10. Perasaan Pada Wanita Lain

1354 Words
“Agatha! Agatha!” Suara Boy memanggil. Pria tersebut sedang berusaha memadu-padankan dasi yang ia kenakan. Karena merasa tak ada yang menggubris panggilannya, maka dari itu pria memiliki alis tebal tersebut langsung keluar dari kamar. “Agatha, bisa kaucarikan aku dasi ....” Pria itu berhenti bicara melihat orang yang berada di ruang tengah bukanlah Agatha. “Bu Agatha tadi cuma sebentar pulangnya, terus buru-buru berangkat lagi, Pak!” jawab Bi Rina, asisten rumah tangga yang bekerja di rumah pasangan tersebut. Baru kali ini Boy merasa kecewa karena ketiadaan istrinya. Padahal sehari-hari ia tak peduli dengan perempuan itu. Hanya karena beberapa hari lalu, Boy diberi rekomendasi dasi dan juga jam tangan yang harus dipakai, kemudian set pakaian yang ia kenakan pada hari itu mendapat pujian dari banyak orang. Boy merasa pilihan Agatha memang tidak salah. Namun, di saat Boy membutuhkan seorang stylist untuk mengatur gayanya hari ini, Agatha malah tidak ada. “Kira-kira dia pergi ke mana, Bi?” tanya Boy pada asistennya tersebut. Dengan tangan yang masih basah dan juga terdapat busa dari sabun cuci piring, Bi Rina menoleh. Dia menggelengkan kepala, sambil menggosok kedua tangan di bawah kucuran air. “Kurang tahu, Pak!” jawabnya setelah mematikan keran air. Namun entah kenapa, jawaban dari sang asisten rumah tangga itu kurang terasa memuaskan. Sampai pada akhirnya, pria itu membawa dasi yang ingin ia kenakan menuju ke depan kamar Agatha. Ini merupakan hal pertama dan langka yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Iya, mengetuk pintu kamar sang istri. “Agatha?” panggilnya setelah bunyi ketukan berhenti. Tidak ada jawaban apa pun dari dalam. Sepertinya yang diucapkan Bi Rina memang benar. Boy mengembuskan napasnya, kemudian pria dengan bahu yang lebar tersebut terpaksa memutar balik badan untuk kembali ke kamar. Dia melewati lagi dapur dan ruang tengah, hal itu membuat Bi Rina melihat ke arah Boy dengan tatapan tak biasa. Tapi perempuan paruh baya itu juga tak terlalu memedulikannya. “Ke mana dia pergi?” tanya Boy sambil mencoba memikirkan beberapa kemungkinan. Jika disebut, Boy sedang gelisah memikirkan istrinya yang pergi tanpa bilang kepadanya, tentu Boy enggan! Yang dia akui adalah dia tak peduli pada Agatha. Namun setelah ia memakai dasi, Boy duduk sejenak di sebuah sofa sudut kamarnya. Dia termenung memikirkan kemungkinan-kemungkinan ke mana perginya Agatha. “Ah, masa bodoh! Kenapa pula aku harus risau?” ujarnya sambil tersenyum miring. “Ya ... tidak apa-apa! Biasanya juga aku bisa melakukan sendiri!” Boy berusaha meyakinkan dirinya sendiri, lalu ia kembali berdiri untuk mencari cufflink dan juga jam tangan. “Kenapa pula aku harus minta saran darinya, biasanya juga melakukan semua sendiri!” Itu adalah kalimat yang dikatakan oleh Boy untuk menenangkan jantungnya agar berhenti berdebar karena kesal. * Dalam perjalanan untuk pergi kali ini, Boy membawa mobilnya sendiri. Dia menyalakan musik yang entah lagu apa saja untuk ia dengar. Setidaknya, ia ingin ada sesuatu agar mengusik pikirannya. Iya, dia ingin pengalihan agar tidak mengingat Agatha. Namun .... ‘Ciiiiit ...!’ Pada akhirnya Boy menepi dan menginjak rem. Ia matikan suara musik dalam mobil, lalu mengeluarkan ponselnya. Tangannya agak ragu, tapi ia keluarkan juga ponsel tersebut dan kemudian menelepon nomor Agatha. “Di mana orang ini?” ujarnya dengan nada menggerutu. “Tak biasanya dia pergi malam-malam! Kenapa akhir-akhir ini dia sering pergi?” Boy menatap terus tulisan ‘Berdering’ yang tertera di layar ponselnya. Hanya saja, bukannya Agatha mengangkat panggilan, Boy malah mendapatkan sebuah pesan dan tampak di layar pop-up bilah notifikasi. [Pak Boy, aku sudah di lokasi] ~ Lady Aga! Pesan tersebut dibaca langsung oleh Boy, dia mengabaikan Agatha dan mengakhiri panggilannya. “Ah, masa bodoh, dia mau pergi ke mana!” gerutu Boy sambil mengetik pesan balasan. [Aku sedang dalam perjalanan, tunggu dulu, ya!] Begitu Boy membalas pesan untuk Lady Aga. Kakinya langsung melepas rem dan tangannya juga memindah tuas gigi mobil agar kendaraannya mau berjalan. Begitu gas diinjak, yang ada dalam pikiran Boy malam ini adalah bagaimana ia harus membuat seorang Lady Aga terkesan pada dirinya. Untuk mengisi kekosongan, Boy kembali menyalakan musik. Tapi kali ini bukan lagu yang ia putar, dia memilih untuk mendengar Radio saja. “Baik ini di Stary Radio, 103.7 FM. Oke, sesuai dengan tema malam ini dan lagu yang baru saja kita putar, maka hal yang akan dibahas di sini sekarang adalah seputar pengkhianatan. Tentu saja, pengkhianatan dalam hubungan asmara, ya! Kita baca dulu pesan yang dikirim dari anonim 001 ....” Boy langsung memindah saluran. Dia tak begitu tertarik dengan obrolan-obrolan seperti itu. “Katakanlah sekarang bahwa kau tak bahagia, aku punya ragamu tapi tidak hatimu .... ” Tangannya memindah lagi saluran radio melalui layar yang ada di samping kemudi. “Jika cinta dia ... jujurlah padaku ....” “Angka perceraian di Indonesia semakin meningkat, contohnya sekarang ada artis ....” Dari empat saluran yang ia dengar, kenapa semuanya membahas tentang perselingkuhan. Hal tersebut secara tidak langsung membuat Boy merasa tertampar. “Apa-apaan! Cih!” Boy mencibir pikirannya sendiri. Dia masih merasa santai untuk terus menjalankan mobil menemui perempuan lain. “Kenapa pula aku merasa bersalah? Selama kami memiliki perjanjian itu, sah-sah saja jika aku menemui perempuan lain?” Sambil terus bicara sendiri dan senyum-senyum menghibur diri, Boy masih terus menjalankan mobil. Dia benar-benar berusaha memakai logika untuk tak peduli pada Agatha seperti biasanya. “Jangan-jangan ... sekarang Agatha juga sedang bertemu dengan pria lain, kan?” ucap Boy kemudian. “Ya ... jadi siapa peduli ...?” Dalam kepala Boy, dia sedang berbunga. Karena kedekatannya dengan Lady Aga telah mengalami sebuah kemajuan. Setidaknya panggilan di antara mereka, sudah bukan lagi ‘Saya-Anda’ melainkan ‘Aku-kamu’. Hal itu entah kenapa, sedikit membuat Boy berbunga. Di kepalanya, terlintas bagaimana saat perempuan bertopeng itu salah menyebut tadi siang, lalu bisa dia bayangkan ekspresi malu-malu dari seorang Lady Aga yang membuat Boy gemas ingin membuka topeng dari perempuan tersebut. “Kali ini ... apa dia akan membuka topengnya atau tidak ...?” tanya Boy pada diri sendiri, tanpa dia tahu, mungkin dia akan kecewa jika wanita yang dikagumi olehnya ini membuka identitas. * Mobil sudah diparkir, Boy memesan area rooftop di sebuah hotel untuk pertemuan hari ini. Sengaja ia meminta pada orang-orangnya untuk meletakkan alat masak Tafal di sana, karena hendak ia gunakan untuk memasak. Pria dengan rambut berkilau itu pun jalan ke arah elevator. Dia naik ke lantai tertinggi gedung tersebut. Senyumnya lebar sampai ia tiba di tempat yang dimaksud. Area rooftop ini tertutup oleh kaca, sehingga dia bisa langsung melihat ke langit tanpa takut oleh embusan angin yang kencang. Sebuah taman indoor dibuat dengan begitu indah, walau bunganya belum mekar, tapi pohon-pohon perdu itu membuat suasana cukup asri. Boy dapat melihat set meja makan dan juga tempat masak telah disiapkan. Lalu yang membuat dirinya sangat antusias adalah, di sana telah berdiri seseorang. Orang tersebut tampak membelakangi, siluet tubuhnya begitu cantik, tapi ... kenapa Boy merasa familier dengan situasi ini. “A ... gatha ...?” gumamnya dalam hati, sambil berusaha keras untuk mengelak. Sampai akhirnya, wanita dengan siluet tubuh milik istrinya tersebut berbalik badan dan menunjukkan wajah dengan topeng yang anggun. “Eem ....” “Selamat malam, Pak Boy ...?” sapa perempuan tersebut. “Ah, iya ... sela ... selamat malam!” Boy menjawab dengan gugup. “Anda berkata ingin memasak untuk saya, apa Anda gugup ...?” Boy tak bisa menjawab, tapi kemudian ia hanya menggelengkan kepala. “Silakan duduk sambil menunggu,” ucap Boy menarik salah satu kursi dan mempersilakan Lady Aga untuk duduk. “Kau gugup ...?” tanya perempuan itu lagi. “Emmm tidak ... aku hanya ... kaget! Aku pikir tadi ... bukan kamu yang datang ...,” jawab Boy. “Oh, begitu?” Lady Aga pura-pura kaget. “Apa kau mengira aku adalah istrimu?” Spontan, Boy langsung batuk dengan keras. Karena apa yang dikatakan oleh perempuan itu memang benar adanya. “Aku hanya bercanda ....” Perempuan itu menunjukkan senyum yang indah meski matanya terhalang oleh topeng. Tentu saja, perempuan yang berada di balik topeng itu memang Agatha. Dan kini ... hatinya sedang berbunga dan bahagia. “Boy ... lihatlah, kau masih terkejut saat aku mengungkit Agatha, sebenarnya perempuan yang kausukai itu istrimu atau wanita ini?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD