Enam Belas

1659 Words
Pagi yang cerah. Kak Rama sudah meninggalkan rumah dan bertolak ke kampus setengah jam yang lalu setelah menghabiskan sarapannnya. Sepiring nasi goreng dan segelas air putih sudah tersaji di atas meja makan. Kak Rama pasti membuatkannnya untukku. Ada sisa sedikit mie goreng dan omelet. Aku langsung menyantapnya setelah menarik kursi dan duduk. Drtt ... Drtt .... Ponselku yang kusimpan di saku rok seragam bergetar halus. Erland is calling .... Aku langsung melahap suapan terakhirku dan buru-buru meneguk air. "Halo." Tanganku menempelkan benda pipih persegi panjang itu ke telinga, suaraku sepertinya masih serak sehabis makan. "Lo di mana? Buruan! Gue di depan rumah lo." "Oh, iya, iya. Gue keluar." Aku menarik ranselku lalu mengaitkannya asal di lengan dan lari ke luar. Kak Rama nantinya pasti marah-marah karena meja makan yang tak kubereskan. Tapi biarlah. Di depan rumah tepatnya di luar pagar, tampak seseorang berjaket hitam duduk di atas motornya. Pasti Erland dilihat dari celana kain abu-abunya. Cowok itu masih memakai helmnya di atas motor. Aku segera mengunci rumah dan menghampiri Erland. "Maaf lama," kataku berdiri tepat di samping cowok itu sehabis menutup pintu pagar. Erland tak bereaksi, tapi setelahnya ia mengulurkan helm yang tadinya ada di jok depan motornya ke arahku. Aku segera menerima dan memakai helm berwarna putih itu. "Buruan naik! Gue bisa telat nungguin lo," tukasnya bernada dingin. Tidak ingin membuang-buang energi berdebat dengan Erland sepagi ini, aku mengangguk dan segera duduk di boncengan belakang motornya. Beberapa saat lewat tapi Erland tidak segera menjalankan motornya. "Em ... ayo jalan! Katanya keburu telat?" pekauku setelah melihat jam tangan yang menunjukkan pukul 05.45 WIB. Masih terlalu pagi sebenarnya. Namun, tak apa. Aku kemudian merapikan posisi ranselku. Udara dingin menyapa kulitku. Erland tidak segera menjawab. Tidak lama, terdengar helaan napas pelan di depan. Lantas tiba-tiba, tangannya menyekal sebelah tanganku dan melingkarkannya di perutnya. Aku bergidik sendiri merasakannya. Meski hanya sebelah tangan, otomatis tubuhku jadi condong ke depan, memeluknya tanpa sengaja. Aku sudah hampir tidak bernapas karena terlalu kaget atas perlakuannya. Belum lagi tubuhku yang tiba-tiba kaku membeku. Aku berniat menarik tanganku darinya tapi lagi-lagi Erland menahannya, menggengamnya erat. "Ih. Apa-apaan ini?" pekikku keras. "Lo bisa jatuh nanti kalau nggak pegangan," sahutnya. "Tapi nggak gini juga!" Aku menarik lagi tanganku. "Lo susah ya dibilangin?!" Erland menoleh. Tangannya masih menahan tanganku. "Lo modus, ya?" tuduhku. Cowok itu mengerutkan dahi menatapku. "Dih, ogah!" katanya. Alisnya terangkat sebelah. "Terus mau lo gimana?" lanjutnya. Aku menunjukkan cengiran kuda. Kedua tanganku kugerakkan ke atas bahu kokohnya lalu mendaratkannya di sana. "Pegangan ini," kataku tersenyum senang. Sesaat Erland menatap tanganku yang berpegangan di pundaknya. Hanya sebentar lalu mengidikkannya dengan satu tangan yang menepis, membuat kedua peganganku terlepas secara refleks. "Lo pikir gue abang-abang tukang ojek?" Erland menatapku marah. Aku menurunkan senyumku seketika. Sepersekian detik kemudian cowok itu kembali menghadap ke depan dan menyalakan mesin motornya. Aku mendengkus saat tidak bisa mendengarkan gumamannya yang kuyakini sedang mengumpatiku. Sebentar, tiba-tiba tangannya meraih tanganku lagi. "Erlaaand!" pekikku saat ia melingkarkan tanganku lagi di perutnya. Jujur saja aku merasa risih. Memangnya dia tidak? "Hm?" Erland menggumam. "Gue nggak mau---" "Pacar! Lo pacar gue, jangan lupa!" Erland memotong. "Tapi kan---" "Aneh malahan kalau lo nggak mau pegangan sama gue pas naik motor." "Iya, tapi nggak perlu pe---" Set! Erland menarikku lagi. Membuat kedua tanganku menaut jadi satu di perutnya. Sekarang aku benar-benar bisa merasakan punggung hangatnya. "Diam!" komandonya sambil menjalankan motor Ducatinya. Aku dibuat membisu seketika, juga tidak bisa bergerak. Rasanya sangat aneh. Bernapas pun terasa sangat sulit di detik ini. Saat ini aku sangat dekat dengan Erland. Ah, bukan bukan, aku bahkan dibuat memeluknya. Hingga beberapa menit, rasanya jantungku masih menggila. Ini kontak pertamaku dengan laki-laki dalam jarak sedekat ini setelah dewasa, terkecuali Kak Rama tentunya. Dan ralat! Aku dan Erland tidak berjarak mengingat pernyataanku yang pertama: Aku memeluk Erland. Dan kalau digambarkan, jantungku memang mau meledak karena berdetak di atas batas normal. Sekitar lima belas menit diam di posisiku dengan Erland yang melajukan motor Ducatinya kencang. Entah kenapa, kami belum juga sampai di sekolahan. Aku kemudian melihat jalanan yang kami lalui dan tersadar jika ternyata jalan itu bukan jalan menuju sekolahan. Aku pun langsung meneriaki Erland, takutnya ia tidak dengar mengingat kondisi jalan yang kelewat bising oleh kendaraan yang berlalu-lalang. "ERLAAND! LO BAWA GUE KE MANA?" teriakku bertanya karena benar-benar bingung. "INI BUKAN JALAN KE SEKOLAHAN KALAU LO LUPA!" pekikku setelah tidak segera mendapat respons darinya. "DIEM DULU. BENTAR LAGI SAMPEK," balas Erland ikut berteriak namun tendengar kelewat santai. Aku mendengkus. "LO JANGAN ANEH-ANEH, YA!" kataku. Tidak ada jawaban dari Erland sampai beberapa saat kemudian cowok itu membalas "Enggak," lalu, membelokkan motornya ke sebuah tempat. 'Enggak'. Jawabannya itu sangat terlambat sebenarnya jika dihitung dari waktu semenjak aku melontarkan pertanyaan. Kimi, kami berdua sudah berada di dalam basement salah satu mal besar Jakarta. Erland sudah turun dari motornya sedangkan aku masih nangkring di atasnya, terbengong menatap bangunan besar gedung bertingkat di depanku. "Udah, turun!" Erland memerintah dengan kedua tangan yang masuk dalam saku celana. "Ah, iya." Aku turun setelah melepas helm di kepala lalu berjalan cepat menyusul Erland. Mencoba menyejajari langkah kaki cowok itu yang panjang-panjang. Mataku hanya benar-benar fokus ke depan. "Kita ngapain ke sini?" tanyaku ragu saat aku dan Erland memasuki salah satu store yang menjual berbagai tas dengan brand mahal dan aksesoris. Benarkah cara bicaraku tadi menyebut 'kita' untuk diriku dan Erland? Sungguh sekarang aku benar-benar merasa menyesal. Erland tidak menyahut dan malah berjalan menghampiri deretan tas sekolah cewek yang ada di showcase. Aku pun hanya mengikutinya di belakang. "Ngapain sih?" tanyaku lagi berharap segera digubris. Tapi tidak. Bukannya menyahut meski hanya dengan sepatah kata atau gumaman, Erland malah tampak serius memilih tas-tas yang ada di depannya. Tidak lama ia kemudian mengeluarkan dua buah tas dari showcase. Yang satu tampak sangat girly dengan beberapa bandul di sana sininya, berwarna pink dan sangat lucu sedangkan satunya lagi berwarna cokelat muda dan terlihat simple. Sama-sama bagus jika kau tanya aku. "Menurut lo bagusan mana?" kata Erland menyekatku lantaran aku yang kebetulan baru saja memikirkan jika dia menanyakan hal itu. Cowok itu menatapku sambil menenteng kedua tas itu di masing-masing tangannya. "Hm ...." Aku kembali berpikir saat melihat dua tas cantik itu terpampang jelas di depanku. "Yang warna pink lucu," kataku. "Oh." Erland mengangguk. Ia kemudian mengembalikan tas warna pink ke showcase tempatnya lalu memanggil salah satu mbak-mbak penjaga store yang tampak membantu temannya melayani pelanggan lain. Erland menyerahkan tas warna cokelat di tangannya pada mbak yang memasang senyum ramah itu. "Bungkusin ini, Mbak!" tukas Erland. Aku benar-benar masih melongo dengan sikap Erland barusan saat cowok itu kemudian pergi mengikuti si mbak penjaga store itu ke kasir. Menyadari aku yang tertinggal, aku langsung berjalan menyusulnya. Aku benar-benar bingung atas apa yang sebenarnya dilakukan cowok itu. "Kita sebenarnya ngapain sih ke sini?" tanyaku lagi yang akhirnya membuat Erland menoleh. Wajah cowok itu tampak dingin dengan sedikit kerutan di dahi. Kami sudah berdiri di depan meja kasir saat ini. "Terus maksud lo juga apaan tadi tanya ke gue tas mana yang paling bagus? Dan saat gue udah kasih pendapat, lonya malah pilih yang satunya?" kataku lagi sembari memasang wajah kesal. Karena setelah sedari tadi, Erland baru menyimak pertanyaanku detik ini. "Erland! Jawab!" pekauku. Mbak-mbak penjaga kasir dan yang tadi dipanggil Erland menatapku. Nyinyir. Sebenarnya aku merasa risih dengan tatapan seperti itu. Tapi atensiku tetap pada Erland. Lupakan saja bagaimana mbak-mbak itu melihatku karena aku merasa tidak perlu memedulikannya. "Selera lo jelek." Kali ini Erland akhirnya menyahut. "Rendahan," katanya lagi dengan lirih kemudian mengalihkan muka. "Hah?" Aku tidak percaya mendengarnya. Namun, Erland sudah tidak menyahut lagi. "Tiga juta, Kak." Petugas kasir tiba-tiba sudah mengulurkan paper bag besar berisi tas cokelat yang tadi. Setelah kemarin, hari ini aku dibuat harus terbelalak lagi di tempatku berdiri. Tiga juta hanya untuk sebuah tas? Aku bisa menggunakannya untuk hidup beberapa bulan. Dan ya, harga tas itu hampir sama dengan dress yang dibelikannya di butik. Cowok kaya ini benar-benar boros! Ya, meskipun dia kaya, tapi tidak seharusnya dia menghambur-hamburkan uang sesukanya kan? Melirik Erland, kulihat dia mengeluarkan dompet dari saku celana kainnya. Ada uang ratusan ribu cukup tebal di dalamnya. Tapi ia memilih mengeluarkan salah satu kartu kreditnya daripada uang tunai. Seperti kemarin, dompet cowok itu masih sama. Berisikan uang tunai, beberapa kartu kredit dan ATM, kartu pengenal, SIM A, SIM C dan KTP, juga beberapa kartu-kartu seperti member card yang entah apa. Aku dibuat berdecak lagi melihatnya. Dasar anak orang kaya! "Ada lagi, Kak?" Penjaga kasir tadi bertanya seraya menatap Erland yang sedang memusatkan atensinya pada gelang-gelang cantik yang tergantung di gantungan dekat meja kasir. Gelang-gelang yang terlihat sangat manis. Aku yang sebenarnya masih bingung dengan situasi yang kemudian terasa agak canggung ini dibuat terkejut saat tiba-tiba Erland meraih tangan kananku dengan tangannya. Mengangkatnya ke depan lalu fokus lagi ke gantungan gelang tanpa menghiraukan pertanyaan si mbak penjaga kasir. "Apaan sih?" lirihku. Tidak menjawabku, Erland malah mengambil beberapa gelang cantik dengan model blink warna pastel di depannya, lalu tanpa persetujuanku memasangnya beberapa di pergelangan tanganku yang tidak ada apa-apanya. Aku tidak pernah memakai aksesoris sebelumnya, sangat jarang setelah lulus SD sepanjang aku bisa mengingat. Kecuali jam tangan yang kini terpasang di pergelangan tangan kiriku. Itu pun aku tidak yakin akan memakainya jika tidak dihadiahi Papa dan Kak Rama saat berulang tahun. "Sama gelang-gelang ini, Mbak!" Erland mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari dompet sebelum memberikan uang itu pada penjaga kasir. "Kembaliannya ambil aja!" katanya sembari memasukkan kartu kreditnya yang tadi kembali dalam dompet. Setelahnya cowok itu beranjak ke arah salah satu store sepatu dengan aku yang kembali mengikutinya di belakang. Kali ini Erland menggandeng tanganku, latau lebih tepatnya lagi ... menyeretku. Ish, sungguh upil naga cowok tengik satu itu! Bersambung *** A/n: Naru bisa update. Ceritanya agak kembali ke awal, yaa. Tapi kerasa kan kalau ada sedikit perubahan diksi? Kemarin sedikit saya revisi dan bab2 yang sebelumnya terlalu padat saya idealkan. Dengar2 idealnya tiap bab itu 1000-2000an kata. Jadi, yaps, beberapa bab yang sebelumnya sudah tayang melebihi patokan tadi saya reparasi hehe. See you when I see you :D
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD