Sejahat-jahatnya lelaki, tetap saja menginginkan perempuan baik untuk menjadi pendamping hidupnya. Benarkah? Mungkin. Namun, itu yang kini aku pikirkan.
Berbagai asumsi mulai aku simpulkan sendiri. Apa mungkin, Suci berselingkuh di belakangku?
Kejadian kemarin sore aku simpan sendiri. Tak berniat menceritakannya pada orang lain, apalagi Ami dan Abi. Cukup memberitahukan perihal pergerakan tangan pada dokter sebagai tanda kemajuan kondisi Suci.
Aku berdiri, menatap hiruk pikuk Jakarta dari jendela gedung pencakar langit. Keadaan kota yang begitu semrawut ; mobil berjejal memenuhi jalanan dan manusia mirip barisan semut yang sibuk berjalan ke sana ke mari. Seakan menggambarkan kondisi hatiku saat ini. Kacau.
Suara ketukan pintu berhasil memecah lamunan. "Ya?"
Pintu terbuka, Andini berdiri di sana. "Maaf, Pak Adam. Ditunggu di ruang rapat, semua direksi sudah berkumpul."
Kuberi isyarat padanya. Andini mengangguk, menutup pintu. Aku pun segera berjalan ke arah meja, mengambil map dan balpoint yang sudah aku siapkan sedari tadi. Lalu keluar dari ruangan untuk ikut berkumpul di ruang rapat.
.
Rapat berlangsung cukup serius, meskipun sesekali kedua mata harus beralih menatap layar ponsel. Menanti kabar, takut-takut jika Ami memberitahukan kondisi Suci.
Sesungguhnya yang aku cemaskan adalah jika Suci mengigaukan nama itu. Lagi.
Hingga satu setengah jam berlalu dan rapat dinyatakan selesai.
"Adam!"
Aku menghentikan gerakan tangan yang sedang sibuk membereskan berkas-berkas. "Anda memanggil saya, Pak Wira?"
Lelaki berpostur tinggi besar itu menghampiri. CEO yang juga adalah mertuaku, meminta untuk duduk kembali dengan gerakan tangannya.
Aku pun duduk menyimpan map di atas meja. Pak Wira menyapukan pandangan, mungkin memastikan di dalam ruangan sudah tidak ada siapa-siapa.
"Ini bukan soal pekerjaan, ini tentang Suci."
Aku tersenyum canggung.
"Abi tau, kamu cemas memikirkan kondisi Suci." Suara tegas itu memecah keheningan. "Tapi tolong, jaga pula kinerja kerjamu. Jika bukan karena rapat direksi hari ini, Abi pasti tidak akan memintamu datang ke kantor."
Aku menghela napas, mengusap wajah gusar. Lelaki di hadapanku memikirkan keresahan hati ini.
"Abi yakin, Suci pasti akan kembali sehat. Percayalah." Satu tangan itu menepuk pundakku.
Aku tersenyum tipis. Seandainya Abi tahu Suci menggumamkan nama lelaki lain di tengah tidur lelapnya. Apa dia masih bisa berbicara seperti itu?
Pak Wira pergi meninggalkanku, setelah sebelumnya memberi pilihan untukku pulang ke rumah atau kembali ke rumah sakit.
.
"Assalamualaikum." Aku membuka pintu rumah minimalis bercat coklat tua, di mana di dalamnya ada perempuan yang paling aku sayangi. Alasan terbesarku, hingga bisa bertahan dalam kondisi saat ini.
"Waalaikumsalam." Perempuan bergamis biru gelap keluar dari arah dapur, menyambutku dengan wajah teduhnya. "Adam," sapanya kemudian.
"Bu." Aku mencium tangannya penuh hormat. "Sehat?"
"Sehat, Ibu baik. Bagaimana kamu sendiri? Lalu Suci. Apa dia sudah sadar? Seminggu ini Ibu memikirkan Salwa. Di mana dia sekarang?" Ibu memberondongku dengan banyak pertanyaan.
"Boleh Adam duduk dulu," pintaku dengan suara parau.
"Baiklah. Ibu buatkan dulu teh madu kalau begitu," ucap Ibu, kemudian masuk kembali ke dapur.
Bermenit-menit aku termenung menatap secangkir teh madu di atas meja. Kubiarkan saja asap-asap itu menguar. Ibu pun hanya duduk menemani, tanpa berbicara sepatah katapun. Hingga dering ponsel membuat kegeminganku buyar. "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Adam, kamu di mana?"
"Adam ... di rumah Ibu."
"Jam berapa mau ke sini? Ami mau antar Salwa ke madrasah."
"Oh, baik, Mi. Adam segera ke sana," putusku.
"Ya sudah, Ami tunggu."
Aku memasukkan kembali ponsel ke dalam saku jas.
"Ibu tau kamu cemas. Bersabarlah, Ibu yakin akan ada jalan untuk perempuan sebaik Suci. Berdoalah sebanyak-banyaknya, Allah akan mendengar ketulusan hati seorang suami, Nak."
Aku mengulas senyum. Tak ada sedikit pun kecemasan untuknya, yang ada hanyalah kebencian semakin mendalam. Suci, sudah mengkhianatiku!
Ponsel berdering kembali. Ami lagi?
"Adam. Kamu tau, Suci sudah mengalami pergerakan? Tangannya bergerak!"
Belum sempat aku menyapa, Ami sudah lebih dulu berseru. Karuan informasi itu membuat aku terenyak. Apa dia mengigau lagi?
"Sayangnya hanya sebentar, tangannya kembali terdiam," lanjut Ami dengan nada yang terdengar kecewa.
Aku bernapas lega, walau sebenarnya juga mengalami ketakutan yang semakin hebat. Bagaimana jika nanti Suci memanggil nama itu lagi?
Lalu, Ami berpikir macam-macam. Kenapa di saat koma Suci malah menyebut nama lelaki lain?
Malik, bukan Adam.
Aku terus berasumsi. Kuraih gelas berisi teh madu yang sudah mulai menghangat, meneguknya hingga tandas. "Adam ke rumah sakit dulu, Bu," pamitku kemudian.
***
Kembali menunggu. Duduk di kursi yang bersebelahan dengan ranjang pesakitan. Jauh dari kata nyaman. Harus menahan pegal di sekujur tubuh juga pening karena berkurangnya waktu tidur. Belum lagi candaan dari para sahabatku. Menggoda, mengejek. Mengatakan jika kini seorang Adam adalah suami siaga, siap menjaga istri selama dua puluh empat jam.
Memang siapa yang tahu atas kehidupan kami selama ini? Tidak ada. Hanya aku dan Suci. Di mata semua orang, kami adalah pasangan suami istri yang serasi dan harmonis. Saling melengkapi dan tampak selalu rukun.
Mungkin itu karena kepintarannya menjaga sikap di hadapan orang. Meski kami tidak pernah melakukan hal manis dan lembut, apalagi romantis. Hanya saja aku masih tahu batasan, tidak akan membentak Suci di sembarang tempat. Terutama di depan keluarganya.
Aku bangkit setelah mendengar suara azan berkumandang. Seperti biasa, aku memeriksa beberapa bagian tubuh Suci sebelum pergi meninggalkannya untuk salat Asar.
Bisa disebut inilah salah satu alasanku masih bisa mengendalikan diri. Ada batasan, antara ego dan hasutan. Ego untuk berpisah, dan hasutan untuk tetap bertahan. Sebagaimana harapan Ibu, Ami dan Abi. Menantu yang baik juga perhatian, itulah predikatku.
.
Aku tersentak, saat merasakan tepukan di lengan. Seorang lelaki dengan seragam khas perawat duduk menekuk lutut di sampingku.
"Pak Adam?"
"Ya, saya Adam. Ada apa?" Aku pun duduk mengusap wajah.
"Istri Anda ...."
Aku berlari menuju kamar Suci. Dalam hati merutuki kelalaianku karena tertidur di masjid.
"Ada apa dengan istri saya, Dok?" Aku bergegas bertanya pada sosok yang sedang menutup pintu kamar.
"Pak Adam." Dokter Winda tersenyum simpul.
Aku memberi raut tanda tanya padanya, tapi dokter itu malah menengok ke arah belakang.
"Kenapa Suci?" Aku mulai merasakan kekhawatiran.
"Ibu Suci sudah sadar," tuturnya sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku jas putihnya.
Aku bernapas lega.
"Sayangnya ... Ibu Suci mengalami amnesia," lanjutnya.
"Amnesia?"
Dokter Winda mengangguk. "Untuk lebih pasti, Anda bisa menemuinya. Pesan saya, jangan terlalu memaksa. Berbicaralah dengan lembut dan perlahan."
"Baik," aku mengangguk ragu.
Dokter Winda mengangguk, lalu melangkah menjauh.
Aku berdiri di depan pintu kamar. Ada kaca bening yang membuatku bisa melihat Suci. Dia duduk termenung, bersandar dengan sorot mata yang tampak kosong. Setelah menghela napas, kuputuskan untuk masuk ke dalam kamar.
"Suci ...."
Dia menoleh, lalu mengedipkan matanya. Aku berjalan semakin mendekat. Suci masih menatapku.
"Kamu ... siapa?"
Aku terdiam.
"Apa kamu dokter, seperti Dokter Winda?"
"Aku Adam."
Suci tersenyum kecil.
"Suamimu," sambungku.
Senyum itu pudar. Kedua matanya melebar, dengan bibir sedikit terbuka. "Suami?"
"Iya, aku suami kamu."
Suci menggelengkan kepala sambil berucap, "tidak mungkin."
.
Ami dan Abi keluar dari kamar Suci. Wajah keduanya tampak masih shock sejak tiba di rumah sakit. Aku menelepon mereka, mengatakan Suci sudah sadar dari koma tanpa memberitahukan kondisinya. Seperti dugaanku, setelah menemui putrinya, mereka pun tak kalah kaget.
"Mau Adam bawakan minum, Bi?" Aku berkata setelah melihat keduanya duduk dengan lesu di kursi besi.
"Tidak usah," tolak lelaki itu.
"Ami?" tawarku pada perempuan di sampingnya.
Bukannya menjawab, Ami malah terisak.
"Suci amnesia," ucap Abi pelan, nyaris seperti bisikan.
"Ya, maaf Adam tidak mengatakannya. Adam bingung, bahkan dia tidak ingat siapa Adam," tukasku.
"Tapi ... dia ingat kami," timpal Ami.
"Apa?" Aku terenyak tak percaya.
"Suci ingat kami, dia ingat Satria. Tapi ... dia tidak ingat kamu dan Salwa," terang Abi.
Aku memejamkan kedua mata. Memutar tubuh kesal. Menahan amarah dalam d**a yang tak sanggup aku luapkan di depan kedua mertuaku.
.
Kondisinya belum stabil. Dokter belum menyarankan Suci untuk pulang, dia masih harus mendapat perawatan intensif, terutama tentang kondisi psikisnya. Dokter masih harus memeriksanya lebih lanjut.
Setelah salat Isya aku kembali ke ruang inap. Tampak Suci duduk bersandar dengan tatapan menyalang. Entah apa yang sedang dia pikirkan? Mungkin dia pun masih belum mengerti dengan apa yang sudah menimpa dirinya.
Aku duduk di kursi samping ranjang seperti biasa. Menyandarkan punggung dengan satu tangan memegang ponsel.
"Maaf."
Aku menoleh.
"Bisa ... tunggu di luar. Aku tidak terbiasa dengan orang asing," ucap Suci tanpa menatapku.
Apa? Orang asing?
***
Pagi ini Dokter Winda memanggilku. Seorang suster sudah diperintahkan untuk menemaniku menuju ruangannya.
"Silakan masuk, Pak Adam," ucap suster setelah membuka pintu.
Aku melangkah lebih dalam. Dokter Winda yang sedang berdiri memegang buku, memberi isyarat padaku untuk duduk. Aku menurut, kendati dalam hati masih merasakan kebingungan. Di kepalaku bahkan berputar banyak pertanyaan.
Apa? Kenapa? Bagaimana bisa? Siapa? Kapan? Argh ...!
"Bagaimana pagi Anda, Pak Adam?" Dokter Winda bertanya dengan tangan yang masih bergerak membuka halaman demi halaman buku tebal itu.
Aku tertawa pelan. Bukan karena merasa lucu, hanya saja sekadar menghilangkan kegugupanku atas pertanyaannya. "Semalam saya harus tidur di luar, Dok. Suci tidak ingin berada dalam satu kamar bersama saya."
"Pantas wajah Anda terlihat masih mengantuk," selorohnya. Kini kami duduk berhadapan, terhalang meja kerja.
Aku tertawa kembali.
Dokter Winda menyimpan buku yang sedari tadi dipegangnya di atas meja, memutar lalu menyodorkannya padaku. Satu tangannya bergerak menunjuk tulisan bertinta tebal.
"Amnesia An-te-ro ... grade?" Aku membaca kata yang cukup asing itu.
"Ya, Amnesia Anterograde. Sebuah gangguan daya ingat, di mana penderita hanya mampu mengingat kejadian-kejadian yang lama saja, sebelum dia mengalami kecelakaan."
Aku menyeringai kurang mengerti.
Dokter itu tersenyum lagi. "Ibu Suci tidak mengingat Anda sama sekali sebagai suaminya, tapi dia mengingat siapa orang tua dan adiknya. Iya, 'kan?"
Telak, aku tak sanggup menjawab. Kusandarkan punggung agak keras dengan satu tangan memukul kening.
"Bahkan Ibu Suci tidak mengenal Anda." Dokter Winda menampakkan wajah serius. Lalu dia mulai menceritakan beberapa kasus yang diketahuinya.
Cukup berbelit, bahkan aku tak sanggup mencernanya dengan baik. Karena sesungguhnya ruang dalam kepalaku terlalu dipenuhi banyak pikiran dan pertanyaan, juga ketakutan.
"Berapa tahun anda menikah dengan Ibu Suci?"
"Hampir menginjak sembilan tahun," sahutku.
"Dan selama itu, semua yang pernah dia lakukan bersama Anda, hilang dari memorinya."
Itu artinya, Suci tidak mengingat pernikahanku dengannya? Semua biduk rumah tangga kami, juga Salwa. Semuanya, dia lupa.
Lalu, siapa Malik?
*****
-- bersambung --