BAB 6 [SATENYA 100 TUSUK YA, DEN]

1404 Words
Setelah percintaan panasnya dengan Barton, Geisha memilih tidur. Cewek itu sama sekali tak ingat jika mereka sedang membereskan kamar bersama, ia cukup lelah melayani kegilaan pacarnya, dan hanya bisa melakukan istirahat untuk memulihkan tenaga. Barton yang mengerti jika Geisha lelah melanjutkan pekerjaan yang tertunda karena ulahnya, kali ini pintu kamar sudah ia tutup dengan rapat, tak membiarkan siapa pun mengintip ke dalam tempatnya dan Geisha beristirahat. Cowok itu berdiri, ia menatap kamar yang benar-benar sudah rapi. Rasa lelah menggerogoti tubuhnya, dan memaksanya untuk merebahkan tubuh di samping Geisha. Barton segera menatap ke arah jam yang ada di atas meja, ia mengembuskan napas dan memijat kepalanya. Kini pukul tujuh malam, dan mereka besok akan bertemu dengan guru di kelas khusus. “Bebeb ... lo kok tidur udah kek orang mati sih?” tanya Barton sambil mencubit hidung mancung Geisha, ia hanya ingin cewek itu bangun, mandi, dan mereka akan makan bersama setelah itu. “Geges ... bangun!” bisik Barton. Geisha yang merasa tidurnya terganggu dengan sangat terpaksa membuka mata, ia menatap Barton yang begitu dekat dengan wajahnya, dan kembali memejamkan matanya karena masih begitu ngantuk dan juga kelelahan. Barton yang melihat tingkah sang pacar menjadi gemas, ia segera mencubit pipi Geisha. “Nggak bangun gue perkosa lo!” Geisha membuka mata lagi. “Bangke, gue capek. Lo nggak sadar apa ini juga gegara lo?” Barton yang mendengar alasan Geisha tertawa, tak berapa lama ia menghentikan tawanya, dan langsung bangun dari pembaringan. “Lo mau makan apa nggak?” tanya Barton. Geisha segera duduk, ia bersemangat saat mendengar kata ‘makan’ terlontar begitu mulus dari bibir Barton. “Makan di mana?” Geisha terlihat begitu antusias. “Lo maunya di mana?” Barton balik bertanya. Geisha merengut. “Begok ... kan lo yang ngajakin gue!” Barton bersedekap, ia kemudian melangkah ke arah lemari dan mengambil celana traning dan juga hoodie miliknya. Cowok itu menghampiri Geisha, melemparkan pakaian tersebut hingga menutupi wajah sang pacar. “Pakek, gue nggak akan ajak lo keluar kalo pakek baju atau celana kurang bahan. Kek orang miskin aja,” ucap Barton. Geisha yang menerika lemparan pakaian hingga mengenai wajahnya, ditambah dengan kata-kata Barton menatap tak suka. “Lo jual aja semua pakean gue, biar jadi duit. Miliaran kalo di totalin. Ada gitu pakean orang miskin semehong itu?” Tak peduli dengan aksi protes sang pacar, Barton hanya berkacak pinggang. “Mau pakek, ato gue bikin sange tapi nggak tuntas?” Geisha segera meraih pakaian itu. “Gue mandi deh, nggak enak pakek baju kalo belom mandi. Badan gue lengket.” “Astaga dragon ball ... berapa abad lagi gue harus nunggu lo?” Geisha yang mendengar ucapan itu tak menyahut, ia segera beranjak dan mengambil handuknya. Cewek itu masuk ke kamar mandi, dan Barton yang melihat tingkah Geisha hanya bisa menggelengkan kepalanya saja. Lima menit berlalu dengan cepat, Barton yang sudah memilih berbaring cukup kaget saat mendengar pintu kamar mandi terbuka. “Udah ... ayok berangkat, ngapain lo baring kek orang lumpuh gitu?” Geisha yang sudah selesai dengan acara mandinya terlihat begitu segar. Ia juga sudah mengenakan pakaian yang Barton berikan tadi, dengan rambut yang tersanggul agak berantakan. “Lo mandi apa gimana?” tanya Barton. “Mandilah, lo kira gue ikut Perang Dunia Shinobi?” balas Geisha. “Nggak yakin gue. Gue aja mandi nggak secepet elo.” “Itu kan elo, bukan gue.” Geisha menghampiri Barton, ia menarik tangan cowok itu. “Cepetan Bebeb, gue laper nih. Gue panggil Beton baru tau rasa.” “Nggak!” Barton menarik tangan Geisha, membuat cewek itu terjatuh di atas tubuhnya. Ia kemudian memeluk Geisha, dan mengendus aroma tubuh Geisha yang benar-benar bertambah harum sekaligus sangat segar. “Gimana lo bisa mandi secepat itu? Jelasin ke gue!” “Siram badan ampe basah, sabunan, gosok gigi, bilas badan, keringin pakek anduk, pakek pakean, selesai.” Barton yang mendengar ucapan itu masih tak percaya, ia menjadi bingung sendiri dan bertanya-tanya dalam hatinya. Bagaimana bisa? Kenapa sangat cepat? Apa pacarnya adalah seorang alien? “Gue laper!” Geisha yang begitu lama dengan posisi itu segera mengeluh. “Gue laper! Gue laper! Gue laper! Gue laper! Gue laper!” Barton yang mendengar hal itu melepaskan Geisha, dan Geisha juga segera berdiri dengan raut wajah kesal. “Gue laper! Gue mau makan! Gue laper Beton!” “Njirrr masih enak gue nernak cacing daripada nernakin elu, Kutilang!” balas Barton. Ia segera beranjak dari pembaringan, lalu melangkah ke arah pintu. “Bebeb ... gendong. Kaki gue sakit