BAB 3; kompromi
Alice hanya pasrah ketika tangan besar Levin terulur untuk membantunya berdiri. Lagipula, bukankah sia-sia saja jika Alice berontak sekarang? Tenaga pria itu jelas lebih besar darinya. Dan juga, Alice sempat melihat beberapa orang berpakaian hitam dan bertubuh kekar sedang berdiri sekitar satu meter di belakang pria itu. Alice nyaris saja mengeluarkan erangan frustrasi, tapi ia tahan karena tak mau laki-laki itu memandangnya lemah.
Mereka sudah berjalan sekitar lima menit. Dan, dugaan Alice salah. Ia pikir Levin akan kembali menguncinya di kamar. Ternyata penculik berparas rupawan ini membawanya menuruni sebuah anak tangga. Entah sudah berapa belokan yang mereka lewati sebelum menyentuh tangga ini, Alice tidak ingat. Lagipula, dirinya terlalu sibuk menggerutu dan tak memperhatikan jalan.
Ketika sampai pada anak tangga terakhir, mulut Alice terbuka dengan manik bersinar. Sebuah ruangan yang cukup luas dengan rak besar berisi buku-buku yang tertata rapi tersaji di depannya. Alice menahan dirinya sekuat tenaga untuk tidak segera menghambur dan mencari bacaan yang akan membuatnya lupa waktu.
"Kamu bisa berkunjung ke sini jika bosan. Dan kamu bisa meminta Alex untuk menemanimu. Mulai hari ini, Alex akan yang akan mengawasimu ke mana pun."
Suara datar Levin terdengar, membuyarkan lamunan Alice. Di belakang Levin, dirinya bisa melihat sosok pria bertubuh atletis membungkuk sekilas ke arahnya. Alice mengambil napas. Menahan diri untuk tidak segera melempar Levin dengan buku. Pria arogan ini memang selalu seenaknya ya? Dan kenapa juga Alice harus menurut?
Alice bersedekap dan memasang wajah sinis. "Aku tidak mau."
Levin menipiskan bibir. Kelereng hijaunya bersinar tajam. "Jangan membantahku. Kamu tidak punya pilihan lain di sini. Dan juga, Alice, kuperingatkan padamu. Jangan sekali-kali mencoba kabur dari sini."
Dada Alice menggembung, perpaduan antara marah bercampur kesal. Dosa apa dirinya di masa lalu sampai harus bertemu makhluk ini? "Kenapa aku harus repot-repot menuruti perintahmu Pak Tua? Saya tidak mengenal Anda. Adalah hak saya untuk pergi dari rumah ini."
"Jangan memanggilku Pak Tua." Levin maju dua langkah. Bibirnya menipis kaku. Alice terksiap dan ikut mundur hingga pinggulnya menyentuh pinggiran kursi. "Sebentar lagi kita akan menikah, ingat? Jadi singkirkan jiwa pemberontak itu dalam dirimu."
Alice mengerang frustrasi. Menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sedetik, sebuah tangan menyingkirkan jemarinya pelan. Alice berkedip saat sepasang manik hijau gelap menatapnya lekat. "Dan kenapa kamu tidak memakai gaun yang aku siapkan?"
Tarik napas. Hembuskan.
Alice mencoba untuk mengendalikan diri. Bersikap defensif terus menerus tidak akan membuahkan hasil apa pun. Levin akan terus memaksakan kehendaknya dan Alice yang terus menolak. Mereka tidak akan pernah menemukan titik temu. Dan, Alice memeberanikan diri untuk balik menatap sepasang manik hijau itu.
"Oke. Om Mikhail Levin. Kenapa kita tidak mencoba bicara baik-baik? Sekarang, beritahu aku apa alasan Anda sebenarnya menculikku."
Sebelah alis Levin terangkat. Bibirnya hendak terbuka untuk menjawab, tapi Alice buru-buru menyela lagi. "Aku tidak butuh jawaban; karena kau milikku. Dan aku sedang berusaha mengambil apa yang menjadi hakku." ia menirukan perkataan Levin semalam. Berkacak pinggang, dirinya melemparkan sorot kesal. "Aku butuh jawaban yang manusiawi. Jawaban yang bisa dicerna oleh logikaku."
Levin menegakkan tubuh. Menjauhkan jarak mereka dan memasukkan kedua tangan pada saku celana. Pandangannya mengarah pada lukisan abstrak yang tergantung di dinding. Di detik selanjutnya, jawaban dengan nada datar terdengar, "Kamu mau jawaban yang seperti apa?"
"Jangan berbelit-belit!" Alice mengerucutkan bibir. Kekesalannya kembali memuncak. Dirinya sedang berusaha untuk berkompromi, tapi kenapa respon pria itu tetap saja menyebalkan?
Levin terkekeh kecil, entah kenapa terdengar merdu ditelinga Alice. Seperti gemericik air pertama di musim hujan. Menenangkan, sekaligus membawa nuansa sejuk.
"Kamu akan tahu jawabannya nanti." ada kilat rahasia di matanya. "Ketika kamu sudah mengingat semua yang terjadi di masa lalu, Alice. Tentang kita. Tentang bagaimana hari ini bisa terjadi." Levin segera mengalihkan pandangan dengan membelakangi Alice. Menyembunyikan raut kepedihan sekaligus rasa bersalah yang bergelayut di d**a. Tentang kejadian yang sudah dilupakan Alice bertahun-tahun silam. Tentang kebodohan yang telah ia lakukan.
Levin maju satu langkah. Hendak beranjak pergi. Tapi, suara Alice menghentikan pergerakannya. "Apa dulu kita memang pernah mengenal? Aku benar-benar tidak mengingatnya. Yang ada di kepalaku hanya ingatan ketika aku masih SMP. Dan, apa paman dan bibi tau jika aku ada di sini?"
Alice menggigit bibir, menatap punggung Levin dengan sorot tak terbaca. Jika Levin tahu jika Alice melupakan ingatannya di masa lalu, bukankah besar kemungkinan jika mereka memang pernah mengenal sebelumnya? Tapi, kapan? Dan apa yang pernah terjadi di masa lalu antara dirinya dan Levin?
"Aku sudah bicara pada mereka. Kamu tidak perlu cemas Alice, kamu adalah tanggung jawabku sekarang. Calon istri sekaligus ibu dari anak-anakku kelak."
Alice masih belum puas dengan jawaban Levin. "Jika paman dan bibi sudah tahu, kenapa Anda justru menculik saya dan bukannya bicara baik-baik?"
Levin menaikkan alis, sudut bibirnya terangkat, mengejek. "Sekarang, biarkan aku bertanya padamu. Jika tiba-tiba ada pria asing menemuimu dan berkata jika dia akan menikahimu saat itu juga, apa yang akan kau lakukan?"
Hening.
Levin kembali berujar, tenang. "Kau pasti akan kabur, bukan? Karena itu aku menculikmu sekarang supaya kau tidak bisa lari dariku."
Setelahnya, punggung tegap Levin mulai menjauh. Meninggalkan Alice dengan berjuta pertanyaan yang masih menggelayut di otak. Sikap pria itu, ya Tuhan. Alice yakin sekali jika hidupnya akan menderita jika mereka benar-benar akan menikah.
Memang benar, Alice tahu ingatannya hilang ketika paman dan bibi bercerita mengenai kecelakaan yang menimpanya ketika duduk di bangku kelas enam SD. Dan kecelakaan itu pula yang merenggut kedua orangtuanya. Alice bahkan tidak mengingat wajah mereka sama sekali. Hanya foto usang pemberian bibi Aurin yang selalu meningatkan Alice tentang keberadaan orang tuanya.
Tanpa sadar, air mata Alice meluruh. Cepat-cepat ia menghapusnya dengan punggung tangan. Alice tidak boleh cengeng. Dirinya sudah dewasa sekarang. Kedua orangtuanya di surga pasti tidak akan senang dengan sikapnya saat ini. Dan, jujur saja. Alice tidak tahu harus bersikap seperti apa sekarang. Apa dia harus pasrah dan mempercayai Levin? Atau justru berontak dan tetap melarikan diri?
Karena, bagi Alice, seorang Mikhail Levin hanyalah orang asing. Mereka baru bertemu tadi malam, dan Alice tidak akan pernah siap jika harus menikah dengan pria itu dalam waktu secepat ini.
***