Percival berlari buru-buru memasuki gedung sekolahnya. Ini adalah hari pertama setelah ajaran baru. Semua harus sempurna seperti sebelumnya Semua orang akan kembali meliriknya dan meng-elu-elukan-nya. Akan tetap jadi si pria nomor satu. Dipastikan akan berhasil, karena sejak pertama kali membuka pintu masuk ke dalam gedung, semua mata mulai menatapnya. Dia tahu mana freshman yang sama sepertinya, yang tentu akan merasa Percival adalah orang yang tepat untuk menjadi pemimpin. Melawan senioritas yang berlebihan, menginjak atau merundung. Ada pula senior yang tidak menyukainya, atau ingin mencoba tahu sejauh apa kemampuannya. Jangan lupakan mata wanita yang menatapnya diam-diam dengan malu atau yang berani melempar senyum. Percival terlihat nyaman dengan hal seperti itu. Ini sudah menjadi hal biasa untuknya, pusat perhatian dan sulit didekati. Pada dasarnya karena dia memang seorang introvert yang memiliki karisma kuat.
Menyisir rambutnya dengan jemari, Percival menaikan sling bag sebelah kanannya yang turun. Dia memakai kaus putih bertuliskan CELINE, merek mahal cukup terkenal dengan celana bahan berwarna coklat muda. Sabuk meligngkar di celana menampakkan pinggang kecil namun kakinya yang kekar. Proporsi tubuh indah ditambah d**a bidang tersebut. Jika ingin mencari keindahan dan memanjakan mata, sosok Percival dapat memberikan itu semua.
Matanya meluas mencari seseorang. Meliar ke segala arah. Senyum terkukir ketika sudah mendapatkan sosok yang dia cari. Percival segera berlari kecil dan menyuruh orang yang berada di sebelah loker gadis itu untuk pergi, menukar loker dengan miliknya yang lumayan jauh.
"Hi Kacyka," sapa Percival sambil bersender di loker. Alih-alih peduli pada loker yang dia ganti, Kacyka lebih utama. Menatap wajah cantik itu.
Kacyka menyadari namanya dipanggil, menutup pintu loker, melihat pria di sampingnya yang memanggil. Kacyka mengangkat kedua alisnya sambil menatap Percival. "Ya?" tanya Kacyka bingung.
"Kau lupa denganku? Ehm aku Percival Alastar, adik dari kekasihmu." Percival mengatakannya sambil tersenyum agak kikuk. Nyatanya ada gadis-gadis seperti Kacyka yang tidak terlalu peduli dengannya. Bukan masalah wajah atau tidak suka, jelas Kacyka mengakui kalau Percival tampan, tetapi fokus utama wanita itu adalah belajar.
Kacyka mengaggukan kepalanya. "Lupa? Tentu tidak." Kacyka tersenyum licik.
"Bagus sekali." Percival tersenyum puas.
"Jadi Tuan Alastar, Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Kacyka sambil tersenyum sarkas. Berhadapan dengan Percival baginya adalah seperti perang dingin. Sejak dulu, Kacyka jelas bukan wanita kikuk, cupu yang lemah, dia suka pengetahuan dan berambisi. Otaknya seksi dan tidak takut pada apa pun.
Percival menunjukan kunci yang tadi dia paksa tukar. Dia tahu Kacyka akan bertanya hal seperti itu. Kacyka adalah wanita kritis dan smart, maka Percival tidak akan kalah darinya jika mau berhasil mendekati wanita itu."Lokerku ada DI SINI,” tukas Percival menegaskan dengan dua kata keterangan terakhir ditinggikan. Ditegaskan.
Kacyka tahu jelas bahwa di awal, yang di sebelahnya bukan lah Percival. "Oh bagus. Kita bersebelahan." Kacyka kembali memfokuskan diri dengan lokernya, memilah buku-buku dan yang lainnya. Hanya memberikan respon singat, menunjukkan tidak ketertarikan.
"Seperti takdir?" Percival jelas sedang mencoba merayu.
"Takdir yang dibuat diri sendiri, Percival?" sarkas Kacyka.
Percival terkekeh lalu menggigit bibir bawahnya. Kacyka sudah tahu. Percival tahu jelas Kacyka bukan gadis yang bodoh. Membua drinya semakin tertarik mendekati. Ke depannya pasti akan sangat menyenangkan. Bagi Percival seperti tantangan. "Ya dan aku harap takdir yang dibuat sendiri itu juga akan membawa kita pada kelas yang sama."
"Kita berada di tingkatan yang berbeda, Percival. Jangan terlalu banyak berharap." Kacyka lebih tua dari Percival, berada di tingkat dua seperti Royce.
"Benarkah? Bagaimana dengan kelas tambahan?"
Kacyka menutup lokernya dengan keras, membuat kuping Percival agak terganggu. "Ups sorry," ujar Kacyka meminta maaf. Mamun dari raut wajahnya sama sekali tak menyesal, kepuasan lah yang terlihat. "Aku belum memutuskan apa saja kelas tambahanku." Kacyka mengedikan bahunya. Percival tahu Kacyka berbohong.
"Baiklah."
"Kurasa aku harus segera ke kelas karena kau tahu, bukan? Kacyka adalah gadis yang selalu kau bilang kutu buku. Aku suka sekali belajar," sarkas Kacyka.
Menyadari bahwa sejak awal, Kacyka memang marah dan tidak menyukai dirinya. Percival menganggukkan kepalanya. "Tentu sialkan. Tapi—Jadi kau masih marah padaku Kacyka?" tanya Percival retorik. Apa pun itu, mungkin berharap bantahan keluar dari bibir penuh yang kecil tersebut.
"Marah?"
"Ya, kejadian yang dulu."
"Oh maksudmu marah karena kau selalu menghinaku dengan ejekan kutu buku, dan tidak menganggapku ada di sekolah? Marah ketika beberapa kali kau mengerjaiku dengan kacang-kacang bodoh itu? Marah karena kau membuatku jatuh dan banyak orang melihat. lalu menertawai aku? Marah saat kau mengatakan bahwa kakakmu bodoh karena menyukaiku ?"
"Ya? S—saat itu aku masih anak-anak, Kacyka," ujar Percival dengan wajah kikuk, memelas dan menyesal. Dia tahu Kacyka masih sangat marah.
Kacyka tersenyum kepada Percival. "Tidak. Aku tidak marah."
"Yes, Baguslah!” Agak kaget dengan jawaban Kacyka, tetapi dia senang sekai. Percival bernapas lega.
"Tapi aku dendam,” tambahnya. Kacyka mengatakannnya dengan senyum tanpa dosa, seolah itu bukan kata-kata yang akan menjadi masalah. Dia lalu pergi meninggalkan Percival yang membeku di loker. Tersenyum penuh kemenangan dan licik. Satu—Kosong antara Kacyka dan Percival.
"Ini akan menjadi sulit," keluh Percival sambil mengembuskan nafas.
***
"Halo, Dad, Ya? What happen?" Suara Kacyka terdengar jelas di telinga Percival.
Percival menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Kacyka yang berada jauh di depan kelasnya, sedang mengangkat telepon. Menatap Kacyka dan mencoba memfokuskan dirinya untuk mendengar apa yang Kacyka bicarakan di telepon. Jarak mereka bisa dibilang cukup jauh, tapi untuk Percival, itu bukan hal besar. Dia memiliki suatu rahasia, suatu kemampuan yang tidak orang tahu.
"Kau pulang terlambat lagi hari ini? Tidak apa-apa, tak masalah. Aku akan makan malam sendiri." ujar Kacyka dengan nada menenangkan.
Merasa bersedih mendengar hal tersebut, sebab dia tahu dari nada suaranya Kacyka tidak baik-baik saja. Entah mengapa Percival menjadi begitu merasa bersalah mengingat hal-hal yang dulu dia lakukan. Membayangkan bagaimana jika itu terjadi padanya. Di rumah Percival, dia memiliki saudara dan kedua orang tuanya lengkap. Dirinya tidak pernah merasa kesepian. Sementara Kacyka hanya tinggal berdua dengan ayahnya yang cukup sibuk mengingat profesi pria itu adalah polisi di Abel Wood. Ditambah di sekolah dulu dia harus menghadapi ejekan yang disebabkan oleh dirinya.
"Jangan terlalu lelah bekerja aku mohon. Aku akan membuatkan makanan agar ketika pulang kau tidak kelaparan," ujar Kacyka lagi lalu tertawa. Entah mengapa Percival merasakan kehangatan Kacyka, bagaimana gadis itu begitu menyayangi ayahnya. Percival tersenyum simpul.
"Apa? Pembunuhan? Ditemukan mayat remaja? Di wilayah ini? Berapa umurnya? Baik, aku akan berhati-hati. Aku janji."
Percival membeku mendengarnya. Permasalahannya adalah di kota kecil yang sedang mereka tempati ini, hampir sama sekali tidak ada kasus pembunuhan sejak lama. Itu alasannya mengapa kedua orang tuanya memilih tinggal di sini. Dan sekarang ditemukan mayat remaja dan pembunuhnya masih berkeliaran. Untuk kota kecil yang hanya memiliki sedikit penduduk, ini cukup mengkhawatirkan.
"Percival!" Royce menepuk punggung adiknya dan membuat Percival terlonjak.
"Oh Tuhan apa yang kau lakukan? Kau mengagetkan ku. Berhenti berteriak seperti itu!" gerutu Percival. Telinganya pengang.
Royce mengerutkan dahinya bingung. "Tetapi aku sama sekali tidak berteriak, Percival." Tatapan aneh dilayangkan kepada adiknya.
Percival terdiam sesaat mencerna kata-kata kakaknya itu sampai kemudian mengerti apa yang terjadi. Ia meremas rambutnya frustasi. "Terjadi lagi."
"Jadi kau berusaha mendengarkan apa yang Kacyka bicarakan di telepon sekalipun jaraknya jauh? Maka suara yang terdengar dari dekat, menjadi seolah sedang berteriak?" analisis Royce.
Percival menghela nafasnya. "Ya."
"Itu keren. Aku masih kagum dengan beberapa kemampuanmu."
"Aku bahkan tidak menginginkannya."
"Bagaimana itu bekerja?" tanya Royce penasaran.
"Oh Tuhan, Royce Alastar jika aku tahu, aku tidak akan sebingung ini. Semuanya terjadi begitu saja."
"Kau memang sudah peka sejak kecil, Percy. Dari cara bagaimana kau bermain bola itu terlihat."
"Tapi sekarang kepekaanku makin membingungkan."
"Jadi mungkin itu bekerja seperti frekuensi, bunyi dan getaran?"
"Aku tidak tahu."
"Mungkin aku dapat membantumu, meneliti ini semua?" tawar Royce dengan rasa penasarannya.
"Benarkah?"
"Ya?"
"Baik asal kau tidak akan melubangi kepalaku untuk melihat system kerjanya," canda Percival. Dia menutup lokernya lalu berjalan menyusuri lorong dan Royce mengikutinya dari samping.
"Mungkin," jawab Royce ragu. "By the way, namanya trepanasi," koreksi Royce memberikan informasi.
Percival menghentikan langkahnya karena kaget mendengar jawaban Royce. Percival tadi hanya bergurau dan Royce malah mengatakan seperti itu. "Aku tidak peduli apa pun namanya, tetapi yang tadi... kau serius?"
"Tidak juga, mungkin selain kepala aku butuh melihat system kerja tubuhmu," tambah Royce lagi dengan ragu.
Mulut Percival terbuka lebar mendengar jawaban kakaknya. "Kau gila." Dia lalu berbalik dan kembali berjalan.
Royce mengedikan bahunya tanpa rasa bersalah. "Aku hanya coba membantu adikku."
Percival tahu Royce tidak akan melakukan itu tetapi apa yang dikatakan Royce sudah cukup membuat Percival pusing. Kakaknya memang aneh. Begitu juga dirinya.
"Tunggu Percival, jadi kau tadi mencoba mencuri dengar percakapan Kacyka di telepon?" teliti Royce.
"Ya?" Percival mengatakannya dengan ragu.
"Jadi mengapa kau harus penasaran apa yang pacarku lakukan?" sarkas Royce.
Percival memaki dalam hati atas kebodohannya. Royce tidak boleh tahu bahwa Percival tertarik dengan kekasihnya. Dia akan dikutuk sebagai seorang adik. "Daripada itu kau tahu apa dibicarakan?" Percival berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Haruskah aku tahu?"
"Ya. Ditemukan mayat remaja di daerah sini dan pembunuhnya masih berkeliaran."
"Oh s**t! Aku rasa memang aku harus tahu. Di sini hampir tidak pernah ada kejadian criminal seberat itu. Itu alasannya kenapa Mama dan Papa memilih tinggal di sini." Royce cukup kaget mendengarnya.
"Ya itu dia."
Setidaknya Percival berhasil mengalihkan pembicaraan.
[]