Sebuah Rencana

1023 Words
"Mama tadi ketemu sama pemuda yang sepertinya cocok jadi suamimu, Nak," ucap Fida membuat Manda memutar bola matanya malas. "Orangnya udah tampan terus anaknya yang punya rumah sakit tempat kamu bekerja loh, Man," imbuh Fida dengan nada bicara yang penuh semangat, tanpa memperdulikan perasaan Amanda sedikitpun. "Terus kenapa, Ma? Mama suka?" sinis Manda yang suasana hatinya masih berantakan. Dara berparas ayu itu seakan tahu ke mana arah pembicaraan wanita yang telah melahirkannya. "Pasti nih ujung-ujungnya kepingin jodohin aku sama cowok itu. Dasar mama," gerutu Manda dalam hati. Tanpa disisipi rasa bersalah sedikitpun, Fida menganggukkan kepalanya. Tentu saja, perempuan yang hampir sewindu menjadi single parent ini begitu senang dengan sosok pria putra orang nomor satu di rumah sakit tempat Manda bekerja. Tampan dan kaya, itulah dua hal yang membuatnya bahagia. Lain halnya dengan Fida yang menitikberatkan status sosial sebagai syarat utama menantu ideal, Manda justru menempatkan attitude lelaki sejati sebagai kriteria utama the next good husband. "Mama, mama. Tampan sama kaya terus yang dijadikan tolok ukur menantu idaman. Iya, idaman buat mama tepatnya. Bukan buat Manda." tembak langsung Amanda tepat sasaran. Sejujurnya, ia begitu gemas dengan ulah mamanya yang terlalu gampang terbuai dengan dua kata sifat yang begitu menjemukan bagi Amanda. "Kaya dan berparas ganteng itu tidak bisa menjamin adanya kebahagiaan, Ma. Kebahagiaan itu tidak didapatkan secara instan, melainkan lewat sesuatu berat yang menimpa hidup seseorang." setelah sekian lama memendam segala isi di dalam kepala, akhirnya Amanda luapkan juga kekesalannya. "Iya. Tetapi faktanya, jika suatu hubungan hanya mengandalkan cinta, mana mungkin bisa mendatangkan kebahagiaan? Yang ada hanya pertengkaran kecil yang tidak penting, Manda." Pertengkaran kecil antara ibu dan anaknya pun tidak dapat dihindari. Masing-masing pihak sama-sama mempertahankan argumennya sendiri. "Coba deh kamu lihat hubunganmu dengan Yogi. Udah gak orang berpunya ditambah dengan pekerjaan yang bergantung banget sama musim. Mana mungkin dia mampu membahagiakanmu, Manda? Realistis sedikit lah." begitu mudahnya Fida mengucapkan rangkaian kata yang melukai Amanda. Layaknya semburan lahar panas yang bisa meluluhlantakkan benda di sekitarnya. "Coba aja kalau dia—" "Udahlah, Ma. Manda mau istirahat aja. Manda kayaknya terlalu capek ini," potong Manda cepat. Sungguh, kendati Manda tersakiti karena ulah Yogi, dia tetap tidak rela Yogi-nya selalu direndahkan oleh mamanya. Amanda buru-buru menegakkan posisi tubuhnya. Lalu segelas air putih yang sedari tadi belum ia minum, cepat-cepat Manda teguk hingga tandas. Yang ada dalam benak dara bersurai hitam ini hanyalah segera menyingkir dari Fida. Yang bisa saja membuatnya semakin muak dengan seperangkat kriteria menantu yang begitu Fida idamkan. "Tolong dengerin mama dulu, Nak. Mama pengen jodohin kamu dengannya. Karena menurut kacamata mama, dia memang terbaik," ucap Fida pada akhirnya. Amanda melengos. Ia membenarkan apa kata hatinya, jika perempuan yang telah melahirkannya seperempat abad yang lalu memanglah matrealistis. Padahal baginya, hidup juga perlu cinta. "Terserah apa kata mama," tutur Manda pada akhirnya. Ia sudah begitu malas menanggapi Fida. Perempuan itu lantas berjalan meninggalkan mamanya yang bergumam kesal karena pintanya belum juga Manda iyakan. Sementara itu, di sebuah ruangan rumah sakit, terlihat seorang pemuda yang tengah melipat dahinya. Ia begitu heran dengan gestur mamanya yang begitu berbeda pasca bertemu dengan perempuan yang begitu asing bagi Affandi. "Mama happy banget ketemu sama tante itu ya. Fandi ikut senang kalau mood mama naik karena habis bertemu sama teman akrab mama," tutur Fandi lembut seraya meraih gelas berisi air mineral. Mendengar ucapan putranya, Aninda menganggukkan kepalanya. Tak lupa senyum termanisnya terkembang begitu ringan. "Iya, Nak. Dia itu teman baik mama. Dia juga yang selalu menyambut antusias keinginan mama. Termasuk niat baik mama membantu mencari pasangan hidup untuk Fandi," jawab lugas Aninda. "Sebentar. Maksud mama?" Fandi sengaja menggantung ucapannya, seiring jantungnya mulai berdetak tak beraturan. Jauh di dalam lubuk hatinya, Affandi berharap jika yang ia pikirkan hanyalah sebatas asumsi. Pertemuan Aninda dengan sesosok perempuan lewat paruh baya yang ia panggil tante Fida bukanlah dalam rangka membahas tahapan kehidupan Fandi berikutnya. Akan tetapi, semesta seketika meluluhlantakkan harapan Affandi. Seiring dengan lugasnya Aninda berkata jika salah satu tujuan Fida menemuinya dalam rangka memenuhi janji di masa lampau. "Dulu, mama dan tante Fida pernah berjanji untuk jadi besan, Nak. And here we come," terang Aninda seraya menatap lembut putra sulungnya. "Astaga mama. Mama tahu 'kan Fandi sengaja menunda karena ingin berfokus pada karir. Fandi ingin mengangkat derajat mama dan tidak mau membuat anak istri kekurangan sesuatu pun," protes spontan Affandi. "Mama tahu kalau kamu pasti terkejut dengan rencana mama ini, Sayang. Tetapi, mama melakukan ini demi kebaikanmu," imbuh Aninda yang membuat Affandi mempertebal kerutan dahinya. Bagaimana bisa Aninda tahu jika perjodohan ini demi kebaikan Affandi. Sementara Affandi merasa belum siap jika di dalam hatinya terpatri satu nama perempuan lagi. Refleks, ia menepuk dahinya lebar. Tak paham dengan alur pikiran Aninda. "Kalau di rumah ada seorang perempuan yang senantiasa menyejukkan hati, selelah apapun kamu, rasa letih itu sirna." Tetapi masalahnya, perempuan itu belum tentu bisa menyejukkan hati Affandi. Jangankan hati, netra hazel Affandi belum tentu terpuaskan dengan paras perempuan yang digadang-gadang akan menjadi pendamping hidupnya. Seakan tahu apa yang ada dalam pikiran Affandi layaknya cenayang, Aninda pun mengklaim jika wanita pilihan hatinya pastilah mampu membuat Affandi bahagia. Menghempas luka hati yang lima tahun ini mengendap di dasar hati Affandi. "Ma, ini udah gak jamannya lagi Siti Nurbaya. Iya, Fandi bakal cari pendamping hidup. Tetapi gak harus sekarang, Ma," sanggah Fandi yang tahu arah pembicaraan ibunya. Lelaki itu berkeberatan untuk menerima perjodohan yang menurutnya random ini. "Mama bukannya gak percaya apa kata anak kesayangan mama ini. Hanya saja, sebelum akhirnya menutup mata, mama ingin melihat kamu bahagia dengan pernikahanmu, Nak." Sesaat, Aninda menjeda ucapannya. Ia menghirup nafas dalam sebelum akhirnya berkata, "mama begitu yakin dia yang akan menyembuhkan luka di hatimu, Nak." Lagi, Affandi menghela nafas panjang. Ia sebenarnya lelah berdebat kusir dengan Aninda. Karena sehebat apapun ia berargumen, toh akhirnya akan kalah dengan ucapan Aninda yang begitu lembut lagi menyentuh hatinya. Terlebih ketika perempuan yang telah melahirkan Affandi tiga tahun yang lalu itu membisikkan keinginan yang tak ia sangka. "Fandi nunggu di teras kamar dulu aja ya, Ma. Biar mama bisa leluasa beristirahat." Fandi beralasan. Sejatinya, bisa saja Fandi tetap bersantai di kursi malas dekat brankar Sang Mama. Akan tetapi, ia tidak ingin Aninda melihat kegalauan yang begitu jelas tersirat di paras tampannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD