Enam

1113 Words
Selesai dengan peristiwa tak mengenakkan yang baru saja kualami, kulirik jam di pergelangan tangan. Aku terperanjat saat mendapati angkanya yang sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Pertanda jika kelasku pasti sudah dimulai sejak lima belas menit yang lalu jika menurut pada waktu. Kembali merapikan tatanan kertas folio yang ada di genggaman tangan, kulangkahkan kakiku cepat menuju ruang kelas. Koridor sudah sepi saat kulalui. Tidak ada seorang siswa lain pun di luar, karena tentu saja, jam masuk kelas sudah dimulai. Jika pun ada, akulah mungkin satu-satunya siswa karena berangkat terlambat. Terengah-engah, aku akhirnya tiba di depan pintu sebuah ruang kelas yang bertuliskan XI-3 IPA. Aku mengernyit saat mendengar suara yang cukup ramai di dalam sana. Eh, memangnya Bu Mira belum memulai kelas, ya? Hari ini bukannya ada ulangan Kimia? Aku membatin. Masih dengan keraguan yang berkecamuk di kepala, tanganku bergerak memutar kenop pintu kayu yang ada di depanku. Cklek. Pintu berhasil terbuka. Suasana kelas pun mendadak senyap seketika. Setelahnya yang kurasakan adalah setiap mata yang mengarah pada satu titik di depan pintu. Apa lagi kalau bukan wajahku. Seolah aku adalah magnet yang menarik semua manik-manik mata yang berperan sebagai binih besi itu. Melirik ke arah meja guru aku kontan menghela napas lega. Ternyata Bu Mira memang belum tiba. "Syukurlah." Aku bergumam. Tanpa memedulikan gerutuan teman-teman satu kelasku yang mengira kedatanganku sebagai Bu Mira, aku langsung mengambil duduk di bangkuku. Meletakkan kertas folio yang kubawa ke atas meja lalu langsung merampas botol air minum Karina dari tasnya yang berada di atas meja juga. "Yee ... kirain tadi Bu Mira. Ternyata elo, Ras," desis Karina yang menatapku dengan mata bulat lebarnya. Aku hanya meliriknya sekilas sembari terus meneguk air minumnya hingga tersisa setengah botol. Rasanya haus sekali, tingkat dewa jika dijadikan umpama. "Eh, tapi, bukannya lo bilang hari ini nggak masuk?" Karina menjawil lenganku. "Gimana sih, Ras, sia-sia dong gue belajar semalaman?" gerutunya. "Wahh, iya nih! Gue semaleman juga belajar gara-gara baca chat lo tahu!" Alina tidak mau kalah. "Sama, gue juga, Ras." Gini ikut bersuara. "Parah lo mah!" tambahnya dengan wajah sok terluka. Aku menutup botol air minum Karina dan mengembalikannya ke tempatnya yang semula. "Ya, bagus dong, kalau kalian semua belajar. Jadi nggak perlu nyontek gue atau bikin contekan sendiri. Great!" Aku mengelap sisa air di mulutku dengan lengan. "Yee ...," desis Karina, Gini, dan Alina secara bersamaan serupa grup paduan suara yang sedang koor. Aku pun menahan senyum. Menatap teman-temanku itu satu per satu sampai akhirnya teringat akan sesuatu. "Eh, kalian tahu nggak, kenapa gue sampai terlambat masuk kelas hari ini?" Aku kembali mengingat-ngingat kejadian yang baru menimpaku tadi di halaman sekolah. "Apa? Pasti Kakak lo bilang lagi sibuk kan? Nggak bisa nganterin lo terus nyuruh lo berangkat sendiri naik angkot!" Gini menghela napas. "Em." Aku mengangguk sebentar kemudian langsung menggeleng. Jika dipikirkan, jawaban Gini itu memang hampir benar kalau tidak mengingat insiden hampir tertabrak motor yang kualami, yang pada kenyataannya, kejadian itulah yang lebih lama menyita waktuku tadi. "Kesiangan pasti." Kali ini Alina yang duduk di bangkunya yang ada di depanku yang menebak. Te tot! Sebegai jawaban aku kembali menggeleng. Karena tidak ada yang mau menebak lagi, aku pun memutar kepalaku dan menatap lurus Karina. Dia yang merasa mendapat atensi dariku itu pun menatapku selama beberapa lama kemudian langsung membulatkan kedua mata. Seolah-olah, dirinya adalah seorang manusia yang baru saja mengetahui sesuatu yang menjadi rahasia seluruh jagad raya. Oke, maaf. Kali ini aku memang keterlaluan dalam membuat perumpamaan. Ha ha ha. "Ras!" pekik Karina tertahan. "Jangan bilang ... elo mimpi ngelihat si Black Shadow lagi, ya?!" Temanku itu mengarahkan jari telunjuknya tepat di antara kedua mataku. Aku segera mengerutkan dahi mendapat kehebohan Karina yang tiba-tiba mengenai hal yang sebenarnya bukan menjadi jawaban dari tebakanku itu. Black Shadow? Kenapa tiba-tiba menebak Black Shadow sih? Bukannya Karina tidak percaya ceritaku tentangnya?! "Astaga, Laras! Lo ngeliat dia lagi ya?" seru Karina. "Aduh, Ras! Lo, tuh, ya ... masiihh aja percaya sih sama gituan!" Cewek itu mulai heboh. "Hah? Apaan, Rin? Black Shadow apa?" Gini yang sepertinya penasaran dan jelas tidak paham apa yang kami bicarakan melayangkan pertanyaannya. Aku yang memang masih menatap Karina langsung melotot tajam ke arah cewek itu, memperingatkan Karina lewat tatapan mata supaya tidak bicara tentang apa pun yang ada di pikirannya tentang bayangan hitam itu. Bagiku cukup dia saja yang tahu tentang pria itu dan tidak percaya. Gini dan Alina jangan juga. Teman sebangkuku, Karina, ia yang menangkap sinyal peringatanku pun langsung merapatkan bibir. "Black Shadow apaan tuh? Emangnya Laras mimpi lihat apa sih?" Alina ikut bertanya penasaran. Karina dan aku pun kembali saling berpandangan. Aku bisa melihat wajah Karina yang berubah menjadi diliputi bingung. Good. Sekarang dia yang kini harus bertanggung-jawab menjelaskannya. Awas saja kalau cewek satu itu kelepasan bicara. "Eh, itu," gumam Karina. "Laras ... Laras pernah cerita ke gue, dia sering ... sering ... sering lihat bayangangannya sendiri. Iya! Laras sering ngeliat bayangannya sendiri. Warnanya hitam, kadang serem, terus ... kebawa mimpi deh. He he he. Iya, itu tuh yang gue maksud." Karina mengumbar senyuman lebar versi konyolnya. Entah harus mengatakan apa atas alasan aneh Karina, tapi aku bersyukur karena dia tidak mengatakan apa yang sebenarnya ia tahu. Sahabatku yang satu itu ternyata bisa mempertanggungjawabkan mulutnya yang kelepasan bicara. Aku jadi semakin respect kepadanya. Alina dan Gini kemudian saling bertatapan dengan dahi mengkerut setelah omong kosong itu. "Gaje lo, Rin," gumam Gini. "Iya, gaje deh lo." Alina menimpali. "He he he." Karina meringis. "Ya, maaf." Cewek itu mempoutkan bibirnya. Kupikir aku harus segera mengganti topik pembicaraan ini. "Lupain deh yang tadi, guys," kataku. "Gue cuma mau cerita kalau tadi itu, waktu gue jalan mau ke kelas, ada satu cowok naik motor kenceng banget dan hampir aja nabrak gue di sekolahan." "Hah? Apa?" "Nabrak lo, Ras? Siapa?" "Elo nggak pa-pa?" Ketiga sahabatku langsung heboh seketika. Aku tersenyum. "Syukurnya gue nggak kenapa-napa seperti yang kalian lihat." Ketiganya mengangguk-angguk. "Gila tuh cowok! Perlu dikasih pelajaran tuh orang." Gini bergumam. "Bener banget." Karina mengamini yang juga diangguki oleh Alina. "Cowok itu siapa? Lo kenal?" tanya Alina. "Iya. Trus gimana kronologinya?" sahut Gini. "Jadi, tadi pas gue mau---" Cklek. Pintu kelas yang tadi sudah kututup kembali terkuak. Sebelum aku sempat menjawab pertanyaan teman-temanku dan menceritakan kejadiannya, Bu Mira, guru mata pelajaran Kimia kami datang. Beliau memasuki kelas dengan sebuah amplop cokelat yang aku yakin berisi soal-soal ulangan di dalamnya. Suasana kelas yang tadinya tidak ada bedanya dengan jalan raya mendadak berubah hening lagi. Semua teman sekelasku yang tadi bahkan ada yang duduk-duduk di atas meja kembali ke bangkunya masing-masing, berubah diam tak bergerak dan membentuk barisan duduk yang kelewat rapi dan teratur. Huh, aku gagal melanjutkan ceritaku dan tidak jadi menjawab pertanyaan teman-temanku. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupku. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD