***
Alcina dan pacar kakaknya tiba di atap super mall. Alcina harus dibuat takjub oleh pemandangan di depan matanya. Dia tidak tahu ada tempat seperti ini di mal. Sejuk, dengan pepohonannya dan bisa melihat semua tempat di sekitar bangunan tiga lantai ini. Awannya seolah dekat dan dapat digapai, lalu-lalang kendaraan di bawah sana seperti miniatur kesukaan Alcina. Bisa dibilang ini akan menjadi tempat favorit Alcina jika dia tahu sejak awal.
Pria mengacak pelan rambut Alcina saat melihat gadis itu tampak bahagia di sini. "Ini tempat favorit kita. Pertama kali aku katakan mencintaimu adalah di sini. Aku harap kau tidak melupakannya."
Alcina kembali memandang pria di sebelahnya yang masih belum melepaskan tautan jemari mereka. Sekarang dia harus berpikir dan bersikap seperti Alina jika di hadapan pacarnya. Alcina lantas tertawa renyah, menaruh anak rambutnya yang tertiup angin ke belakang telinga.
"Tentu saja aku ingat. Bagaimana mungkin aku melupakannya."
Si pacar menggaruk tengkuknya, terlihat kikuk dan tampak salah tingkah. Saat dia menggaruk tengkuk itulah Alcina melihat tangan kiri pria itu memiliki tato kecil bergambar mawar.
"Baiklah jangan bahas lagi. Bagaimana kabarmu?"
Alcina tersenyum, menggandeng tangan si pacar, lalu menyandarkan kepalanya ke bahu pria itu. "Menurutmu bagaimana?"
Pria itu tertawa pelan. "Merindukanku?"
Alcina cemberut, pura-pura marah. "Kau masih bertanya."
Si pacar mengusap-usap kepala Alcina penuh sayang. "Aku baru tiba tadi malam, dan rencananya ingi langsung ke rumah kita, tapi saat aku akan menemuimu, kau bilang sedang bersama seseorang. Maka aku memeriksa rumah dan ternyata ada seorang pria di sana. Setiap jam aku memeriksanya, tapi pria itu masih di sana. Apa kau mengenal polisi itu? Apakah dia tahu hubungan kita?"
Alcina mendongak karena terlalu terkejut. Dia bahkan lupa mempertahankan air mukanya. Bagaimana pria ini bisa tahu kalau Haris polisi? Apa maksudnya ‘rumah kita’? Hubungan apa yang tidak boleh diketahui polisi? Sebenarnya, seberapa berbahaya pria ini?
"Aku khawatir dia mengganggumu.” Pria tato mawar merengkuh wajah Alcina, mengusap-usapkan ibu jarinya dengan lembut di ppi gadis itu. “Aku bisa membunuhnya jika kau ingin."
Alcina tidak percaya dengan kalimat pembuka barusan. Pria itu sampai sanggup membunuh? Bagaimana pula nasib Albert? Kemungkinan dia tewas sangat besar, mengingat betapa mudahnya pria mawar ini mengatakan 'membunuh', seolah itu adalah rutinitasnya.
Alcina tiba-tiba teringat perkataan teman sekelasnya tentang 'mafia'. Mereka melakukan tindakan kriminal demi bertahan hidup. Bisa menjadi agen prostitusi, p**************a bahkan menjadi pembunuh bayaran. Mungkinkah pria ini pembunuh bayaran? Pacar seorang Alina yang perfeksionis tidak lebih dari seorang pembunuh bayaran?
Ingin rasanya Alcina memaki sekuatnya saat ini, tapi apa daya, sekarang dia adalah Alina, dan pria ini adalah pacarnya. Tangan Alcina sudah sangat gatal, berharap dapat menyibak masker yang menutupi wajah pria itu. Setidaknya jika wajahnya cukup tampan, dia bisa sedikit percaya bahwa pria itu adalah pacar Alina.
"Tidak perlu,” kata Alcina dengan suara sedikit parau. Dia lantas memegang tangan pria mawar yang masih singgah di wajahnya. Sedikit berdeham, dia melanjutkan, “jangan lakukan itu. Aku mengenalnya dan—" Sial bagi Alcina. Pria di depannya malah mengernyit bingung. Apa kalimat 'mengenal polisi' terlarang di sini? Segera gadis itu mengoreksi perkataannya, “maksudku—"
Terlambat. Pria itu benar-benar curiga sekarang. Dia telah melepaskan rengkuhannya di wajah Alcina. Dia bersedekap, mulai meneliti wajah Alcina. Seperti de javu, Alcina merasa pernah mengalami kejadian seperti ini. Oh, benar. Derry. Entah kenapa Alcina jadi mengingat Derry, apalagi mereka memiliki mata cokelat yang sama. Jika Derry saja yang tidak berstatus sebagai pacar Alina dapat membongkar kedoknya, apa lagi sang pacar, kan?
Alcina sudah pasrah, mungkin pria itu akan langsung membunuhnya saat penyamarannya terbongkar. Dia mungkin akan langsung mendorong gadis itu dari atap dan tertawa bahagia ketika menyaksikan Alcina terjun bebas ke bawah sana. Atau mengeluarkan pisau dari kantong celana jeans-nya dan langsung menusuk perut Alcina.
Jantung Alcina sudah memompa lebih cepat dari biasa dan tangannya sudah teriak ingin meraih ponsel di tas dan melakukan panggilan sekarang juga. Setidaknya untuk memberi tahu lokasinya kepada Dillon atau Rei.
Tidak. Haris dan Dillon sedang mengawasi Derry, sementara Albert telah dilumpuhkan. Satu-satunya yang bisa dihubungi adalah Rei, tapi pria itu terlalu jauh dari sini. Kalaupun dia berhasil melacak keberadaan Alcina, kedatangannya juga tidak banyak membantu. Haris bilang, jika tidak di hadapan komputer, Rei hanya manusia biasa yang tidak berguna.
Alcina memberi selamat pada dirinya sendiri, karena beginilah akhir perjalanannya. Mungkin lebih baik kemarin dia menurut saja sama ayahnya, kan?
Alcina tersadar dan mengenyahkan lamunan saat pria itu berdehem pelan.
"Apa kau baik-baik saja, Lili?" tanyanya.
Astaga! Siapa lagi Lili ini? Alcina sudah hampir memakinya jika saja dia tidak mencengkeram kuat ujung gaunnya. Bersyukurlah gaun itu tidak terbuat dari bahan murahan, jika tidak, entah bagaimana nasibnya di tangan gadis barbar ini.
Alcina memejamkan mata selama kurang lebih lima detik, melakukan pernapasan, kemudian sambil berpikir dia mengamati pria itu dengan seksama. Dia bilang Lili, kemungkinan nama panggilan untuk Alina. Tapi kenapa sangat aneh, seolah bukan Alina. Jika dia Alina, dengan bangga dia akan minta dipanggil Alin. Terdengar lebih 'wah', lebih sesuai dengan sikap perfeksionis Alina. Tunggu, apa itu kode nama mereka? Apa Lili yang dimaksud adalah nama bunga? Bunga Lily? Alina bahkan tidak menyukai bunga, kenapa memakai nama panggilan seperti itu? Lagipula, untuk apa pakai nama panggilan aneh begitu? Bukannya kalau pacaran panggilan yang umum itu 'ayang-beb' atau 'ayah-bunda' untuk generasi alay. Lupakan itu, Alcina harus mencoba meskipun akan berakhir gagal.
Baiklah, karena Alina memakai Lili, dan pria ini ada tato bunga mawar, maka panggilan pria ini...
"Tentu saja,” ujar Alcina bangga. Dia meraih kembali tangan pria itu sambil tersenyum manis. “Bagaimana bisa kau lupa sifatku, Rose?"
Rose, mulai sekarang Alcina akan memanggilnya begitu, mengembuskan napas pelan. “Apanya yang aku lupa? Aku tahu kau bisa melakukan apa saja untuk ambisimu, tapi bukankah terlalu berbahaya untuk dekat dengan polisi itu? Kau bahkan bermalam bersamanya di rumah itu, di rumah kita.”
Alcina meneguk kasar salivanya, berusaha memertahankan air muka sebaik mungkin. “Kau tidak percaya kepadaku?” Alcina bersedekap dengan gaya seorang gadis merajuk, yang sebenanrnya dia menyembunyikan tangan yang gemetar. “Kau pergi selama lebih dari dua minggu tanpa kabar, menurutmu apa yang aku lakukan dengan polisi? Selingkuh, begitu? Baiklah. Anggap saja begitu.” Alcina membuang muka, menatap ke kanan. Dia hanya terlampau gugup ditatap sepasang iris penuh selidik. Dalam hati dia berdoa semoga pria itu bisa percaya dengan aktingnya yang sangat payah ini.
Tanpa diduga, Rose memeluk Alcina, mengelus-elus kepala gadis itu dengan penuh sayang. “Maafkan aku. Aku hanya mengkhawatirkanmu. Kau sendiri yang mengatakan jangan menghubungimu jika kita sedang bekerja. Sekarang, katakan kepadaku, kenapa kau mendekati polisi itu, hemm?"
Alcina mati kutu!
Pria itu melepaskan pelukan. Jika dia memeluk sedikit lebih lama lagi, dia akan mengetahui betapa berdebarnya detak jantung Alcina saat ini.
Alcina menunduk, tidak tahu harus mengatakan apa untuk pertanyaan barusan.
"Hei.." Pria itu menarik dagu Alcina, mengernyit samar. "Kau menangis?"
Alcina terlalu gugup dan takut kedoknya akan ketahuan, karena itulah dia mulai memikirkan kematiannya sendiri, dan tanpa sadar dia menjadi berkaca-kaca. Astaga, ini bukan gaya Alcina sama sekali, tapi sungguh, dia benar-benar takut mati sekarang. Sebagai manusia biasa yang masih banyak dosa, Alcina juga merasa takut, oke?
Pria itu mengusap air mata di pipi Alcina, memeluknya kembali. "Jangan menangis. Jangan khawatir, Lili, aku akan baik-baik saja. Aku tidak akan di daftar tahanan para polisi, jadi kau tidak perlu mendekati polisi itu hanya untuk mencari tahu tentangku."
Alcina bahkan tidak kepikiran itu sama sekali. Di daftar polisi? Astga, apakah orang ini buronan? Kenapa kakaknya mengenal seorang penjahat seperti ini?
“Tolong jangan lakukan itu lagi, Lily,” lanjut Rose, yang masih memeluk Alcina. “Itu sangat berbahaya. Aku tidak ingin mereka mengetahui keterlibatanmu denganku maupun dengan oragnisasi. Tahukah, kau,” Rose melepas pelukan, kembali merengkuh wajah Alcina dengan dua tangan, “aku bermimpi kau mendatangiku dengan gaun berdarah. Sangat menyeramkan. Berjanjilah kau tidak akan meninggalkanku, dan jangan melakukan hal yang berkaitan dengan polisi lagi."Alcina tidak bisa mendnegar kalimat lanjutan Rose setelah pernyataan 'keterlibatanmu dengan organisasi'. Dia diam membeku, dan refleks mengangguk bodoh untuk pertanyaan Rose. Benaknya dipenuhi pertanyaan 'Organisasi apa yang dilakukan kakaknya?'
Setelah menenangkan diri dari syok, Alcina kembali memasang senyum manisnya. Berkata dia ke Rose, "Jangan khawatir. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu."
"Itulah yang kuharapkan selalu."
Rose mungkin sedikit menyeramkan, tapi Alcina bisa merasakan kalau dia bukanlah pembunuh Alina. Dia tidak mungkin membunuh orang yang sangat dia cintai, kan? Kalaupun dia membunuhnya, tidak mungkin Rose bisa setenang ini melihat korbannya bangkit dari kubur.Kecuali dia sudah tahu kalau Alcina bukanlah Alina, dan saat ini dia sedang mencari tahu alasan Alcina menyamar? Lupakan itu! Dia harus fokus mengorek informasi lebih dulu.
"Oh ya Rose, tentang sebulan lalu. Apa kau masih ingat apa yang kau lakukan kepadaku?"
Rose yang awalnya menatap lurus ke depan, langsung mengalihkan pandangan ke Alcina di sebelahnya. Dia mendesah pelan. "Ayolah. Apa kita akan membahasnya sekarang? Bukankah kau sudah memaafkanku?"
Alcina harus memancingnya lebih dari ini. Setidaknya dia tahu kalau mereka sempat bertengkar. Apakah pertengkaran itu yang menyebabkan Rose menghilang selama sebulan?
"Aku masih ingat setiap detailnya. Semakin kuingat, aku semakin ingin memukulmu," kata Alcina sembari merengut, pura-pura kesal.
"Hahaha ... dengan tangan kecil ini?" Rose mengangkat tangan mungil Alcina. "Kau pasti bercanda. Setidaknya kau harus memakai pistolmu."
Alcina terdiam lagi. Pistol? Kakaknya punya pistol? Oke, abaikan informasi barusan. Fokus mengorek informasi kejadian sebulan lalu lebih dulu.
"Yah, teruslah mengejekku. Kau pikir aku akan dengan mudah melupakannya?" Alcina menghempaskan tangannya dari genggaman Rose dan bersedekap, pura-pura kesal.
Rose melingkarkan tangannya ke bahu kanan Alcina mirip seperti pelukan tapi dari samping, dengan posisi Alcina yang masih bersedekap.
"Jangan merengut begitu, kau malah semakin manis. Kau tahu, kan, apa yang terjadi kalau aku menganggapmu manis?” bisiknya. “Baiklah aku minta maaf untuk hari itu. Katakan apa yang kau inginkan untuk permintaan maafku?"
Ingin rasanya Alcina memaki saat ini. Dia tidak puas. Bukan itu yang dia harapkan akan dikatakan Rose. Alcina mengutuk otak bekunya yang tidak bisa bekerja saat ini.
Rose memberikan tatapan yang tidak dimengerti Alcina. Andai dia bisa melepas maskernya, Alcina akan dengan mudah menganalisa ekspresinya. Alcina bahkan tidak tahu mengapa Rose harus memakai masker padahal hanya mereka berdua di sini?
Alcina mengedarkan pandangan ke sekitarnya sebelum menatap Rose kembali. Ternyata ada beberapa pasangan juga yang tidak jauh dari tempat mereka. Mungkin Rose tidak ingin dilihat orang lain. Baiklah, untuk saat ini Alcina tidak akan mengungkit masalah masker. Dia harus berpikir bagaimana menguak informasi kejadian sebulan lalu dari Rose.
Sayangnya, beberapa detik kemudian ponsel Rose berbunyi. Alcina memerhatikan Rose dengan seksama. Melalui mantel hoodie bagian dalamnya, Alcina sekilas dapat melihat Rose memiliki 4 ponsel dengan tipe sama tapi beda warna. Ada Merah, Kuning, Hijau dan Biru. Sudah seperti pelangi. Yang berbunyi adalah ponsel warna merah. Rose mengambil si merah.
"Rose di sini... Titik satu bersama Lily... Aku sudah meminta libur.... Astaga aku baru tiba dan tadi malam sudah banyak pekerjaan.... Coba saja menyeret Lily, kalian akan tahu akibatnya... Cih! Baik, baik! Katakan target berikutnya.... Lokasi? Baik.... Ya."
Alcina yang mendengarnya cukup terkejut dan dia sudah tidak bisa menahan ekspresinya lagi. Dia tidak lagi peduli wajah bingung Rose. Dia tidak lagi peduli kalau masih menjadi Alina. Dia juga tidak peduli pada ponsel yang bergetar dalam tasnya. Dia hanya menatap Rose dengan pandangan kosong. Seolah jiwanya hilang dari raga. Seolah yang dilihatnya adalah ruang hampa. Bahkan dia hampir lupa untuk bernapas.
Saat Rose mencoba menyentuh bahunya, Alcina tidak mengerti mengapa dia refleks mundur selangkah.
Hanya satu yang terpikirnya saat ini: Alina terlibat dengan Rose sedalam itu, lebih dari pacaran. Kakaknya bagian dari mereka. Dia tidak memercayai asumsinya sebelumnya karena tidak cukup bukti, tapi mendengar langsung dari mulut Rose barusan, dia sungguh terkejut.
Alcina terlalu syok untuk mencerna informasi yang baru didapat. Alina seorang mafia? Kakaknya yang lemah lembut itu seorang pembunuh bayaran? Membunuh semut saja dia tidak mampu, lalu bagaimana bisa membunuh manusia?
"Ada apa? Kau sakit?" tanya Rose yang suaranya terdengar khawatir. “Jangan pikirkan mereka, aku akan menggantikanmu.”
Alcina kembali ke alam nyata. Tiada guna baginya untuk memikirkan itu sekarang. Dia pikir informasi yang didapat sudah cukup untuk hari ini. Jika ada info terbaru lagi tentang Alina, entah bagaimana nasib otaknya nanti.
"Hei, kau mimisan." Rose langsung mendekat dan merobek sebagian kemeja bagian bawahnya. Dia membantu mendudukkan Alcina, menengadahkan kepala dan menyumpal hidung gadis itu.
"Aku baik-baik saja. Pergilah. Bukankah tugasmu telah memanggil?"
Rose mendesah pelan. Alcina bisa melihat sorot mata pria itu menyiratkan kekhawatiran dan keengganan pergi. "Aku tidak mau meninggalkanmu dalam kondisi yang tidak baik lagi. Aku akan menemanimu ke rumah sakit."
Alcina memutar bola matanya. Dia harus membuat Rose pergi agar bisa menyelamatkan Albert di toilet. "Sungguh aku tidak apa-apa. Pergilah. Aku mohon. Aku janji akan baik-baik saja."
Rose menatap Alcina sedikit lebih lama. Mungkin mencoba meyakinkan dirinya kalau Alcina tidak akan terluka. "Aku akan menghubungimu lagi. Begitu tugas selesai, aku pasti pulang. Tunggu aku di rumah dan jangan dekati polisi itu lagi."
Alcina mengangguk dan memberikan senyuman terbaik, meski sebenarnya sangat ingin pergi dari hadapan Rose secepat mungkin.
Rose memeluk Alcina dan mengelus punggungnya berulang kali. Dia mengeratkan pelukan seolah tak ingin berpisah. Dari pelukan itu, Alcina akhirnya bisa merasakan ada beberapa benda seperti pisau di bagian dalam hoodie pria ini. Dia menepuk punggung Rose berulang kali, mencoba mengatakan semua akan baik-baik saja.
Ponsel Rose kembali bergetar dan pelukan berakhir, begitu pun pertemuan. Dia melangkah pergi meninggalkan Alcina.
Tidak membuang waktu, Alcina bergerak turun dari atap. Meski sangat ingin mengikuti Rose, tapi fokusnya kali ini adalah Albert. Sudah lebih dari satu jam sejak terakhir kali pemuda itu izin ke toilet.
Alcina mengedarkan pandangan mencari kamar mandi. Da ingat ada dua toilet di lantai tengah. Satu di Timur dan lainnya di bagian Selatan. Dia mengikat rambutnya dan berlari ke Selatan. Tidak lama, malah terjatuh. Dia memaki sepatu heels tiga cm yang dia pakai saat ini. Beberapa mata menatapnya aneh, tapi dia tidak peduli. Dia malah melepas sepatu dan berlarian tanpa alas kaki.
Setibanya di sana, Alcina langsung memasuki toilet pria tanpa permisi. Ada dua pria yang tidak jadi menurunkan resleting saat Alcina masuk seperti kesetanan. Bahkan seorang pria terpaksa keluar toilet untuk memastikan bahwa ini benar toilet pria.
Alcina menggedor setiap bilik.
"Al, jawab aku. Kau di mana?"
***.