di bawa jalan,” ucap Geisha sambil merentangkan tangan. Barton yang mendengar ucapan itu menghampiri Geisha, ia menatap cewek manis nan mengesalkan itu dengan saksama. “Gue baru sadar lo bener-bener mungil. Itu lo makan selama ini larinya kemana? Jadi ampas semua?” Geisha merengut. “Gue juga udah lama sadar kalo badan lo kegedean. Itu lo makan dikit, nggak ada yang jadi ampas, jadi daging semua. Aer kencing lo aja jadi daging, hebat bener cowok gede satu ini.” “Haduh ... seger mata gue liat lo pakek itu pakean. Walau udah kek elo yeng kelelep,” ujar Barton. “Serah deh. Gue mau gendong belakang, lo nggak boleh nolak!” Geisha segera naik ke atas ranjang, sedangkan Barton hanya bisa menuruti kemauan cewek itu. Ia membiarkan Geisha, dan cukup kaget saat cewek itu naik ke gendangannya. Kedua kaki Geisha melingkar di perutnya, cewek itu memeluknya erat, dan ia dengan cepat menahan bagian pinggul Geisha. “Jalan!” “Iya ... iya ....” Barton segera melangkah, ia membuka pintu dan mereka segera menuruni anak tangga. Cowok itu segera sampai pada lantai dasar, ia melihat Ranjiel yang sedang duduk sambil membaca beberapa buku di ruang tengah asrama. “Gue keluar dulu yah, Jiel.” Ranjiel menatap, ia melihat Geisha yang sudah berada di gendongan Barton. “Serah lo bedua deh,” balas Ranjiel cepat. Ia kembali berkonsentrasi pada bacaannya, dan ia juga segera mengabaikan Geisha beserta Barton. Barton dan Geisha kemudian keluar dari Asrama, mereka sesekali berdebat tentang hal yang tak jelas. “Mau ke mana lo bedua?” tanya Vivi. “Ngajakin orang busung laper makan, Vi.” Geisha yang mendengar ucapan Barton segera memukul pundak cowok itu. “Kalo gue busung laper, lo kelebihan gizi!” “Ampun, Ndoro ... jangan ngamuk yah, tar lo makin jelek keturunan gue makin rusak kalo kita punya anak.” Vivi yang melihat dan mendengar perdebatan itu segera masuk ke dalam asrama, sedangkan Barton dan Geisha menuju ke parkiran untuk segera pergi ke salah satu rumah makan di dekat sekolah. “Bebeb, sesekali main di mobil yuk.” “O G A H, gue masih punya kamar, ngapain di dalam mobil, lo nggak sadar apa, badan lo itu gede, mana bisa main di mobil.” “Lo pikirannya m***m bener sih,” ujar Barton dengan santai. “Gue kan nggak ngajakin lo main kuda-kudaan di mobil.” “Lah terus? Pikiran lo kan lebih b***t daripada gue,” balas Geisha tak terima. Barton segera menurunkan Geisha dari gendongannya, ia kemudian membuka pintu dan meminta cewek itu untuk segera masuk. “Cieee Beton gue romantis deh, gue panggil Betontis aja sekarang.” Barton mendelik. “Apaan tuh Betontis?” “Beton Romantis, hahahaha ....” Geisha menutup pintu dengan cepat, dan Barton yang mendengar kepanjangan itu tak bisa menyembunyikan senyumannya. Ia segera masuk ke dalam mobil, dan menatap Geisha yang terlihat begitu santai. “Beb, lo suka makan apaan?” tanya Barton. “Gue mau makan jengkol ato pete aja deh. Lama gue nggak makan begituan,” balas Geisha sambil tersenyum. “Njir ... cantik-cantik makannya jengkol.” Barton tak menyangka, ia kemudian menangkupkan kedua tangannya pada dua bagian pipi Geisha. Ditekannya agar kuat, sampai bibir cewek itu terlihat agak monyong dan begitu lucu. “Yang keren dikit napa, Beb.” Geisha yang mendapat perlakuan seperti itu menatap, ia kemudian membalas perbuatan Barton dengan cara yang sama. Tok ... Tok ... Tok ... Keduanya menghentikan aksi tersebut, mereka segera menatap keluar jendela dan melihat Pak Mulyo sedang berada di luar sana. Barton membuka kaca. “Ada apa, Pak?” “Mau ke mana?” tanya satpam itu datar. Angin berembus agak kasar, membuat Geisha merasa sedikit kedinginan. Bulu kuduknya berdiri, dan itu terasa begitu buruk untuknya. “Mau cari makan bentar, Pak. Mau nitip?” tanya Barton. “Satenya seratus tusuk ya, Den. Buat Bapak sama Mbok Darsih makan,” ujar Pak Mulyo. Geisha mengelus bagian tengkuknya, berharap Barton segera mengakhiri percakapannya dengan Satpam Asrama mereka. “Oke deh, bisa di atur itu. Ya udah, Pak, saya jalan dulu.” Pak Mulyo hanya mengangguk, lalu pergi menuju ke belakang asrama, sedangkan Barton juga segera menutup kaca, lalu menatap ke arah Geisha. “Beb, lo kenapa?” tanya cowok itu. “Nggak, gue Cuma merinding aja sih barusan,” balas Geisha. “Gue matiin aja deh AC mobilnya, nggak masalah?” Geisha mengangguk, ia segera bersandar dan Barton mematikan AC mobil lalu meninggalkan Asrama yang bar mereka tempati itu. “Pak Mulyo pesen sate sebanyak itu buat paan ya?” Geisha merasa agak aneh. “Mungkin dibagi ama Mbok Darsih, terus di bawa balik ke rumah.” Geisha hanya mengangguk, ia kemudian diam dan mereka menikmati perjalanan dengan baik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD