Bab 8. First Terror

2152 Words
"Kau membunuh Bibi!" Lilac sengaja datang ke sekolah lebih pagi dari biasanya. Dia ingin menemui Azazel untuk meminta pertanggungjawaban pria itu karena sudah membunuh burung kesayangannya. Seekor burung kenari yang diberinya nama Bibi, yang dibelinya saat pergi ke pasar malam beberapa bulan yang lalu, bersama Papa. Lilac sudah berjanji pada Papa untuk merawatnya, dan dia sudah berhasil beberapa bulan ini. Bibi yang awalnya terlihat kurang sehat saat mereka membelinya, sehingga si pemilik menjualnya dengan harga yang relatif murah, menjadi lebih baik dan aktif. Bibi selalu berkicau setiap pagi menyambut matahari, berjoget dengan lincah, melompat dari dahan imitasi ke dahan lainnya, di dalam sangkarnya yang luas. Sejak kemarin Lilac tidak dapat melihat tingkah menggemaskan Bibi lagi. Sehelai bulu gagak hitam menancap di jantung Bibi. Bulu hitam itu begitu kontras dengan bulu Bibi yang berwarna kuning. Anehnya, tidak ada darah yang tercecer. Darah Bibi seolah diserap oleh bulu burung gagak yang jatuh tegak menembus jantungnya. Keanehan itu yang membuat Lilac yakin jika Azazel lah yang sudah membunuh burung kenarinya. Selain tentu saja bulu burung gagak yang sudah menghabisi Bibi, Azazel identik dengan burung berwarna hitam itu. Lagipula, Azazel mengancam akan menghabisi siapa pun atau apa pun yang disayanginya, saat dia masih berada di sekolah karena sudah menolak ajakannya untuk ikut ke dunianya. Hei, siapa pun orangnya jika masih memiliki akal sehat pasti tidak akan mau pergi ke dunia iblis. Meskipun Azazel menawarkan segala macam kenikmatan dan keabadian, dia tetap tidak tertarik. Ketahuilah, mati adalah kodrat manusia yang meskipun terdengar mengerikan, tetapi pasti akan terjadi. Kecuali bagi mereka yang melanggar soal itu dan versi dengan iblis. Astaga, jangan sampai! Apa yang dikatakan Azazel terdengar sangat indah. Siapa pun orangnya pasti menginginkan tetap muda dan cantik, tidak ada yang ingin menjadi tua dan terlihat jelek. Namun, sekali lagi itu adalah kodrat yang harus manusia jalani, kecuali ingin menjadi pengikut iblis dan sesat. Keadaan sekolah yang masih belum terlalu ramai, dan Azazel yang mendapatkan ruangan khusus untuk dirinya sendiri, tidak bercampur dengan guru-guru lainnya membuat Lilac berani meraung. Tidak akan ada yang mendengar suaranya, seandainya pun ada hanyalah beberapa orang saja. Mata birunya menatap Azazel dengan nyalang tanpa ada rasa takut. Ada sinar laser tak kasat mata yang memancar dari mata indah itu. "Apa maksudmu menghabisi nyawa makhluk tak berdosa, hah?" tanya Lilac berang. "Itu adalah hewan peliharaanku satu-satunya. Apa kau tidak tahu bagaimana susahnya aku membujuk Papa agar memperbolehkanku merawat Bibi?" Wajah cantik itu memerah. Dadanya naik turun dengan cepat, seiring tarikan napas yang memburu. Semuanya terlihat sangat cantik di mata Azazel. Bersyukur ia membunuh burung kecil sialan itu karena mendapatkan hadiah seindah ini. Pria itu bangkit, melangkah pelan menghampiri Lilac yang berdiri tepat di depan mejanya dalam jarak kurang dari satu meter. "Kau tidak mau duduk dulu?" tanyanya sambil menarik kursi yang berada di depan Lilac. Kursi itu dimasukkan ke bawah meja sehingga saat dimundurkan berada tepat di depan gadis yang masih terlihat sangat marah itu. Azazel mengetahuinya, dan ia sangat menyukainya. Kemarahan dan ketakutan merupakan sumber energi terbesar baginya. Tak ada yang dapat mengalahkannya selain kekuatan cinta, seperti yang dikodratkan oleh Sang Pencipta untuknya. Cinta sejatinya yang sampai sekarang bahkan masih belum mengingat siapa dirinya. "Tidak perlu berpura-pura baik di depanku, aku sudah tahu siapa dirimu sebenarnya!" Lilac mengangkat dagu angkuh. Tatapannya tetap tajam, berusaha mengintimidasi pria yang duduk di sisi meja dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. Lilac membuang muka melihatnya. Sejak awal dia tidak pernah suka pada Azazel. Kehadirannya yang misterius, selalu mengusiknya di dalam mimpi sempat membuatnya merasa takut karena dunianya yang berwarna abu-abu. Sekarang, jangan harap. Dia tidak akan pernah takut pada seorang iblis seperti Azazel. "Lagipula, kedatanganku ke sini bukan untuk duduk." Lilac melipat tangan di depan d**a, bersikap menantang dengan tatapan nyalang. "Aku ingin kau bertanggung jawab atas kematian Bibi!" Tawa Azazel terlepas seketika. Ia berdiri, mendongak untuk melepaskan tawa yang menggelegar. Sungguh, perkataan Lilac terdengar sangat lucu di telinganya. Bertanggung jawab atas kematian seekor burung? Kenapa ia harus melakukannya? Astaga, sangat menggelikan! "Apa katamu?" tanya Azazel. Ia mengorek telinganya dengan gaya tengil. "Aku tidak salah dengar, 'kan? Aku harus bertanggung jawab hanya untuk kematian seekor burung yang bahkan tidak berguna? Astaga, Lily! Bagaimana mungkin kau bisa berpikir seperti itu? Lagipula, aku adalah iblis, bukan malaikat yang bisa mengembalikan nyawa makhluk yang sudah kucabut." Betapa entengnya Azazel berkata sampai-sampai Lilac merasa mual mendengarnya. "Kau tidak memiliki rasa empati sama sekali!" katanya mendesis. "Bagaimana mungkin kau bisa berbaur dengan kami manusia jika kau tidak memiliki rasa situ sedikit pun?" Azazel mengedikkan bahu, tak peduli dengan apa pun pendapat Lilac tentangnya. Yang diinginkannya dari gadis itu adalah jiwanya yang bersedia untuk ikut bersamanya. Jika ia berhasil mendapatkannya, maka ia akan meninggalkan dunia manusia secepatnya seperti yang dijanjikannya kepada Sang Pencipta. "Aku tidak memerlukannya," jawab Azazel acuh. Ia kembali duduk di kursinya, menumpang kaki, meletakkan kaki kanan di atas paha kiri. Sikap duduk seperti ketika ia berada di kerajaannya. "Aku bisa mengendalikan manusia, kenapa harus mengkhawatirkan segala macam hal yang tidak ada hubungannya denganku?" "Kau ...!' Lilac mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Melangkah maju dan mengentakkan tangannya yang terkenal di atas meja Azazel yang dipenuhi helaian kertas. Pria itu benar-benar menghayati perannya sebagai guru. "Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya lagi. Cukup nyawa Bibi saja yang kau permainkan, kau tidak berhak dan tidak bisa berbuat sesukamu di dunia kami karena aku tidak akan membiarkannya!" Lilac berbalik, melangkah keluar ruangan Azazel dengan cepat. Langkahnya lebar-lebar menuju ruang kelasnya yang terletak di lantai dua. Sungguh, dia tidak akan membiarkan azazel berbuat sesuka hatinya terhadapnya. Dia akan melawan apa pun yang akan dilakukan pria itu. *** Ruangannya yang semula rapi, sekarang sangat berantakan. Helaian kertas tak hanya memenuhi meja kerja, tetapi juga bertebaran hampir menutupi seluruh lantai. Bahkan ada yang masih beterbangan. Bukan, ia tak menghamburkannya, melainkan kemarahannya yang melakukannya. Ia marah karena Lilac kembali berani melawannya. Tak hanya menolaknya, gadis itu juga melakukan perlawanan. Hal yang tidak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya. Sebelum turun ke dunia manusia, ia sudah memperkirakan semuanya. Berdasarkan sifat dasar manusia yang tamak, serakah, dan egois, ia yakin jika Lilac pasti akan dengan mudah menuruti keinginannya dan tidak menolak saat diklaim sebagai pengantinnya. Namun, kenyataannya tidak demikian. Gadis itu sejak awal sudah menunjukkan perlawanan. Lilac tidak sama seperti gadis-gadis muda lainnya yang terobsesi pada kecantikan dan keabadian. Awet muda dan tetap cantik selamanya, serta tidak akan pernah mati. Itulah yang diinginkan oleh gadis-gadis muda di zaman sekarang ini. Mereka semua bertingkah seolah semuanya abadi, padahal maut selalu mengintai mereka semua setiap saat. Mereka selalu mencari tahu bagaimana caranya supaya tetap cantik dan tampan, serta tidak pernah menua dan tidak mati. Sebuah pemikiran primitif yang masih saja menghantui manusia di zaman semodern sekarang ini. Mereka berpikir semua teknologi itu dapat membuat mereka mendapatkan kemudaan abadi. Pemikiran yang sama sekali salah karena mereka tidak akan mendapatkannya tanpa bantuan darinya. Sang Pencipta memberikan kewenangan kepadanya untuk menyesatkan mereka yang hanya menginginkan kehidupan dunia. Ia berhasil melakukannya, banyak yang menjadi pengikutnya. Namun, justru satu orang yang paling diharapkan malah menolaknya. Menentang keras dan melawannya. Azazel mendengkus kasar. Ia tidak percaya jika semuanya akan terulang lagi seperti dulu. Perempuan yang dicintainya kembali melawan keputusannya. Aarrgghhh, sialan! Seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya Lilac dengan senang hati mengikuti ajakannya, seperti yang lain para pengikutnya. Mereka bahkan dengan suka rela memberikan jiwa mereka kepadanya sebagai persembahan. Mereka tidak seperti gadis berambut pirang itu yang dengan terang-terangan berani menantangnya. Sepertinya kematian hewan peliharaannya saja tidak cukup. Mungkin ia harus melakukan cara lain lagi untuk mengancam gadis itu agar menurut kepadanya. Cara yang sangat disukainya. Sebagai raja iblis, Azazel tentu saja sangat menyukai sesuatu yang berbau kematian yang dibalut dengan sesuatu yang sedikit mengerikan dan misterius. Jika Lilac berpikir ia hanya main-main saja dengan apa yang dikatakannya kemarin, gadis itu salah besar. Ia tidak melihat ketakutannya, hanya kemarahan karena ia sudah menghabisi salah satu kesayangannya. Lilac tidak tahu apa yang dapat dilakukannya pada seseorang yang menentangnya. Baiklah, untuk lilac, ia memang tidak dapat menyentuhnya, tidak dapat menyakiti fisiknya. Namun, ia dapat membuat psikisnya terluka dan merasakan ketakutan. Cara ampuh untuk membuat seseorang bertekuk lutut. Azazel mengedikkan bahu. Senyum manis tersungging di bibir merahnya, ia akan memulainya nanti siang sesaat sebelum waktu makan siang tiba. Lilac tersayang akan mendapatkan berita yang sangat mengejutkan baginya. *** Bel masuk kelas sudah berbunyi beberapa saat yang lalu, para siswa sudah duduk di bangku mereka masing-masing. Hanya guru yang mengajar saja yang belum masuk. Adalah Mr. Jefry yang seharusnya mengajar mereka pagi ini, tetapi sampai lima menit terlewat pria berusia empat puluh tahun itu masih belum juga terlihat bayangannya memasuki kelas mereka. Lilac dan Evory tengah membicarakan sesuatu dengan wajah yang serius, hal yang membuat Lilac memasuki kelas dengan wajah menekuk. Evory sudah berusaha untuk mencari tahu apa yang menyebabkan sahabatnya terlihat sangat marah, tetapi tak juga berhasil. Lilac menutupinya terlalu sempurna. "Daripada mengobrol tentang hal yang hanya akan membuatku semakin kesal, kenapa kita tidak mencari tahu kenapa Mr. Jefry masih belum masuk juga sampai sekarang," usul Lilac. Dia memanjangkan kepalanya, mencoba untuk mengintip ke luar kelas, mencari keberadaan guru yang seharusnya mengajar mereka pagi ini. "Ini sudah lebih dari lima menit." Evory mengangguk, menyetujui usul Lilac. Dia menatap jam dinding yang terpasang di dinding di atas papan tulis, setelah mengecek jam tangan di pergelangan kirinya. "Wow!" Evory berdecak kagum. "Ini adalah pertama kalinya Mr. Jefry terlambat, padahal biasanya beliau selalu tepat waktu." Lilac juga mengangguk. Biasanya Mr. Jefry akan menghukum siswa yang terlambat mengikuti pelajarannya dengan berdiri di depan kelas, sebagai contoh kepada siswa lainnya agar tidak terlambat lagi. Beliau terkenal sebagai salah satu guru killer di sekolah. Banyak siswa yang tidak menyukainya, banyak juga yang takut. "Rekor pertama!" David Kyle, salah satu siswa yang tidak menyukai Mr. Jefry, berseru. Seruannya menarik perhatian nyaris seluruh siswa di kelas mereka, termasuk Lilac dan Evory. "Teman-teman, tidakkah kalian sadar jika ini adalah pertama kalinya Mr. Jefry terlambat?" tanya David meminta pendapat teman-temannya yang menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian. "Ini bisa menjadi catatan buruk untuk beliau, dan kupikir bisa kita jadikan bahan untuk koran sekolah." David adalah seorang siswa yang aktif pada beberapa organisasi, salah satunya adalah koran sekolah. Beberapa kali ia terlambat di pelajaran Mr. Jefry dan mendapatkan hukuman berdiri di depan kelas, juga harus mengerjakan soal sebanyak beberapa halaman tugas. yang lebih buruk, tugas itu harus dikumpulkan pada keesokan harinya. Padahal David dan teman-teman organisasinya sedang ada tugas dari guru yang menjadi pembimbing organisasi. Sifat keras Mr. Jefry yang tidak menerima alasan apa pun membuatnya tidak disukai oleh banyak siswa. Ketidakhadirannya pagi ini yang tanpa kabar apa pun tak membuat mereka merasa kehilangan, padahal Mr. Jefry mengajar salah satu mata pelajaran penting. "Aku akan menjadikannya sebagai berita utama besok!" David tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang seputih mutiara. "Tidakkah kau terlalu berlebihan?" tanya Evory. Mata sipitnya menyipit menatap David, tangannya memutar-mutar bolpen, mengetuk-ngetuk ujungnya pada meja. "Kupikir tidak perlu menjadikannya sebagai berita utama, cukup memasukkannya sebagai berita saja." "Ah, itu hanya menurutmu, Evy." David memasang wajah kecewa. Ia kembali duduk di bangkunya dengan tidak bersemangat. Satu orang saja yang menyuarakan keberatannya membuat dukungan tak lagi seratus persen untuknya. "Kau tidak pernah mendapatkan hukuman darinya. Kau merupakan salah satu siswa kesayangannya." "Bukan karena itu!" Evory memutar bola mata jengah. "Aku hanya berpikir kita terlalu kejam jika meletakkannya di halaman utama." Dia membela diri. "Kalian berdua, bisakah berhenti berdebat atas sesuatu yang tidak penting?" tanya Lilac mengentikan perdebatan kecil Evory dan David. "Bukankah lebih baik kau mencari tahu kenapa Mr. Jefry terlambat, David? Ini sudah lebih dari lima menit!" Dia mengingatkan. David berdecak sekali lagi, tetapi menuruti perkataan Lilac. Ia berdiri, melangkah dengan kapas keluar kelas seorang diri. Namun, hanya beberapa detik, ia sudah kembali kembali ke kelas dengan wajah sedikit pucat. "Mr. Adams yang akan menggantikan Mr. Jefry mengajar kita untuk sementara," kata David sambil duduk kembali di bangkunya. Lilac tidak dapat mencerna apa yang dikatakan David. Ingin bertanya, tetapi dia tiba-tiba merasa mual dengan kelakuan beberapa orang teman perempuannya yang dengan centilnya mengeluarkan alat-alat makeup mereka, dan mulia mengaplikasikan peralatan itu di wajah mereka. Seorang pria jangkung memasuki kelas, membuat Lilac menyadari siapa itu Mr. Adams. Seharusnya dia mengingatnya, tetapi dia justru melupakannya karena pria.itu adakah orang yang paling dibencinya saat ini. Azazel. "Selamat pagi, Semuanya!" sapa Azazel tanpa intonasi, datar. Ia meletakkan beberapa buku yang dibawanya ke atas meja, tetapi tak segera duduk. Ia hanya berdiri di belakang meja dengan telapak tangan menjinjit di atas meja sebagai penopang tubuhnya. "Ada yang harus saya katakan pagi ini kepada kalian. Seperti yang kalian ketahui jika Mr. Jefry berhalangan hadir pagi ini karena harus mempersiapkan dirinya untuk pindah ke Paris beberapa hari lagi." Para siswa melongo, termasuk Lilac. Rasanya tidak mungkin Mr. Jefry pergi ke negara paling romantis di dunia itu, tidak ada beritanya. Jika benar akan pergi, beliau pasti heboh. Namun, tidak ada kabar yang memberitahukan tentang kepergiannya. Apakah Azazel bercanda? Lilac menahan napas melihat tatapan Azazel yang berkilat ke arahnya. Azazel tidak bercanda, dia serius. Lalu, apakah kepergian Mr. Jefry karena penolakannya pada pria itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD