Sekedar Pencitraan?

1051 Words
"Oh, ternyata kamu ada di sini anak manis. Kasihan ya, udah bersusah payah lari, tapi akhirnya tertangkap juga, hahaha." suara seram pria bertato itu sukses membuat Amanda terhenyak. "Makanya, jadi orang tuh nurut. Coba kalau gak membelot, gak bakal akan seperti ini," lanjutnya sok tahu. Spontan, Amanda pun mendongakkan kepalanya. Jantungnya serasa mau lepas kala ia melihat orang jahat itu tengah berdiri di depannya. Kedua kakinya terasa mendadak seperti lemas melihat ancaman kini nyata berada di hadapannya. "Siapa kamu sebenarnya?" tanya Amanda dengan suara nyaris bergetar. Mencoba menaklukkan rasa takut yang mulai mendominasi dirinya. "Sepertinya gak penting aku menjawab pertanyaanmu. Toh kalau aku kasih penjelasan ke kamu, kamu gak bakalan ngerti. Hahaha," ucap pria itu yang disusul dengan tawa yang menggelegar. Memungkinkan denyut nadi Amanda kian cepat. Keadaan yang lebih genting nyatanya membuat wajah ayu Manda berubah jadi pucat pasi. Raganya gemetar kala lelaki itu semakin memperpendek jarak dengannya seraya tersenyum menyeringai. "Nampaknya boleh juga tuh body aku colek-colek. Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan," gumam penjahat itu. Menggunakan sisa kekuatan yang ada pada dirinya, sontak Amanda mengangkat salah satu kakinya lalu menendang tepat di bagian inti bawah pria jahat nan modus itu. Membuat raga berotot itu sekonyong-konyong roboh. Kesempatan kabur kini sudah berada di depan mata. Seketika, Amanda berdiri lalu lari tunggang langgang. Meninggalkan penculik misterius itu mengerang kesakitan. "Kurang ajar! Hai kamu, tunggu!" teriak lelaki itu, bermaksud menahan Amanda. Ia paksa raga kekarnya untuk bangkit seraya menahan nyeri yang masih saja berkedut. Hanya demi mengejar mangsanya yang melarikan diri. Sejenak, Amanda menjeda langkah kakinya. Ia menolehkan wajahnya ke arah belakang. Memastikan jarak yang terpaut antara Manda dengan si penculik cukuplah jauh. Ia yang tidak ingin tertangkap untuk kesekian kalinya, tetap mengambil langkah lebar tanpa henti. Menuju ke jalanan panjang yang sempat ia lintasi bersama lelaki tadi. Sekalipun sesekali terdengar helaan nafas yang tersengal-sengal Sayang sekali, hambatan datang ketika Manda nyaris mencapai garis finish tujuannya. Mungkin karena saking lelahnya namun tetap memaksakan diri untuk terus berlali, membuat raga mungil Amanda enggan diajak bekerja sama dengan lobus frontalnya. Sesampainya di dekat mobil yang membawanya ke tempat asing ini, mendadak tubuh mungil Amanda terjun bebas ke tanah. Memantik semangat lelaki bertubuh kekar yang berada di belakangnya semakin bersemangat menangkap Amanda. Pada saat yang sama, dari arah belakang, sebuah mobil tengah berjalan menuju ke tempat mini van itu terparkir. Sepasang bola mata milik sesosok pria yang berada di balik kemudi itu membulat sempurna. Kala ia mendapati sesosok perempuan yang cukup dia kenal terjatuh perlahan. "Amanda!" pekik pria itu seraya menghentikan laju mobilnya. Lalu segera berlari menghambur keluar dari kabin mobil. "Manda bangun!" seru Affandi seraya berusaha menahan tubuh Amanda agar tidak terjatuh ke tanah. Akan tetapi, sayangnya raga Amanda justru semakin melorot. Membuat Affandi akhirnya menggendong raga berpinggang kecil ala bridal style ke dalam mobilnya. "Woi, Bung! Kembalikan dia padaku!" teriak pria berkepala botak kala ia melihat mangsanya berada dalam gendongan seorang pria tampan. Sejenak, Affandi sempat menolehkan wajahnya ke sumber suara. Sekedar mencari tahu siapa yang baru saja meneriakinya dengan kata woi. Fandi menggelengkan kepalanya. Ia justru sengaja semakin merekatkan gendongannya. Lalu dengan setengah berlari segera membawa Amanda ke dalam kabin mobilnya. Tanpa memperdulikan teguran pria kepala botak yang masih tidak rela mangsanya berada dalam gendongan orang sebaik Affandi. Sesaat, lelaki itu menyempatkan memotret plat nomor mini van yang membawa Amanda. Lalu segera melajukan mobilnya menuju ke rumah sakit terdekat. Mengingat kondisi fisik Amanda yang begitu lemah. "Please bertahan, Manda. Aku tahu kamu kuat," lirihnya seraya memberanikan diri mengusap lembut punggung tangan Amanda. Ada satu jiwa lain yang harus ia usahakan keselamatannya. Satu hal itulah yang terpatri dalam benak Affandi. Menuntun Affandi melajukan SUV-nya di atas kecepatan rata-rata. Menafikan teriakan para pengguna jalan lain yang tidak berkenan dengan caranya. Setelah beberapa menit melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, akhirnya Affandi tiba di sebuah rumah sakit terdekat. Sambil menggendong Amanda yang masih bertahan dengan pingsannya, ia memohon kepada suster yang berjaga di rumah sakit itu. Untuk menyelamatkan nyawa Amanda. "Iya, Bapak tenang dulu ya. Kami akan mengusahakan menyelamatkan nyawa istri bapak," ucap seorang perawat yang sempat membuat Affandi sejenak berdiri mematung, lalu akhirnya menganggukkan kepalanya. Mengenyahkan sebuah frase kata yang membuat jantungnya serasa ingin lepas saja. "Tuhan, tolong bangunkan Amanda dari tidur panjangnya. Beri ia kesempatan sekali lagi untuk merasakan indahnya dunia ini," doa Affandi dalam hati kala seraya tak melepas pandangannya dari Amanda sedikitpun. Lambat laun, semesta seolah berpihak padanya. Tuhan pun mendengar doa yang dilangitkan Affandi. Selang beberapa waktu, netra cokelat milik Affandi melihat jari tangan Amanda mulai bergerak. Disusul dengan suara lirih yang nyaris tak bisa ditangkap oleh radar indera pendengaran lelaki berbadan tinggi dan tegap itu. "Aku ada di mana?" Amanda melayangkan pandangannya ke penjuru gedung yang mayoritas bercat putih. Lalu mengarahkan pandangan matanya pada sesosok pria yang setia mendampinginya melewati masa kritis dirinya. "Mas Affandi," tutur Manda lirih. "Mengapa aku berada di sini?" tanya Amanda menuntut penjelasan Affandi yang membawanya ke sini. Sesaat Affandi menghela nafas panjang. Ingin rasanya ia berkata pada Amanda jika karena sifat gamblingnya nyatanya mengantarkannya pada sesuatu yang bisa membahayakan diri. "Sabar Affandi. Sekarang bukan saatnya untuk menyalahkan keadaan," monolog Affandi sejenak sebelum ia meluncurkan rangkaian kata yang membuat Amanda terhenyak. "Kamu pingsan di dekat mini van. Dokter bilang karena kamu kelelahan. Sekarang kamu istirahat dulu ya," jawab Affandi pada akhirnya. Ia pun beranjak pergi dari ruang triase. Mengayunkan kaki kokohnya menuju ke counter perawat jaga. Melaporkan kondisi terkini Amanda. "Bu Manda, infusnya saya lepas ya. Hari ini juga ibu sudah diperbolehkan pulang. Karena kondisi ibu yang semakin membaik." seorang perawat dengan lembut mematikan infus. Lalu mencabut jarum yang ditancapkan di kulit punggung tangan Amanda. "Iya, suster. Terima kasih," sahut Amanda seraya menyunggingkan senyum manisnya. "Sehat-sehat ya, Bu. Ibu pasti bahagia banget ya mempunyai suami seperti bapak Affandi. Dia membawa ibu ke ruangan ini seraya menggendong ala orang-orang yang baru saja menikah gitu," pesan sekaligus cerocos suster itu yang sukses membuat Amanda melongo. Lagi, Amanda hanya menyunggingkan senyum simpulnya mendengarkan barisan kata suster itu. Sementara lobus frontalnya khusyuk mencerna setiap untaian kata perawat itu. Apa yang dilakukan Affandi kepadanya sehingga memunculkan anggapan jika Affandi lah yang menjadi suaminya. Amanda bertanya di dalam hati. Apakah yang Affandi lakukan ini memang benar tulus dari hati. Ataukah justru sekedar pencitraan agar mendapat pengakuan jika Affandi lah yang pantas bersanding dengannya. Bukan Yogi yang selama ini ia gadang-gadang menjadi lelaki terbaiknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD