Beberapa jam yang lalu, sebelum Boy pulang kantor.
Seorang pria kini sedang berkonsentrasi penuh untuk mengantar bosnya. Mereka akan menghadiri pertemuan penting bersama klien.
Dengan segenap jiwa raga, dia membawa mobil dengan hati-hati agar atasannya ini tidak terlambat untuk tiba. Pria itu adalah Steven, dia yang memboyong Boy menggunakan Pajero hitam.
Namun saat konsentrasinya sedang penuh untuk mengemudi, Steven mendengar nada dering dari ponsel bosnya bunyi berkali-kali.
Sesekali ia melirik, sang bos mengeluarkan ponsel tersebut dan hanya dilihat, lalu dimasukkan lagi ke saku tanpa merespons panggilan yang ia terima.
Mungkin Si Bos menolak panggilan tersebut, begitu gumam Steven dalam hati.
Tapi lama-lama, bunyi nada dering itu mulai mengganggu konsentrasinya. Belum lagi ketika suara itu bercampur dengan bisingnya knalpot kendaraan di jalan raya, apalagi ditambah dengan klakson ‘telolet’ yang memekakkan telinga.
Namun, ini bukan ranah Steven untuk menegur! Si asisten sadar diri dengan itu.
“Hmmmm ....!”
Steven mendengar bosnya menggeram. Kali ini ponsel yang berada dalam saku jas dikeluarkan, otomatis suara nada dering itu semakin kencang.
Boy meletakkan ponsel tersebut tepat di samping tempat duduk pengemudi. Mungkin dia benar-benar ingin menguji kesabaran dan tingkat konsentrasi asistennya.
Di depan ada mobil putih yang jalannya cukup pelan, Steven mencari celah untuk mendahului, tapi jalur kanan juga tak kalah rapatnya.
‘Diiin ... Diiiin!’ Dia membunyikan klakson.
“Ada apa?” tanya Boy yang tampak terganggu dengan suara klakson mobil.
“Macet, Pak!” timpal Steven.
Boy pun kembali diam, tapi nada dering di ponselnya tidak! Masih terus saja berbunyi.
“Pak, itu teleponnya bunyi!” Steven mengingatkan pada sang bos, dia sudah tak tahan dengan gangguan nada dering yang didengarnya.
“Biarkan saja! Itu Agatha!” jawab Boy dengan tak peduli.
Ponsel itu terus berbunyi sampai akhirnya berhenti sendiri. Lalu kemudian berbunyi lagi.
Bukan apa-apa, masalahnya, nada dering ponsel milik Boy ini sangat menyebalkan di telinga Steven.
Nada dering itu merupakan nada yang mirip dengan dering alarm pengingat adanya rapat online. Di mana jika sudah mendengar bunyi tersebut, Steven benar-benar sudah tidak bisa untuk tidur lagi.
Tapi ponsel itu masih terus mengeluarkan bunyi dan sialnya, sang bos masih diam saja!
Dua pria yang sedang berada dalam mobil masih terus fokus dengan jalanan.
Sekitar tiga meter di depan mereka ada sebuah mobil putih yang berjalan menghalangi. Steven mengebut dan mempercepat laju, dia mengamati lajur kanan hingga dirasa sepi, lalu pria tersebut masuk dan memotong arus untuk mendahului kendaraan di depannya.
“Duh, ini orang kenapa, sih?”
Di tengah konsentrasi penuh Steven untuk mendahului mobil di depannya, Boy malah menggerutu. Pria itu mengambil ponselnya untuk ia lihat.
Steven kembali mengurangi kecepatan mobil setelah ia berhasil mendahului. Sesekali dia melirik pada Boy. “Diangkat saja, Pak! Barangkali Bu Agatha ingin menyampaikan hal penting!”
Karena panggilan video dari Agatha memang terus membuat ponselnya berdering, Boy pun akhirnya menekan tombol hijau dari layar. Tangannya agak bergetar saat melakukan itu.
Sebelum panggilan benar-benar tersambung, Boy menghela napas panjang dan mengembuskannya. Dia agak malas untuk melihat wajah Agatha yang nanti tiba-tiba muncul memenuhi layar ponselnya.
“Agath ... tha ....” Boy tersendat menyebut namanya istrinya. Karena ia terkejut melihat sesuatu yang kini benar-benar memenuhi layarnya.
Pria itu mencoba menghalangi layar ponsel dengan menutup menggunakan telapak tangan.
“Kenapa, Pak?” tanya Steven.
“Agatha ...? Kau ....” Pipi Boy memerah melihat bagaimana dua bongkahan apel yang menonjol memenuhi layarnya. Dia menelan ludah dan menjauhkan layar ponselnya.
“Kenapa, Pak Boy?” Steven berusaha untuk ikut melihat layar.
“Eeeeh! Fokus ke jalanan!” teriak Boy histeris.
Tapi sepertinya asisten Boy itu sudah terlanjur melihat apa yang terpampang jelas di layar ponsel sang bos. “Wah, pantas Pak Boy bucin sama Bu Agatha, ternyata Bu Bos servisnya enggak main-main!”
Wajah Boy benar-benar merah padam. Bongkahan itu bergoyang-goyang, tanpa terdengar Agatha mengatakan sesuatu.
“Iya ... itu ... dadaa ....”
Boy berusaha mendengarkan apa yang diucapkan Agatha, tapi sepertinya di tempat perempuan itu sangat berisik. “Kamu ini sedang di mana?” tanya Boy sambil menutup layar ponsel.
Pria itu berulang kali menelan ludah dan mencoba menahan godaan dua bongkahan apel yang sangat bulat menonjol memenuhi layar.
“Agatha, kautahu aku sedang sibuk! Aku tidak punya waktu untuk bercanda!”
Boy langsung menekan tombol untuk mengakhiri panggilan. Dia mencoba kembali mengatur napas dan berulang kali menelan ludahnya lagi.
Sementara itu, di kursi pengemudi, Steven terkekeh melihat bosnya seperti itu.
“Jangan tertawa!” kesal Boy melotot pada sang asisten yang mengintipnya lewat spion tengah.
Steven mengatupkan bibirnya. “Emmm, maaf, Pak!”
Boy kembali memasukkan ponsel ke saku jasnya. Tapi ternyata ....
Dering yang mirip dengan pengingat alarm rapat bagi Steven terdengar lagi dari ponsel sang bos.
Steven mencoba menahan tawa, melihat nyonyanya terus mengganggu sang bos.
“Ada apa lagi dia?” Boy benar-benar geram.
“Angkat saja, Pak! Saya tidak akan mengintip deh!” ucap Steven menggoda bosnya.
Spontan Boy langsung mematikan panggilannya.
Sampai akhirnya mereka tiba di tempat tujuan, Steven menurunkan sang bos tepat di depan lobi.
Namun sebelum Boy turun, pria itu masih mendengar nada dering yang mengganggu tersebut.
“Diangkat saja, dulu, Pak ... barangkali sekarang Bu Agatha mau nunjukkin isinya juga ...,” bisik Steven.
Hal itu membuat Boy meradang, pria itu menggeram tapi dia tak ada waktu untuk marah.
Sampai akhirnya, saat Boy benar-benar sudah turun, Steven yang menemaninya itu mendengar ada notifikasi masuk ke ponsel miliknya.
Steven terkejut saat membaca pesan itu.
“Ada apa?” tanya Boy.
“Pak Boy ...! Klien kita hari ini membatalkan janji untuk bertemu!” ujar Steven sambil menunjukkan layar ponselnya.
Tepat setelah Steven bicara, seorang pegawai yang bekerja di tempat itu menghampiri Boy.
“Pak Boy dari PT Satu Makmur Indonesia?” tanya pegawai tersebut.
“Iya, saya!”
“Jadi ... Pak Haris membatalkan pertemuan hari ini. Tapi beliau sudah memesan paket spa dan pijat sebagai permintaan maaf dari beliau. Mau saya bantu?” tanya pegawai tersebut.
Rahang Boy tampak mengeras, dia benar-benar kesal. Sambil menarik dasinya, dia memutar badan. “Tidak perlu! Aku lebih baik kembali saja!”
Bukan Boy ingin menolak, tapi dia ingat bagaimana pengalaman spa dan pijat yang ia alami terakhir kali.
“Pak Boy suka dipijit di sini?”
Mendadak suara Agatha yang tiba-tiba menyentuh bola-bola miliknya beberapa waktu lalu terngiang. Seketika Boy pun merinding sebadan-badan.
Mengingat kelakuan absurd dan agresif dari Agatha, benar-benar membuat Boy meriang.
“Kenapa Pak Boy tidak mau?” tanya Steven yang berjalan di belakang bosnya. Sang asisten berpikir, tawaran spa dan pijat gratis itu cukup lumayan.
Tapi Boy tak mau menjawab, pria itu malah membuat ekspresi wajah angker yang ditandai dengan menukiknya kedua alis milik Boy hingga bertaut satu sama lain.
“Oh, saya mengerti, pasti tidak ada yang bisa mengalahkan pesona Bu Agatha! Maka dari itu Anda menolak! Anda memang orang yang sangat setia!” timpal Steven lagi.
Boy mengepalkan tangan geram. “Steven, kau pernah mendengar tentang laut mati?”
Steven mengerutkan dahi, dia merasa heran dengan pertanyaan aneh sang bos kali ini. “Pernah, Pak! Kenapa?”
“Laut mati itu ... aku yang bunuh dia, karena banyak bicara!”
Seketika Steven menoleh ke arah sang bos. Dia mengerjap-ngerjapkan mata untuk memastikan jika ia tidak salah melihat.
“Kenapa? Kau mau kubuang ke laut mati?” tanya Boy sambil mengangkat dagunya.
“Emmm ... tidak, Pak! Saya ambil mobil dulu, nanti kembali lagi.”
**
Kembali pada waktu sekarang, di mana Agatha baru pulang dan Boy memergokinya.
“Dari mana saja kamu, hah?” tanya Boy yang sedang duduk di ruang tengah.
“Eh, Boy ...?” Agatha sadar itu suaminya. Dia benar-benar gugup dan kaget, sekaligus tak percaya akan dipergoki oleh Boy kali ini. “Aku ... habis bermain sama teman! Kita makan bareng ...,” jawab Agatha lirih.
“Hmmm, iya! Aku sudah menunggu kamu dari tadi! Kita bisa berangkat sekarang, kalau memang tidak jadi bilang saja!” ucap Boy lagi.
Seketika Agatha pun menoleh, dia melihat pada Boy yang sedang duduk menyelonjorkan kaki di atas sofa sambil memegang ponsel. Perempuan itu pun menegakkan tubuh dan langsung mengembuskan napas.
“Aku kira dia bicara padaku, enggak tahunya lagi nelepon! Perasaan tadi pas aku datang, tangannya di saku deh, dia enggak pegang hape?” gumam Agatha yang menangkap keanehan pada suaminya.
Tapi tanpa pikir panjang, perempuan itu pun masuk ke kamarnya sendiri. Dia tak mau, jika setelah Boy menelepon, pria itu malah menanyai dirinya sungguhan.
*
Namun, ada hal yang tidak Agatha tahu setelah perempuan itu masuk ke kamarnya.
“Fuuuh ....” Boy mengembuskan napas lega. Dia menyimpan ponsel yang layarnya sedang mati.
Iya, dia tidak menelepon siapa-siapa dari tadi.
“Ngapain juga tadi aku nanya ke dia? Masa bodoh dia dari mana!” ucap Boy yang berusaha tak peduli.
“Tapi ... itu artinya dia tadi pas telepon aku ... berarti dia sedang di luar dong?” Walau tak peduli, nyatanya Boy masih memikirkan ini.
“Dia ... makan sama teman, sama siapa, ya?”
“Kalau sama teman laki-laki ... mana mungkin dia telepon aku tadi! Berarti ... temannya bukan laki-laki, ya ....”
"Tapi ... Agatha itu sangat agresif pada laki-laki ...."
“Ah, aku tidak peduli apa temannya laki-laki atau bukan! Mau dia agresif pada laki-laki atau tidak! Boy, lebih baik kau bermain alat gim saja daripada memikirkan Agatha!”
Namun, meski Boy kali ini sedang melatih otot sixpacknya, otaknya tetap bekerja memikirkan spekulasi tentang istrinya yang agresif itu pergi dengan siapa?