Apa yang dikatakan Azazel pada Lilac dan teman-temannya bukanlah isapan jempol belaka. Mr. Jefry tak lagi masuk untuk mengajar di kelas mana pun sejak hari itu. Sekarang sudah satu minggu, tak ada yang aneh soal itu. Bahkan tidak ada seorang pun mencari guru yang mengajar ilmu aljabar itu, semua seolah melupakan keberadaannya, termasuk para rekan kerjanya.
Kecuali Lilac. Dalam seminggu ini dia terus mengkhawatirkan keadaan Mr. Jefry. Apa pun yang keluar dari mulut Azazel bukanlah sesuatu yang baik, malah sebaliknya. Apa yang dikatakan pria itu selalu berhubungan dengan hal-hal yang buruk. Dia takut Azazel menggunakan Mr. Jefry untuk mengancamnya.
Lilac yakin, penolakannya waktu itu melukai harga diri Azazel. Sebagai raja iblis, pria itu pasti selalu mendapatkan apa pun yang diinginkannya. Namun, tidak kali ini, Azazel tidak akan mendapatkan apa pun darinya.
"Evy, apa kau melihat Mr. Jefry?" tanya Lilac pada Evory. Saat ini mereka berada di kantin sekolah untuk makan siang. "Sebab aku tidak melihatnya akhir-akhir ini. Apakah menurutmu beliau benar-benar sibuk mempersiapkan keberangkatan ke Paris?"
Evory tidak langsung menjawab. Dia menyeruput s**u kotak menggunakan sedotan yang tadi dimintanya kepada petugas penjaga kantin. Dia kehilangan sedotannya yang biasa menempel di kemasan s**u kotak tersebut.
"Aku tidak tahu, dan aku tidak melihatnya," sahut Evory sambil menggelengkan kepala. "Sudah satu minggu ini Mr. Jefry tidak masuk untuk mengajar."
Lilac mengangguk. Seminggu ini dia berpikir hanya dirinya yang merasa kehilangan pria itu, ternyata Evory juga merasakannya.
"Aku tidak tahu apakah Mr. Jefry benar-benar akan pergi ke Paris seperti yang dikatakan Mr. Adams, tetapi aku benar-benar tidak melihatnya selama satu minggu terakhir." Jeda. Evory memasukkan sepotong kentang goreng ke dalam mulutnya, kemudian mengunyahnya beberapa kali. "Aku berpikir mungkin saja Mr. Jefry memang mengajukan cuti untuk keberangkatannya beberapa hari lagi."
"Apa maksudmu beberapa hari lagi?" tanya Lilac. Alis pirangnya berkerut, bingung dengan apa yang dikatakan Evory.
Evory berdecak. "Itu yang dikatakan Mr. Adams seminggu yang lalu. Jangan katakan padaku jika kau lupa!" Mata cokelatnya menyipit menatap Lilac.
"Benarkah?" tanya Lilac. Dia tidak ingat jika Azazel mengatakan hal itu. Yang diingatnya hanyalah pria itu yang berkata jika Mr. Jefry akan pergi ke Paris beberapa hari lagi. Ah, benar. Azazel memang mengatakannya. Beberapa hari lagi itulah jawabannya.
"Tentu saja!" sentak Evory. Dia mengambil s**u kotaknya dengan wajah menekuk.
"Iya, aku sudah ingat." Lilac meringis. "Azazel, maksudku Mr. Adams, sudah mengatakannya. Hanya aku saja yang melupakannya karena fokus pada hal lainnya."
"I know right " Evory memutar bola mata. "Jangan terlalu memikirkan hal yang tidak-tidak, Lily, kecuali kau ingin kulitmu keriput."
"Hei!" seru Lilac memprotes. Mata birunya membelalak sempurna. "Kau sangat tidak lucu, Evory Wang!"
Evory tertawa. "Kau harus melihat dirimu di cermin. Kau sangat menggemaskan, Lily, wajahmu terlihat sangat lucu." Dia mencubit pipi Lilac pelan.
"Singkirkan tanganmu!" Lilac menjauhkan tangan Evory dari pipinya. Dia membuang muka, kesal karena Evory sudah menyebut hal yang membuatnya kesal. Keriput adalah salah satu kata yang tak ingin didengarnya. "Kau sangat menyebalkan!"
"Dan, kau sangat menggemaskan!" Evory terus tertawa. Tangannya kembali mencubit pipi Lilac, kali ini dengan sedikit keras sampai-sampai kulit di pipinya memerah.
Lilac menatap Evory dengan tatapan membunuh. "Astaga, Evory! Kenapa kau sangat menyebalkan sekali hari ini?" tanyanya.
"Aku tidak semenyebalkan itu, Lily!" protesnya tersenyum lebar. "Kau pasti akan mengucapkan terima kasih padaku setelah ini."
Lilac tidak menanggapi. Dia lebih memilih untuk melihat ke arah lain yang menurutnya lebih menarik. Oleh sebab itu, dia tidak melihat ketika Evory merogoh saku kemejanya, dan mengambil sesuatu dari sana. Dia melihatnya setelah Evory mengacungkan benda itu tepat di depan wajahnya.
"Ini adalah tiket masuk pameran lukisan di akhir pekan nanti." Evory mengibas-ngibaskan tiket di depan wajah Lilac. Sengaja. "Kupikir aku akan memberikannya padamu, tetapi sepertinya kau tidak tertarik untuk pergi, jadi aku akan memberikannya kepada yang lain saja."
"Jangan kau berani!" ancam Lilac. Tangannya bergerak cepat merebut selembar tiket yang digoyang-goyangkan Evory di depan wajahnya.
Sialan! Evory terlalu mengetahui kelemahannya. Sudah sejak beberapa hari yang lalu dia bercerita kepada Evory bahwa sangat ingin pergi ke pameran lukisan itu. Lilac memang bukan seorang peminat karya seni, tetapi dia menyukai pameran lukisan. Selalu mengagumi setiap karya lukis yang dipamerkan.
Lilac sangat ingin pergi ke pameran lukisan yang dibuka akhir pekan nanti. Sayangnya, Papa tidak memberikan izin karena dia tidak memiliki teman. Maksud Papa dengan teman di sini adalah seorang dewasa untuk mengawasinya. Namun, sepertinya jika pergi bersama Evory, Papa tidak akan keberatan. Mereka sudah sering pergi bersama, dan Papa selalu mengizinkan.
"Aku memiliki dua buah tiket, Lily. Bagaimana, apa kau menginginkannya?" tanya Evory. Tangannya masih bergoyang di depan wajah Lilac dengan selembar tiket yang tadi.
"Berikan padaku tiketnya!" Lilac merampas tiket di tangan Evory.
Untung saja tiket itu tidak robek karena Evory memang tidak memegangnya dengan kuat. Gadis itu langsung melepaskan lembar tiket yang dipegangnya, dia tertawa. "Tidakkah kau ingin mengucapkan terima kasih padaku?" tanyanya menyindir. "Kupikir tadi ada seseorang yang menyebutku sangat menyebalkan."
Lilac menghentikan kegiatannya mengamati tiket yang sekarang sudah berpindah ke tangannya. Binar di matanya berubah menjadi delikan, senyum tipis menghilang, terganti dengan bibir yang meruncing.
"Baiklah." Pada akhirnya Lilac memutar bola mata. "Terima kasih, Evory Wang, atas tiketnya. Kau adalah sahabat yang sangat pengertian." Dia menutupnya dengan sebuah senyuman manis yang palsu.
Evory tertawa bergelak, tak peduli jika dirinya menjadi perhatian nyaris seluruh penghuni kantin. Yang penting dia bisa mengekspresikan seluruh perasaannya dengan bebas. "Ah! Aku juga menyayangimu, Lily!" katanya disela tawa.
Lagi Lilac memutar bola mata. Evory terkadang sangat kekanakkan baginya, seperti sekarang ini. Tingkah konyolnya tidak terbendung, dan dia bisa melakukannya di mana saja tanpa peduli mereka sedang berada di tempat umum seperti sekarang.
"Kau sudah UAS tertawa?" tanya Lilac setelah tawa Evory reda. "Jika tidak, kau bisa melakukannya sekarang." Dia kembali mengamati tiket dengan mata yang berbinar.
Evory menggeleng. "Aku tidak akan tertawa lagi, tetapi akan mengatakan ini." Dia menarik napas, menahannya di paru-paru selama satu detik kemudian melepaskannya melalui mulut dengan sedikit kuat.
"Apa?" tanya Lilac tanpa menatap. Dia masih saja mengamati tiket dengan binar yang tak redup. Akhirnya dia bisa pergi ke pameran lukisan juga. Tinggal minta izin pada Papa, semoga saja Papa mengizinkannya untuk pergi bersama Evory.
"Apakah kau tidak menyadari jika besok adalah akhir pekan?"
Tidak ada yang salah pada pertanyaan Evory, tetapi Lilac membeku mendengarnya. Dadanya berdegup kencang, tubuhnya terasa sedikit bergetar. Astaga! Benarkah apa yang dikatakan Evory, besok adalah akhir pekan? Lilac menurunkan tiket, menatap Evory dengan tatapan bertanya.
Evory menjawabnya dengan anggukan. "Sekarang hari Jumat, Lily. Kita pergi besok ke pameran, aku akan menjemputmu setelah makan siang, atau kita makan siang bersama saja. Bagaimana?" tanyanya antusias.
Lilac mengangguk cepat. Dia sudah bisa mengatasi keterkejutan dan mengandalkan dirinya. Tubuhnya membeku sekejap tadi karena terkejut, tidak menyangka mereka akan pergi ke pameran secepat ini.
Kedua gadis itu melanjutkan makan siang mereka, tanpa sadar sepasang mata biru mengawasi mereka. Si pemilik mata tersenyum miring mirip seringai mendengar rencana keduanya. Tidak, ia tidak akan menggagalkan rencana itu, tetapi akan memberikan kejutan pada gadis berambut pirang itu. Kejutan yang tidak akan dilupakannya seumur hidup.
"Selamat datang di duniaku, Lily Sayang!"
Azazel memejamkan mata satu detik, melenyapkan semua yang dilihatnya di kantin sekolah. Ia menumpukan kaki kanan di atas kaki kiri, menyandarkan punggung pada kursi kebesarannya di ruangannya di sekolah ini. Rasanya sudah tak sabar menunggu besok, ia sangat ingin tahu bagaimana reaksi Lilac mendapatkan kejutannya.
***
Kesedihan Lilac akan kehilangan burung kenari kesayangannya sedikit terobati dengan memikirkan pameran lukisan dan Mr. Jefry. Bayang-bayang kuku tajam Azazel yang mencengkeram gurunya sering memasuki kepalanya, apalagi di saat dia sendirian seperti sekarang. Bahkan terkadang rasanya dia juga dapat mendengarnya berteriak kesakitan.
Lilac menggeleng kuat satu kali. Mengusir semua yang ada di dalam pikirannya tentang Mr. Jefry. Tak mungkin Azazel melakukan sesuatu pada gurunya itu, Mr. Jefry tidak memiliki salah apa-apa. Satu-satunya kesalahannya adalah menjadi guru killer di sekolahnya.
Lilac melangkah ke dalam walk in closet, dia harus menemukan pakaian yang cocok dan nyaman di tubuhnya untuk dikenakan ke pameran nanti. Sebentar lagi Evory akan menjemputnya, mereka akan pergi sebelum makan siang, dan makan siang bersama sebelum pergi ke pameran lukisan.
Memang rasanya masih seperti mimpi saja saat Papa memberikannya izin untuk pergi hanya berdua dengan Evory karena biasanya Papa tidak akan mengizinkan. Apa karena ini adalah akhir pekan? Entahlah. Daripada terus memikirkan Papa, lebih baik dia mencari pakaian saja sekarang.
Sepuluh menit Lilac hanya berdiri di dalam walk in closet. Dia kebingungan untuk mencari pakaian. Rasanya gaun sudah terbiasa dikenakannya, begitu juga dengan celana panjang, kaus, dan atasan lainnya. Sudah terlalu sering dia mengenakannya ke sekolah.
Suara klakson mobil yang terdengar di halaman depan rumahnya membuat Lilac berlari kecil menuju jendela, dia ingin melihat siapa yang datang. Jika Evory, sahabatnya itu harus mau menunggunya untuk berpakaian. Tak perlu berdandan karena dia tidak pernah melakukannya. Dia selalu percaya diri dengan wajahnya yang natural.
"Evy!" Lilac berseru melihat gadis bermata sipit itu keluar dari mobilnya. Yang datang ternyata memang Evory, sepertinya dia terlalu lama memikirkan mengenai pakaian, sampai-sampai Evy sudah datang menjemputnya sekarang. "Aku di atas!" Dia melambaikan tangannya.
Bergegas Lilac kembali ke dalam walk in closet, mengambil atasan dan celana jins sembarang, mengenakannya dengan cepat. Dia tak ingin Evory menunggunya terlalu lama, mereka sudah berjanji akan segera pergi begitu dia menjemputnya. Langsung pergi ke pameran lukisan setelah makan siang bersama di restoran cepat saji yang ada di dekat gedung pameran.
"Kau sudah siap?" tanya Evory setelah membuka pintu kamar Lilac, tanpa permisi.
Tak ada ketukan atau suara apa pun, Evory tiba-tiba saja sudah berada di kamarnya. Lilac membelalak, kesal dengan tingkah sahabatnya yang terkadang semaunya
"Seharusnya kau mengetuk dulu! Bagaimana jika aku sedang tidak berpakaian?" raung Lilac. Mata birunya mendelik tajam.
Dengan santai Evory duduk di salah satu single sofa yang ada di kamar Lilac. Tangannya mengibas satu kali, bersamaan dengan kibasan rambutnya. "Kau tidak akan seperti itu. Selama aku menjadi temanmu, tak pernah sekalipun aku mendapatimu bertelanjang, bahkan di dalam kamar mandi. Kau selalu mengenakan jubah mandi jika tidak berpakaian," katanya.
Lilac memutar bola mata jengah. Evory memang sangat mengenalnya, mereka sudah sangat akrab sehingga tahu pribadi dan kebiasaan masing-masing.
"Sudahlah!" kata Lilac akhirnya. Wajahnya masih saja menekuk. "Ayo, pergi sekarang! Aku tak ingin kita terlambat!"
Evory segera bangkit dari duduknya, semangat Lilac menular padanya. Dengan cepat dia memeluk lengan Lilac dan menyeretnya menuju keluar kamar.
Di ruang tamu, mereka bertemu dengan Lucy, Mama Lilac. Setelah pamit dan mencium pipi mamanya, Lilac dan Evory segera berangkat menuju tempat yang mereka tuju.
Perjalanan memakan waktu sekitar setengah jam karena Evory melajukan mobil dengan kencang. Akhir pekan, sebagian penduduk kota pasti lebih memilih untuk berlibur ke mana saja, daripada berdiam diri di rumah mereka. Namun, karena mereka tidak berangkat di jam-jam krusial, jalanan tidak seberapa macet.
Yang parah adalah tempat parkir gedung pameran. Evory harus memarkirkan mobil lebih ke dalam karena tempat parkir bagian depan sudah penuh. Tidak apa-apa, yang penting mereka bisa masuk ke gedung dan melihat semua lukisan yang terpajang di sana. Untuk makan siang, mereka memesan melalui drive thru karena ingin cepat-cepat sampai di gedung pameran.
"Apakah menurutmu kita harus menghabiskan makan siang kita dulu sebelum masuk?" tanya Evory melihat Lilac berhenti beberapa langkah di depan pintu masuk.
"Kupikir seperti itu," sahut Lilac tanpa menatap Evory. Fokusnya tertuju pada pintu masuk gedung pameran yang dijaga oleh dua orang petugas berseragam. Masing-masing petugas itu memegang hand metal detector di tangan mereka. "Habiskan dulu, baru masuk. Kita hanya boleh menyisakan minuman saja."
Evory mengangguk. Dia melangkah ke samping kanan gedung, ada sebuah taman kecil yang dipenuhi oleh beberapa keluarga yang kemungkinan pengunjung pameran. Evory duduk di salah satu bangku taman yang masih kosong, kemudian mulai menyantap makan siangnya.
Lilac menyusul duduk di sebelah Evory. Sebab dia tidak menyetir, makan siangnya tersisa hanya sedikit. Lilac langsung menghabisinya, menyisakan minuman dalam gelas kertas. Sebenarnya masih ada satu kaleng minuman bersoda lagi di dalam tas ranselnya, dia membelinya di mesin penjual minuman di pinggir jalan yang ada di dekat tempat parkir tadi. Minuman bersoda dalam kaleng itu akan diminumnya sambil melihat-lihat lukisan nanti.
"Ayo, kita masuk! Aku sudah selesai," ajak Evory. Dia berdiri, melemparkan kantong kertas bekas makan siangnya ke dalam tong sampah yang berjarak beberapa meter dari tempat mereka duduk.
Sementara Lilac lebih memilih untuk membuangnya secara langsung. Tak apa jika harus berjalan, hanya beberapa langkah. Lagipula, bukankah berjalan kaki itu termasuk olahraga ringan yang menyehatkan?
Suasana di dalam gedung sangat ramai. Berbagai macam lukisan terpajang di dinding dengan aneka tema. tak hanya lukisan, ada juga patung hewan dan manusia yang menghiasi tempat kosong di tengah ruangan.
Sebuah tangga yang tidak seberapa panjang tergantung di dinding bagian selatan gedung. Di anak tangga paling atas terdapat lantai dua yang tingginya hanya dua meter saja. Di dinding sepanjang tangga terdapat beberapa buah lukisan, salah satunya adalah karya pelukis terkenal..
"Ayo, kita ke sana!" Lilac menarik tangan Evory. Dia ingin melihat lukisan dari pelukis terkenal itu. Apakah benar secantik yang dikatakan orang-orang?
"Kau ingin melihat lukisan yang katanya legendaris itu?" Mengatakan legendaris, Evory membuat tanda petik imajinasi di kedua sisi kepalanya.
Tanpa memedulikan ekspresi Evory, Lilac terus menarik tangan gadis berambut hitam yang dicat dengan warna ombre itu. Lukisan legendaris dengan tema air terjun mengundang rasa penasaran semua orang. Jika dilihat sambil lalu, tidak ada yang istimewa dari lukisan itu. Namun, jika diamati dengan sungguh-sungguh, akan ditemukan kejanggalan di sana.
Lukisan seorang gadis tengah memetik bunga yang terdapat di di bawah air terjun di depan mulut sebuah gua. Di dinding batu di dalam gua, tampak seorang pria sedang mengintip si wanita.
Lilac menyipitkan mata, menajamkan indra penglihatannya menatap sosok pria yang bersembunyi di balik pintu gua. Rasanya dia pernah melihat pria itu, tetapi entah di mana, dia lupa.
Satu detik, dua detik, tiga detik. Mata biru Lilac terbuka lebar, tangannya terangkat menutup mulut yang terbuka sama lebarnya dengan matanya. Dia mengenali siapa pria di dalam lukisan itu. Pria itu adalah Mr. Jefry!