keluar.”
“Bapak punya pacar, kenapa gak bilang sama keluarga bapak? 10 tahun loh kalian pacaran.”
“Itu bukan urusan kamu. yang terpenting disini kita sudah memenuhi janji kakek kita ‘kan? kakek kamu senang juga dengan perjodohan ini.”
“Tapi bisa dibatalin dengan alasan logis itu. 10 tahun gak main-main lamanya.”
“Gak usah peduliin hidup saya. Tetap saja diperan kamu,” ucap Danu yang sekarang mengambil air. Menelan dengan susah payah karena wajah Shalsha benar-benar tampak menyeramkan. “Ekhem!” danu memalingkan wajahnya. “Saya juga gak peduli kalau kamu udah punya pacar. Itu hak dan hidup kamu. saya mau kamu rahasiakan hubungan saya sama Tatiana.”
“Kenapa?”
“Nurut aja.”
Shalsha melangkah menuju dapur untuk mengambil pisau. “Kenapa?” tanya Shalsha lagi. dia melangkah mendekati Danu dan berhasil membuat pria itu melangkah mundur. “Pak, mau bilang gak?”
“Kamu jangan macam-macam ya.”
“Saya mau meredakan emosi,” ucapnya meraih apel dibelakang Danu kemudian mengupasnya dan kembali memberikan jarak diantara mereka. Shalsha mengupasnya sambil menatap Danu, membayangkan itu kulit suaminya. “Kenapa saya gak boleh bilang, Pak?”
Danu menghembuskan napasnya kasar. “Karena kedua orangtua saya gak setuju kalau saya sama Tatiana.”
“Kenapa?”
“Bisa gak kamu gak nanya kenapa?”
“Kenapa, Pak? Kok gak setuju?”
“Kedua orangtua kami bermasalah, dan itu rumit.”
“Lalu, mau dibawa kemana pernikahan ini?”
Danu menaikan alisnya. “Kamu gak berharap pernikahan ini berhasil ‘kan? Kita bahkan orang asing, Shalsha.”
“Oke, lalu?”
“Cukup… ayok tetap seperti semula.”
“Bapak mau jadiin pacar bapak simpenan selamanya?”
“Dia gak masalah. Atau kamu mau kita berpisah? Pikirkan kakek kamu juga.”
Shalsha terdiam, rasanya Danu begitu egois sekali.
“Dengar, kamu punya kehidupan sendiri. saya gak akan ikut campur kedalamnya. Tapi hati-hati, jangan sampai ketahuan oleh keluarga kita. Kamu berhak punya kekasih atau apapun itu, Shalsha. Saya juga demikian. tetap ada batasannya untuk mencampuri urusan satu sama lain.”
Shalsha paham, dia juga tidak bisa meminta berpisah dengan keadaan sekarang yang…. Kakek masih sakit ditambah orangtuanya mengetahui kalau Shalsha dan Danu itu akur. “Tatiana gak akan ganggu kamu. dia tetap dizonanya sendiri.”
“Jangan bawa dia kesini. Pokoknya kalau diapartemen, saya gak mau ada pacar bapak. Kalau mau, ketemuan diluar aja.”
“Oke, kamu juga demikian. jangan bawa kekasih kamu kesini.” Danu kini bisa menghela napas lega. “Itu juga kalau kamu punya kekasih, haha.”
Yang seketika membuat Shalsha mengacungkan lagi pisaunya.
“Bercanda, jangan gitu. Tegang mulu daritadi, enjoy saja, nanti saya tambahin uang jajan kamu.” mengambil tissue untuk mengelap bibir. “Besok saya mau makan sama jamur, Sha.”
“Pak, jangan bawa dia kesini lagi. Saya gak suka.”
Danu menghormati Shalsha karena tidak mau ada masalah. “Iya.” Pria itu menurut.
****
Setelah berfikir semalaman, Shalsha tidak boleh egois dan gegabah. Menikah dengan tujuan kesembuhan kakeknya, maka setidaknya Shalsha harus bisa menncapai hal itu. Danu sendiri menyembunyikan Tatiana dari keluarganya karena masalahnya sendiri. kali ini, sarapan terlihat lebih hening dari biasanya. Shalsha makan dengan tenang tanpa menyuruh Danu menghabiskan makanannya.
“Saya udah kenyang,” ucap pria itu dengan hati-hati.
“Ih, apaan! Bapak minta dimasakin jamur! Tanggung jawab ah! Abisin jamurnya.”
Ternyata salah besar, Danu pikir perempuan itu tidak akan ingat. “Kenyang, buat nanti aja lagi.”
“Gak akan enak kalau buat nanti, Pak. Abisin ah. Kalau enggan makan jamurnya aja doang.”
Bodohnya Danu tetap menurut. Selama Danu memakan, Shalsha membuatkan s**u untuk pria itu. “Kenapa gak kopi?”
“Kata Mama harus dikebiasain, Pak. Kan udah tua, biar tulang-tulangnya kuat juga.”
“Saya emang udah 36 tahun, tapi gak setua itu juga kali.”
“Udah tua, empat tahun lagi udah 40 tahun.”
Ketika Danu hendak beranjak, Shalsha menahan bahunya. “Abisin dulu jamurnya.”
Danu kalah, akhirnya dia menghabiskan menu yang dia minta. Sisi gelapnya, kalau Danu tidak meminta menu sendiri maka dia akan dimasakan sayuran sehat semua. Kalau minta dimasakan, maka dia harus menghabiskannya. “Kamu kuliah?”
“Iya, ada jadwal ngajar nanti siang.”
“Pagi gak ada.”
“Ada, tapi Bu Ukilah yang ngisi. Bapak udah kasih tau hasil Repat Dewan Guru Besar sama Ibu kan?”
“Udah, beliau udah tahu.”
“Okey kalau gitu.” Shalsha pergi kedepan pintu setelah selesai membereskan. Bersama dengan Danu bersiap-siap diruangan depan dimana sepatu mereka berada didalam lemari.
Ketika Shalsha berdiri, dia tidak mengikat talinya dengan baik hingga hampir terjerembab kedepan. Tapi tertahan oleh Danu yang memegang perutnya. “Ih jangan pegang-pegang!” shalsha mencubit tangan Danu.
“AW!” teriak pria itu kesakitan.
BRUK! Berakhir dengan Shalsha pula yang terjerembab hingga keningnya menyentuh lantai. “Huaaa, sakittt!”
“Udah ditolongin malah dicubit. Kamu yang salah,” ucap Danu marah-marah.
Namun melihat Shalsha yang menangis, membuatnya tidak tega juga. “Saya pegang nih, tapi gak niat macam-macam. Ayo bangun.” Membantu sang istri untuk duduk kembali dibangku panjang tersebut. “Kening kamu merah. Kayak yang abis kena jotos.”
“Sakit ih,” ucapnya mengambil kaca lipat ditasnya. “Ih merah.”
“Orang tadi ditolongin, kamunya yang malah nyubit.” Danu mengusap kening itu. dan melihat wajah Shalsha dari dekat membuatnya sadar, benar juga wanita ini lumayan cantik.
“CK! Jangan pegang-pegang ah,” decaknya menepis pelan tangan Danu. “Sana kalau mau berangkat duluan. Saya kan beda arah. Gak usah nungguin.”
“Pede amat. Siapa juga yang nungguin kamu.” Danu mengangkat bahunya dan berdiri. “Lain kali jangan overthinking. Saya juga pilih-pilih kalau tertarik sama perempuan. Sama perempuan yang p****t sama dadanya invisible kayak kamu mah bikin saya gak tertarik.”
“Ngomong apa?!” teriak Shalsha kesal.
****
“Nanti deh, gue sibuk ngajar mulu nih. Kapan-kapan gue hubungin lagi kalau mau main bareng ya,” ucap Shalsha pada sang sahabatnya dalam telpon.
Keluar kuliah, waktunya memang habis oleh pekerjaan dan kuliah S2nya lagi. Beruntung juga karena mendapatkan pekerjaan lebih cepat dari teman-temannya. Bahkan sekarang Shalsha dalam tahap penyusunan tesis. “Dahlah, bentar lagi ulang tahun kedua puluh empat. Harus bisa persiapan matang buat tesis,” ucapnya pada diri sendiri.
Kembali lagi ke FISIP dan menunggu jam mengajar tiba diruangan dosen. Sampai Group Chat Fakultas mengabarkan bahwa salah satu dosen hamil dan membawa banyak makanan atas dasar syukuran. “Yeayy, makan siang lagi,” ucap Shalsha bergegas turun kedekat ruangan prodi untuk mengambil jatahnya.
“Neng, ambil yang banyak nih.”
“Makasih, Pak, aduh jadi malu.” Pipinya bersemu sendiri. makanan yang membuat Shalsha berdegub kencang.
Shalsha masih memilih makanan dan disimpan dalam nampan, sampai Zain ikut berdiri disampingnya. “Yang ini enak, Bu Shalsha.”
“Eh, Pak Zain. Baru aja mau ambil ini, tapi malu udah penuh ini nampannya.”
“Bahagia banget kayaknya, Bu? Ambil aja gak papa. kan siapa juga yang mau habisin ini?”
“Ehehehe, iya nih. Prasmanan gini bikin saya seneng, mana isinya kue semua.”
Jadi dosen yang hamil itu memiliki toko kue, makannya dia membawa aneka kue kesini.
“Kalian cocok deh, kenapa gak coba jalan aja?” celetuk ketua prodi Administrasi Publik yang membuat Shalsha dan Zain menoleh. “Umur, tinggi sama kepribadian kalian cocok. Saya udah terawang.”
“Ihh, bapak jangan gitu ah.” Shalsha malu-malu.
“Jangan sampai kelewat umur. Kayak pak Rektor kita yang gak nikah-nikah.”
“Ih Pak Nanang! Jangan gitu!” teriak wakil ketua prodi. “Nanti ada yang nyampein baru tahu rasa. jangan gitu.”
“Bukannya saya gibahin orang ya, Bu. Tapi faktanya gitu, saya Cuma mau kalian gak lambat nikah, karena gak baik juga kalau terlalu nyaman sendiri. nanti jadi bujang atau perawan tua.”
Shalsha tertawa saja mendengarnya, kabar itu memang tidak lagi asing bahwa sang Rektor terlalu focus pada pendidikannya. Diusianya yang baru 36 tahun saja, Danu sudah mendapatkan gelar Profesor atas kepintarannya itu.
“Loh, Bu Ukilah? Saya kira udah pulang.” shalsha kaget melihat sang majikan masuk keruangan prasmanan.
“Iya, Ibu mau masuk kelas aja. kamu udah siapin bahannya ‘kan?”
Untung sudah. “Ada diruangan, Bu. Kok saya gak lihat Ibu taadi diruangan? Saya pikir sudah pulang.”
“Belum, saya mau masuk aja ah. Males dirumah,” jawabnya dengan asal.
Tahu begini, Shalsha main dengan sahabatnya. Tapi tidak apa, dia mendapatkan banyak makanan sekarang.
“Neng Shalsha, maaf nih ya. Neng kan gak masuk kelas, nah kebetulan Penjaga pada lagi ngerjain tugas dari Pak Dekan.”
Pasti dia akan disuruh-suruh. Hmmm, nasib jadi yang termuda, padahal dia belum jadi bagian keluarga Besar FISIP. “Iya, Pak? Kenapa?”
“Anterin makanan ke ruangan Pak Rektor ya, sekalian sama seketerarisnya juga.”
“Baik, Pak.”
Anehnya, Shalsha sekarang terlibat banyak hal dengan Danu saat posisinya sudah berganti menjadi istri sang Rektor.
Setelah mengemas kue dan makanan untuknya sendiri dan menyimpan dalam dus kecil, Shalsha pergi ke Rektorat dulu dengan berjalan kaki. “Pak, mau ke Pak rector,” sapanya pada satpam yang berjaga didepan.
“Pak Ibed, ini dari FISIP. Ada perayaan kecil disana, yang satu buat bapak. Yang satunya buat Pak Rektor ya.”
“Makasih, Bu….?”
“Shalsha,” ucapnya sambil tersenyum. “Mari, Pak.”
Beruntung tidak bertemu Danu kali ini. tapi saat Shalsha berjalan dikoriodor keluar, matanya menangkap sosok yang tidak asing sedang menahan sakit. Dia terlihat…. Sesak napas.
“Pak Danu?” segera berlari. Namun pria itu lebih dulu pingsan. “Ya Tuhan, Pak? Bangun, Pak.” Melihat sekitar, tidak ada orang disini. “Belum juga saya kutuk dari hati istri yang terluka, Pak. Udah sekarat aja.” mata Shalsha membulat melihat wajahnya yang membiru. Seketika dia berteriak, “TOLONGGG!”