16 :: Awal Mula ::

1098 Words
Ajeng menatap beberapa perhiasan yang sedang ada di hadapannya, meski semua perhiasan itu indah dan menggoda mata tapi pikiran Ajeng hanya tertuju kepada Radit saja. Ibra bukannya tidak menyadari itu, dia sesekali melirik Ajeng kemudian kembali fokus dengan apa yang sedang dia lakukan. "Bagus yang mana ?" tanya Ibra kepada Ajeng. "Keduanya bagus," jawab Ajeng. "Gue tau, tapi gue mau lo pilih salah satu." Ajeng diam dan menghembuskan napasnya, dia meneliti dua anting yang sedang di hadapkan kepadanya itu lalu memilih salah satunya. Ibra langsung membayar anting pilihan Ajeng, dan tidak lama kemudian mereka pergi dari sana. Ajeng jarang pergi ke mall, terlebih tidak ada yang bisa dia lakukan disana jadi malam ini dia sedikit bingung dengan keadaan di sekitarnya. untungnya Ibra yang mengetahui kegelisahan yang sedang Ajeng rasakan langsung merangkul bahunya. "Lo ngapain ?" tanya Ajeng karena Ibra masih dengan santainya merangkul bahu Ajeng. Beberapa pasang mata bahkan menatap mereka saat ini "Ibra lo ngapain ? gue dilihatin ini, lo ish." Ajeng melepaskan tangan Ajeng dari bahunya. "Bagus dong mereka lihatin lo, siapa tau lo jadi terkenal." "Maksud lo ?" tanya Ajeng tidak mengerti sambil masih berjalan bersisian dengan Ibra. "Lupain aja, ayo kita makan. Lo pasti udah laper kan ?" Ajeng menggelengkan kepala melihat Ibra yang kembali merangkul bahunya, lalu memilih duduk di dekat pintu masuk salah satu restoran. Ajeng bingung berdecak kagum melihat harga makanan di restoran itu. Ajeng bertanya kepada Ibra apakah dia boleh mencoba harga yang paling mahal dan Ibra tersenyum sebagai persetujuan. Kini wajah Ajeng sudah tidak lagi muram seperti tadi, Ibra senang akan hal itu tanpa Ajeng sadari Ibra terus menatapnya dengan senyuman tipis namun sangat jarang Ibra lakukan. Satu pertanyaan muncul dalam benak Ibra, dan dia bertanya kepada Ajeng akan hal itu. "Ajeng," katanya membuat Ajeng menatap Ibra dengan serius "Boleh gue tanya sesuatu ?" Ajeng mengangguk sebagai persetujuan "Kenapa lo suka sama Pak Radit ?" Ajeng terdiam dia melihat wajah serius Ibra lalu dia tersenyum lebar "Pak Radit ganteng, tinggi cool dan dia juga baik." "Hanya itu ?" tanya Ibra lagi dan Ajeng mengangguk lagi "Kalau hanya itu banyak pria selain Pak Radit memiliki semua yang kamu sebutkan tadi." "Enggak juga !" Sanggah Ajeng tidak terima dan Ibra menaikan satu alisnya "Elo ganteng tinggi tapi gak baik, lo ganteng cool banget malah itu wajah tapi lo ngeselin !" Apa yang Ajeng katakan itu mungkin akan membuat orang lain yang mendengarnya tertawa ditambah dengan raut wajah Ajeng yang terlihat menggemaskan saat mengutarakan isi hatinya, namun tidak dengan Ibra. Setelah mendengar hal itu dari Ajeng Ibra terdiam, sampai makanan mereka datang hingga Ibra membayar tagihan pria itu masih saja diam. Ajeng menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena hal itu, dia tahu mungkin apa yang dia katakan sudah menyakiti hati Ibra. Tapi mau bagaimana lagi, dia kan mengatakan yang sesungguhnya. "Ibra," panggil Ajeng saat keduanya sudah masuk kedalam mobil dan Ibra ingin mengantarkan Ajeng kembali ke rumahnya. "Makasih ya, lo baik banget udah bawain makanan sebanyak ini buat ayah dan kak Tika." "Iya ! kan gue mau jadi cowok ganteng tinggi cool dan baik." Ibra memberikan senyuman lebarnya membuat Ajeng tertawa kuat. Ajeng tahu Ibra adalah pria yang baik, namun sepertinya sifat menyebalkannya itu tidak akan pernah bisa hilang. Meski bersikap baik saja ucapannya terkadang membuat Ajeng ingin mengigit tangan Ibra. "Ibra lo mau jadi teman gue ?" tanya Ajeng sambil memberikan kelingkingnya. Ibra sambil menyetir dengan sebelah tangan buru-buru menyambut jari kelingking Ajeng dan menautkan jari miliknya. "Kalau sudah jadi teman, lo wajib cerita apapun wajib berbagi kebahagiaan apalagi sedih. Lo mau ?" tanya Ajeng dan Ibra mengangguk. **** Semenjak malam itu Ibra dan Ajeng benar-benar menjadi teman dekat. Teman yang membuat hari-hari Ajeng semakin indah dan juga suram, apalagi jika bukan karena sifat Ibra yang mmudah merajuk dan juga mulut pedasnya yang tidak bisa dihilangkan. Tapi sejauh ini Ajeng nyaman berada dekat dengan pria itu, banyak yang mengira mereka berpacaran karena Ibra hanya menghabuskan waktu di sekolah maupun di luar sekolah dengan Ajeng dan dua sahabat Ajeng. Ajeng juga kerap melihat latihan basket yang Ibra lakukan, bukan tanpa alasan Ajeng melakukannya karena Ibra berjanji setiap satu kali Ajeng datang maka selama satu jam Ibra bersedia mengajari Ajeng bahasa perancis sambil Ajeng bekerja di mini market. Ajeng sudah lama menyukai bahasa perancis, dan dia ingin sekali bisa pergi ke negara-negara disana seperti Paris dan lainnya. Dekat dengan Ibra bukan berarti dia sudah melupakan perasaannya kepada Radit, Ajeng tidak pernah absen memperhatikan Pak Gurunya itu.Dia juga masih kerap memberikan makanan yang dia buat ke meja ruang guru milik Radit, namun Radit sudah jarang terlihat di sekolah. Andini yang menjadi adik Radit tidak lepas dari pertanyaan Ajeng mengenai hal itu. Radit sedang sibuk menangani perusahaan karena ayah mereka sakit, hal itu membuat Ajeng murung dia merasa kehilangan sosok Radit yang selama ini tanpa sengaja sudah merubah Ajeng. Merubahnya menjadi lebih memperdulikan penampilan dan juga sibuk dengan diet. "Gue balik ya, aunty Viza baru tiba di bandara jadi gue mau jemput.Besok ke sekolah gue jemput," ujar Ibra yang tadinya menemani Ajeng berjaga di mini market. "Iya, hati-hati ya." Ajeng melambaikan tangannya dan tersenyum ketika Ibra pergi, dia lalu mulai sibuk untuk menutup mini market itu. Wajah Radit yang muncul dari belakang tubuh Ajeng membuatnya terkejut bukan main. "Astaga Pak Radit ! saya pikir hantu," kata Ajeng dan Radit mengulum senyuman. "Kamu sudah selesai kerja ?" "Sudah Pak ! ini mau balik." "Tumben gak sama Ibra ? biasa kalian pacaran terus." "Saya dan Ibra pacaran ?" Ajeng lalu tertawa. "Kita gak pacaran Pak, tapi kalau jadi pacar bapak bisa saya pertimbangkan." Ajeng menutup mulutnya langsung dan pipinya merona, bisa-bisanya dia keceplosan perihal ini. Radit melebarkan senyumnya lalu mengajak Ajeng untuk pergi bersamanya, Ajeng mengira dia akan pergi ke sekolah yang dulu pernah Ajeng datangi namun ternyata Radit membawanya ke sebuah tempat makan pinggir jalan. "Kamu gak lagi diet kan ?" "Memangnya saya harus diet ya Pak ?" tanya Ajeng sedikit ciut takut jika Radit akan mengatakan sebuah kejujuran yang menyakitkan. "Diet atau tidak itu keputusan kamu, saya hanya bertanya. Tapi sebagai perempuan kamu tidak boleh melupakan untuk menjaga dan merawat tubuh kamu." Jleb ! Ajeng hanya tersenyum kaku, dia tahu apa yang dibilang Radit adalah suatu kebenaran dan itu baik untuknya tapi kenapa dia sedikit tidak terima ? Bahkan dia merasa ada yang sakit di hatinya ketika Radit mengatakan hal itu. "Pak kalau Bapak suka sama wanita pertama yang bapak lihat apa ?" "Hem..,kenapa kamu bertanya seperti itu ?" kata Radit lalu dia memesankan sate untuk mereka berdua. "Tidak ada sih pak, mau tanya saja. Hehehehe..." "Yang pertama saya lihat adalah semuanya, sikapnya terutama." Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD