Bab 10. The Man In The Painting

2049 Words
Lilac menggelengkan kepala, menatap horor pada lukisan di depannya yang bernilai jutaan dollar. Beberapa kali dia mengucek mata, memastikan apa yang ditangkap indra penglihatannya tidak salah. Namun, tetap saja tak ada yang berubah. Pria yang sedang mengintip di bibir gua adalah gurunya, Mr. Jefry. "Evy!" Lilac menarik tangan Evory, membawanya mendekat ke arah lukisan. Dia ingin menunjukkan keanehan yang dilihatnya di lukisan itu. "Lihatlah!" pintanya dengan nada serius. Evory menatap lukisan itu, mengamatinya selama beberapa saat, kemudian mengerutkan keningnya. "Apa yang harus kulihat?" tanyanya bingung menatap Lilac. "Tak ada yang aneh, semuanya sempurna." Dia menggelengkan kepalanya. "Apa katamu?" Lilac mengerutkan keningnya. "Apa kau tidak melihatnya?" "Melihat apa?" Evory balas bertanya. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, juga menatap ke arah belakang. Berpikir jika yang dimaksud Lilac bukanlah lukisan, tetapi sekelilingnya. "Aku tidak melihat apa-apa." Mata biru Lilac mengerjap beberapa kali. "Apa maksudmu?" tanyanya lagi. Dia menyipitkan mata menatap Evory yang tersenyum mengamati lukisan. "Apakah kau tidak melihatnya, Evy?" Evory mengalihkan tatapan pada Lilac, dia memutar bola matanya. "Melihat apa? Aku tidak melihat apa-apa, Lily!" Dia mengulangi kalimat yang tadi diucapkannya, kali ini dengan nada yang tinggi. "Astaga, benarkah?" Lilac menatap lukisan sekali lagi. Evory benar, tidak ada yang berubah. Mr. Jefry tetap berada di dalam lukisan sedang mengintip wanita pemetik bunga. Lalu, kenapa Evory tidak melihatnya? Apakah hanya dia yang melihat sosok guru mereka itu? "Lukisan ini yang terbaik dari semua yang dipamerkan. Pelukis profesional menang beda." Evory menggelengkan kepala pekan beberapa kali, bibir mungilnya mengukir senyum. "Aku sangat bangga bisa melihat lukisan ini sebelum di kirim ke Perancis lusa." Lilac tersentak. "Lusa?" ulangnya. Evory mengangguk tanpa menatap Lilac, sehingga tidak melihat bagaimana pucatnya wajah cantik sahabatnya itu. "Apa kau tidak tahu?" tanyanya dengan tatapan lurus tertuju pada lukisan yang tergantung di dinding. "Lukisan ini sudah dihadiahkan pemiliknya ke museum Louvre di Paris." "A ... apa?" Lilac menatap liar sekeliling, sebelum berhenti pada sosok Mr. Jefry yang berdiri di balik dinding di bibir gua. "Mr. Jefry akan pergi ke Paris seminggu lagi dan akan menetap di sana selamanya." Perkataan Azazel beberapa hari yang lalu saat menggantikan Mr. Jefry mengajar di kelasnya, kembali terngiang di telinga Lilac. Seminggu yang dikatakan Azazel jatuh pada lusa. Astaga! Kenapa semua jadi seperti kebetulan seperti ini? Apakah semua ini Azazel yang melakukannya? Akan tetapi, untuk apa? Tidak ada alasan bagi Azazel mencelakai Mr. Jefry. Meskipun beliau bukan guru yang ramah, tetapi Mr. Jefry juga tidak jahat. Beliau hanya kaku dan tegas saja terhadap siswa yang melanggar peraturan sekolah. Namun, itu bukan alasan untuk memasukkannya ke dalam lukisan. Wajah Mr. Jefry tampak tersiksa, seperti seseorang yang meminta tolong.. Yang paling membuat Lilac heran adalah Evory yang bertingkah seolah tidak melihat jika guru mereka menjadi salah satu objek di dalam lukisan. Apakah benar hanya dirinya yang dapat melihatnya? Jika memang iya, berarti benar semua ini perbuatan Azazel. Kedua tangan Lilac mengepal. Apa maksud Azazel berbuat seperti ini? Hanya ingin menunjukan padanya bagaimana kekuatannya agar dia takut dan mau ikut bersamanya? Jangan bercanda, dia tidak akan mau mengikuti seorang iblis seperti Azazel. Dia bukan golongan mereka yang akan menyerahkan jiwa ya pada iblis demi keabadian. Menjalani hidup sesuai takdir dan garis hidup, itulah kebahagiaan manusia. "Evy, apa kau benar-benar tidak melihatnya?" Sekali lagi Lilac bertanya, untuk memastikan. "Mr. Jefry ada di dalam lukisan itu!" Dia menunjuk sosok Mr. Jefry di bibir gua. Menatap bergantian Evory dan lukisan itu. Evory mengerutkan alisnya, bingung dengan apa yang dikatakan Lilac. Dia benar-benar tidak mengerti. Mr. Jefry di dalam lukisan? Astaga, Lilac pasti bercanda karena dia tidak melihat apa-apa selain wanita yang memetik bunga. "Di mana Mr. Jefry?" tanya Evory. Dia celingukan mencari. Mungkin maksud Lilac salah guru mereka itu yang menjadi salah satu pengunjung pameran juga, sebab tidak mungkin jika Mr. Jefry berada di dalam lukisan. "Jadi, kau benar-benar tidak melihatnya?" Lilac balas bertanya. Wajahnya pucat, keringat membasahi pelipisnya, padahal gedung pameran itu menggunakan pendingin ruangan. Evory mengangguk sambil meringis. Dia mengatakan yang sebenarnya. "Aku tidak melihatnya. Maafkan aku, Lil!" pintanya sambil mengusap tengkuk. Napas Lilac tercekat, dadanya bergemuruh, jantungnya memompa dengan cepat, tubuhnya bergetar hebat, rasanya lemas. Berarti benar, semua ini adalah ulah Azazel. Kepala Lilac menggeleng, kedua tangannya mengepal kuat. Dia tidak akan memaafkan Azazel karena sudah melakukan semua ini. "Ada apa, Lily? Apa kau baik-baik saja?" tanya Evory khawatir. Wajah Lilac terlihat pucat. Lilac mengangguk kaku. "A ... aku ... aku baik-baik saja, Evy," jawab Lilac ragu. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang. "Apa kau yakin?" tanya Evory lagi. Dia sangsi jika keadaan Lilac sama seperti yang dikatakannya, sahabatnya terlihat pucat. Lilac juga tampak berkeringat, bulir-bulir bening itu berkilat di pelipisnya. Sungguh, Lilac terlihat seperti seseorang yang tengah menahan sakit. Sekali lagi Lilac mengangguk, kali ini dengan ragu saat matanya kembali menangkap raut wajah Mr. Jefry di dalam lukisan. Gurunya itu tampak tersiksa, Mr. Jefry membutuhkan pertolongan mereka. Seandainya saja Evory juga bisa melihat sosok guru mereka di dalam lukisan, mungkin saja mereka bisa membantunya mencari jalan untuk keluar dari lukisan. Sayangnya, Evory justru tidak melihatnya. Azazel hanya menunjukkan ini padanya, entah untuk apa. Namun, sepertinya ini ada hubungannya dengan ancamannya waktu itu. "Apa tidak sebaiknya kita pulang saja,.Lily?" tanya Evory mengusulkan. Dia khawatir pada keadaan Lilac. "Kau terlihat kurang sehat." Lilac menggeleng lagi. "Tidak, Evy, aku baik-baik saja," sahutnya dengan suara bergetar. Dia takut, bukan untuk keselamatannya, tetapi orang-orang yang ada di sekelilingnya. Namun, untuk menyerah dan menerima tawaran Azazel pergi ke dunianya, Lilac juga tidak akan melakukannya. Sampai kapan pun, dia tetap tidak akan menyerah. Dia yakin, pasti ada yang bisa dilakukannya agar bisa terlepas dari pria itu. Evory memutar bola mata, mulutnya berdecak. Lilac terlalu keras kepala, padahal sudah terlihat jika tidak baik-baik saja. "Baiklah, Lily, kita tidak akan pulang karena sepertinya kau masih betah di sini. Akan tetapi, bagaimana jika istirahat dahulu?" Dua memberi usul. "Aku haus dan memerlukan minuman lagi." Lilac mengangguk kali ini, dia sangat setuju dengan usul Evory. Sama seperti Evy, dia juga merasa haus, tenggorokannya rasanya kering seolah dia berada di tengah padang pasir. "Bagus!" Evory tersenyum lebar. Dengan bersemangat menarik tangan Lilac menuruni tangga. Evory menyeret Lilac ke tempat yang lebih jauh dari sekedar stand penjual makanan di depan gedung pameran. Dia membawanya ke sebuah kafe yang berjarak beberapa ratus meter dari gedung, tentu saja dengan mengendarai mobil. Entah kenapa, dia merasa Lilac tidak cocok dengan lukisan. Evory yang memesankan Lilac minuman. Segelas milkshake strawberry sudah tersaji di depan mereka beberapa menit kemudian. Sengaja dia memesan minuman dengan perpaduan rasa asam dan manis itu agar Lilac kembali bersemangat. "Terima kasih, Evy!" kata Lilac setelah menyesap minumannya melalui sedotan. "Kupikir, aku memang perlu menjauh dari gedung pameran itu beberapa saat." Evory mengangguk. "Tidak masalah," sahutnya. Dia meletakkan gelasnya tepat di depannya. "Kupikir juga seperti itu, makanya aku membawamu ke tempat ini. Kau perlu sesuatu yang bisa membuatmu kembali bersemangat." Lilac mengembuskan napas melalui mulutnya. Dia menyandarkan punggungnya ke belakang, menatap nanar pada gelas milkshakenya. Dinding gelas itu mengembun, asap tipis tampak di sekelilingnya. Pikirannya kembali pada lukisan yang ada di gedung pameran tadi. Lukisan yang tergantung pada dinding di sisi tangga, di mana gurunya ada di dalamnya. Dia yakin itu adalah perbuatan Azazel, hanya pria itu yang dapat melakukannya. Lilac menggelengkan kepalanya pelan. Sepertinya sudah tak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk mengeluarkan Mr. Jefry dari dalam lukisan selain meminta bantuan Azazel, yang tentunya tidak akan gratis. Lebih buruk lagi, pria itu menolak membantu. Astaga, semoga saja tidak karena ini menyangkut nyawa seseorang. "Evy, apa kau tahu di mana alamat tempat tinggal Mr. Adams?" tanya Lilac hati-hati. Evory adalah salah satu penggemar Azazel. Setahunya, Evory sudah menjadi anggota klub penggemar pria itu. Jadi, tak salah jika dia bertanya apa Evory tentang alamat pria itu. Biasanya penggemar mengetahui segalanya tentang idolanya. Evory menatap Lilac penuh kecurigaan. Matanya yang sudah sipit semakin terlihat sipit saat dia memicing. Pertanyaan Lilac sedikit aneh menurutnya. Dia yang tak pernah peduli, bahkan terlihat tidak menyukai Mr. Adams tiba-tiba menanyakannya. "Kenapa memangnya?" Evory balas bertanya. "Maksudku, kenapa jika aku tahu?" Dia meralat pertanyaannya karena merasa sedikit kasar. Lilac menggeleng. "Jika kau mengetahuinya, bisakah kau mengantarkanku ke rumahnya?" pintanya ragu. Sungguh, dia benar-benar tak yakin dengan apa yang dikatakannya. Namun, dia merasa perlu melakukannya. Menemui Azazel dan meminta pria itu menjelaskan apa yang menimpa Mr. Jefry, dan jika Azazel berkenan dia juga akan memintanya untuk mengembalikan Mr. Jefry seperti semula. "Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padanya." "Benarkah?" Evory masih menatap Lilac dengan tatapan penuh selidik. Lilac mendesah jengkel. "Ayolah, Evy. Aku tak dak akan meminta sesuatu padamu kecuali jika hal itu penting. Tidakkah kau mengingatnya?" tanyanya dengan nada suara naik satu oktaf. Evory mengembuskan napas. "Baiklah," katanya setelah diam beberapa detik, berpikir semua yang dikatakan Lilac. Sahabatnya memang terlihat tidak menyukai Mr. Adams, tetapi bukan berarti Lilac ingin melukainya. Evory sangat mengenal Lilac, meskipun angkuh dan judes, tetapi Lilac sama sekali bukanlah gadis yang jahat. Tidak mungkin Lilac akan melakukan sesuatu yang buruk terhadap Mr. Adams. Daripada itu, bukankah seharusnya dia lebih mengkhawatirkan Lilac? Mr. Adams itu seorang pria dewasa, dan pasti tenaganya jauh lebih besar dibandingkan Lilac yang seorang gadis remaja. Evory meringis, kemudian menggeleng. "Sampai sekarang, tidak ada seorang pun yang mengetahui di mana tempat tinggal Mr. Adams," katanya lemah. "Semua anggota klub penggemar menanyakannya kepada ketua klub dan jawabannya adalah tidak tahu." Beberapa orang gadis pemandu sorak yang mendirikan klub penggemar untuk Azazel, bahkan pernah menguntit pria itu saat pulang sekolah. Namun, tetap tidak mendapatkan alamat tempat tinggalnya, Azazel menghilang di perempatan jalan yang ramai. Lilac tersenyum masam. Tentu saja, siapa pun tidak akan ada yang mengetahui di mana Azazel tinggal karena rumahnya bukan di sini, bukan di dunia ini. Lilac yakin dunia mereka berbeda, Azazel pernah mengajaknya ke dunianya. Ajakan yang langsung ditolaknya dengan tegas. "Jadi, tidak ada yang tahu?" tanya Lilac menatap lekat Evory. Dia khawatir jika Evory berbohong saja padanya. Tidak ada yang tahu mengenai peraturan klub penggemar Azazel kecuali para anggotanya. Mungkin saja ketua klub tidak memperbolehkan para anggotanya memberikan informasi kepada mereka yang bukan anggota klubnya. Evory mengangguk lemah. "Itu adalah keinginan setiap anggita klub yang belum terpenuhi. Kami semua sangat ingin tahu di mana Mr. Adams tinggal." Evory kembali terlihat antusias. Bola matanya seakan memancarkan api. Lilac menggelengkan kepala melihatnya, emosi Evory cepat sekali berubah. "Kau pasti tahu, 'kan, apa yang akan dilakukan para penggemar jika mengetahui tempat tinggal idolanya?" tanya Evory. Lilac mengangguk sebagai respons, terlalu malas dengan topik pembicaraan mereka. Sungguh, dia tak bermaksud untuk membicarakan Azazel, dia hanya ingin tahu di mana rumahnya untuk bertanya mengenai Mr. Jefry yang sekarang mendekam di dalam lukisan. Percayalah, membicarakan Azazel membuatnya merasa mual, tetapi ada satu hal lagi yang ingin ditanyakannya. "Kenapa kalian tidak bertanya kepada Azazel saja?" tanya Lilac, kemudian berdeham satu kali setelah melihat bagaimana Evory menatapnya. "Maksudku, Mr. Adams." Dia terpaksa meralat perkataannya. Evory mendesah. "Tidak ada yang berani mendekatinya apalagi bertanya langsung. Kau sendiri tahu bagaimana dinginnya Mr. Adams, beliau seperti kutub selatan yang tidak tersentuh." "Sudah tahu dia dingin seperti itu, kenapa kau masih mengidolakannya?" tanya Lilac gemas. Dia memutar bola matanya. "Yang dingin seperti itu selalu yang membuat penasaran," sahut Evory. Dia lalu meletakkan kepala di atas meja dengan kedua tangan terlipat dijadikan sebagai bantalan. "Selain dingin dan misterius, Mr. Adams juga sangat tampan." Lilac mengembuskan napas melalui mulutnya. Baiklah, apa yang dikatakan Evory memang benar, Azazel memang sangat tampan. Sikapnya yang tidak tersentuh membuat semua orang penasaran untuk mendekati dan mengenalnya lebih jauh. Semua orang, kecuali dirinya. Tunggu sampai kau tahu siapa Azazel yang sebenarnya, Evy. Aku yakin kau tidak akan lagi mengaguminya sampai seperti ini. Lilac menatap keluar kafe. Mata birunya terpaku pada sosok pria yang tengah berdiri di depan pintu masuk gedung pameran. Bukankah itu Azazel? Meskipun kafe ini terletak beberapa ratus meter jauhnya dari gedung pameran, tetapi dia masih bisa mengenalinya. Sosok Azazel terlalu mencolok di antara semua orang yang mengantre untuk dapat masuk ke dalam gedung. Tanpa menyadari keanehan matanya yang dapat melihat, bahkan mengenali seseorang dari jarak yang bisa dikatakan sangat jauh, Lilac berdiri. Dia berlari.keluar kafe, mengejar Azazel yang sudah memasuki gedung pameran. Lalu lintas yang mulai padat tidak menghalangi niat Lilac. Tidak bisa lagi berlari, dia memacu lebar-lebar langkahnya agar lebih bisa tiba di gedung pameran lebih cepat. Seruan Evory yang memanggil namanya tidak dihiraukan, dia harus mendapatkan Azazel secepatnya, dan menanyakan maksud pria itu mengurung Mr. Jefry di dalam lukisan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD