Pertemuan Yang Kesekian Kali

2525 Words
"Apa?!" teriak Axel tak percaya. "Bagaimana bisa Papa menyuruhku menikahi w**************n ini! Bukankah itu hanya akan memperburuk nama baik dan karirku di mata orang-orang?!" gertaknya tak terima. "Tapi hanya itu yang dapat Papa sarankan kepadamu! Kau tidak tau bagaimana malunya Papa melihat tingkah lakumu di luar sana. Berjudi, mabuk-mabukan, hingga yang paling mencoreng nama baik Papa, kau— bergonta-ganti partner ranjang! Papa sudah tau segalanya tentangmu, Axel!" murka Lutfi. "Tapi menikahi dia bukanlah solusi yang tepat! Aku tidak akan pernah mau menikah dengan wanita yang pernah tidur dengan laki-laki lain. Aku hanya ingin wanita yang suci. Wanita yang akan menjadi istriku nanti adalah wanita yang sama sekali belum pernah disentuh oleh laki-laki manapun, bukan w**************n seperti dia!" terang Axel, menunjuk keras ke wajah Melva. Kedua mata Melva kontan melotot mendengar pertanyaan dari mulut Axel. "Axel, keterlaluan kau!" desisnya tidak senang. Axel menatap Melva dengan nanar. "Kenapa? Kau tidak suka aku menyebutmu sebagai w**************n? Kau tidak terima, begitu? Hem?" tantangnya menyolot. "Kau ingin mendapatkan wanita yang suci, yang sama sekali belum tersentuh oleh pria manapun, tapi kau sendiri tidak sadar betapa kotornya kau ini! Kau sungguh munafik, Axel!" sembur Melva. "Aku tidak pernah merasa kotor hanya karna ulahku. Seharusnya kau sadar bahwa kaulah yang telah mengotori dirimu sendiri. Hanya karna uang dan kepuasan, kau rela mengobral tubuhmu?—Bukan begitu?!" Axel tersenyum miring. "Jaga mulutmu, Axel! Kau selalu saja membuat hatiku sakit!" lirih Melva. "Kau yang memulai duluan. Aku hanya membantumu merincikan siapa dirimu sebenarnya!" "Sudah cukup!" Lutfi menyergah. Bentakannya membuat Axel dan Melva terdiam. Lutfi menarik nafas dalam-dalam demi menahan amarahnya. "Axel, Papa ingin bicara padamu empat mata!" pinta Lutfi kepada putranya. Axel mengalihkan pandangannya. "Kalau hanya untuk membahas masalah pernikahan, mohon maaf aku tidak bisa!" tolaknya tegas. "Jangan membantah! Kau sudah kelewatan bersikap seperti ini kepada Papa!" raung Lutfi menggeram. "Aku hanya akan menemui Papa jika Papa berjanji tidak akan membicarakan tentang pernikahanku, tentang harta gono-gini atau apapun yang menyangkut keluarga Papa! Aku mau kita bicara hanya tentang bisnis. Bukan tentang penentuan alur hidupku yang seenaknya Papa atur!" kecam Axel dengan wajahnya yang mengeras. Lebih baik diam. Mungkin begitulah yang ada di benak Lutfi saat ini. Lelaki paruh baya itu kini hanya dapat diam menatap putranya dengan ekspresinya yang tumpul. Sebenarnya bisa saja ia menentang keras putranya. Namun, bagaimana pun ia sadar, kalau putranya itu memang butuh waktu untuk memikirkan apa yang ia sarankan. Sebab Axel sedang mengalami gangguan mental. Sebagai seorang ayah, Lutfi juga sadar kalau putranya itu butuh perhatian khusus darinya. Akan tetapi, setiap kali Lutfi ingin mendekatkan diri kepada Axel, Axel selalu saja bertingkah buruk dan acapkali berbicara kasar padanya. Axel selalu berpikiran buruk kepada Papanya. Membuat Lutfi terpaksa mengurungkan niat untuk menenangkan Axel. Sebab terkadang Lutfi juga ingin merangkul pundak dan membawa tubuh putra semata wayangnya itu ke dalam pelukannya. *** Minggu pagi yang cerah. Terasa hangat dan syahdu karena sinar mentari tak sungkan menyirami bumi. Semilir angin berhembus lembut, membuai siapa saja yang tersentuh oleh hembusannya. Banyak orang-orang yang lalu lalang di pinggir trotoar. Ada yang sengaja lari pagi, bersepeda, dan ada pula yang melangkah menuju pasar untuk sekedar berbelanja keperluan rumah tangga. Kebetulan jalanan sedang tidak macet. Mungkin karena ini merupakan akhir pekan. Hari ini Aileen, gadis cantik berambut lurus sebahu itu tengah berada di sebuah toko bunga Lily Flower's. Yang tentunya toko tersebut menjual berbagai macam jenis bunga-bungaan. Penampilan Aileen begitu elegan. Ia mengenakan kaos oblong berwarna hitam berlengan pendek yang ujung bagian tangannya ia gulung sedikit. Rok mini berwarna putih tulang juga tampak menghiasi bagian bawah tubuhnya. Serta tidak lupa pula sepasang sepatu kets dengan kaos kaki warna-warni yang panjangnya hingga ke betis, semua itu membuat ia terlihat anggun meski penampilannya tampak sedikit maskulin. Dengan penuh rasa suka cita, Aileen mengamati satu persatu bunga-bunga yang terpajang di dalam toko itu. Tersenyum sumringah menyaksikan betapa banyaknya bunga-bunga di sana. Dari tangkai bunga satu ke tangkai bunga yang lain—semuanya ia hampiri. Hidungnya dengan agresif mengendusi setiap bagian putik bunga-bunga tersebut. Angin yang berhembus sepoi-sepoi membantu menyebarkan harumnya bunga-bunga itu. Membawa keharumannya hingga mampu menyapa hidung siapa saja yang kebetulan melintas di sana. Ah—betapa indahnya cuaca hari ini. Sangat bersahabat dan begitu menenangkan. Pikir Aileen. Aileen terlalu bersemangat menghadapi kembang-kembang yang ada di sekitarnya. Ingin rasanya ia membawa pulang semua jenis bunga yang ada di toko itu. Saking bagusnya bunga-bunga yang ada di sekitarnya, sampai-sampai ia bingung harus memilih yang mana untuk ia persembahkan kepada sahabatnya yang baru saja lulus kuliah. Aileen berdiri dijejeran bunga-bunga yang masih sangat segar itu. Ia berkacak pinggang. Wajahnya mengerut manja. Bola matanya bergerak ke kiri ke kanan, mengamati lagi mana bunga yang paling bagus untuk ia berikan kepada sahabat tercintanya. "Aku harus pilih yang mana, ya?" Aileen menaruh telunjuknya di antara dagu dan bibir. "Hem ... cantik semua. Aku jadi bingung!" keluhnya. Matanya tak lelah mengamati satu persatu karangan bunga. Sementara itu, di dalam sebuah mobil, Tuan muda Axel Dean Wiguna, dengan rambutnya yang acak dan kemejanya yang sudah tidak lagi beraturan—mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Seperti biasa, wajah tampan yang ia miliki harus tertutupi dengan ekspresinya yang tidak bersahabat. Bahkan untuk diri sendiri saja, Axel tidak mau tersenyum. Lelaki itu benar-benar tidak bisa menyemangati dirinya sendiri. Selalu tenggelam pada masalah yang membuat emosinya tidak terkontrol. Sebatang rokok terselip di antara ibu jari dan jari telunjuk sebelah kanannya. Sambil mengendarai mobil, sesekali ia menyesap rokok yang sudah terbakar hampir separuh batang itu. Dreet ... dreet ... dreet .... Ponsel yang ia letak di samping kursi kemudi bergetar. Axel melirik ponselnya yang sudah menyala. Di sana terpampang nama Lutfi, Papanya. Axel melengos malas. Melanjutkan aktivitas mengemudinya. Namun, ponsel itu terus saja bergetar meskipun ia sudah merejectnya bolak-balik. "Sial!" kesal Axel dengan menghentakkan sedikit kakinya. "Pagi-pagi udah cari ribut!" umpatnya lagi. Ia menyesap kasar sisa rokoknya. Lalu, membuang sembarang puntung rokok itu ke jalanan. "Mau apa lagi, sih!" Axel meraih ponselnya. Terlihat ragu untuk menjawab. Namun, jika dilihat dari seringnya ponsel itu bergetar, pastilah ada suatu hal yang penting yang ingin Papanya sampaikan. Maka, Axel memutuskan untuk menggeser tombol hijau yang ada di layar hapenya. "Hallo!" sapanya malas. "Axel, di mana kau?!" sergah Lutfi dari seberang sana. "Akh, emang penting keberadaanku saat ini sama, Papa?" jawab Axel sekenanya. "Kau tidak pulang lagi malam tadi!" "Sepertinya itu bukan suatu hal yang mengejutkan." Axel tersenyum miring. "Sudahlah! Papa tidak ingin membahas masalahmu lagi. Terserah bagaimana kau saja. Tapi, kali ini Papa mohon kepadamu untuk segera datang ke rumah sakit!" titah Lutfi tegas. Axel mengernyit. "Rumah sakit? Untuk apa?" tanyanya bingung. "Adikmu baru saja mengalami kecelakaan mobil. Ia dilarikan ke rumah sakit. Dan sekarang kondisinya sangat lemah," terang Lutfi, menjelaskan apa yang terjadi. "Ha?" Axel meledek dengan kekagetannya. Ia tertawa sinis, "bodo amat!" ketusnya. Lutfi yang sudah memahami bagaimana sifat putranya, hanya dapat menghela nafas. "Axel! Papa katakan sekali lagi, cepat kemari. Dan, jangan lagi membantah!" murka Lutfi. Matanya menyala, menerawang jauh ke depan. Menunggu jawaban dari Axel. "Apa-apaan sih, Pa! Buat apa coba aku ke sana? Apa dengan kehadiranku, trus bisa bikin dia langsung pulih? Enggak kan!" tandas Axel. "Setidaknya kau tunjukkan rasa peduliku pada adikmu itu! Walau dia adik tirimu, tapi dia tetap bagian dari keluarga kita. Seharusnya kau paham itu!" imbuh Lutfi. "Aku tidak bisa! Aku lelah, mau istirahat!" tolak Axel dengan penuh penekanan. "Kau ke rumah sakit sekarang, atau namamu akan Papa coret dari daftar ahli waris!" ancam Lutfi. Sepertinya hanya kata-kata itu yang dapat membuat Axel menuruti perintahnya. Axel tercegang. Tidak menyangka kalau Papanya lagi-lagi mengancam dirinya dengan dalil harta warisan. Lebih hebatnya lagi bukan karena masalah serius, tetapi hanya karena ia menolak untuk datang ke tempat yang tadi Papanya interupsikan. "Semudah itukah, Pa?" Geraham Axel bergemelatuk. Geram pada kecaman Papanya. Pandangannya lurus dan tak lagi fokus. "Jika hanya itu yang bisa membuatmu menurut, Papa akan melakukannya! Maka itu Papa mohon, jangan biarkan Papa berbicara seperti tadi lagi. Papa yakin kau pasti bisa memahaminya!—Sekarang, datang ke rumah sakit Royal Prima ... bawa sesuatu untuk adikmu sebagai rasa pedulimu kepadanya. Mengerti!" Lutfi mengakhiri kalimatnya. Lalu, menutup panggilan telepon itu. Tut! Tut! Tut! Panggilan terputus. Axel menatap ponselnya dengan gusar. Menggenggam kuat ponsel itu hingga urat-urat di tangannya nyaris keluar. "Akh!" teriaknya kesal. Membanting ponsel ke kursi sebelah kiri. Gigi-giginya kontan merapat. Sorot matanya tak lagi bersahabat. Nafasnya menjadi tak beraturan. Sebenarnya, ia bisa saja tidak mempedulikan ancaman Lutfi. Baginya, harta dan tahta bukanlah segalanya. Itu semua bukan hal yang bisa menjamin kebahagiaannya. Namun, ketika ia menyadari bahwa ibu dan adik tirinya selalu berambisi pada kekayaan milik keluarganya, Axel terpaksa harus mengambil sikap atas kecaman Lutfi. Mau tidak mau, suka tidak suka, Axel harus bersabar menghadapi orang-orang yang ia benci. Agar harta kekayaan keluarganya tidak jatuh ke tangan orang yang salah. Dan, memang seharusnya ibu dan adik tirinya itu tidak berhak untuk mendapatkannya kan? Sebab mereka hanyalah keluarga sambung. Yang selalu menghalalkan segala cara agar dapat menguasai kekayaan keluarga Axel. Baiklah. Axel memilih mengalah! "Apa yang harus aku berikan kepada si bang**t itu!" Axel berpikir keras. Bukan untuk memikirkan hal yang baik. Namun, lebih kepada pemikirannya yang jelek. Ia ingin memberikan sesuatu yang akan membuat ibu dan adik tirinya itu merasa seperti tidak dihargai. Tapi, apa? Mobilnya melaju tidak lagi sekencang tadi. Laju mobil itu sedikit melambat. Sebab, Axel benar-benar sedang memikirkan hadiah buruk yang akan ia berikan kepada adik tirinya yang baru saja mengalami kecelakaan. Hellowww ... apa kondisi si breng**k itu cukup parah? Apa dia mengalami muntah darah, kepala berdarah, mimisan, atau apalah! Kenapa Papa terlalu perhatian padanya? Axel muak! Bukankah Papanya sudah bersikap terlalu baik pada si—ah! Ia tersenyum miring, lalu merengut lagi. Tersenyum lagi, lalu wajahnya kembali merengut. Otaknya kacau. Tak habis pikir dengan hidupnya yang sudah seperti alur sinetron. Namun, di detik berikutnya, kedua manik matanya mendapati sebuah pemandangan yang luar biasa indah. Axel, menepikan mobilnya. Aha! Aileen, gadis manis itu tersenyum bangga. Telunjuknya melambung ke udara. Satu keputusan telah ia tetapkan. "Hem ...." Aileen menyatukan kedua tangannya, mengeratkan genggaman tangan itu ke d**a. Tersenyum dalam mata yang terpejam. "Mudah-mudahan, kau menyukainya sahabat karibku!" Ia cegegesan dalam pandangannya yang gelap. Beberapa detik lamanya ia memejamkan mata, hanya karena sedang membayangkan betapa senangnya sahabatnya nanti ketika mendapatkan hadiah yang ia sodorkan. Aileen membuka matanya. Melepaskan tautan tangannya. Dan—sama sekali tidak menyadari kalau ada seseorang yang sejak tadi sudah mengamati ekspresi wajahnya. "Baiklah! Aku akan ambil yang ini!" Dengan pancaran mata yang penuh kekaguman, Aileen mengulurkan tangan. Ingin mengambil satu buket bunga yang ia ingini. Namun—hey! Aileen terkejut kala tangan seseorang mendahului tangannya. Tanpa rasa canggung orang tersebut telah lebih dahulu meraih serangkai bunga mawar segar yang menjadi pilihannya. Yang kontan saja membuat pandangan Aileen langsung mengarah kepada si empunya tangan. Seorang lelaki jangkung, dengan penampilan amburadul, tetapi tidak mengurangi pesona ketampanannya, dengan wajah yang menyebalkan tersenyum miring kepada Aileen. "Kau!" seru Aileen, ketika menyadari siapa orang yang merebut buket bunga yang ia ingini. "Iya, aku! Kenapa? Kangen?" ledek Axel dengan wajah yang dibuat-buat. Aileen tercegang. Matanya menyipit memandang lelaki yang tak lain adalah pasien barunya di rumah sakit tempatnya bekerja. "Dasar gak tau malu! Sedang apa kau di sini! Kembalikan bungaku!" desak Aileen, mencoba meraih buket bunga yang Axel peluk. "Eits!" Axel melambungkan bunga tersebut ke atas kepalanya. Tentu saja Aileen tidak dapat menjangkaunya. Hal itu membuat Aileen harus menjinjit agar dapat menggapai karangan bunga yang ia idamkan. "Kembalikan bungaku! Itu milikku!" Aileen melompat-lompat dengan tangannya yang melambung ke udara. Terus mencoba menggapai buket bunga yang Axel lambungkan. Sedikit demi sedikit kaki Axel melangkah mundur, sebab ia harus menghindari Aileen yang sengaja merapat, meronta-ronta agar buket bunga mawar putih itu segera ia berikan. "He'eh, stop! Apa-apaan kau ini!" cegah Axel, menghardik tangan Aileen yang mencakar-cakar tangannya. "Itu bungaku! Cepat sini kembalikan!" raung Aileen tak terima. "Bungamu?" Axel menunduk, memandang Aileen dengan alisnya yang terangkat satu. Aileen menghentikan aksinya. Diam di tempat dengan wajah yang mengerut. "Apa kau yang punya toko ini?" Pertanyaan Axel yang bersifat menyindir itu semakin membuat Aileen menggeram. "Aku memang bukan si pemilik toko, tapi buket bunga itu aku duluan yang temukan!" sergah Aileen memekik. "Kau yang menemukannya?" sindir Axel lagi. "Apa bunga ini sejak tadi tersembunyi? Apa dia dirancang khusus untukmu?—Tidak kan? Semua bunga-bunga yang ada di sini jelas dipajang untuk para pembeli. Lalu kenapa kau mengatakan kalau kau yang pertama kali menemukan bunga ini?" Axel mengintimidasi Aileen melalui tatapan matanya. "Aku ingin mengambilnya, tapi kau malah lebih dulu merebutnya. Kau keterlaluan! Kau tidak lihat tadinya aku ingin meraih buket bunga itu?!" pekik Aileen membela diri. "Aku tidak peduli! Aku suka bunga ini. Itu sebabnya aku mengambilnya." Axel menurunkan tangannya. Mencium bunga itu dengan cara menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskan secara kasar. "Tapi kau bisa meminta bunga yang sama kepada pemilik toko! Kenapa harus pilihanku yang kau rebut. Apa kau sengaja ingin membuatku kesal!" Aileen memekik dalam. "Apa? Aku sengaja ingin membuatmu kesal?" Axel membeo. Lalu, senyum sinis muncul di bibirnya. "Buang-buang waktu tau gak!" sanggahnya. Aileen merasa amarahnya sudah mencapai puncak. Ia mengepal kedua tangannya dan membawa tangan itu ke depan d**a. "Iiiikhh, kau ngeselin ...!" jeritnya tertahan. Menggeram kepada Axel. Namun, Axel masih saja terlihat santai seperti tidak merasa bersalah. Senyam-senyum menatap buket bunga yang ia pegang sambil sesekali melirik Aileen. "Permisi, selamat pagi Tuan dan Nona. Apa ada yang bisa saya bantu?" Tiba-tiba pelayan toko menghampiri mereka. Dengan ramah tersenyum pada Axel dan Aileen yang sudah sejak tadi ia perhatikan. "Ah, Mbak. Aku ingin bunga ini!" Axel menyerahkan buket bunga yang ia pegang kepada pelayan toko. Pelayan toko menyambutnya. "Oh, boleh, Tuan!" jawabnya ramah. Tangannya tergerak untuk mengambil karangan bunga itu dari tangan Axel. "Tidak bisa!" protes Aileen. Sontak membuat si pelayan urung mengambil buket bunga itu dari tangan Axel. Ia dan Axel menoleh ke arah Aileen yang tampak tengah dibakar emosi. "Tidak bisa, Mbak! Bunga ini sudah aku duluan yang punya!" lanjut Aileen. "Benarkah?" Pelayan itu tentu bingung. "Tidak, Mbak! Buket bunga ini aku yang ambil duluan. Dia hanya telat satu detik dariku." Axel membela dirinya. Si pelayan yang bingung, lantas memandang mereka secara bergantian. Tatapan mata Aileen semakin nanar. "Kau ini, laki-laki macam apa?! Kenapa tidak bisa mengalah kepada wanita, sih?!" semburnya. "Bodo amat!" ejek Axel, mengalihkan pandangan. "Iiikhhh ... dasar laki-laki breng*ek!" geram Aileen murka. "Sudah-sudah!" sela pelayan toko mencoba untuk menenangkan. "Nona tidak usah kecewa dan sakit hati begitu! Saya akan merangkai bunga persis seperti ini untuk Nona. Dan tentunya akan lebih segar dari bunga ini. Bagaimana? Nona mau?" pujuknya. "Tidak perlu!" tolak Aileen, mengatur nafasnya yang memburu karena masih saja menahan geram. "Lho, kenapa?" tanya si pelayan heran. "Aku sudah tidak berselera!" cetus Aileen dengan bibirnya yang membulat. Bola mata Aileen naik turun menilik lelaki yang berada di dekatnya. Yang selalu membuat dirinya jengkel bukan main. Lelaki yang selalu saja membuatnya naik darah. Aileen menantang Axel dengan tatapan matanya. Yang mana tatapan itu disambut pula oleh Axel. "Huh!" sembur Aileen, lalu berlalu pergi. Tentu membawa segudang rasa kesal di hatinya. Tinggallah Axel dan pelayan toko. Berdiri mematung sambil menatap punggung Aileen yang semakin lama semakin menjauh. Axel menundukkan pandangan. Menatap sendu pada karangan bunga yang ia pegang. Menggelengkan kepalanya sejenak. Dan tanpa sadar, sebuah senyuman manis terbit di bibirnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD