Ikutan Gila.

1244 Words
Nadin masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu sebelum akhirnya dia meraung sejadi-jadinya. Untungnya, kamar itu kedap suara hingga Nadin tidak perlu khawatir akan ada yang mengejeknya karena menangis sehisteris itu sekarang. Hatinya hancur karena sikap Suhendar yang lebih rela mengorbankan perasaan juga masa depan putri kandungnya sendiri demi orang lain. “Aku nggak nyangka papa akan setega itu, Ma. Aku nggak mau lagi kenal papa, Ma! Aku nggak mau lagi jadi anak papa!” raung Nadin sambil memeluk sebuah bingkai yang berisikan poto seorang wanita cantik yang tersenyum manis ke arahnya. Sampai Nadin tertidur dengan sendirinya setelah puas menangis dan mengadukan kelakuan Suhendar pada ibunya. Sejak umur sepuluh tahun, Nadin memang hanya tinggal bersama Suhendar karena menurut ayahnya itu, wanita yang mengandung dan melahirkannya itu sudah pergi bersama pria lain. Sementara itu, Suhendar baru saja sampai di sebuah rumah mewah bak istana. Tidak ada yang tidak tahu siapa pemilik rumah itu. Hamdan adalah orang terpandang nomor satu dan kekayaan lelaki itu tidak ada tandingannya. Gurita bisnis Hamdan menjadikan dirinya incaran untuk berkolaborasi dengan pebinis lainnya. “Maaf, Pak. Aku datang sendirian dulu untuk hari ini. Tapi, anak sulungku udah bersedia untuk menikah dengan anak Bapak,” ungkap Suhendar dengan tak tahu malunya di depan Hamdan. Dia sudah menjual putri kandungnya sendiri pada pria kaya raya itu. “Apa yang membuat dia tidak datang bersamamu?” tanya Hamdan yang memandang Suhendar dengan tatapan hina. Dia tahu pria seperti apa Suhendar saat ini dan tak ingin lagi menghargainya. “Nadin baru pulang kuliah dan tadi setelah kami berdiskusi, dia benar-benar nggak bisa lagi membuka matanya. Dia ngantuk berat dan sedang tidur, Pak.” Suhender memberikan penjelasan itu kepada Hamdan dan berharap pria yang akan menjadi besannya itu percaya. “Jadi, dia masih kuliah? Bagaimana dia akan menikah jika dia masih kuliah?” “Dia bisa berhenti kuliah, Pak. Lagi pula, kalau sudah menjadi menantu Bapak, kuliah kapanpun dia pasti bisa.” “Kau benar, Suhendar. Jadi, dia benar sudah setuju untuk menikahi putraku? Apa kau sudah memberitahukan keadaan asli Bintang padanya?” “Aku sudah menjelaskan dan sepertinya Nadin juga merasa sangat iba pada nak Reza, Pak. Dia begitu tersentuh saat mendengar penyebab nak Reza menjadi seperti sekarang,” jawab Suhendar yang sebenarnya dia tidak menjelaskan hal itu sama sekali kepada Nadin. “Baiklah kalau begitu. Aku akan mempersiapkan pernikahannya dan semua akan digelar di kediamanku saja. Aku tidak mau membuat Bintang mengamuk jika itu harus diadakan di rumahmu. Hanya beberapa orang penting saja yang akan menghadiri pernikahan ini!” ungkap Hamdan dengan nada tegas dan tak terbantahkan. “Baik, Pak. Aku juga sudah mengatakan hal itu pada Nadin tadi dan dia setuju.” “Baguslah kalau begitu. Perjanjiannya. Dalam waktu enam bulan, jika putrimu tidak bisa mengandung keturunan Bintang, maka dia bisa bercerai dengan putraku. Aku hanya butuh ahli waris untuk menggantikan posisi Bintang.” “Aku yakin Nadin akan bisa mengandung cucumu, Pak. Dia gadis yang sehat dan subur, karena selalu menjaga pola hidupnya. Anda akan terkesan saat nanti bertemu dengannya, dan aku yakin dia bisa merawat tuan muda dengan baik.” “Sebagai bonus, jika dalam pernikahan ini putrimu bisa membuat keadaan Bintang semakin membaik dan bahkan sembuh, aku akan memberikan 30% kekayaanku untuk putrimu!” Mendengar itu saja, jantung Suhendar sudah tidak bisa lagi berdetak dengan normal. Jangankan 30% dari total kekayaan Hamdan, andai dia diberikan 10% saja mungkin Suhendar sudah akan bersujud dan mencium kaki putrinya karena sudah sangat berjasa sebesar itu. Jadi, Suhendar harus menekan Nadin agar bisa merawat putra Hamdan yang gila itu dengan baik dan kalau bisa sampai dia sembuh. “Te-terima kasih, Pak. Aku yakin Nadin pasti bisa melakukannya,” ucap Suhendar penuh rasa percaya diri. “Sekarang pulanglah dan siapkan semua dokumen yang dibutuhkan. Walaupun pernikahan ini digelar tertutup, tapi mereka harus menikah resmi dan tercatat di negara,” ungkap Hamdan serius. “Baik, Pak. Terima kasih dan aku pamit pulang dulu.” Setelah kepergian Suhendar, bibir Hamdan menyunggingkan senyum mengejek. Dia yakin Suhendar sudah membohonginya dengan semua yang dia katakan tadi. Pasti pria itu sudah memaksa putrinya untuk menerima pernikahan ini dengan ancaman atau kata-kata yang membuat putrinya terpaksa setuju. Namun, Suhendar tidak bisa berkata apa-apa karena gadis itu adalah pilihan putranya sendiri – Bintang. “Bagaimana, Pa? Apa yang tadi Papa bicarakan sama pak Hamdan tadi?” tanya Tamara penasaran saat suaminya baru saja sampai di rumah. “Buatkan Papa kopi dulu, Ma. Papa juga lapar, nanti kita bicarakan setelah selesai makan malam,” jawab Suhendar dengan senyum merekah dan memeluk pinggang istrinya dengan mesra. Dari jawaban Suhendar itu saja, Tamara sudah yakin kalau semua berjalan seperti yang mereka harapkan. Namun, dia jelas tidak akan mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga bahkan hanya sekedar membuat kopi untuk suaminya sendiri. Mereka sudah biasa dilayani oleh bik Inah – wanita tua yang merawat Nadin sejak bayi. “Mama panggil bik Nah dulu, ya Pa. Biar dia siapkan semuanya untuk Papa. Nggak mungkin Mama, dong. Mama udah perawatan tadi pagi, Pa.” Tamara berkelit dari tugas yang diberikan suaminya. Suhendar hanya bisa menghela napas berat dan setuju dengan pasrah. Tamara memang tidak seperti Tiara – kakak sepupunya yang tak lain adalah istri pertama Suhendar dan ibu kandung Nadin. Mereka memang bersaudara dan selama ini Tamara selalu iri dengan semua yang dimiliki oleh Tiara. Sekarang dia merasa puas karena bisa mendapatkan semua yang dia inginkan tanpa gangguan Tiara lagi. “Pernikahannya lusa dan kamu harus siap-siap, Nadin.” Suhendar berkata kepada putrinya dengan nada berat. Nadin memang lapar dan terpaksa turun ke meja makan untuk ikut makan malam bersama. “Kenapa harus lusa?” tanya Nadin ketus sambil mengunyah nasi dengan malas. “Itu adalah keinginan pak Hamdan sendiri, Nak. Kita nggak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti yang dia katakan. Dia juga bilang kalau kamu bisa merawat anaknya hingga kondisinya membaik, dia akan memberikan kamu hadiah.” “Hadiah? Apa hadiahnya, Pa?” tanya Vivian yang penasaran dengan sangat antusias. “Hmm ... Papa nggak tau. Tapi, kalau udah pak Hamdan yang memberikan hadiah, itu pasti bukan hadiah biasa.” Suhendar menjawab karena tidak ingin ada orang lain yang tahu dulu tentang hadiah itu. “Ah ... andai aku yang mendapatkan hadiah itu. Pasti itu barang mewah unlimited di dunia,” ucap Vivian dengan nada kecewa. “Kalau begitu, kamu aja yang nikah sama anaknya pak Hamdan dan buat dia sembuh. Kamu akan dapat hadiah apapun yang kamu mau. Aku yakin itu,” ungkap Nadin dengan nada santai dan tertawa girang. “Mama!” rengek Vivian takut saat ucapan Nadin itu benar-benar terjadi pada dirinya. Mana mungkin dia mau menikah dengan pria gila yang tidak tahu bagaimana wajahnya sejak kecelakaan dua tahun lalu itu. “Nadin! Jangan membuat adikmu takut seperti itu. Lagi pula, pak Hamdan udah setuju kalau kamu yang akan menjadi menantunya. Kamu harus bisa hamil cucunya pak Hamdan dan dengan begitu kita bisa kaya seperti pak Hamdan.” “Ya Tuhan ... aku jadi tidak sabar ingin menikah dengan anak pak Hamdan itu. Bagaimana kalau pernikahannya besok pagi aja, Pa?” tanya Nadin dengan suara yang terdengar ringan dan santai kepada Suhendar. Suhendar yang sedang mengunyah makanannya langsung tersedak dan batuk-batuk. Begitu pula dengan Vivian dan Tamara yang cukup syok mendengar pertanyaan Nadin pada Suhendar. Bagaimana Nadin justru menjadi tidak sabar untuk bisa menjadi istri pria gila itu. “Sepertinya dia udah ikutan gila, Ma. Dia nggak sabar menikah dengan pria gila demi harta,” bisik Vivian pada Tamara dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD