[Senin, 2 Oktober, Pukul 10.00, Perumahan Gerilya blok G, Kota B]
Alcina ada di ruang tamu, sedang melihat beberapa lembar kertas hasil otopsi dari rumah sakit di kota B. Hanya beberapa kalimat yang dibaca dengan jelas, karena sejujurnya dia tidak mengerti forensik sama sekali, meskipun jurusan kedokteran yang dijajahinya sudah menginjak tiga semester.
Dia membaca kertas demi kertas.
Instalasi Kedokteran Forensik dan Mediko Legal,
RSU
Kota B
Visum Et Repertum (Jenazah)
... Berhubung dengan surat saudara Haris ....
Alamat: ....
....
Identitas Korban:
Nama : Alina Calista
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 19 tahun
... Pada tanggal: ... dibawa ...
....
Pemeriksaan Luar
1. Korban seorang ....
2. Lebam mayat ....
3. ....
.
.
.
17. ....
Pemeriksaan Dalam
1. Leher ....
2. ....
.
.
13. ....
Alcina melihat banyak kata-kata asing dan angka-angka yang tidak dia mengerti. Jadi dia langsung membaca kertas terakhir berisi kesimpulan.
Kesimpulan
1. Korban seorang perempuan berusia ....
2. Pemeriksaan luar :
Tidak ditemukan luka memar, luka lebam, luka ....
Belum selesai membaca sampai akhir, dia telah melempar kertas-kertas itu ke hadapan Letda Okta yang sedari tadi setia mengamati. "Arghhhh ... aku tidak mengerti. Jelaskan sajalah intinya."
Okta membuang napas, mengambil kertas yang tergeletak. Dia membacanya sebentar, kemudian menatap Alcina yang melipat tangan di depan d**a sambil bersandar ke badan sofa. "Yang kudengar dari dokter tadi, Alina dibunuh. Luka sayatan di leher sepanjang 15 cm, 12 cm dan 17 cm. Dengan kedalaman masing-masing 5 cm, 3 cm dan 4 cm. Tidak ada luka lain di tubuh Alina, artinya Alina tidak melakukan perlawanan saat bersama pelaku, hal itu karena dia dibius terlebih dahulu. Tidak ada sidik jari pelaku di mana pun. Dia pasti membersihkan semuanya."
"Dia ini sungguh menyebalkan. Apa yang dia inginkan dari menyayat leher kakak sampai tiga kali?!"
"Kurasa dia menginginkan darahnya, karena aku tidak melihat banyak darah di TKP."
"Kenapa kau baru memberitahu sekarang?" gerutu Alcina.
Okta mengedikkan bahu. "Kau tidak bertanya."
Alcina menyipitkan mata ke arah Okta. "Itu karena kupikir luka sayatan, apa lagi di leher, sudah pasti menghasilkan darah berliter-liter."
Okta mengangguk. "Kau benar, harusnya begitu, tapi bisa dibilang ini bersih. Hanya beberapa tetes darah di tubuhnya."
"Apa dia benar-benar menginginkan darah itu? Tapi untuk apa?" tanya Alcina, menatap langit-langit rumah beberapa detik sebelum menatap Okta kembali.
Okta mengusap dagunya, tampak seperti berpikir. "Dilihat dari caranya yang menggunakan obat bius daripada racun, sepertinya dia memang menginginkan darahnya. Aku juga tidak tahu. Bukankah sekali sayatan sedalam 5 cm sudah cukup membuat darah mengalir? Untuk apa sampai tiga kali? Apa mungkin untuk ritual?"
Alcina mengamini, walau ekspresinya tidak yakin. "Kau mungkin benar. Apa masih ada ritual seperti itu zaman sekarang?"
Okta mengedikkan bahu disertai gelengan kepala.
Alcina mendesah lagi. "Aku tidak bisa membayangkan bagaimana menderitanya kakak saat pembunuh sialan itu menyayat leher dan mengambil darahnya. Dia pasti tersiksa. Apa menurutmu kakak mati dengan cepat?"
"Tidak. Tentu saja tidak."
Alcina dan Okta mendesah bersamaan. Sudah dua minggu dia di kota B, tapi tidak menemukan petunjuk apa pun dari si pelaku. Bahkan ponsel Alina ternyata kosong dan bersih. Tidak ada riwayat pesan, foto atau agenda. Anehnya lagi, tidak ada yang menghubungi nomor Alina selama dua minggu terakhir ini. Melihat dari cara si pelaku menghapus foto dan pesan di ponsel, Alina pasti mengenalnya, dan orang itu mencoba menghapus jejak. Hanya itu kesimpulan yang bisa ditarik Alcina saat ini. Dari penyelidikan keduanya—yang tentu saja dirahasiakan dari beberapa pihak—dua minggu terakhir ini, mereka mendapat satu petunjuk baru yaitu pacar sang kakak.
Salah seorang warga yang berprofesi sebagai tukang sayur keliling, saat itu melihat Alina masuk ke mobil seorang pria. Sayangnya dia tidak bisa melihat jelas wajah pria itu. Dia menduga pria itu adalah kekasih Alina.
"Non Alina bagaimana sih, masa bisa lupa sama pacar sendiri?” Begitulah keluh si bapak tukang sayur ketika Alcina berusaha mencari tahu bagaimana wajah si pacar.
"Ahh ... bukan Pak, saya cuma menguji Bapak saja. Lagi pula Bapak tahu dari mana kalau itu pacar saya?"
Si bapak merapikan dagangannya sambil sesekali melihat Alcina. Agar tidak curiga, Alcina berpura-pura membeli beberapa sayur.
"Ya tahulah, kan Non Lina manggil 'sayang' pas keluar dari pintu. Terus pas mau masuk mobil juga, Non Lina senyum-senyum gitu," kata si bapak sembari merapikan sayuran yang tidak pada tempatnya.
"Bapak bisa dengar? Memangnya posisi Bapak di mana, kok saya tidak melihat?"
"Biasalah Non Lin, namanya lagi jatuh cinta ya. Sampai Bapak yang di dekat pagar saja tidak nampak."
"Hahaha... maaf ya Pak. Apa bapak benar-benar tidak melihat wajah pacar saya?"
"Enggak, Non Lin. Tapi Bapak yakin itu laki-laki,” canda si bapak, diakhiri tawa.
"Hahaha ya iyalah laki-laki, masa pacar saya perempuan."
"Kenapa, Non? Pacarnya terlihat sama cewek lain di kompleks sebelah, ya? Terus mau meminta Bapak menyelidiki kan, karena Bapak keliling semua kompleks."
"Hahaha... Bapak pintar, ya. Tahu saja."
"Hahaha... soalnya ada yang begitu di kompleks sebelah."
"Lain kali saya minta tolong boleh ya, Pak, hehe." Alcina mencoba seramah mungkin.
"Aman lah kalo sama Non Lina."
Keterangan itu didapat Alcina pada Senin pagi dua minggu lalu, ketika dia terbangun karena mendengar teriakan tukang sayur. Dia sebenarnya ingin menanyai semua warga di kompleks sebelah, tapi tentu saja itu akan menimbulkan kecurigaan. Gadis itu juga sempat berpikir akan mendatangi kampus tempat Alina mengenyam pendidikan. Tapi jika ingin ke sana, dia harus sepenuhnya menjadi Alina.
Menjadi Alina yang memiliki karakter berbanding terbalik dengannya, mengharuskan Alcina memahami dahulu gerak-gerik sang kakak. Selama dua minggu ini, dia belajar semua hal tentang Alina, sambil menunggu hasil otopsi keluar. Sayangnya, hasil otopsi justru membuatnya semakin rumit dan dia tidak berdaya.
"Sina, ponselmu berbunyi."
Alcina mengenyahkan lamunan dan mengangkat panggilan dari sang Papa. "Iya Pa. Seperti yang Sina laporkan... Apa maksud Papa dihentikan? Pa.... Tuan Jendral Arya Calista yang terhormat, putri yang Anda buang beberapa tahun lalu baru saja meninggal, bagaimana Anda ... arghhh, terserah." Alcina membanting ponselnya ke lantai sampai mati.
Okta hanya menghela napas karena memahami tempramen buruk sang kekasih.
Tidak lama, ponsel Okta berdering. "Ya, Pak.... Baik. Saya mengerti." Okta memungut ponsel Alcina yang telah mengukir jejak panjang di layar, dan meletakkan di atas meja. "Papa menyuruh kita kembali. Kau diminta menghentikan semuanya. Anggap saja dia bunuh diri."
Alcina mendengkus, kakinya sengaja menendang sudut meja. "Jangan menyebutnya Papa. Aku muak memanggilnya Papa." Dia bersedekap dengan pandangan menghadap ke TV yang tidak menyala, mungkin tidak ingin melihat tatapan Okta yang mengintimidasi.
"Aku akan menjadi menantunya, dan aku akan tetap memaksamu kembali. Jadi, berhentilah bersikap kekanakan. Akhiri sampai di sini permainan detektifmu, Sina." Rahang Okta mengeras setiap mengatakan kalimat itu, masih memandang lekat kekasihnya.
"Bagaimana bisa kau menyebutku kekanakan? Dia kakakku. Dia baru saja tewas dibunuh. Kau ingin aku diam saja?" Alcina melotot marah dan tangan kanannya bergerak menunjuk dirinya setiap ada kata 'aku' dalam kalimatnya.
"Aku sudah cukup lelah meladeni permainanmu dua minggu terakhir ini. Aku harus segera ke markas." Okta balas menatapnya tidak kalah sengit, tapi tetap mempertahankan intonasi agar tidak terdengar marah.
"Tapi aku ingin menyelidikinya, dengan, ... atau tanpamu." Alcina menekan kalimatnya.
"Berhentilah bersikap keras kepala."
"Kenapa? Kau sudah bosan menghadapi kekeraskepalaanku? Kau bosan denganku?"
"Sudahlah. Aku lelah. Cepat kemasi barangmu." Okta bangkit dan bergerak ke kamar.
"Jadi, kau lelah denganku sekarang? Okta jawab aku!" Alcina mengikuti Okta yang masuk ke kamarnya dan melihat pria itu membereskan pakaian tanpa memedulikannya "Okta jawab aku, atau aku—"
"Atau apa?” Okta berhenti mengemas. Dia kemudian mencengkeram erat pergelangan tangan kanan Alcina. “Kau akan membunuhku?"
Alcina terkejut mendapati pertanyaan itu. Ketidakpercayaan akan sikap Okta terukir jelas di wajah terkejut Alcina, dan Okta bisa membacanya dengan baik.
"Maafkan aku." Okta menghela napas, lalu memeluk Alcina. "Papamu mengancamku lagi. Aku selalu saja harus memilih antara kau atau Jendral." Okta melepaskan pelukan, lalu mengeluarkan lagi pakaian yang tadi dia masukkan ke tas.
"Dan kau selalu memilihku. Terima kasih. Aku mencintaimu." Alcina memeluknya dari belakang dengan erat.
Okta tersenyum manis, membuat ketampanannya betambah berali lipat. "Kau tahu apa ancaman Papa?" Alcina menggeleng masih dalam keadaan memeluk dari belakang. "Aku akan dikirim ke negara konflik. Aku selalu saja mendekati kematian setiap kali memilihmu."
"Tapi kau tiak pernah bosan untuk selalu saja memilihku, kan?"
"Ya. Aku pasti sudah gila."
Okta berbalik, menyentuh pipi Alcina yang mulai bersemu kemerahan dan menghilangkan jarak di antara mereka. Dia kembali memeluk gadis itu, dan mengecup pucuk kepalanya dengan penuh sayang.
Itu adalah saat nyaman sebelum perang.
***