Mendapati mimpi yang sama selama tujuh minggu berturut-turut setiap malamnya tentu akan membuat siapa saja bosan. Begitu juga dengan Lilac. Mimpinya tentang pria tampan berambut sehitam arang masih berlanjut, bahkan setelah tujuh minggu berlalu. Meskipun bukan mimpi yang persis yang sama, tetapi tokoh utama mimpi tersebut adalah orang yang itu-itu juga. Mimpinya yang selalu datang dan berakhir di jam yang sama membuatnya sedikit terbiasa. Namun, tidak dapat disangkal, rasa bosan menghinggapi. Selama tujuh minggu terakhir, ia tidak pernah bermimpi tentang hal lain, selalu saja tentang pria itu yang dapat mengubah tubuhnya menjadi puluhan atau mungkin ratusan ekor burung gagak.
Satu yang membuat Lilac kesal dan tidak suka, burung-burung gagak itu pasti akan mematukinya kalau dia bertanya akan sesuatu yang bersifat lebih pribadi dan mendetail. Mungkin pria itu marah, tak ingin informasi pribadinya diketahui orang lain. Namun, hei, mereka di alam mimpi! Pria itu tidak nyata, tidak akan ada yang peduli meskipun pria itu memberitahukannya. Tidak akan ada yang mengenalinya. Teman-temannya satu sekolah juga tudak akan memercayainya, kemungkinan besar dia akan diejek pembual atau pemimpi karena dia menang hanya bermimpi. Tidak ada seorang pun yang peduli dengan mimpimu, atau orang-orang di mimpimu. Meskipun kau bercerita, mereka semua hanya akan menganggapnya bunga tidur,atau sesuatu yang berhubungan dengan takhayul dan sejenisnya, seperti Evory. Sahabatnya itu semakin yakin kalau mimpinya pertanda sesuatu yang tidak baik akan terjadi.
Lilac berdecak. Evory hanya menakut-nakutinya saja. Sialan memang, tapi Evory tahu sebuah fakta tentang dirinya yang tidak diketahui orang lain. Yeah, mereka adalah sahabat dan berbagi segala hal termasuk hal-hal kecil yang kurang penting, dan fakta bahwa dirinya adalah seorang penakut terhadap hal-hal berbau mistis dianggapnya bukan hal penting sehingga dua memberitahu Evory. Dia juga mengetahui semua tentang Evory, semua rahasianya, termasuk Evory yang menyukai salah satu pangeran sekolah mereka, Dylan White. Pemuda itu adalah kapten tim basket sekolah mereka, dan ia memang keren. Wajar kalau banyak gadis di sekolah yang memperebutkannya. Seharusnya Evory juga melakukannya, hanya saja sahabatnya tidak percaya diri.
Fakta itu adalah salah satu dari sekian banyak kekurangan seorang Evory Wang yang dia ketahui. Sebenarnya kekurangannya juga tidak banyak, hanya saja tidak sebanyak Evory. Argh, baiklah! Abaikan saja, dia memang juga memiliki banyak sekali kekurangan. Yang disebutkan tadi hanya salah satunya saja. Lilac mengerang. Menyingkap selimut dan menjauhkannya. Segera memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri, dia tak ingin terlambat pergi ke sekolah hanya karena sebuah mimpi buruk.
"Mimpi buruk yang selalu datang setiap malam!" geram Lilac tertahan sambil melepas semua yang melekat di tubuhnya, kemudian menyalakan keran air hangat, dan berdiri di bawahnya. Ritual paginya dimulai.
Mungkin tidak akan ada masalah kalau dia tidak selalu memimpikan orang yang sama. Sangat mustahil kau selalu memimpikan satu orang saja, orang yang itu-itu juga, terlebih lagi orang itu tidak kau kenal, kau tidak pernah bertemu dengannya sama sekali, dan mimpimu itu selalu datang di jam yang sama setiap malamnya. Kau juga selalu terbangun di jam yang sama juga setelah mimpimu berakhir. Apakah itu hanya sebuah kebetulan ataukah ada sesuatu yang lain? Lilac memukul kepalanya pelan. Sepertinya dia sudah terpengaruh oleh Evory. Astaga, jangan sampai!
.
.
.
.
.
Dunianya yang penuh warna mendadak hanya memiliki satu warna saja, abu-abu. Itu adalah pertanda dia berada di alam mimpi. Lilac berdecak. Tidak adakah warna lain selain warna yang sangat tidak menarik ini? Kenapa pria itu selalu menggunakan warna-warna kelam ini? Kenapa tidak warna lain saja yang lebih menarik? Seperti warna merah muda, misalnya.
"Karena aku tidak menyukai warna anak perempuan."
Lilac berjengit mendengar suara dingin itu yang datang dari arah belakangnya. Dengan cepat dia berbalik, dan mundur beberapa langkah mendapati pria itu tepat berada di belakangnya. Ini adalah pertama kali dia tidak perlu melangkah untuk melihatnya. Biasanya pria itu selalu berada di tempat yang berbeda saat dia datang. Perlu waktu beberapa detik bahkan menit untuk memastikan kalau dia berada di dunia pria itu. Bisa saja, 'kan, dia tidak memimpikannya lagi. Bisa saja, 'kan, dia bermimpi tentang orang lain. Pria lain yang lebih menarik, mungkin.
Suara tawa dingin menggema. Lilac menyipitkan mata menatapnya. Dia tidak suka tawa dari pria itu, tidak pernah suka. Setiap tawa yang datang darinya adalah jenis tawa mengejek dan meremehkan. Wajah cantik itu menekuk, tatapannya tajam ke arah mata biru yang selalu membuatnya terpesona. Lilac menggeleng kuat, membantah apa yang baru saja dipikirkannya. Dia harus ingat satu hal, pria tampan yang menyebalkan itu bisa membaca pikiran. Itu adalah fakta pertama yang diketahuinya sebelum dia sadar kalau ada warna lain selain warna abu-abu di sini. Warna biru laut yang merupakan warna mata pria itu.
"Dan aku sangat menyukainya!" ketus Lilac sambil melipat tangan di depan d*da. Dia sangat kesal sekarang. Pertama, pria menjengkelkan itu muncul tiba-tiba tepat di belakangnya. Sungguh, itu adalah perbuatan yang sangat tidak sopan. Seorang pria sejati tidak akan muncul secara tiba-tiba dan mengejutkan gadis yang dianggap calon istrinya. Benar, 'kan? Pria itu selalu mengatakan kalau dirinya adalah pengantinnya. Itu sama saja namanya dengan calon istri, 'kan? Koreksi kalau dia salah.
Kedua, pria itu sudah menghina warna kebanggaannya. Dia sangat menyukai warna merah muda, begitu menyanjungnya sampai-sampai seisi kamar dan barang-barang miliknya didominasi warna cantik itu. Lilac sadar, mungkin banyak orang yang mentertawakannya dengan semua itu. Dia memiliki rambut pirang keemasan, dan itu alami, bukan hasil cat rambut. Matanya berwarna biru langit dan selalu bersinar hangat, sehangat musim semi. Lalu, namanya Lilac, sangat kontras dengan warna rambut dan matanya. Kemudian dia menyukai warna merah muda. Terlalu banyak warna dalam dirinya, tetapi itulah yang sebenarnya, dan dia bangga dengan semua itu.
Menurutnya memiliki banyak warna daripada hanya satu warna saja. Seperti pria di depannya ini yang hanya menyukai warna abu-abu. Lilac membuang muka, tak ingin melihat senyum pria itu yang membuat wajahnya semakin terlihat tampan. Dia tak ingin semakin terpesona. Lilac akui, pria ini adalah yang paling tampan yang pernah ditemuinya. Wajar kalau dia terpesona, bukan? Namun, dia hanya terpesona, tidak tertarik apalagi jatuh cinta seperti yang selalu dikatakan pria itu.
"Kau memang tidak berubah, Lily. Selalu menyukai warna itu."
Lilac menaikkan sebelah alisnya menatap pria itu. Dagunya terangkat angkuh. "Tentu saja!" sahutnya ketus. "Warna merah muda selalu lebih baik daripada...."
"Abu-abu."
Alis Lilac berkerut. Dia tidak suka seseorang memotong perkataannya. Lebih tidak suka lagi karena pria itu mengetahui apa yang ingin dia katakan.
"Aku sudah tahu, kau sudah sering mengatakannya."
Perkataan pria itu membuat alis Lilac semakin berkerut tajam. Dia tak pernah merasa mengatakan hal seperti ini –masalah warna itu, sebelumnya pada pria itu. Lalu, bagaimana mungkin pria itu bisa berkata kalau dia sudah sering mengatakannya. Sangat tidak lucu! Bolehkah sekarang dia mengatakan kalau pria itu membual? Sebab kenyataannya memang demikian.
"Warna kesukaanmu lebih hangat karena melambangkan musim semi, sementara warna kesukaanku melambangkan musim dingin. Kau pasti ingin berkata seperti itu, 'kan?"
Lilac melebarkan mata. Dari mana pria itu tahu apa yang akan dia katakan? Sangat menyebalkan! Lilac kembali membuang muka, kekesalannya meningkat mendengar kata-kata pria itu yang sok tahu.
"Aku bukannya sok tahu, tapi aku memang benar-benar tahu."
Kali ini Lilac tidak terkejut lagi. Dia baru ingat kalau pria itu bisa membaca pikiran. Dumb Lily!
"Aku tidak membaca pikiranmu, Lil."
Pria itu menggeleng sekali. Melangkah mendekat ke arahnya. Kata-katanya membuat Lilac kembali fokus padanya.
"Aku tidak perlu membaca pikiranmu untuk mengetahui semua kebiasaanmu. Aku sudah hafal dengan semua itu."
Lilac merinding mendengarnya. Pria ini hafal dengan semua kebiasaannya? Astaga!.
"Semua yang kau lakukan selalu sama. Kuharap kau tidak mengalami kematian yang sama."
Eh?
Lilac membatu. Apa katanya tadi?Kematian? Astaga! Kalau pria ini mengetahui semua tentang dirinya, seharusnya pria itu sudah tahu kalau dia penakut. Bukan hanya takut pada kematian, tapi pada semua hal yang berbau mistis dan di luar nalar.
"Jangan pernah melakukan kesalahan yang sama, Lily, meskipun itu untuk melindungi orang yang kau cintai."
Lilac semakin tidak paham. Kata-kata itu seperti sebuah lingkaran yang berputar di kepalanya. Lingkaran yang berputar sangat cepat. Lalu, apa itu? Apakah penglihatannya bermasalah? Dia melihat wajah dinhin pria itu berubah, ada duka di sana. Duka yang kentara, yang langsung hilang dalam beberapa detik saja.
"Apa yang kau katakan?" tanya Lilac berusaha terlihat berani. Sungguh, dua menekan seluruh rasa takutnya yang kembali lagi saat teringat dengan kata-kata pria itu. "Apa kau mengancamku? Sayangnya aku tidak takut!"
Pria itu menggeleng. Ia kembali melangkah maju, semakin memangkas jarak di antara mereka. Sebenarnya Lilac ingin mundur, atau mungkin menjauh ke tempat lain, tetapi dia tak dapat bergerak. Kakinya seolah terpaku di tanah.
"Kau memang tidak takut pada apa pun. Kalau kau takut, kau tidak akan melakukan itu."
"Melakukan apa?" tanya Lilac cepat.
Pria itu berhenti melangkah di jarak dua kaki, tapi itu sudah sangat dekat bagi Lilac. Jarak mereka cukup membuatnya sulit bernapas, seolah udara yang tadi tersedia di mana-mana tersedot ke dalam atmosfer yang mengelilingi pria. itu.
"Kau terlalu banyak bertanya, Lily. Bukankah sudah kukatakan padamu untuk tidak menanyakan hal-hal mendetail seperti itu?"
Sorot mata itu berubah setajam pedang. Lilac bersiap untuk menerima serbuan burung gagak yang datang dari serpihan tubuh pria itu. Namun, apa yang ditunggunya tidak terjadi, bahkan setelah beberapa menit kemudian. Pria itu tetao utuh, tidak hancur dan berubah menjadi ratusan ekor burung gagak.
"Kau akan tahu siapa dirimu sebenarnya suatu saat nanti, tanpa aku yang memberitahu."
Sisa dirinya yang sebenarnya? Lilac menggeleng. Sungguh, ia merasa benar-benar takut sekarang. Ia bukan alien, 'kan? Juga bukan hantu, 'kan? Astaga! Lilac menggeleng, tubuhnya bergetar. Dia tidak mau menjadi orang lain, dia adalah dirinya sendiri, Lilac Bryne.
"Meskipun kau mengingkari siapa dirimu, tapi kau tidak dapat lari dari kenyataan bahwa kau adalah pengantinku."
Gelengan kepala Lilac semakin kuat. Kedua tangannya berusaha menutup telinga, tak ingin mendengar apa yang akan dikatakan pria itu.
"Kau ingin tahu siapa aku,'kan?"
Lilac berhenti menggeleng. Dia sudah menutup telinganya, tapi kenapa suara pria itu masih terdengar jelas? Apa karena ia yang sekarang sudah berada di depannya? Lilac menahan napas menyadari mereka nyaris tak berjarak.
"Aku akan mengatakannya padamu siapa diriku sebenarnya."
Udara di sekitarnya terasa semakin menipis. Lilac merasa semakin sesak. Apalagi saat pria itu merendahkan tubuhnya yang tinggi menjulang, Lilac tak dapat lagi bernapas.
"Namaku Azazel."
Mata Lilac melebar sedetik, di detik berikutnya dia sudah memekik ketika ratusan ekor burung gagak yang keluar dari tubuh pria yang mengaku bernama Azazel, mengurungnya. Lilac menutup kedua telinganya menggunakan tangan, menghindari suara menyeramkan burung-burung itu yang bisa saja memecahkan gendang telinganya. Dia ketakutan, saking takutnya Lilac menangis tanpa sadar. Apalagi burung-burung itu lagi-lagi mematukinya. Paruh runcing mereka menembus kulit lengannya yang melindungi kepala.
Kejadian itu masih dirasakannya selama beberapa menit berikutnya. Dia baru terbangun setelah terdengar suara lonceng tiga kali, yang menunjukkan pukul tiga dini hari. Lilac langsung duduk, terengah dengan tubuhnya penuh dengan keringat. Dia juga menangis. Perlahan Lilac mengusap air mata menggunakan ujung-ujung jarinya, meraba keringat yang membasahi pelipis. Sejenak Lilac ragu, air mata ataukah keringat yang membanjiri pipinya.
Lilac menggeleng, dia tidak mempermasalahkan itu. Yang dia takutkan adalah mimpinya kali ini yang dirasa lebih mengerikan dari sebelum-sebelumnya. Pria itu mengaku bernama Azazel. Sebuah nama yang sangat mengerikan.
Lilac mengusap wajah kasar. Siapa pun pasti mengenal nama Azazel. Nama itu berhubungan dengan sesuatu yang jahat. Seingatnya, Azazel adalah nama dari ... Raja I*lis. Lilac menggeleng pelan, berharap dia salah. Meskipun dia yakin kalau apa yang dipikirkannya benar. Namun, itu tidak mungkin. Pria itu pasti hanya bercanda. Tak mungkin pria itu Azazel, dia tidak percaya. Apalagi itu hanya mimpi, dia tak perlu memikirkannya.
Tangan Lilac menggapai nakas, mengambil botol air mineral yang tadi diletakkan di sana sebelum dia tidur. Meminum isinya hingga habis setengah botol. Astaga, ternyata dua sangat kehausan! Lilac meletakkan botol kembali ke tempatnya, meraba dadanya yang masih saja berdebar keras. Paruh-paruh burung itu masih terasa di kulit lengannya, seolah itu nyata. Ketakutannya juga masih dia rasakan, tubuhnya masih bergetar. Lilac menarik selimut, bersamaan dengan menarik lutut. Dia mengurungkan niat untuk kembali berbaring, bukan karena dia sudah tidak mengantuk lagi, melainkan untuk mengurangi rasa sesak yang mengakibatkan sulit bernapas.
Lilac mengambil ponsel dari nakas, dia akan menghubungi Evory. Mungkin hanya mengiriminya pesan saja, terlalu pagi untuk meneleponnya. Evory pasti akan mengomelinya di sekolah nanti. Percayalah, itu bukan sesuatu yang baik. Omelan Evory lebih panjang dari rute kereta api California Zephyr. Belum lagi ditambah dengan ceramah yang akan bertahan sepanjang hari. Salah satu kebiasaan buruk Evory.
Evy, apa kau tahu tentang Azazel?