“Nona minggir! Buruan minggir, belakangmu ada trailer oleng!“ teriakan serentak dari arah kerumunan, jauh di depan Ashley.
Gadis itu terperanjat dan menoleh kebingungan, entah apa yang harus dia lakukan. Jarak antara dia dan trailer tersebut, sangat dekat. Hanya mampu berteriak sekuat tenaga, hingga tubuhnya terpental.
Suara decitan rem masih terdengar nyaring di telinganya, bahkan masih terasa suara teriakan sekitarnya. Tubuh Ashley tidak dapat bergerak, seakan tertekan oleh sesuatu yang sangat keras.
“Oh Tuhan apakah aku sudah remuk, hingga tidak bisa menggerakkan tubuh ini,” batinnya.
“Kamu baik-baik saja?“ Suara itu sangat dekat, seakan tidak berjarak dengan telinganya.
Perlahan Ashley membuka mata, melihat sesuatu yang berbeda. Sepasang mata dengan hidung mancung, yang terlihat jelas.
“Terima kasih,” lirihnya.
Hanya kata itu yang mampu terucap, setelah itu Ashley pingsan. Suara sirine yang terdengar, silih berganti.
Ashley kembali membuka matanya perlahan, cahaya terang menyorot tepat di matanya. Samar-samar sebuah gorden pembatas berwarna biru, yang menjadi benda pertama di lihat. Lalu Ashley mencoba melirik, ke arah sekitar.
“Sepertinya, aku di rumah sakit,” batinnya lagi.
“Bagaimana kondisi, Anda? Apa yang Anda rasakan, nona?“ tanya seorang perawat, yang baru saja masuk.
“Saya masih bingung suster, sebenarnya apa yang terjadi?“ tanya Ashley.
“Anda tadi sepertinya sok, karena hampir tertabrak trailer. Untung saja ada yang menolong, begitu informasi dari petugas yang membawa nona kemari,” jelas perawat itu, sambil memasangkan cairan infus.
“Lalu yang menolong saya, bagaimana kondisinya?“ tanya Ashley.
“Hanya luka ringan, di bagian lengan dan kaki. Sepertinya akibat menahan tubuh, nona,” lanjutnya menceritakan.
“Saya ingin berjumpa dia, suster. Bisa tolong antarkan saya bertemu, dia,“ pinta Ashley.
“Maaf, sepertinya dia sudah pergi satu jam lalu sebelum nona sadar. Oh ya, nama nona siapa?“ tanya perawat itu lagi.
“Nama saya, Ashley,” jawab Ashley lalu, dia lanjut bertanya. “Apakah saya, bisa pulang?“
“Kita observasi dulu ya, dalam beberapa jam kalau kondisi baik boleh pulang,” jelas seseorang, dengan seragam putih-putih yang baru saja datang.
“Perkenalkan dia, Dokter Juan. Beliau yang bertugas di UGD, saat ini,” ujar perawat itu.
“Oh, ya terima kasih," jawab Ashley.
"Dokter, bagaimana hasil pemeriksaan saya?“ tanyanya lagi.
“Sepertinya, ada hikmah dari kejadian ini. Nona, jadi di periksa keseluruhan.” Ashley tercengang dan bingung, dengan maksud Dokter tersebut.
“Kondisinya baik-baik saja, sekitar tiga jam kalau tidak ada muntah atau demam boleh pulang. Sementara tetap istirahat, agar lebih tenang perasaannya,” jelasnya.
“Terima kasih, Dok,” balas Ashley.
***
Aroma masakan mulai mengusik, Ashley seakan terhipnotis dan beranjak bangkit dari tempat tidurnya. Perlahan membuka pintu mengikuti arah aroma lezat, penyemangat hidup.
“Sudah bangun?“ tanya Amora.
“Mami lihat, bagaimana? Ashley, masih tidur?“ celetuknya santai.
“Buruan makan! Makanannya keburu dingin, kita mau ada janji temu,” ujar Amora.
“Mami, Ashley masih trauma. Takut keluar rumah,” rengeknya.
“Kalau kamu gak keluar, siapa yang mau mencari uang? Buruan mandi dandan yang cantik dan harum. Kita mau ketemu orang penting, lagian kontraknya juga gak lama. Dia setuju, kalau kamu masih mau selesaikan sarjanamu dan tentu saja menjaga privasi,” jelas Amora.
‘Kenapa sih Mami, tega banget sama anaknya. Walau aku bukan anak kandungnya, setidaknya dari bayi dia sudah mengurusku seperti anak kandung sendiri. Hanya sehari saja, masa aku harus tetap bekerja,' keluh Ashley, dalam hati.
“Buruan mandi, kenapa malah seperti itu. Buruan dong, ini bukan bisnis main-main,” ujar Amora.
“Mami, cukup!” Dengan nada tinggi Ashley membentak, wanita di depannya.
“Kalau kamu tidak mau, aku akan menjadikan adikmu sebagai gantinya. Sangat gampang, bahkan dia bisa lebih senang mendapatkan yang masih orisinil,” celetuk Amora tanpa perasaan.
Menarik napas panjang, wajahnya menahan kekesalan. Seakan ingin melempar gelas ke wajah Amora, semua itu hal yang terlintas di benak Ashley.
“Dasar monster! Bahkan, dia tega menjadikan darah dagingnya sendiri buat mengancamku. Fine, kali ini aku akan mengikuti maunya. Tapi, tunggu rencanaku,” ancam Ashley, dalam hati.
Sambil mengentakkan kakinya, Ashley kembali ke dalam bilik kamar. Dia segera bersiap, berdandan senatural mungkin. Seakan dia masih polos, bagai bunga yang baru mekar.
“Sudah siap, Ashley?” tanya Amora dari balik pintu.
“Sudah, Mi,” balasnya dengan nada berat.
“Selama ini aku ikhlas mengikuti maumu, menemani para hidung belang. Bahkan kamu sudah pernah, hampir menjual harga diriku. Sekarang kamu, benar-benar menjual masa depanku,” tangisnya dalam hati. Hingga air mata menetes, segera diusapnya dengan tisu.
“Mami tunggu di bawah, ya. Seharusnya kamu bersyukur, mami sudah carikan jodoh yang mapan buat kamu. Jadi, kalau kamu selesai kontrak nanti benar-benar bisa melayani bukan hanya menemani minum,” ocehan Amora sepanjang jalan, sambil meninggalkan Ashley.
Berjalan tetap tegar menghampiri Amora, mereka berangkat menggunakan transportasi online. Sepanjang jalan suasana sunyi, Ashley masih tidak terima dengan keputusan Amora.
“Ingat, nanti di sana tunjukkan sopan santun, jangan buat mami malu.” Suara perintah, yang semakin membuat Ashley geram.
“Mi, isi kontraknya apa mami sudah baca?“ tanya Ashley.
“Akhirnya, ini baca sendiri.“ Sebuah kertas dengan beberapa lembar, tertulis jelas apa yang akan terjadi ke depannya.
“Dia tidak hanya menjualku, dia juga meminta jatah bulanan berkelanjutan,” batin Ashley.
“Bagaimana? Kamu setuju bukan, soal keperluanmu sebulan satu juta saja pasti cukup,” ujar Amora, dengan santainya.
Ashley hanya terdiam, tanpa menjawab sepatah kata. Saat ini dia tidak bisa melawan, kalau bukan papanya sudah meninggal, mungkin dia tidak perlu tersiksa seperti ini. Ditambah pesan terakhir ayahnya, membuat dia tidak dapat melawan kelakuan ibu tirinya.
“Seandainya, aku tahu wajah ibu kandungku. Seandainya aku tahu dia masih hidup atau tidak, mungkin aku tidak akan sehina ini,” batinnya.
Mobil berhenti tepat di depan pintu hotel, bintang lima. Mengikuti langkah Amora, Ashley berjalan dengan elegan memasuki restoran kaum elite di dalam hotel tersebut.
Semua mata jalang hidung belang, terpusat ke Ashley. Namun Ashley sudah terbiasa dengan hal itu, dia tetap berjalan santai dan elegan.
“Silakan, nyonya. Ikuti, saya,” ajak manajer restoran itu, menyambut kedatangan Amora dan dirinya.
Awalnya Ashley enggan mendongak, melihat seseorang yang berada di depannya barulah dia sadar.
Pria itu terasa familier, bahkan mata dan hidungnya, membuat Ashley teringat seseorang. Walau sudah berjabat tangan, Ashley masih berusaha mengingat.
“Sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi, di mana?” batinnya bertanya-tanya.
“Ashley!” tegur Amora berbisik, sambil mencolek pinggang anak tirinya itu.
Segera dia tersadar dan melepas jabat tangan itu, bahkan tingkahnya jadi serba salah.
“Tenang, mungkin Ashley hanya terpesona dengan saya,” ujarnya.
Pria itu menarikan kursi untuk Ashley, bahkan dia memperlakukan Ashley dengan santun. Tidak seperti p****************g, pada umumnya.
“Bagaimana, dengan isi kontrak yang saya kirimkan?“ tanyanya.
Amora senyum, dia bahkan ingin segera menandatangani kontrak tersebut.
“Saya setuju, kita langsung menandatangani kontraknya,” ujar Amora.
“Baiklah, kalau begitu,” balas pria tampan di hadapan Ashley.
Dengan spontan Ashley berteriak, “Saya, keberatan!”
Mata Amora seketika membesar, wajahnya memerah. Dia ingin memaki anaknya, hanya saja malu di depan klien.
Sedangkan Pria tampan itu langsung tercengang, merasa tidak suka. Apalagi penolakan yang Ashley lakukan, di depan umum. Hal itu membuatnya murka, dia berdiri dengan wajah penuh emosi.
Amora segera menginjak kaki Ashley, hanya gadis itu tidak bergeming. Tetap dengan pendiriannya, dia makin lantang menyatakan penolakannya.
“Saya tidak setuju, dengan isi perjanjiannya,” ujarnya lantang, penuh penekanan.