bc

Rain Heart (Season 1)

book_age18+
664
FOLLOW
11.9K
READ
family
fated
drama
tragedy
mystery
enimies to lovers
first love
like
intro-logo
Blurb

Setelah dua wanita dari keluarga Geofrey ditolak, tiba-tiba Adelard Blenda mengajukan pertunangan dengan si bungsu, Sasikirana Geofrey. Pertunangan yang dikehendaki sepihak, berjalan tiga tahun dengan dingin.

Namun, keadaan mulai menghangat saat keduanya harus selalu bersama selama empat hari di Bandung. Elard mulai lebih sering memperhatikan Sasi dan Sasi mulai menikmati kebersamaannya dengan Elard.

Elard kemudian melamar Sasi dengan serius dan berjanji akan menyegerakan pernikahan dengan wanita cantik yang sebenarnya sudah membuatnya jatuh cinta sejak jaman sekolah.

Sayangnya, setelah cinta benar-benar diakui, masa lalu Elard muncul. Ibu kandung yang menciptakan trauma, datang kembali setelah sekian puluh tahun meninggalkan dirinya. Elard gamang dan tiba-tiba memutuskan tali pertunangan.

Sasi berdampak. Sang ayah yang mempunya ambisi, kemudian berniat jahat terhadap Sasi. Hal mengerikan bisa saja terjadi. Sasi harus lari dari rumahnya sendiri, tanpa tahu kenapa semua orang tiba-tiba menyakitinya. Sasi membawa rahasia yang bahkan dirinya sendiri tidak tahu. Kematian adalah kemungkinan terjadi untuk Sasi.

chap-preview
Free preview
Chapter 1
Apa sebenarnya yang bulan pinta pada matahari, hingga matahari begitu acuh dan bulan sendu berselimut kelam? *** Mobil sedan mewah berwarna hitam metalik, melaju perlahan di tengah padatnya jalan raya. Tak ada yang bisa dilakukan si sopir untuk bisa segera sampai tujuan, selain hanya menurut pada arus. Ya, siang hari adalah jam padat lalu lintas dan Sasikirana Geofrey sebagai penumpang bisa memakluminya. Meskipun begitu, wanita cantik dengan rambut panjang tergerai bergelombang itu tetap gelisah. Tatapannya berulang terarah pada paper bag di pangkuan. Itu adalah makan siang untuk Adelard Blenda—tunangannya—yang dititipkan Veronica—calon ibu mertua—kepadanya. Keengganan Sasi begitu besar untuk bertemu Adelard, tetapi ia tak bisa berbuat banyak. Sebagai tunangan, Adelard tidak pernah bersikap layaknya kekasih. Dia terlalu dingin, angkuh, arogan, dan yang utama, tidak romantis. Padahal pertunangan terjadi atas mau Adelard. Lelaki sinis itu menolak ditunangkan dengan Adora ataupun Kamania, yang tak lain adalah kakak-kakak perempuan Sasi. Dengan alasan yang tidak jelas, Adelard mengatakan jika memang ada pertunangan, ia hanya mau dengan si bungsu dari keluarga Geofrey. Mengingat itu, Sasikirana hanya bisa menghela napas. Hidupnya penuh liku dan pertunangan ini adalah beban terberat. Ia tak bisa menolak titah sang ayah. Mau tak mau, suka tak suka, Sasikirana harus menerima pertunangan tersebut. "Sudah sampai," ucap pak sopir dengan senyum simpul. "Ha? Kok sudah sampai?" tanya Sasi sembari melihat ke luar, sedangkan pak sopir hanya bisa mengernyit bingung. Seorang sekuriti bergegas membukakan pintu mobil Sasi. Bukan tugasnya membukakan setiap pintu mobil yang berhenti di pelataran kantor Blenda Group. Hanya beberapa mobil yang ia tahu punya keterkaitan dengan pimpinan puncak. Satu di antaranya mobil Sasikirana. "Selamat siang, Bu Sasi," sapa sekuriti yang dari name tag di d**a tertera nama Rohim. Sebagai tunangan, Sasi sudah membiasakan diri disapa dengan sapaan 'Bu' atau 'Ibu'. "Siang, Pak Rohim. Pak Elard ada?" Elard adalah nama kecil dari Adelard. "Kebetulan Pak Elard baru saja datang dari meeting di luar. Mari saya bawakan, Bu," tawar Rohim. Sasi mengalihkan paper bag ke Rohim dan melangkah duluan masuk ke dalam gedung. Tiba-tiba Sasi menghentikan langkah, membuat Rohim yang berjalan di belakang hampir menabrak tubuh semampainya. "E...e...e..., duh, hampir saja." Rohim mengelus dadanya. Andai tubuh besarnya tidak sigap berhenti dan menabrak Sasi, pastinya wanita cantik itu terhuyung ke depan. "Pak Elard baru datang?" tanya Sasi yang kemudian memutar tubuhnya menghadap Rohim. "Iya, Bu." "Meeting di luar?" "Iya, Bu." "Pasti sama Elle, 'kan?" Sejenak Rohim mengernyit bingung. Elle adalah direktur keuangan yang juga adalah orang terdekat bosnya. Setiap ada pertemuan penting, Elle pasti dan harus ada. Itu profesional dan Rohim justru menangkap nada cemburu di balik tanya tunangan bosnya. Sasi pun akhirnya menyadari kalau sikapnya terlalu berlebihan. Sasi memberikan senyum manis dan kembali melangkah menuju lift khusus. "Pak Adelard Blenda tadi pergi bersama timnya, Bu. Seperti biasa, Ibu Elle dan Bapak Tristan, menyertai." Rohim menjelaskan setelah di dalam lift. Dirinya mengenal tunangan bosnya sebagai orang yang baik. Dia menjelaskan hanya agar Sasi tenang. Sasi menoleh pada Rohim yang berdiri di belakangnya dan tersenyum. "Terima kasih." Berulang kali Sasi melirik angka pada tombol lift. Dia tak pernah nyaman setiap kali harus bertemu Elard. Kedua jemarinya saling ditautkan, mencoba menenangkan diri yang gelisah. Tiba-tiba terlintas untuk menitipkan saja makan siang Elard ke Rohim. Baru saja niat muncul, pintu lift sudah terbuka. Kini Sasi sudah berada di lantai teratas gedung Blenda Group, di mana ruang direktur dan CEO serta beberapa staf khusus berada. Itu artinya, Sasi sudah lebih dekat lagi dengan Adelard Blenda. Tidak ada lagi kesempatan untuk lari. Sekretaris Adelard yang melihat kedatangan Sasi, segera berdiri dan memberikan senyum manisnya. Sasi berharap sekretaris Adelard akan menginformasikan jika Adelard sedang ada tamu penting, dengan begitu dia bisa menitipkan saja makan siang Adelard. Namun, harapan Sasi sia-sia. Adelard bisa ditemui. Dengan lesu, Sasi menerima kembali paper bag yang tadi dibawa Rohim. Pintu terbuka tiba-tiba, tepat saat Sasi akan membukanya. Sasi maupun yang membuka pintu, sama-sama terkejut. Seorang wanita bermata kucing, dengan rambut pendek yang tertata apik, cepat menguasai keadaan. Dia menatap Sasi kesal. "Elle...." Nama itu terucap lirih dari bibir Sasi. "Iya. Ini saya. Kamu kenapa, sih?" tanya Elle sembari mendelik. Ia kesal melihat reaksi Sasi yang seolah-olah melihat setan. Mendengar nada tidak suka dari Elle, segera Sasi memperbaiki sikapnya. "Enggak..., enggak kenapa-napa. Aku kaget aja." Elle melihat paper bag di tangan Sasi dan tersenyum sinis. "Makan siang? Apa Kak Elard mau? Kan, tadi kita sudah makan siang." Adalah kewajaran Elle menyebut nama Elard dengan embel-embel 'Kak'. Keduanya tumbuh kembang bersama sejak kanak-kanak. Rumahnya juga masih berada di satu kawasan yang sama. Hitungannya tetangga. Elle profesional. Dia tahu kapan menyapa dengan 'Kak' dan kapan menyapa dengan 'Pak'. Elle berlalu dengan meninggalkan senyum sinis yang membuat Sasi ingin menjambak rambut Elle. Mengingat kembali tujuannya, perlahan Sasi mengetuk pintu ruang kerja Elard. Tak lama pintu dibuka Tristan—asisten pribadi Elard. "Selamat siang, Bu Sasi," sapa ramah Tristan. Sama seperti yang lain, matanya tertuju pada bawaan Sasi. "Mari saya bawakan, Bu." Sasi mengulurkan paper bag, sembari melirik ke arah meja kerja Elard. Seketika Sasi terkinjat, wajahnya menunduk, dan bibirnya digigit kuat. Malunya tak tertolong. Dia ketahuan sedang mencuri pandang ke arah Elard. Elard sendiri terlihat biasa saja. Dia tak bereaksi apa pun. Hanya duduk diam, dengan tangan kiri memegang berkas, dan tangan kanan menopang dagu. Tatapannya lurus ke arah Sasi. Tristan tersenyum geli melihat Sasi. "Apakah ini makan siang?" "Itu dessert. Tiramisu dan salad buah," jawab Sasi. "Buatan Bu Sasi pastinya." "Buatan Mama Vero." "Mama yang buat, kenapa kamu yang antar? Biasanya juga diantar Priadi," sahut Elard dingin. Belum sempat Sasi menjawab, Tristan menyela, "Bu Sasi, silahkan duduk dulu. Saya siapkan ini di pantry." Sasi mengangguk. Dia memilih duduk di sofa ketimbang kursi di depan meja kerja Elard. Dirinya butuh jarak untuk bisa berdialog dengan Elard. Jika terlalu dekat, Sasi akan semakin berdebar dan gelisah. "Jadi?" Sasi mengernyit bingung. "Jadi apanya?" "Kenapa kamu yang antar." "Oh itu...." Sasi merasa tubuhnya semakin tenggelam ke dalam sofa. Malunya bertambah karena begitu lambatnya memahami pertanyaan Elard. "Itu?" Alis kiri Elard tertarik ke atas, tanda kesabarannya mulai tipis, dan itu tak luput dari penglihatan Sasi. Iya...iya..., sabar. Segitunya alis, keluh Sasi dalam hati. "Tadi Mama Vero ikut kelas memasak. Saya diajak." "Jadi penonton?" "Kok, penonton." "Memangnya apa yang bisa kamu lakukan di sana." Cara Elard bicara begitu biasa saja. Dia mengucapkannya sembari kembali membaca berkas perusahaan. Namun, yang menjadi 'biasanya' Elard, malah membuah Sasi sangat kesal. Pernyataan Elard seolah-olah Sasi tidak bisa melakukan apa-apa. "Saya juga ikut kelas masak, kok." "Mmm...." Elard mengangkat kepalanya sedikit, menatap Sasi seolah tunangannya itu sedang membual. Sedangkan Sasi justru terlihat salah tingkah mendapati tatapan tajam Elard. Bunyi ketukan halus, membuyarkan suasana kaku. Tristan masuk dengan membawa nampan yang di atasnya terdapat seloyang tiramisu ukuran sedang dan piring kecil. Sedangkan sekretaris Elard, membawa nampan dengan semangkuk salad buah. Elard berdiri dari kursi kerjanya dan berpindah ke sofa tunggal. Kini jarak Sasi dan Elard menjadi dekat. Bahkan lutut keduanya hampir bersinggungan. Sasi merubah posisi duduknya, dia menjadi tidak nyaman. Semangkuk salad buah dan sepotong tiramisu, tersaji di hadapan Elard. Tiramisu menjadi pilihan pertama. Tak ada tawaran untuk Sasi. Dia terlihat sangat menikmati rasa manis tiramisu. Tak lama, tiramisu habis. Elard beralih mengambil salad buah. Dia hanya menyuap dua kali dan meletakkan kembali mangkuk saladnya. "Begini saja hasil kelas memasakmu?" tanya Elard. Bagini? Apa gak bisa menghargai usaha orang? Manusia batu! rutuk Sasi kesal. "Kalau begitu saya permisi pulang." Sasi berdiri dan melangkah menuju pintu didahului Tristan yang sudah membuka pintu. "Besok sore jangan telat!" seru Elard. Sasi tak menjawab. Tapi saat mendekati pintu, ia memutar tubuhnya , dan mendapati Elard sudah meletakkan potongan kedua tiramisu ke piring kecilnya. Kini posisi berubah. Sasi menatap Elard dengan tak acuh. Itu membuat Elard kesal. Tepatnya kesal pada diri sendiri yang tidak bisa menahan nafsu nikmatnya rasa tiramisu. Harusnya dia menunggu Sasi benar-benar keluar dari ruangannya. "Apa?" tanya Elard dengan nada tegas, menutupi malu. "Tiramisunya enak?" "Pasti enak. Buatan yang terlatih, pasti enak. Daripada...." Elard melirik ke mangkuk salad buah. "Sekedar potong-potong." Sasi tersenyum lebar. "Terima kasih." "Untuk?" "Pujiannya." "Aku tidak memberi pujian untuk makanan yang sekedar asal potong dan saus yang mudah dibuat." "Mama Vero ikut kelas memasak hanya untuk bisa berkumpul dengan sahabat-sahabatnya. Makanya, Mama Vero hanya potong-potong buah. Selamat menikmati potongan kedua tiramisunya." Sasi melangkah keluar dengan senyum penuh kemenangan yang berubah menjadi tawa kecil. Dia sempat melihat ekspresi Elard yang luar biasa. Elard mendelik menatap kepergian Sasi. Dia kalah telak karena keyakinan yang tak terduga. Tadinya dia mengira tiramisu adalah bikinan mamanya dan salad buah adalah bikinan Sasi. Ternyata tiramisu lezat yang membuatnya tambah untuk kedua kali, justru buatan Sasi. "Bawa keluar semua. Bagikan ke yang lain." Elard kesal bercampur malu. Rasanya ingin memukul diri sendiri yang sudah bersikap sok tahu. "Yang ini jangan dibawa," sungut Elard sembari membawa piring kecil tiramisu dan kembali menuju meja kerjanya. Tristan tersenyum geli dan geleng-geleng kepala. Setelah tiga tahun, ini pertama kalinya raksasa dikalahkan peri. Begitulah Tristan mengandaikan Elard dan Sasi. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Yes Daddy?

read
798.7K
bc

GAIRAH CEO KEJAM

read
2.3M
bc

OLIVIA

read
29.2K
bc

LAUT DALAM 21+

read
290.0K
bc

AHSAN (Terpaksa Menikah)

read
304.4K
bc

UN Perfect Wedding [Indonesia]

read
75.9K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
55.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook