Empat

620 Words
"Lancang kamu, Alia!" Suara berat yang biasa dipakai oleh suamiku untuk mengomandoi anggotanya tersebut tertuju padaku, menggelegar memenuhi rumah mungil kami lengkap dengan sorot matanya yang tajam menunjukkan betapa marahnya dia sekarang. Bahkan aku bisa melihat jarinya yang terarah padaku bergetar karena amarah yang di rasanya terlalu besar, hatiku tersayat, hatiku hancur berantakan. Selama menikah inilah kali pertama Bang Dwika membentakku, benar dia memang tidak mesra seperti temannya kepada istri mereka, tapi tidak pernah sedetikpun dia memperlakukanku penuh amarah seperti ini. Aku hanya menatapnya datar, terlalu hancur dengan sikapnya hingga tidak bisa berkata-kata, bohong jika aku tidak ingin menangis sekarang ini karena sikapnya, pelupuk mataku terasa panas, bahkan terasa buram karena air mata yang hendak jatuh, tapi aku tidak sudi menjatuhkan air mataku karena seorang dari masalalu yang bahkan bukan pemenang dalam masalah ini. Dengan sekuat tenaga aku menahan air mata tersebut, satu hal yang aku lakukan adalah membuang pandangan sembari menghembuskan nafas agar dia tidak melihat mataku yang berkaca-kaca sebelum aku angkat suara. "Ohhhh, aku baru tahu Bang kalau pegang hape pasangan yang sudah saling tahu isi celana dalam masing-masing itu sebuah kelancangan." Tidak ada yang berubah di diriku, aku masih sama seperti Alia yang dikenalnya sebelum aku tahu kebusukannya terbongkar. Alia yang selalu bersuara lembut kepadanya, sosok istri yang memberikan baktinya kepada suaminya tanpa syarat apapun meski kemarahan merajai hatiku karena pengkhianatan yang menjijikkan ini, disini aku ingin menegaskan jika aku sudah menunaikan kewajibanku sebagai istri, aku pun tidak kurang baik sebagai pasangannya tapi suamiku ini saja yang tidak tahu diri. Masalalu dengan emotikon matahari, ciiiihhhh, mengingatnya saja membuatku mual, apalagi saat Bang Dwika sama sekali tidak bisa berkata-kata dengan balasanku yang baru saja menohoknya. Untuk pertama kalinya seorang Dwika tidak bisa menjawab lawan bicaranya, matanya bergerak gelisah di balik amarah yang di sembunyikan. "Tetap saja ponsel itu privasi, Alia. Disini banyak pekerjaan Abang dan rahasia kesatuan, kamu nggak bisa main lancang terhadap ponsel Abang." Tawaku mengudara, alasan yang di lontarkan oleh Bang Dwika benar-benar menggelitik rasa humorku, astaga, tidak aku sangka jika berurusan dengan cinta bisa menjadi bodoh benar adanya. "Ohhhh gitu." Ledekku kepadanya sembari menghempaskan tubuhku kembali ke sofa, menikmati nyamannya tempat duduk ini sembari menata hatiku yang semakin remuk. "Ya iyalah! Lagian nggak ada apa-apa di hape Abang." Balas Bang Dwika sembari duduk di seberangku, bulir keringat yang muncul di dahinya yang tampan justru menunjukkan sebaliknya, ternyata Bang Dwika juga punya rasa takut akan kemarahanku, sayangnya aku bukan seorang yang bisa berpura-pura bodoh atau berpura-pura tidak tahu atas apa yang terjadi di depan mataku. "Kalau gitu santai saja bisa kan, Bang. Nggak usah main teriak atau tunjuk, aku ini istri Abang, bukan Anggota Abang, sikap Abang ini persis seperti peselingkuh yang baru saja ketahuan, Abang tahu?" "Jangan lancang kamu, Al! Sembarangan kalau ngomong!" Balas Bang Dwika, mungkin karena merasa gerah terus menerus aku pojokkan dan aku tatap dengan pandangan mencibir, suamiku ini tidak tahan hingga memilih bangkit kembali. "Ya sudah kalau begitu, Abang mau berangkat sekarang, nggak usah kebanyakan nonton drama TV biar nggak makin ngawur mikirnya." Tangan besar tersebut terjulur, memintaku untuk menciumnya hal yang wajib di lakukan sebelum dia berangkat kerja atau keluar rumah. Tapi kali ini aku tidak segera meraihnya, aku justru menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya, apakah tangan yang hanya di tujukan kepadaku ini juga di berikan pada Nana? Si Masalalu yang merajai hatinya? Karena hal itulah, bukannya meraih tangan Suamiku untuk bersalaman, aku justru mengatakan hal yang seharusnya aku ucapkan sedari tadi. "Bang, Nana tadi minta duit sejuta buat berobat anaknya, sama nanti sore Abang di suruh nemuin dia, kan katanya Abang sudah janji buat jadi Ayah anaknya, kan?" "............" "Ternyata masalalu Abang selalu jadi yang nomor satu buat Abang, ya! Karena dia, Abang bahkan bohongi dan bentak aku kayak gini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD