Lilac tidak berpikir untuk maju ke depan kelas mengerjakan soal di papan tulis atas permintaan Azazel. Ah, bukan! Bukan permintaan, melainkan perintah. Sepertinya pria itu tahu dia tidak memperhatikan materi pelajaran yang dijelaskannya, sehingga memintanya untuk mengerjakan soal pertama.
Ah, sialan! Tidak seharusnya dia tidak memperhatikan. Sudah berulang kali dia mencoba untuk fokus pada pelajaran, tetapi otaknya selaku berpikir ke arah lain. Celakanya dua tidak bisa memaksanya untuk memperhatikan pelajaran Azazel.
"Ayo, Lilac Bryne, kerjakan soal nomor satu!"
Lilac mendelik tajam. Azazel menjebaknya. Entah apa yang diinginkan pria itu, tetapi sungguh ini bukan sesuatu yang lucu.
"Sudah kuduga kau tidak bisa mengerjakannya." Azazel mengambil kembali spidol hitam yang tadi diberikannya pada Lilac saat memintanya pertama kali, melihat gadis itu hanya berdiam diri. Ia melihat delikan tajam itu, dan sangat menyukainya. "Kutunggu di ruanganku sepulang. Sekarang, duduk kembali di bangkumu!" perintahnya tegas.
Lilac melakukannya segera. Bukan karena takut mendengar perkataan Azazel, melainkan karena dia memang menginginkannya. Berdiri di depan kelas dan mengerjakan contoh soal yang diberikan oleh guru bukanlah hal yang disukainya. Dia bukan gadis yang suka menjadi pusat perhatian.
Percayalah, duduk di bangku dan memperhatikan siswa lain mengerjakan contoh soal adalah dua hal yang selalu dilakukannya. Jika pada awalnya dia tidak paham karena tidak memperhatikan, setelah melihat contoh itu dua akan memahaminya.
Tidak memperhatikan pelajaran bukan hal baru bagi Lilac, dia sudah sering melakukannya. Jika tidak paham, dia akan meminta Evory untuk mengulang penjelasan guru mereka setelah istirahat. Pada dasarnya, Lilac merupakan siswa yang pandai sehingga mudah memahami sebuah materi pelajaran.
"Dennisa Lionel!"
Lilac tak mengikut arah pandang teman-teman sekelasnya yang menatap gadis dengan nama yang disebutkan Azazel. Dennisa Lionel adalah salah satu siswa terpandai di kelas mereka, tetapi juga memiliki catatan yang buruk di sekolah. Gadis berambut cokelat keemasan dan bermata biru itu pernah terlibat kasus obat-obatan terlarang.
Tak hanya itu, Dennisa juga terciduk sedang berhubungan intim dengan salah satu siswa dari tim basket di gudang olahraga. Tidak tanggung-tanggung, kepala sekolah dan guru olahraga sendiri yang menangkap basah. Yang lebih parah, ternyata Dennisa adalah seorang hyperseks. Tersebar rumor di kalangan para siswa, Dennisa kerap berhubungan intim dengan Jonathan Bridget, guru olahraga mereka yang tampan.
Itu sebelum ada Azazel di sekolah, Mr. Bridget menjadi guru tertampan di sekolah. Dia memiliki otot yang menawan di seluruh tubuhnya. Beberapa siswa yang pernah melihatnya topless bercerita, tak ada lemak sama sekali di perutnya, yang ada hanya pahatan enam kotak yang menggiurkan untuk dijilat.
Namun, Lilac tak pernah tertarik untuk melakukannya. Jangankan menjilat, meraba pun dia tak berminat. Katakan saja dia aneh, Lilac sama sekali tidak keberatan. Dia seorang perawan secara keseluruhan, tidak berminat untuk menjalin hubungan dengan laki-laki mana pun. Untuk saat ini, dan entah sampai kapan.
"Jangan pernah berpikir untuk menjalin hubungan laki-laki mana pun, Lily. Kecuali kau ingin laki-laki itu celaka. Ingatlah satu hal, kau adalah pengantinku, takdirmu menjadi pendampingku!"
Lilac mencibir ke arah Azazel, segera membuang muka setelah pria itu mengalihkan tatapan padanya. Pria itu baru saja berbicara padanya melalui pikiran. Apakah Azazel baru saja membaca pikirannya? Astaga, betapa menyebalkan!
Namun, tunggu dulu! Azazel pernah mengatakan padanya, dia tidak bisa membaca pikirannya, tetapi juga bisa melakukannya pada kondisi tertentu. Apakah kondisi tertentu itu seperti sekarang ini?
