Shino benar-benar pingsan di pangkuan Ashley, gadis itu masih tertegun tanpa kata. Hingga anak buah Shino mendekat dan membantu mengangkatnya.
“Nona ikut kami, saat ini tuan butuh nona di sampingnya,” ujar pria berkaca mata hitam. Sambil menelan saliva, akhirnya Ashley mengikuti dari belakang.Mereka membawa Shino, ke suatu tempat.
“Loh, kenapa bukan ke rumah sakit?” tanya Ashley panik.
Bukannya menjawab pertanyaan itu, sopir malah terus melajukan kendaraan ke arah pegunungan. Melintasi pepohonan bambu, dengan hamparan perkebunan di sekitarnya dan jurang di sisi lain.
“Pak, kenapa gak ke rumah sakit!” Ashley semakin menekankan suaranya kesal, dia merasa serba salah.
“Sebentar lagi kita sampai, tenang saja nona muda,” ujarnya santai.
“Dasar! Manusia aneh,” ujar Ashley, dalam hati.
Saat mobil berbelok, sebuah gerbang besar terbuka dengan sendirinya. Tidak lama beberapa orang serentak menunggu dengan sebuah brankar, terlihat seorang pria tua. Wajah pria itu seperti seorang dokter profesional, dia mengarahkan beberapa orang untuk memindahkan Shino perlahan.
“Siapa, dia?“ tanya seseorang, dengan pakaian layaknya seorang asisten.
“Nona muda, Ashley,” jawab sopir yang membawa, mobil Shino.
Pandangannya sinis, menyeringai ke arah Ashley. Wajah itu tidak bersahabat, bahkan dia seakan tidak senang dengan kehadiran Ashley.
“Baru saja datang, sudah membuat bencana,” celetuk nya, saat melintas di samping Ashley.
Mata Ashley membelalak. “Kalau saja aku tidak sendirian, bakalan aku lawan kamu. Dasar! Nenek sihir,” batinnya kesal.
Pria yang membawanya bersama Shino, hanya tersenyum tipis di belakangnya. Pria itu sadar, bahwa Ashley menahan kesabaran nya saat ini.
“Bimo!” panggil Dokter tua itu.
“Bagaimana, Dokter?“ tanyanya.
“Ternyata namanya, Bimo.” Ashley berucap pelan, sambil senyum.
“Ini resepnya.” Dokter itu, menyerahkan secarik kertas.
Ashley bingung harus berbuat apa, saat ini hanya Bimo yang dia kenal. Walau tidak kenal dekat, setidaknya pria dingin itu bisa berbuat ramah tidak seperti perempuan yang berlagak nyonya besar.
Melihat Bimo beranjak pergi, Ashley berinisiatif mengikutinya. Tapi, Bimo sadar bahwa Ashley mengikutinya.
“Nona, tetap di sini saja. Saya mau menebus obat ini,” ujarnya.
Sambil menggigit ujung jarinya, Ashley seakan memohon belas kasihan. “Bolehkah saya ikut?” tanyanya.
“Maaf, saya takut kalau nanti tuan mencari, nona tidak ada,” tolak Bimo.
“Hem...." Ashley menunduk kesal.
Melihat Ashley yang sedih, Bimo seakan berpikir. Lalu dia mulai menyampaikan, sesuatu.
"Anda, bisa ikut dengan saya sebentar,” ajak Bimo.
Akhirnya Ashley mengikuti Bimo, melintasi sebuah ruangan dan menaiki beberapa anak tangga. Bimo mulai menunjuk ke arah sebelah utara, balkon rumah itu.
“Anda lihat bangunan di bawah sana, yang berada tidak jauh dari danau?“ tanyanya.
“Iya, apa hubungannya dengan saya?“ tanya Ashley.
“Itulah alasan tuan, memilih nona untuk menikah dengannya,” ujar Bimo, masih dengan ekspresi wajah dingin dan tegas.
“Lalu hubungannya dengan saya apa, itu rumah siapa saja saya tidak tahu. Kenapa harus saya, masih banyak wanita di luar sana yang lebih pantas,” keluh Ashley.
“Saya hanya boleh menjelaskan sampai poin yang ini, selebihnya hanya tuan Shino yang tahu,’’ ujarnya.
“Tapi.” Ashley menghentikan ucapannya, saat wanita sombong itu datang.
“Nenek sihir,” gerutunya.
Bimo hanya terkekeh kecil, mendengar julukan itu. Segera Bimo menyebut nama wanita itu lantang.
“Kenapa kamu kemari, Viona?“ tanya Bimo.
“Oh, namanya Viona. Sayang nama bagus tapi wajah suram,” ejek Ashley dalam hati.
Bimo sadar kalau Ashley membatin, tentang Viona. Dia hanya tersenyum kecil, sambil melirik ke arah Ashley yang menendang lantai, padahal lantai itu tidak bersalah.
“Kenapa kamu di sini, dengan wanita jalanan ini,” ujarnya.
Ashley mulai geram saat dia akan melayangkan tamparan, Bimo segera menahan.
“Jaga ucapanmu! Kalau masih mau tetap berada di sini. Wanita ini kedepannya, akan menjadi nyonya di rumah ini,” jelas Bimo, pria itu sengaja bersuara lantang agar Viona sadar.
Wajah Viona langsung berubah merah, seperti kepiting rebus. Dia berbalik arah dan menghentakkan kakinya, meninggalkan Ashley dan Bimo.
“Sebenarnya dia, siapa?“ tanya Ashley.
“Hanya, kepala pelayan,” ujar Bimo.
“Kalau hanya kepala pelayan, kenapa seakan benci denganku. Jangan-jangan dia, menaruh hati pada Shino. Sehingga merasa kehadiranku menjadi penghalangnya,” tebak Ashley.
Bimo tidak menanggapi hal itu, dia segera meninggalkannya. Ashley masih enggan beranjak dari tempat itu, dia masih menikmati pemandangan yang ditunjukkan Bimo.
“Sebenarnya itu tempat apa? Mengapa Shino memilih aku, apa hubungannya denganku?” Pertanyaan demi pertanyaan, mengusik benak Ashley.
Hingga seseorang memeluk tubuhnya dari belakang, Ashley yang terkejut langsung menyikut dengan kedua tangannya.
“Aw!“ Suara kesakitan itu, seperti mulai familiar di telinganya, segera dia menoleh dan menatap pria di hadapannya.
“Shino...,” ucapnya perlahan, lalu dengan suara terbata Ashley melanjutkan perkataannya.
“Ma-af, a-aku tidak sengaja,” ujarnya. Ia semakin merasa takut, sampai kebingungan harus bagaimana.
“Kamu baik-baik saja, kan?“ tanya Ashley, hanya saja Shino masih merintih sakit.
“Kita kembali ke sana ya, biar diperiksa,” ajaknya, lebih panik dari sebelumnya.
Tiba-tiba Shino menarik lengan Ashley yang kebingungan, dia memeluk tubuh itu erat. Bahkan menyandarkan kepalanya, di pundak Ashley.
“Tenang, tetap tenang. Aku hanya mau seperti ini,” ujar Shino. Ashley akhirnya pasrah, jika itu yang di mau tuannya.
“Hangat, pelukan ini menenangkan. Tapi, aku tidak boleh terlena atau mencoba merasa nyaman. Saat ini ingat Ashley, kamu hanya barang yang dibeli dan akan diabaikan saat dia sudah tidak butuh,” ujarnya dalam hati.
“Jangan pergi, tetap di sini.” Saat Ashley mendengar permintaan itu, jantung nya berdegup kencang.
“Apa yang aku pikirkan, mengapa perasaan ini seperti tidak menentu,” batinnya kacau.
“Tenang Ashley, itu hanya perasaan nyaman sesaat,” lanjutnya dalam hati.
Hingga tiba-tiba Shino membuka matanya, dan mengangkat tubuhnya. “Tuan, tolong turunkan saya. Jangan seperti ini,” pinta Ashley.
Tapi, Shino tidak menuruti permintaan itu. Dia terus melangkah, bahkan saat Viona menyapanya dia hanya terus melangkah.
“Tuan saya mohon, saya malu,’’ ujar Ashley pelan, sambil menutup mata.
“Lebih sering memohon, agar aku kabulkan permintaanmu,” jawabnya.
Shino membawanya ke ruangan yang sangat lebar, dengan sebuah tempat tidur yang luas. Ornamen di dinding terlihat klasik, Ashley terdiam dia berpikir sejenak.
“Waduh apa maunya tuan muda ini, masa iya belum nikah sudah mau?” Pikiran yang menyeramkan, melintas di benak Ashley.
“Maaf tuan Shino, bisa turunkan saya di sini. Saya mohon, kondisi tuan juga tidak baik,” bujuk Ashley.
Shino tidak mempedulikannya, bahkan semakin terus melangkah ke tempat tidur. Tubuh mungil langsing itu, akhirnya mendarat di atas kasur yang empuk.
Jantungnya semakin berdegup kencang, di tambah Shino membuka pakaiannya. Walau tubuh itu berbalut perban, masih menawan untuk di pandang. Terlihat dadanya yang bidang, Ashley segera menutup mata.
“Apa-apaan sih, kita belum menikah!” teriak Ashley, sambil menutup mata.
Shino mendengar ucapan itu, langsung mendekat menghampiri Ashley, dengan tatapan dingin. Ashley hanya semakin takut, mengintip dari celah jemari tangannya.