Erwin mengambil langkah mendekati lemarinya tatkala telinganya mendengar suara gemercik air didalam kamar mandi. Sepertinya Hanjie sudah mulai melakukan ritualnya sendiri. Erwin lantas mengambil sebuah kotak seperti sebuah brangkas dari dalam lemarinya, melihat dari tempatnya sudah dapat disimpulkan bila pria itu sedang membuka kembali sebuah benda berharga yang dia simpan. Tak butuh waktu lama baginya untuk mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna biru navy dari dalam sana. Sesuatu yang dia miliki, pemberian khusus dari sang ibunda ketika dirinya baru saja memulai menjadi pemimpin bagi perusahaan yang saat ini telah dia Kelola dan berada dibawah kendalinya.
Tak perlu waktu lama Hanjie keluar dari dalam sana dengan tubuh dan rambutnya yang lembab. Tubuhnya hanya ditutupi oleh selembar handuk yang Erwin berikan terhadapnya beberapa saat yang lalu, demi tuhan saat ini terlintas dalam pikiran Erwin untuk merengkuh wanita itu kedalam peluknya. Kembali menghabiskan malam malam panas mereka lagi seperti diawal pernikahan mereka. Namun sebagai pria yang jantan dan baik, dia perlu menahannya sesaat dan bersabar. Tahu situasi dan kondisi juga adalah kelebihannya untuk dapat mengontrol sisi liar yang dia miliki terhadap Hanjie. Terlebih mungkin kedepannya akan ada banyak cobaan berat yang lebih daripada ini untuk menggoda keimanannya. Sebab bila dia melakukannya sama saja dengan memaksa, dan Erwin tahu batas untuk tidak melakukan itu meskipun status mereka tidak mengharamkan untuk berbuat demikian. Hanjie masih memiliki masalah yang belum terselesaikan. Bahkan perasaan wanita itu saja masih menjadi tanda tanya besar yang belum bisa dia pecahkan. Dia tidak ingin kenikmatan itu hanya dia sendiri yang rasakan. Sebab waktu-waktu yang membuat wanita itu memohon untuk disentuh adalah saat dia berada dalam kondisi terburuk atau mabuk oleh alcohol. Erwin berharap waktu-waktu mendatang Hanjie datang padanya karena dirinya adalah Erwin suaminya. Bukan sekedar dari melarikan diri daripada rasa sakit yang telah adik bungsunya buat. Tapi bila Hanjie membutuhkan waktu untuk bisa sampai pada tahap menerima dirinya seutuh mungkin, maka tidak apa-apa. Erwin tidak keberatan bila menjadi sekadar pelampiasan. Menjadi segala hal yang wanita itu butuhkan.
“Jam berapa kita berangkat?” dia berkata sambil mengeringkan rambutnya yang masih menitikan bulir air. Menggosoknya perlahan secara santai. Seperti menggodanya dengan alami. Atau memang sejujurnya Hanjie memiliki sebuah karisma berlebih hingga dapat mempesona Erwin dalam segala kondisi? Entahlah Erwin tidak tahu lagi.
“Kurasa kita masih punya banyak waktu. kau bisa sedikit lebih santai untuk mempersiapkan dirimu dulu.” Sahut Erwin lalu melengos pergi begitu saja menuju kamar mandi. Sebetulnya untuk membereskan masalah yang menyesakan dibawah tubuhnya. Mengeras dan tak nyaman. Dia perlu sedikit sentuhan untuk dikeluarkan. Memang Hanjie itu perempuan kurang peka, sampai terkadang Erwin dibuat frustasi karena tingkahnya yang terkadang bisa dingin, dan panas disaat yang tak terduga. Bila sikapnya sudah sangat santai begini, Erwin tidak bisa berharap lebih. Karena Hanjie memang tidak akan memberikan apa yang dia inginkan. Lagipula mereka sempat ribut kecil beberapa saat yang lalu, jadi akan terasa bagai mimpi bila mereka tiba-tiba b*******h satu sama lain.
“Ini sedikit merepotkan…” ya, Erwin perlu menuntaskan urusannya lebih dahulu. Setidaknya juniornya perlu ditenangkan lebih dulu untuk saat ini.
***
Aku menyesal dengan pilihan dress yang aku bawa karena tidak fokus, ini benar-benar jenis gaun malam yang provokatif, seperti sedang menantang. Tapi sudah terlanjur bagiku, sebab tidak ada waktu lagi. Bagian belakangnya benar-benar mengekspos bagian punggungku secara penuh. Dan belahan roknya yang berada dipertengahan pahaku benar-benar membuatku seperti seorang wanita nakal yang ada untuk menggoda iman. Memang kadang aku selalu menyesal tidak berakal disaat-saat tertentu. Tapi ya sudahlah apa boleh buat. Anggap saja aku sedang menyemarakan suasana agar lebih panas. Aku berharap Rein ada dan melihatku berpenampilan seperti ini, aku harap aku bisa menjaga ekspresiku saat bertemu muka dengan pria b******k itu nanti.
Kuraih lipstick berwarna merah plum dan mengisi seluruh permukaan bibirku dengannya, untuk urusan riasan mata aku memakai eyeliner sedikit tebal dan menjepit bulu mataku agar terlihat lebih melengkung dan mempesona. Sementara kelopak matanya kububuhi eyeshadow berwarna sedikit gelap agar seirama dengan gaun malam berwarna merah yang kukenakan. Aku harus menjadi bintangnya malam ini. Meski agak berlebihan tapi aku berharap karakter badas yang aku buat melalui make up yang aku kenakan membuahkan hasil. Aku puas dengan hasilnya. Aku tidak terlihat seperti wanita patah hati yang akan bertemu mantan kekasih. Namun lebih pada perempuan pemberani yang tidak peduli akan apapun didepanku nanti.
“Sudah siap?” Erwin bertanya padaku yang masih sibuk berdiri didepan cermin. Pria itu sepertinya sudah selesai dengan urusannya. Pakaiannya sudah berganti dengan stelan yang sedikit santai meski kesan formal melekat padanya.
“Sudah,” sahutku tanpa berbalik. Terus terang aku sedang menyiapkan diriku sendiri agar tidak berdebar. Aku tidak mengira penampilanku didepannya bisa senakal ini. Aku takut untuk membayangkan bagaimana reaksinya. Sedikit demi sedikit aku mendengar langkah kakinya mendekat. Lalu tiba-tiba saja dia memelukku dari belakang. Aku merasa bagian bawah perutku bergejolak begitu saja. Ini gila! Aku sama sekali tidak membayangkan akan ada moment seperti ini dalam hidupku. Terlebih saat dia meraba bagian punggungku yang terekspos bebas dengan tangannya. Terus terang aku merinding.
“Kau sedang tidak menggodaku kan, Honey,” aku bisa mendengar suaranya yang memberat, dan napas hangatnya yang menerpa bagian belakang tubuhku. Yang benar saja, apa yang sedang Erwin lakukan.
“Darlin’?” kenapa aku malah menyebut dirinya dengan itu? ah.. kepalaku kosong.
“Say my name, Honey..” aku bisa merasakan adanya kecupan di bagian belakang leherku saat tanpa sadar dia mengalihkan rambutku kedepan agar tidak membatasi sentuhan fisik yang dia lakukan.
“E-Erwin…”
“Nice, honey.. I will give u a present now..” Demi tuhan aku tidak tahu hadiah apa yang dia maksud, sampai kemudian sentuhan itu berakhir dengan tangannya yang terulur padaku dengan kotak beludru diatas telapak tangannya. “Open” suruhnya lembut.
Aku tidak bisa untuk tidak tertegun melihat perhiasan antik dari Mutiara dan berlian yang terpadu padan menjadi sebuah kalung yang cantik.
“Ini… kapan kau membelinya?” aku tidak yakin dengan apa yang kau katakan sekarang. Hanya saja aku kehilangan kata-kata. Bisa-bisanya dia menyiapkan sesuatu seperti ini padahal aku tidak pernah memikirkan apapun soal dirinya.
Erwin tersenyum padaku, meski posisinya ada dibelakangku aku bisa melihat ekspresi wajahnya melalui pantulan dari cermin. Dalam posisi yang sama pria itu lantas mengambil kalung yang ada didalam kotak beludru dan mengambil aksi hendak memakaikannya untukku.
“Ini bukan dibeli, tapi lebih pada warisan keluarga. Perhiasan ini milik nenek buyutku dan merupakan hadiah pernikahan mereka, dan ibuku menyerahkannya padaku saat aku memegang perusahaan. Dia bilang aku harus memberikannya pada istri tercintaku, nyonya dari kepala keluarga kami berikutnya.” Aku benar-benar kehilangan seluruh proses dalam sel saraf otakku. Ini terlalu tiba-tiba dan lagi, caranya menyentuhku memperlakukanku benar-benar tidak bisa aku prediksikan bagaimana bisa ada pria setulus ini dan aku bahkan tidak menanggapi dia dengan benar?
“Ini indah sekali, Erwin,”
“Ya, semakin cantik karena kau yang memakainya. Kau sangat cocok dengan itu, terlebih karena sekarang kau adalah bagian dari keluarga kami,”
Pandangan mata kami beradu didepan cermin. Untuk sesaat aku merasa bila aku melihat adanya keserasian diantara kami berdua. Dan berkat itu aku diingatkan mengenai formular pernikahan secara negara yang belum aku tanda tangani hingga kini. Aku sedikit heran mengapa dia tidak menyinggung soal itu. sebaliknya pria itu memilih untuk menyimpannya sendiri. Aku malah mendapati firasat bahwa dia tidak akan membicarakannya sampai aku sendiri yang menanyakan perihal ini kepadanya. Karena itu kurasa keanehan ini perlu dipecahkan sesegera mungkin. Sebelum aku berandai-andai atau berspekulasi yang tidak-tidak.
“Erwin, aku ingin bertanya satu hal padamu,” berkat pertanyaanku barusan suasana manis diantara kami terpecah dengan segera. Menjadi sebuah suasana serius yang sedikit agak mencekam. Aku berharap melewatkannya begitu saja. Tapi aku sudah terlanjur berkata, aku tidak bisa menarik kembali apa yang sudah aku katakan.
“Apa?” kali ini aku memutar tubuhku untuk menghadapnya. Menatap pria itu lekat-lekat.
“Kenapa kau tidak membahas surat pernikahan resmi kita? Maksudku formular pernikahannya belum aku tandatangani. Kita belum sah menikah secara hukum, meski secara agama sudah,” tuturku teramat sangat serius. Pria itu sejenak terdiam, lalu kemudian memunculkan sebuah senyuman penuh kepasrahan didepan mataku. Rasanya sedikit menusuk ketika dia berekspresi semacam itu bahkan sebelum dirinya berkata apa-apa.
“Aku tidak ingin kita menikah atas dasar paksaan. Setidaknya jika kita belum resmi menandatanganinya kau tidak perlu repot mengurus soal perceraiannya nanti.” Ha? Perceraian? Semenjak aku menikah dengan Erwin aku sama sekali tidak pernah memikirkan soal perceraian dengannya. Bagiku menikah dengannya saja sudah bagaikan sebuah keajaiban. Obat yang menyembuhkanku dengan cara yang paling manis dan menyenangkan. Tapi dibalik seluruh rasa suka yang aku rasakan, pria ini malah menyembunyikan fakta dan menahan dirinya tersiksa dengan spekulasi bahwa aku mungkin akan berpisah dengannya suatu hari nanti? Yang benar saja. dilihat dari sudut manapun hanya aku pihak yang diuntungkan disini, dan jelas sekali bahwa aku hanyalah parasite dalam hidupnya. Fakta itu membuatku kesal bukan main.
“Darimana datangnya kepercayaan soal perceraian itu Tuan Erwin?” tuturku dengan suara sedikit naik. Aku tahu sebetulnya aku tidak berhak marah. Hanya saja aku merasa dikhianati. Memang terkadang perasaan wanita sulit bisa dimengerti bahkan oleh individunya sendiri.
“Tidak bukan seperti itu Hanjie aku hanya—”
“Kau berjaga-jaga barangkali setelah semuanya aku meninggalkanmu dan tidak ingin membuatku repot begitu?” potongku cepat, dengan mukaku yang bahkan aku dekatkan dengan wajahnya. Hingga kami bisa merasakan napas kami masing-masing. Dengan perkataanku yang terlampau frontal pria itu hanya diam membeku tanpa memberikan respon apapun.
“…”
“Dilihat darimanapun hanya aku yang diuntungkan disini. Bagaimana bisa kau memposisikan dirimu sendiri menjadi satu-satunya yang dirugikan ?” emosiku benar-benar membludak. Untuk beberapa alasan menghadapi Erwin juga bisa memacu emosiku hingga pada titik ekstrim hanya saja ada perbedaan mendasar. Jika pada Rein aku marah karena aku dirugikan, namun pada Erwin aku marah sebab aku terlalu banyak diuntungkan. Aku kesal pada diriku sendiri yang malah menjadi beban bagi pria yang setulus ini. Setelah dia berkorban terlalu banyak hal. Setelah dia sendiri bahkan mengesampingkan egonya dan berbuat terlalu banyak dan bahkan mendukungku. Bagaimana bisa aku tidak kesal?
“Aku akan menandatangani surat itu.” tegasku diakhir membuat pria itu mengerjapkan matanya berkali-kali seolah kaget dengan keputusan yang aku buat.
“Kau yakin dengan itu?” tanyanya dengan nada suara yang dipenuhi oleh kengerian. Seperitnya dalam situasi ini pria itu masih dipenuhi pikiran bahwa aku sedang terbawa emosi saja. Dan mungkin aku akan menyesal karena mengatakan itu didepannya.
“Apa kau tidak yakin denganku?” selorohku semakin berani. Suaraku bahkan naik satu oktaf. Aku merasa perlu bekerja keras demi mendapatkan keyakinan dari dirinya. Entahlah aku tidak tahu mengapa aku jadi begini. Selang jeda waktu yang ada diantara kami, aku meragu apa sekarang aku terlihat murahan dimata Erwin. Sebab pria itu tidak melakukan apapun. Apa dia kecewa? Aku merasa sangat malu karena bereaksi berlebihan. Namun tak lama aku merasakan rengkuhan yang kuat pada tubuhku. hangatnya telapak tangannya yang membelai punggungku. Erwin..
“Terimakasih Hanjie. Aku senang kau menjadi istriku,” aku bisa mendengar adanya rasa syukur yang terujar dari kalimat itu. Oh.. Tuhan, bagaimana bisa aku tidak bahagia sekarang?
Meski sakit karena ditinggalkan, rupanya skenario hidupku jauh lebih indah daripada yang aku perkirakan. Menjadi seorang wanita yang beruntung karena dipertemukan dengan seorang suami yang memperlakukanku bagaikan ratu. Bukankah itu impian semua wanita diseluruh dunia dan tak jarang tidak didapatkan dari setiap pasangan yang dicintai?
“Justru aku yang beruntung karena memiliki suami sepertimu,” balasku tak mau kalah.
Demi apapun aku harus mulai belajar mencintai pria baik ini dengan segenap hatiku mulai hari ini. Aku tidak mau bila harus melepaskan pria ini dari hidupku. “Terlebih aku rasa hidup denganmu tidaklah seburuk itu. kita bisa jadi patner hidup yang cocok. Aku akan menyenangkanmu lebih lagi mulai sekarang,” tambahku.
“Hm.. kalau begitu lepas pakaianmu sekarang,” bisik pria itu ke telingaku. Demi tuhan aku langsung terkejut gara-gara pria ini. Bisa-bisanya dia terlihat suci bersih dan tulus tapi setelah aku melonggarkan sedikit saja diriku padanya dia lantas jadi liar begini?
“Ha? Kau gila! Bagaimana bisa pikiranmu malah kesana sekarang.” Aku tidak habis pikir mengapa dia malah mengatakan hal seperti itu dan merusak suasana yang ada. Aku menjauh darinya dan memberenggut tak suka. Apa di kepalanya cuma ada seks saja? apa tidak ada yang lain?
“Kenapa kau marah? Aku hanya ingin kau mengganti pakaianmu. Aku tidak suka kau berpakaian terlalu terbuka seperti ini didepan yang lainnya,” ujarnya menaikan alisnya. Apa sekarang sedang salah mengira bahwa suamiku bukan memintaku bercinta melainkan berganti busana saja? ah.. Hanjie ada apa dengan kepalamu?
“A.. o-oh… iya aku akan ganti. Tapi tidak ada baju perempuan disini, ini kan apartmentmu sewaktu melajang,” ujarku membalasnya. Aku harap kegugupanku tidak terlihat dimata pria ini. Aku sangat malu. Demi apapun.
“Aku ada beberapa, sebetulnya ibuku sering berkunjung dan membawa beberapa pakaian yang tidak perlu. Dia bilang mungkin akan ada satu atau dua wanita yang menginap. Sebuah sikap yang tidak perlu tapi ternyata jadi cukup membantu untuk sekarang. Ada banyak pakaian wanita di lemari sana. Kau bisa gunakan yang sedikit lebih normal dan wajar dari ini.” Dia menunjuk pada satu lemari yang ada diruangan itu. aku tidak terlalu banyak menghiraukan apa yang dia katakan dan berangsur mendekati lemari tersebut dan membukanya. Seperti yang dia bilang, memang ada berbagai model pakaian dan semuanya masih baru. Hanya saja ada beberapa yang modelnya nyeleneh. Setidaknya aku perlu gaun yang tidak melunturkan kesan Girl crush yang aku buat melalui tiga puluh menit waktuku berdandan.
“Lalu kenapa kita mampir ke butik kalau kau punya beberapa pakaian disini?” selorohku.
Pria itu melirik kearahku yang sibuk lalu mendekat.
“Aku tidak tahu seleramu, setidaknya kalau kita ke butik kau bisa memilih pakaian yang sesuai,” pria itu lalu mengambil satu gaun berwarna hitam simple. “Pakai ini saja, ini masih bisa dibilang wajar,” tambahnya cuek. Aku melirik kearah gaun pilihannya. Dia benar. Gaun ini cocok dengan seleraku dan tidak banyak aksen berlebih. Aku melirik kearahnya saat dia hanya mematung didepanku tanpa pergerakan berarti. Apa dia berpikir aku akan mengganti pakaianku dihadapannya?
“Apa kau malah berpikir ingin bermesraan denganku?” kataku frontal, sesaat pria itu terkejut dan lalu malah menyeringai. Melihat gelagat tidak bersahabat darinya aku mengambi aksi mengusir pria itu cepat-cepat dari ruangan. “Keluar sana!” memang ya, aku bisa gila kalau terlalu lama menghabiskan waktu berdua saja dengan dia.