Lilac menatap pria itu dengan mata memicing. Azazel berdiri di depan Dennisa, sedang memperhatikan gadis itu yang mengerjakan contoh soal dengan lancar. Lilac mengerutkan keningnya, bertanya dalam hati apakah Azazel tertarik pada Dennisa? Maksudnya, tertarik secara fisik dan ingin melakukan hubungan intim dengannya. Dia yakin, Azazel pasti sudah mengetahui siapa dan bagaimana Dennisa.
"Terima kasih, Dennisa. Kau bisa duduk kembali ke bangkumu," kata Azazel tanpa intonasi seperti biasa. Senyum miring menghiasi bibir merah pucatnya, ia mendengar semua yang dikatakan Lilac di dalam hatinya. Gadis itu benar, saat ini ia bisa membaca pikirannya.
Selain Lilac, ia juga dapat mengetahui isi pikiran Dennisa Lionel yang menjadikannya target untuk mengisi ranjangnya. Gadis pemimpi karena ia tidak akan pernah membiarkan siapa pun menyentuhnya, kecuali Ganela.
"Sebelum pelajaran hati ini berakhir, ada yang ingin bertanya? Saya memberikan waktu lima menit, jika tidak ada saya anggap kalian semua paham." Azazel duduk di kursinya setelah meletakkan spidol kembali ke tempatnya. Tidak ada yang salah pada jawaban Dennisa, semuanya benar, termasuk cara dan rumus penyelesaian. "Untuk soal nomor dua dan seterusnya, saya minta kalian mengerjakannya di rumah dan kumpulkan pada jam pelajaran saya berikutnya!"
"Apa?" Lilac memekik tanpa sadar. Dia terkejut, Azazel pasti bercanda memberikan tugas lagi kepada mereka. Ada sembilan buah soal lagi yang sama sulitnya, dan mereka harus mengumpulkannya besok. Iya, jam pelajaran Azazel berikutnya adalah besok di awal. Ah, sialan! Azazel benar-benar menyiksanya.
"Iya, Nona Byrne..Apakah ada yang ingin kau tanyakan?" tanya Azazel dengan wajah tanpa dosa, padahal ia mendengar helaan napas semua siswanya di kelas ini, dan ia menikmatinya. Ketakutan mereka merupakan kekuatan untuknya.
Sungguh, Lilac ingin memaki Azazel sekarang, dan mengajar wajah tampannya yang terlihat seperti seseorang yang polos. Sayangnya, dia tidak bisa melakukannya. Yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah menarik napas dan mengembuskannya pelan melewati rongga hidung, kemudian menggeleng. "Tidak ada, sir. Aku hanya sedikit terkejut saja karena Anda sepertinya tidak memberikan jeda pada otak kami untuk terus berpikir."
Azazel berdiri. "Mengerjakan tugas dariku lebih baik daripada kalian menghabiskan waktu di pesta yang tidak berguna," katanya dingin. Tatapannya menyapu wajah setiap siswa yang rata-rata memucat. "Aku tahu, kalian ingin menghadiri pesta yang diadakan gadis yang merasa dirinya paling populer itu. Sayangnya, aku tidak mengizinkannya."
Lilac melongo. Azazel juga mengetahui pesta bikini yang akan diadakan Samantha malam ini di rumahnya. Astaga! Dia juga menerima undangannya, tetapi tak berniat untuk datang. Ada kata yang menarik perhatian dari kalimat yang diucapkan Azazel, yaitu gadis yang merasa dirinya paling populer. Kalimat itu memang benar, Samantha Loose selalu mengklaim dirinya sebagai siswa perempuan paling populer di sekolah mereka.
Sungguh, itu sangat menyebalkan. Tidak, dia tidak merasa iri, hanya kesal saja. Tingkat kepercayaan diri Samantha terlalu tinggi, dia takut gadis itu akan terjatuh dengan bunyi yang sangat keras jika berhadapan dengan Azazel yang bermulut pedas.
Bel tanda pelajaran berakhir, berbunyi. Seluruh siswa langsung membereskan alat tulis mereka dan bersiap untuk pulang. Tak hanya pelajaran yang berakhir, sekolah juga berakhir untuk hari ini.
"Baiklah, Anak-anak, sampai jumpa besok!" Azazel juga membereskan buku-buku pelajaran yang diberikan bawanya. "Jangan lupa mengerjakan tugas kalian dan mengumpulkannya besok, kecuali kalian ingin mendapatkan hukuman pada pelajaranku."
Azazel melangkah lebar keluar kelas. Di depan pintu ia berhenti, menatap Lilac yang juga tengah menatapnya. Dengan gerakan kepala ia meminta gadis keras kepala itu untuk mengikutinya, ada sesuatu yang ingin d dikatakannya padanya.
Lilac berdecak kesal, padahal hari ini dia dan Evory sudah berjanji untuk ke toko buku bersama Evory. Mereka ingin mencari buku seperti yang tadi dibaca Evory di perpustakaan. Buku mitos dan dongeng yang memuat tentang pengantin Azazel. Nun, dia terpaksa membatalkan janji mereka karena harus menemui pria itu di ruangannya setelah ini.
"Evy, maafkan aku, tapi aku tidak jadi ikut denganmu ke toko buku," kata Lilac hati-hati. Dia sudah mengenal watak Evory yang sangat tidak suka pada seseorang yang membatalkan janji secara sepihak. "Mr. Adams memintaku ke ruangannya setelah ini, hukuman karena aku tidak bisa mengerjakan contoh soal tadi "
Lilac mengerucutkan bibirnya. Bukan bermaksud untuk mencari simpati Evory, melainkan karena kesal. Gara-gara Azazel, dia tidak bisa pergi bersama Evory.
"Iuh, itu sangat menyebalkan!" Evory berdecak, tetapi dia tidak bisa berbuat apa pun. Lilac memang bersalah dan pantas dihukum agar jera. "Tidak apa-apa, kupikir kita bisa melakukannya besok," katanya tersenyum menepuk bahu Lilac. "Pergilah, Lily, daripada nanti hukumanmu bertambah."
Lilac memutar tubuh, melangkah meninggalkan kelas dengan tidak bersemangat. Sepanjang perjalanan menuju ruangan Azazel yang terletak di lantai dua, dia selalu menundukkan kepala. Beruntung dia tidak harus menuruni tangga sehingga meminimalisir kecelakaan.
Sebelum mengetuk pintu berwarna cokelat terang yang tertutup, Lilac menarik napas terlebih dahulu, menyimpannya di paru-paru kemudian mengembuskannya kuat.
"Masuklah, Lily!"
Seruan dari dalam membuat Lilac batal untuk mengetuk. Dia langsung memutar pegangan pintu dan mendorong daun pintu lebih lebar untuknya masuk.
"Duduklah!" pinta Azazel tanpa menatap. Ia sibuk dengan laptop di depannya, memeriksa beberapa nama siswa yang akan menjadi targetnya.
Lilac berdecak. "Bisakah kau mengatakan saja apa yang kau ingin bukan?" tanya Lilac malas. Asia menyandarkan punggung ke belakang. "Aku harus segera pulang untuk mengerjakan tugasku yang banyak dan sangat sulit dari seorang guru yang tidak berperasaan."
Azazel menaikkan sebelah alisnya mendengar itu. Ia tersenyum miring, menutup laptop setelah mematikannya, menatap Lilac yang balas menatapnya dengan angkuh. "Kau berani sekali menyebutku tidak berperasaan bahkan di depanku sendiri" katanya terkekeh pelan.
"Aku tidak berminat untuk menggunjingmu di belakang!" balas Lilac ketus. "Jika aku bisa mengatakannya di depanmu secara langsung, kenapa tidak?"
"Ini yang membuatku tergila-gila padamu, Lily...."
"Benarkah?" tanya Lilac memotong perkataan Azazel. "Namun, aku tidak melihatnya seperti itu. Apa kau tahu Azazel, bukan seperti itu caranya menunjukkan perasaanmu kepada seorang gadis. Apa yang kau lakukan sangat menjijikkan!"
Azazel tertawa. "Jadi, kau tidak suka pada ancamanku. Jika seperti itu, kenapa tidak kau terima saja saat aku melamarmu?" tanyanya sambil berdiri.
"Apa kau bercanda?" tanya Lilac dengan mata melebar. "Aku seorang manusia, gadis baik-baik. Bagaimana mungkin kau bisa berpikir aku akan menerimanya? Tidak ada manusia bersama dengan seorang iblis, meski raja iblis sekalipun."
"Sayangnya kau salah, Lily."
Lilac mengerutkan keningnya. Perasaannya mulai tidak nyaman. Dadanya berdebar, jantungnya memacu dua kali lebih cepat, seolah akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya.
"Kau salah jika berpikir kau adalah manusia sejati karena pada dasarnya kau sana sepertiku!" Azazel tertawa setelah mengatakannya. "Kau adakah reinkarnasi Galena, pengantinku!"