[Sabtu, 21 Oktober. Pukul 10.00. Perumahan Gerilya, Kota B]
Alcina sudah bersiap dengan gaun panjang berlengan tiga perempat, sewarna biru muda sepanjang lutut, untuk bertemu dengan kekasih Alina. Dia sedikit tertawa saat menatap pantulan diri di cermin besar dalam ruang tamu itu.
"Apa yang kau tertawakan, Sina?" Haris yang sedang duduk di sofa sambil menikmati secangkir kopi panas, menatap Alcina sekilas sebelum melanjutkan bacaannya di koran.
"Aku bahkan tidak pernah berdandan secantik ini untuk Okta, dan sekarang aku harus berpenampilan seperti ini demi orang lain yang tidak kutahu bagaimana wajahnya, bahkan namanya pun aku tidak tahu." Dia menggeleng-geleng kecil, menatap tak percaya dengan sikapnya. Alcina lalu memutar tubuh perlahan di depan cermin, memastikan bahwa tidak ada yang salah dari penampilannya. Tas quilted bag, heels berwarna senada dengan tas putihnya dan kalung berbentuk setengah hati milik Alina. Sempurna.
"Tidak apa, Sina. Anggap saja kau sedang belajar kencan agar nanti saat kencan sungguhan dengan Okta, kau bisa menjadi wanita," Haris menyeruput kopi, masih fokus pada bacaannya.
"Apa kau juga ingin merasakan tendanganku, Tuan Haris Anggara yang menyebalkan?" Alcina berkacak pinggang menatap Haris.
"Hahaha... maaf, Sina. Baiklah, saatnya serius. Aku akan menghubungi temanku dulu."
Alcina duduk di depan Haris dan memerhatikan pria itu berbicara.
"Sebentar... Sina, bisa kau hidupkan GPS mu."
Alcina mengangguk. "Berikan teleponnya kepadaku, Haris. Aku akan bicara langsung dengannya."
Haris menyerahkan ponselnya. Saat ponsel itu menempel di telinga, Alcina bisa mendengar suara ketikan di keyboard. Mungkin orang di seberang sana sedang dalam proses melacak.
"Bagaimana, Haris? Sudah kau hidupkan GPS-nya?"
"Ah, maaf. Ini temannya. Kau bisa memanggilku Ana," ujar Alcina.
"Oh, hai, Ana, aku Rei. Begini, sejak tadi malam sebenarnya aku sudah mengetahui posisinya."
"Bagus. Lalu?"
"Di sanalah masalahnya. Dia terlihat berpindah-pindah tempat setiap 15 menit."
"Tentu saja. Mungkin dia melakukan perjalanan."
"Ya, dan setiap satu jam sekali, dia seperti berada di daerah perumahan Gerilya."
"Apa-apaan itu?” Alcina sampai menegakkan badan karena terkejut. “Dia tidak tidur sepanjang malam?" Alcina mengetukkan telunjuk di meja dan berulang kali mencengkeram rok, sesekali menggigit bibir bawahnya.
"Tidak, kurang lebih jam empat, dia tidak lagi bergerak. Dia berdiam di perumahan Gerilya."
"Lalu pagi ini, untuk apa kau memintaku menghidupkan GPS?"
"Aku dengar dari Haris kalau kalian berada di perumahan Gerilya, jadi aku menduga..."
"Dia mengawasi kami?"
"Ya. Aku tidak mengerti alasannya. Haris hanya bilang ingin melacak nomor mantannya. Kukira mantannya itu seorang stalker."
"Jadi, bagaimana dugaanmu itu?"
"Terbukti benar. Dia sangat dekat dengan lokasi GPS mu, Ana. Katakan kepada Haris untuk berhati-hati pada stalker ini, hahaha..."
"Yah, akan aku katakan kepadanya." Wajah Alcina mulai memerah, antara marah, takut dan bingung.
"Hei Ana, sekarang dia bergerak ke arahmu. Kurasa dia akan mengetuk pintu rumahmu. Katakan kepada Haris untuk bersiap-siap menghadapi mantannya."
Tok tok tok
Mata Alcina terbelalak, terkejut mendengar ketukan di pintu. Dia sedikit berdebar, tapi tetap melangkah ke pintu.
Haris menatap Alcina bingung, tapi dia tidak menyadari perubahan wajah gadis itu. Dia membiarkan Alcina mengambil tindakan. Kemudian dia melihat cara berjalan Alcina yang terkesan berhati-hati itu, sebuah firasat melintasi benaknya.
Ini pagi, tidak ada pembunuh yang cukup gila untuk membunuh Alcina di saat banyak mata melihat. Banyak? Benarkah? Bukankah hanya rumah Alina yang ada pemiliknya di blok ini?
"Alcina, tunggu!" teriak Haris yang langsung mengambil pistol di meja.
Terlambat bagi Haris yang baru menyadarinya, karena Alcina telah membuka pintu itu.
Bruk
Ponsel dalam genggaman Alcina yang semula menempel di daun telinga telah terjatuh ke lantai dekat kakinya. Dia terkejut menatap pria jangkung di hadapannya. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya.
Albert Sperry. Pria berkulit putih dengan tinggi 182 cm berdiri di sana. Dia mengenakan kemeja merah kotak-kotak dengan celana jeans yang dipaksa koyak bagian lututnya oleh si pemilik, berdiri sambil senyum menyebalkan, dengan tas punggung yang sepertinya penuh dengan pakaian.
"Of course cause I miss you, Sina. So, where's the hug?" Albert melebarkan tangan seperti meminta Alcina untuk datang ke pelukannya, tapi sayangnya gadis itu hanya menatapnya dengan wajah sebal. Albert mengembuskan napas pelan, kembali menurunkan tangan. "Kau tidak ada di kampus selama sebulan, jadi aku bertanya kepada Dillon dan—"
"Dan aku memberitahunya, hahahaha...” kata Dillon, memotong ucapan Albert. “Hai, Sina. Kau merindukanku?” Dillon juga tiba-tiba muncul dari belakang punggung Albert dengan melebarkan tangan. Dia juga membawa tas punggung yang sama seperti Albert.
Alcina pikir dua pria berwajah t***l yang sangat jelas menyembunyikan niat itu akan menginap di sini, jadi, dia tidak bergerak seinchi pun dari tempatnya berdiri. Dillon membuang napas dan menurunkan tangan. Sekarang Alcina menipiskan bibir dan sungguh-sungguh menatap tajam dua makhluk di hadapannya.
Keduanya mengerti arti tatapan itu. Tentu saja. Mereka sudah mengenalnya sejak lama. Dillon si body guard bahkan sangat hapal arti dari setiap ekspresi Alcina.
" Aku disuruh Papa-mu, Sina. Sepertinya dia masih ingat kewajibannya sebagai seorang Ayah,” kata Albert, yang langsung mendapat tatapan membunuh dari Alcina. Pemuda itu menelan ludah.
Dillon terkikik pelan melihat Albert menelan ludah. "Aku mengajaknya karena kupikir dia berguna."
Alcina mengembuskan napas kesal, kemudian menunjuk Albert dengan dagunya. “Dia tahu?” tanyanya.
Dillon mengangguk. "Yah, aku menceritakan semuanya, dan dia senang bisa membantu."
Alcina memutar bola matanya.
"Berhentilah melakukan itu, dan beri kami ruang untuk meletakkan benda berat ini. Perjalanan ke sini sangat melelahkan, kau tahu. Bisa kau minggir sedikit?" Dillon menunjukkan wajah lelah yang dibuat-buat.
Alcina bergeser ke samping dan Dillon masuk. Terdengar sapaan ramah dari Haris yang menyambut kedatangannya.
Albert masih berdiri di sana. "Apa kau selalu secantik ini jika di belakangku, Sina?" Dia bersiul ketika memerhatikan gadis itu dari kepala sampai kaki. “Sambutan yang menarik,” katanya sembari menaik-turunkan kedua alisnya.
Alcina seperti baru menyadari sesuatu yang penting. Dia memungut kembali ponsel yang sempat terjatuh tadi. "Kurasa kau salah, Rei,” katanya kepada Rei di seberang telepon. “Aku tidak melihat siapa pun. Hanya dua makhluk t***l di sini."
Albert harus berdecak ngeri mendengar kata ‘t***l’ dari Alcina. Kata-katanya penuh penekanan dan tatapan tajam itu langsung menusuk manik abu-abu gelap milik Albert.
"Aku yakin, Ana. Ahh, sekarang dia tepat di dekatmu."
Alcina terkejut mendengar ucapan Rei. Mungkinkah Albert yang dimaksud Rei? Apakah Albert mengenal Alina selama ini? Apakah dia pacar Alina? Tapi Albert baru tiba pagi ini, dan dia bersama Dillon, atau mungkin dia berkeliaran sejak malam dan Dillon tidak mengawasinya? Bisa juga Dillon justru bersekongkol dengannya.
Alcina menggeleng pelan, mengenyahkan asumsi. Albert bukan jenis orang yang seperti itu dan Dillon adalah orang kepercayaannya. Pikiran lainnya menentang. Bukankah seringnya yang menjadi pengkhianat adalah orang yang kita percaya? Alcina bingung sendiri dengan pemikirannya.
"Yah baiklah, terima kasih, Rei. Nanti aku hubungi lagi." Panggilan terputus, sekarang Alcina hanya menatap Albert dengan bingung.
"Apa terjadi sesuatu, Sina?"
"Apa kau mengenal—" Kalimat Alcina menggantung di udara karena tubuh Alcina tiba-tiba saja membeku. Dia tidak bisa melakukan apa-apa meski sangat ingin berlari ke arah seseorang yang terlihat muncul dari balik punggung Albert. Seseorang dengan hoodie biru gelap baru saja berjalan keluar dari pekarangan rumahnya.
Sudah berapa lama dia di sana? Apa dia mendengar nama 'Sina' yang baru saja disebut Albert? Kenapa Alcina tidak melihatnya sedari tadi? Apa karena dua orang di hadapannya terlalu besar sehingga menutupi seseorang ber-hoodie itu? Berbagai pertanyaan seolah terlukis jelas di wajah Alcina saat ini.
Albert membalik badannya, mengikuti arah pandang gadis itu. Saat mendapati seseorang ber-hoodie yang berjalan tidak jauh, dia langsung mengejarnya. Alcina tidak punya cukup waktu untuk terkejut. Dia juga bergerak mengikuti Albert, tapi terlambat. Si Jangkung telah kembali dari balik persimpangan tempat dia tadi berlari mengejar seseorang ber-hoodie.
"Dia lolos,” kata Albert, yang masih terengah-engah. “Ada mobil terparkir di sana. Mobil truk warna Biru tanpa nomor kendaraan. Apa dia si tersangka?"
Alcina menggeleng. Bukan artinya tidak, tapi Alcina tidak tahu.
Mereka kembali ke rumah dan mendapati dua orang yang berdiri di depan pintu dengan wajah panik.
"Tidak apa, Haris.” Alcina coba tersenyum meski gagal meyakinkan. “Kupikir orang itu pacar kakak."
“Kau mendapatkannya? Ciri-cirinya bagaimana? Mau apa dia ke sini? Apa tempat biasa yang dia maksud adalah rumah ini?” Pertanyaan bertubi dari Haris hanya dibalas gelengan kecil oleh Alcina.
“Aku tidak tahu.”
"Sesuatu pasti telah terjadi,” ujar Albert, menyita perhatian para pendengar, “sebaiknya kau menceritakan semuanya, Sina. Kami di sini untuk membantu."
Setelah menatap Albert dan Dillon bergantian, Alcina mengangguk. "Sebaiknya kita bicara di dalam."
Mereka berkumpul di ruang tamu. Alcina baru saja menyelesaikan ceritanya.
"Waahh, Sina. Aku benar-benar mengagumi cara berpikirmu," komentar Albert.
Alcina cukup sadar sedang mengoloknya saat ini. Dia tahu bahwa Albert yang terbaik di jurusan kriminologi. Meskipun masih semester 3, ayahnya yang merupakan kepala kepolisian bahkan beberapa kali menanyakan sarannya saat menghadapi kasus yang pelik. Sementara di sini dia seolah mengagumi Alcina.
"Yah, baiklah Tuan yang sok merendah, selanjutnya apa yang bisa kita lakukan? Aku berencana menemui si pacar dengan bantuan Rei yang melacak keberadaannya."
Albert tampak berpikir, tangannya yang terkepal diletakkan di depan dahi dan dia memejamkan mata, kemudian memberi instruksi kepada yang lain.
Semua mengangguk mengerti. Haris sudah menelepon kembali temannya yang bertugas melacak. Setelah panggilan diakhiri, mereka bergerak ke lokasi yang mungkin akan menjadi tempat eksekusi.