“Hanjie, apa kau secara pribadi sudah siap bertemu dengan Rein? Ayah dan Ibu mengadakan acara makan malam keluarga dan kita tentu harus datang,” ujar Erwin secara tiba-tiba setelah jeda panjang diantara kami berdua.
“Entahlah, aku belum pernah memikirkan soal itu,” kataku cuek sambil menyantap makanan yang ada dipiringku sendiri. Namun tatapan penuh keresahan itu sedikit menggangguku.
“Hanjie, cepat atau lambat kau akan bertemu dengannya. Kau tidak akan bisa menghindar dari dia selamanya. Bukankah kau perlu penjelasan dari dia?” Erwin benar. Setidaknya untuk sebuah alasan bernama penjelasan aku punya hak untuk menanyakannya. Tapi tetap saja…
“Apa itu penting untuk dibahas sekarang? Sudah jelas dia pergi dariku dan memilih Zofia,” itu adalah kali pertama aku menyebut namanya lagi setelah kekecewaanku padanya. Aku kesal bukan main bila membahas soal mereka berdua. Apa tidak bisa Erwin berpura-pura tidak tahu atau paling tidak tidak mengungkit soal luka lamaku. Bagiku yang memiliki harga diri tinggi, ditinggalkan dengan cara setidakelegan itu adalah sebuah penghinaan besar.
“Apa sekarang Hanjie yang kuat dan percaya diri sedang menjilat luka-lukanya sendiri dengan cara sembunyi? Kenapa tiba-tiba jadi pengecut begini?” pengecut katanya? Aku tidak mungkin takut menghadapi Rein. Tidak masalah mau bersama Erwin atau tidak. Hanya saja aku tidak bisa menebak apa yang akan aku lakukan bila kami berdua dipertemukan dalam sesi tatap muka. Aku bisa saja kehilangan kendali atas emosiku dan mengamuk padanya untuk mempersalahkan segala hal yang sudah serba terlanjur. Bisa saja aku mencoreng diriku sendiri di muka keluarga suamiku karena memperlihatkan sisi barbar yang kupendam. Aku tidak mau seperti itu.
“Aku akan datang pada acara keluargamu, Erwin. Tapi aku ingatkan satu hal padamu. Aku benci dibilang sebagai wanita pengecut,”
“Baiklah aku akan mengingatnya, Honey.”
Aku telah mengosongkan piring milikku beserta cangkir kopiku. Aku bangkit dari kursi yang aku duduki untuk beranjak pergi. Untuk sebuah alasan yang tidak ku mengerti raut muka Erwin terlihat kaget atas tindakan kasual yang aku lakukan. Kenapa dia begitu?
“Mau kemana?” tanyanya spontan, setengah mengejarku. Aku balas menatapnya dengan sebelah alis terangkat.
“Hey, ada apa denganmu? Aku mau mandi. Aku perlu pergi bekerja setelah libur cuti pernikahanku habis. Waktunya kembali pada rutinitas,”
“Ah.. begitu,” dia menggaruk pipinya sendiri. Sepertinya dia memiliki kekhawatiran berlebih soal aku. Namun ketika aku hampir menuju kamar mandi. Pria itu mengubah lagi ekspresi wajahnya. “Tapi bagaimana dengan piring kotor ini?”
“Ah.. aku terbiasa dilayani.” Kekehku sadar bahwa aku melakukan kebiasaan burukku saat masih tinggal sendirian. “Kau bersihkan sendiri ya, kau kan bilang sayang padaku sebagai istrimu. Jadi buat hidupku mudah ya Dear. Oh ya.. terimakasih untuk sarapannya, sangat lezat sekali.” Ujarku mengerling padanya sebelum benar-benar menutup pintu kamar mandi. Kurasa aku sedikit kejam pada Erwin karena membiarkan dia membereskan kekacauan dapur sendirian. Anggap saja itu balasan yang sepadan karena dia selalu saja membicarakan adiknya padaku. Seakan-akan aku wanita yang mengharapkan belaian Rein dan kehilangan separuh hidupku. dramatisir sekali. Apa dia se insecure itu pada adiknya sendiri ?
Aku keluar dari kamar mandi setelah menghabiskan waktu hampir tiga puluh menit didalam sana. Aku membersihkan seluruh tubuhku dengan perlengkapan pribadi pria itu. Akibatnya wangi tubuhku diselubungi oleh harum maskulin khasnya. Tapi jujur saja, aku menyukai bau miliknya ada ditubuhku. Rasanya seperti aku bersamanya setiap waktu. Bermodalkan handuk tipis yang menutupi tubuhku sebatas d**a dan diatas lutut, aku keluar dengan santai. Aku sempat melirik kearah Erwin yang sudah berpakaian rapi dengan stelan kemeja dan jasnya. Namun sedikit kesulitan dalam memasang dasi miliknya, aku bisa melihat itu sebab ekspresi mukanya terkadang berkerut untuk sesuatu yang sederhana macam itu. Merasa dia tidak akan menyelesaikannya dalam waktu singkat, lantas aku mendekati dirinya begitu saja. Berdiri didepannya dan memegang dasinya. Pria itu tersentak sesaat ketika aku mendekatinya. Dia mungkin terkejut namun dia tidak berkomentar dan memilih diam saat tanganku mulai bergerak membetulkan dasinya.
“Apa benar kau Erwin yang terkenal rapi itu? kenapa memasang dasi saja kau kerepotan sekali,” sungutku sambil membuat simpul dengan rapi. Pria itu tidak berkomentar atas aksiku, namun sebagai gantinya dia malah menatapku yang sedang fokus pada dasi miliknya. Sepertinya dia tidak terbiasa atas perhatian dari seorang wanita. Apa ini pertama kalinya? Rasanya mustahil.
“Oke sudah selesai sekarang,” ujarku puas. Aku masih belum curiga atas gelagat Erwin sampai dia meraih rambut setengah basahku yang menjuntai di pipiku dan mendorongnya ke belakang telinga. Tangannya tanpa sengaja menyapu pipiku. s**t! Aku lupa bagaimana penampilanku sekarang dihadapanya. Aku harap dia tidak salah mengira bila aku sedang menggodanya. Sebab aku sama sekali tidak berniat untuk itu. Aku sudah cukup kelelahan semalam.
“Terimakasih,” ujarnya manis.
Tiba-tiba keheningan terjadi. Rasanya agak canggung dan teramat melingkupi kami berdua. Aku menahan napas sedikit mendongak, sedikit terkejut ketika sadar bahwa wajah Erwin sudah begitu dekat dengan wajahku. Jantungku sekali lagi dibuat berdebar-debar. Mengapa bisa begitu? Setelah aku berpisah dari Rein dengan cara memalukan, aku berpikir bahwa hatiku sudah mati rasa. Aku menggunakan tubuhku dan menikmati Erwin hanya sebagai penghiburan semata. Bukan sebagai belahan jiwa. Lagipula pria itu juga setuju untuk dimanfaatkan. Tapi kenapa tatapan miliknya mampu membekukan sekaligus memberikan efek luar biasa terhadap alam bawah sadarku?
Aku cepat-cepat mengusir pikiran gila yang berputar dikepala. Berdehem cukup keras sebagai mantra ampun untuk mengusir segala macam kebisuan yang melanda diantara kami berdua.
“Kau harus berangkat sekarang. Kau itu tipikal bos yang ketat terhadap waktu bukan?” ujarku mengingatkan.
“Aku akan menunggumu.”
“Apa maksudmu aku perlu waktu yang lama untuk diriku,”
“Karena itulah, sampai kapan kau mau berdiri didepanku dalam kondisi setengah telanjang? Kau mau aku mencicipimu lagi?”
“Cih, m*sum!” aku beranjak menjaga jarak dan meninggalkan dirinya yang terkekeh dibelakang sana. Ah.. aku memang selalu melewati batasku. Apa dia sengaja berpura-pura tidak bisa memasang dasi untuk menarik perhatianku? Memikirkan soal itu membuatku jadi kesal.
Naik kelantai atas lalu mengambil stelan kantor yang biasa aku kenakan. Kemeja putih dengan rok span pendek dipadu dengan stocking hitam dan blazer yang membungkus bagian atas tubuhku. Untuk rambutnya sendiri aku mencepolnya rapi sehingga penampilanku terlihat lebih professional. Kupoles lipstick merah sebagai finishing touch lalu membingkai kedua mataku dengan kaca mata.
“Gorgeous and sexy,” Erwin bersiul ketika aku menapaki tangga. Pria itu bahkan memberiku sebuah kerlingan nakal. Rasanya tidak seperti Erwin jika dia flamboyant seperti itu. membuatku bertanya-tanya apakah dia seperti itu juga pada perempuan lain dimasa lalunya? Akan sangat aneh bila Erwin tidak menjalin hubungan dengan wanita manapun. Terlebih dia memiliki pesona yang tidak bisa ditolak.
“Nyonya Erwin tidak butuh pujian untuk penampilannya karena I always perfect everyday,”
“Good. Kalau begitu ayo,” katanya mengulurkan tangannya untuk aku sambut. Bukankah ini sangat berlebihan untuk dilakukan?
“Kau serius mau mengantarku ke kantor? Kau tidak peduli dengan omongan karyawanmu sendiri? Mereka Taunya aku itu akan jadi adik iparmu. Siapa sangka aku malah jadi istrimu,”
“Biarkan saja mereka berspekulasi semau mereka. Aku tidak merasa perlu menutupi hubungan kita,”
“Baiklah kalau itu maumu.”
Sepanjang perjalanan obrolan kami berputar pada pekerjaan dan bisnis. Begitu sampai dilokasi pria itu turun dari mobil untuk repot-repot membukakan pintu bagiku. Kontan saja apa yang dia lakukan menarik para pejalan kaki yang didominasi oleh karyawanku. Bahkan pria itu sepertinya memang sengaja memarkirkan mobilnya tepat di pintu masuk lobby. Keterkejutan semua orang terlihat dari air muka mereka. Aku tahu pasti apa yang ada dipikiran mereka saat ini. Seorang CEO muda yang dalam sangkaan mereka merupakan kakak iparku malah membukakan pintu mobilnya khusus untuk direktur mereka. Hubungan persaudaraan tidak akan semanis itu. Dan aku rasa Erwin sengaja bertingkah untuk mendeklarasikan hubungan kami. Membuatku harus memberikan penjelasan pada karyawanku secara terpaksa. Dia benar-benar pria tukang pamer yang merepotkan.
Aku keluar begitu saja dengan menenteng tas kerjaku, melangkah seperti biasa menuju kantorku.
“Hanjie, apa kau tidak melupakan sesuatu ?” tanyanya dengan serius. Melihat dia yang seperti itu tentu saja aku dibuat bingung dan mengingat apa yang aku lewatkan. Sampai aku menyerah dan tak tahu hal apa yang aku lupakan.
“Memangnya apa?”
Erwin hanya memberiku senyuman memikat miliknya dan melangkah mendekatiku. Lalu tanpa ada aba-aba apapun darinya dia mencium keningku begitu saja didepan umum. Mengundang decak kagum beserta iri dengki dari para karyawan wanita yang tak sengaja menyaksikan adegan kami. Sialnya aku malah membeku dan berkedip bingung atas adegan yang terlampau cepat barusan.
“Nah, sudah. Selamat bekerja Honey, nanti aku jemput kau di jam lima,” ujarnya ringan lalu melangkah menuju mobilnya dan pergi.
Aku yang belum bisa menguasai diriku sepenuhnya hanya bisa menarik napas panjang. Tidak ada gunanya bagiku untuk terlihat sebodoh ini. Kuhapus ingatan itu begitu saja. Dan memasuki kantorku dengan langkah elegan seperti biasa. Hanjie yang mati kutu didepan pria bukanlah gayanya.
Tepat seperti dugaannya, para karyawan yang dia temui sepanjang perjalanan menuju ruangannya sesekali hanya dapat melirik, beberapa menunduk memberi salam namun nampak canggung daripada biasanya. Aku sedang menebak bahwa isi kepala mereka sedang dipenuhi oleh spekulasi. Dan apa spekulasinya? Aku bungkam untuk yang satu itu. Sebab imajinasi manusia terkadang terlalu luas dan rumit untuk bisa ditebak. Aku tidak akan terkejut bila dibilang selingkuh. Karena bagi beberapa orang yang sudah mengetahui hubunganku dengan Rein akan berpendapat demikian. Kabar pernikahanku dengan Rein sudah menjadi rahasia umum di kantor. Namun kejadian pagi ini pasti akan menggunung dan menjadi skandal besar. Tapi siapa peduli soal skandal?
Begitu aku masuk ke ruanganku. Aku langsung mendapati suara ketukan dari heels yang beradu dengan lantai menggema di koridor. Aku bisa menebak siapa yang akan bertamu sepagi ini keruanganku dengan cara jalan yang sedemikian menggebu. Adalah Renatta. Wanita yang menemaniku dalam pekerjaan sejak aku memiliki posisi Direktur diperusahaan ayah. Dia terpilih menjadi sekretarisku sebab dia adalah wanita paling blak blakan dan jalan pikiran kami sama. Aku merasa bisa cocok dengannya berkat kesan pertama yang dia perlihatkan pada kami. Sebenarnya bukan kesan yang bagus. Sebab dia pernah mengumpat padaku. Tapi ketidaksopanannya itulah membuatku bisa nyaman bersamanya. Dan kurasa urusan pribadiku juga merupakan bagian daripada pekerjaan yang harus dia tuntaskan. Service special katanya.
“Pagi Bos, pagi ini aku melihat pemandangan merusak mata dari anda. Apa anda sudah bosan dengan kekasih anda sampai perlu mencicipi kakaknya juga?” tutur Renatta dengan lancar tanpa beban. Jika saja yang mencecarku dengan pertanyaan tak sopan ini bukan dia sudah kupastikan dia kutampar keras keras. Tapi bersyukurlah dia adalah Renatta. Maka aku tidak akan melakukannya.
“Kurasa gossipnya belum sampai ke kantor.” Kataku santai. Mata Renatta terlihat berbinar. Dia yang semula berdiri didepanku, lantas menarikku untuk pindah posisi ke meja runding. Mendudukanku disana seenaknya sedangkan dirinya duduk didepanku. Pandangannya jelas tertarik dengan mata yang menyelidik.
“Jelaskan bos!” tuturnya berlagak layaknya seorang reporter yang haus akan gossip terkini.
“Aku memang baru kembali dari acara pernikahan sekaligus bulan maduku di Yunani. Hanya saja rencananya sedikit berubah aku tidak jadi menikah dengan Rein. Sekarang aku sudah jadi istri dari Erwin, kakaknya.” Kulihat ekspresi Renatta melotot, sedikit menyeramkan melihat dia terkejut dengan cara seperti itu. Secara spontan pula, dia menggebrak meja lalu menatapku yang masih duduk dengan tenang di posisiku.
“Bagaimana bisa itu terjadi Bos? Apa kau terlibat one night stand dengannya lalu kau tidak bisa melupakan moment kalian berdua sehingga pada akhirnya kau memutuskan untuk menikahi Erwin?!!” sudah kubilangkan bila imajinasi manusia tidak terbatas. Aku bahkan tidak menyangka akan mendapatkan plot drama itu untuk hidupku. Tapi jika memang bisa, aku lebih suka alur hidupku sesuai dengan fantasi kotor Renatta.
“Aku lebih suka kalau kenyataanya sesuai dengan yang kau katakan, tapi sayangnya tidak begitu. Rein memilih mundur dari pernikahan kami tanpa mengatakannya padaku. Disaat yang sama Zofia menghilang juga darisana. Jadi kau bisa menebak alasannya. Dan saat krisis tersebut Erwin menawarkan dirinya untuk menggantikan posisi Rein.”
“Lalu anda yang super duper perfect ini akan melakukan apapun demi acara pernikahannya berlangsung sebagaimana mestinya menerima usulan itu?”
“Tepat,”
“Gila!” Renatta menepuk dahinya. Sepertinya dia tidak habis pikir akan keputusanku menyakut urusan pribadi. “Tapi keren. Saya suka gaya bos.” Ujarnya sambil memberiku cengiran lebar. Sudah kubilang bahwa dia sepaham denganku bukan?
“Aku tahu kau akan paham,”
“Lalu bagaimana? Lebih suka mana?”
“Kau memberiku pilihan sulit,”
“Hot mana? Saya rasa lebih menggairahkan Tuan Erwin. Dari tubuhnya dan sikapnya saja saya bisa menebak bagaimana cara dia bermain di ranjang,” aku tertawa berkat lelucon Renatta. Tapi ya, Renatta tidak sepenuhnya salah. Malah bisa dibilang aku setuju. Erwin benar-benar tipikal pria yang bisa menyesuaikan bagaimana mauku. Bermain dengan letupan gairah, dan tidak membosankan. Kurasa karena itulah aku merasa kehidupan pernikahanku tidak terlalu buruk. Terlebih aku merasa lebih menjadi diriku saat bersamanya.
“Melihat wajah Bos, saya rasa anda jadi merindukan Tuan Erwin lagi,”
“Mungkin, sepulang nanti kurasa dia perlu kuberi hadiah karena sudah menjadi pria baik hati yang menyembuhkan luka hatiku.” Kekehku. Ya, tidak buruk. Selama aku memandang masalah ini dari sudut pandang lain, justru ini adalah anugerah. Karena itulah aku akan memainkan peran ini dengan sangat sempurna sampai Rein menyesal telah memperalat diriku. Bila perlu dia harus berlutut dan menjilat sepatuku untuk mendapatkan ampunan dariku. Aku tidak sabar menantikan hari itu tiba. Cinta dan kebencian memang kombinasi yang menarik, semakin aku merindukan dia semakin dalam rasa benci yang aku miliki. Dia yang membuat rasa cintaku yang murni berubah sedemikian mengerikan.