Brianna menoleh begitu mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Brianna menghampiri Brian yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi dengan hanya berbalut bathrobe putih.
Tadi begitu sampai di kamar, Brian bergegas pergi mandi, dan tidak mengizinkan Brianna pergi bersamanya.
Biasanya, Brian tidak memberi larangan, jadi ketika Brian melarangnya ikut, Brianna yakin, ada sesuatu yang mengusik pikiran sang suami, dan Brinna seketika berpikir jika masalah sang penculik putrilah yang mengusik pikiran Brian.
"Dad, kita harus bicara." Brinna mengikuti langkah Brian menuju walk in closet.
"Bicara? Bicara tentang apa, Mom?" Dengan santai, Brian menanggapi ucapan Brinna.
"Kita harus bicara tentang pria yang mencoba untuk menyakiti putri kita, Dad."
Brian berbalik menghadap Brianna, menatap istrinya tersebut dengan raut wajah bingung. "Maksud Mommy apa?"
"Daddy berbohong kan?" Ketika mengajukan pertanyaan tersebut, Brianna menatap lekat Brian, ingin tahu bagaimana reaksi Brian.
Pertanyaan Brianna mengejutkan Brian. "Berbohong? Maksudnya?"
"Semua yang tadi Daddy katakan itu tidak benar bukan? Pria yang mencoba untuk melukai Devina bukan pencuri biasa, kan?" tanya Brianna beruntun.
"Jadi Mommy tidak percaya pada Daddy?" Brian tidak akan memberitahu Brianna tentang apa yang sebenarnya sudah terjadi, dan tentang siapa sebenarnya pria yang sudah mencoba untuk menyakiti Devina, karena Brian tahu jika Brianna pasti akan sangat shock, lalu stres. Dengan kata lain, Brian akan terus berbohong, tidak akan berkata jujur pada Brianna.
Brian memasang raut wajah kecewa, sengaja melakukan hal tersebut supaya Brianna merasa bersalah karena sudah menuduhnya berbohong.
"Maksud Mommy bukan seperti itu, Dad," ucap Brianna yang seketika panik ketika melihat Brian tampak kecewa padanya.
"Lalu apa?" Brian kembali memunggungi Brianna, dan kembali melanjutkan aktivitasnya berpakaian.
"Mommy hanya merasa jika ada yang Daddy tutup-tutupi dari Mommy," jawab lirih Brianna dengan kepala yang kini sudah menunduk, menatap kedua tangannya yang saling bertaut.
Brian diam, enggan menanggapi ucapan Brianna.
Brianna memberanikan diri untuk menatap Brian. "Jadi, apa Daddy berbohong pada Mommy?"
Selesai berpakaian, Brian keluar dari walk in closet, diikuti oleh Brianna.
Brian menaiki tempat tidur, begitu juga dengan Brianna. Brian berbaring dengan posisi terlentang, sementara Brianna berbaring dengan posisi menghadap sang suami.
"Apa semua yang tadi Daddy katakan itu benar? Kalau pria itu hanya pencuri biasa?" Brianna bertanya dengan sangat hati-hati.
Sama seperti sebelumnya, Brian tidak menjawab pertanyaan Brianna.
Diamnya Brian membuat Brianna tahu kalau sang suami saat ini sedang marah padanya.
"Maaf," lirih Brianna.
"Sebaiknya kita tidur, masih ada waktu beberapa jam sebelum makan malam dimulai." Setelah sekian lama terdiam, akhirnya Brian bersuara.
"Baiklah," gumam Brianna sambil memejamkan matanya. Brianna kecewa karena Brian tidak menjawab pertanyaannya, tapi Brianna juga tidak mau memaksa Brian menjawabnya.
Brian dan Brianna akhirnya tidur, begitu juga dengan Devina.
Selang beberapa jam kemudian, Brian terbangun, begitu juga dengan Brianna yang terbangun beberapa menit kemudian.
Saat ini, pasangan suami istri tersebut baru saja keluar dari dalam kamar.
"Devian," gumam Brianna ketika melihat Devian baru saja keluar dari lift.
Brian dan Brianna bisa melihatnya, karena lift tersebut berhadapan secara langsung dengan kamar mereka berdua.
Devian berlari menghampiri kedua orang tuanya, memeluk keduanya secara bergantian.
"Devian sudah mendengar kabar tentang Devina, Dad, Mom. Sekarang di mana, Devinanya?"
"Devina ada di kamarnya, Sayang." Brianna yang menjawab pertanyaan Devian.
"Ok, terima kasih banyak, Mom." Setelah mengucap terima kasih, Devian berlari pergi menuju kamar sang adik kembar.
Dari informasi yang Devian dapat dari Dean, Devina baik-baik saja, tidak terluka sedikitpun, tapi tetap saja, Devian tidak akan bisa tenang atau merasa lega sebelum melihat kondisi sang adik dengan mata kepalanya sendiri.
"Devina." Devian tidak mau mengejutkan Devina, jadi Devian memanggil Devina dengan pelan, begitu juga ketika mengetuk pintu kamarnya.
Devina masih tertidur pulas ketika Devian memanggilnya, jadi Devina tidak bisa menjawab panggilan dari Devian.
"Devina, boleh Kakak masuk?" Devian kembali berteriak, meminta izin untuk memasuki kamar Devina.
Lagi-lagi tidak ada tanggapan dari Devina, karena itulah Devian memutuskan untuk memasuki kamar sang adik kembar.
"Ternyata dia masih tidur," gumam Devian yang saat ini sudah memasuki kamar Devina. Devian melangkah mendekati tempat tidur Devina, lalu duduk di pinggir tempat tidur.
Tangan kanan Devina terulur, menyingkirkan setiap helaian rambut Devina yang menutupi sebagian besar wajah cantik sang adik.
Sentuhan Devian mengusik tidur Devina, sampai akhirnya Devina pun terbangun.
"Hai," sapa Devian sambil tersenyum tipis.
"Hai, Kak." Devina membalas sapaan Devian dengan suara serak kahas bangun tidur.
"Sini, Kakak bantu." Devian membantu Devina untuk duduk, dan Devina sama sekali tidak menolak bantuan dari Devian.
"Apa kamu benar-benar tidak terluka?"
"Seperti yang sekarang Kakak lihat, Devina baik-baik saja. Devina sama sekali tidak terluka, karena Om Dean melindungi Devina, dan dialah yang pada akhirnya terluka."
Jawaban Devina mengejutkan Devian, itu karena Devian sama sekali tidak tahu jika ada yang terluka, dan ternyata yang terluka adalah Dean.
Saat memberi tahu tentang Devina yang katanya di serang oleh seorang pria tak dikenal, Dean hanya mengatakan jika Devina baik-baik saja, dan tidak memberi tahu Devian kalau dirinya terluka.
"Om Dean yang terluka?"
"Iya, Om Dean terluka karena melindungi Devina."
"Apa lukanya parah?"
"Lukanya tidak parah, Kak. Tapi tetap saja itu artinya dia terluka, kan?"
"Jangan merasa bersalah Devina, tugas Om Dean memang melindungi kita."
"Devina tahu, Ka," balas lirih Devina sambil tersnyum kecut.
"Sini, peluk Kakak." Devian memeluk Devina, dan Devina pun membalas pelukan erat Devian.
"Kakak bahagia karena kamu sama sekali tidak terluka, Devina."
"Terima kasih banyak, Kak."
Devian melerai pelukannya, begitu juga dengan Devina.
"Sebentar lagi makan malam, sebaiknya kita turun. Daddy dan Mommy sudah terlebih dahulu turun."
"Kakak duluan aja, Devina mau ke kamar mandi dulu."
"Baiklah." Devian keluar dari dalam kamar mandi, sementara Devina bergegas pergi menuju kamar mandi untuk merapikan penampilannya.
Devian sudah sampai di lantai 1. Saat ini Devian sedang melangkah menuju ruang makan. Begitu memasuki ruang makan, Devian melihat kedua orang tuanya sudah duduk di kursinya masing-masing.
Devian lalu duduk di hadapan Brianna.
"Kenapa Daddy dan Mommy ada di London?" tanya Devian sambil menatap bingung kedua orang tuanya.
"Begitu tahu kalau ada orang yang mencoba untuk melukai Devina, Daddy dan Mommy membatalkan kepergian kita ke Indonesia, Devian."
"Devian pikir, kemarin Daddy dan Mommy sudah pergi ke Indonesia." Saat Brian menghubunginya, memberi tahu dirinya jika Brian dan Brianna akan pergi ke Indonesia, Devian pikir saat itu keduanya sudah dalam perjalanan menuju Indonesia.
"Saat memberi tahu kamu kalau kita berdua akan pergi ke Indonesia, sebenarnya Daddy dan Mommy masih berada di London. Masih ada beberapa masalah yang harus Daddy selesaikan sebelum pergi ke Indonesia."
"Oh begitu," gumam Devian sambil mengangguk.
Pantas saja Brian dan Brianna bisa cepat kembali ke mansion begitu mendengar kabar tentang Devina, ternyata keduanya masih berada di London. Jika keduanya sedang dalam perjalanan menuju Indonesia, atau sudah berada di Indonesia, saat ini keduanya tentu saja tidak akan ada di sini, karena kedua perjalanan tersebut akan memakan waktu yang cukup lama.
Obrolan mereka semua terhenti begitu mendengar suara langkah kaki Devina memasuki ruang makan.
Setela menyapa seluruh anggota keluarganya, Devina lantas duduk di samping Devian.
"Kenapa Daddy dan Mommy diam saja? Kalian berdua sedang bertengkar?" Biasanya, Brian dan Brianna akan terlihat mesra, jadi ketika melihat keduanya saling diam, tidak berbicara satu sama lain, Devian seketika berpikir jika keduanya sedang bertengkar.
Pertanyaan blak-blakan Devian mengejutkan Brian dan Brianna, begitu juga orang-orang yang saat ini ada di ruang makan, lebih tepatnya para pelayan. Mereka semua tidak menyangka jika Devian akan bertanya seperti itu pada sang majikan.
Sebenarnya ini bukan kali pertama Devian bersikap seperti itu, tapi tetap saja, merek semua terkejut.
"Sebaiknya kita makan." Brian tidak akan menjawab pertanyaan Devian.
Devian juga sudah tidak membutuhkan jawaban dari pertanyaannya, karena sekarang Devian tahu jika kedua orang taunya memang benar-benar sedang bertengkar. Sekarang muncul pertanyaan baru di benak Devian, apa alasan kedua orang tuanya bertengkar?
Setelah makan malam selesai, Brian mengajak Devian dan Devina berkumpul di ruang keuarga.
"Ada apa, dad?" Devian tahu, pasti ada hal penting yang mau Brian sampaikan padanya dan Devina karena itulah Brian mengajak mereka berdua berkumpul.
Brianna ingin tahu apa yang akan Brian sampaikan pada Devian dan Devina, jadi Brianna pun ikut berkumpul.
"Ada yang mau Daddy katakan pada kalian berdua, terutama untuk kamu, Devina," jawab Brian sambil menatap lekat Devina.
"Iya, Dad, ada apa?" tanya Devina gugup.
"Seharusnya kejadian tadi siang membuat kamu sadar jika kamu bisa saja terluka, dan kamu memang membutuhkan pengawalan. Jadi Daddy mohon sama kamu, mulai sekarang, jangan pernah lagi mencoba untuk kabur dari pengawasan ketiga pengawal kamu, apa kamu paham?"
"Devina paham, Dad," jawab Devina sambil mengangguk.
Brian lalu mengalihkan pandangannya pada Devian. "Peraturan itu juga berlaku untuk kamu, Kak, apa kamu paham?"
"Devian paham, Dad." Devian menjawab tegas.
"Bagus kalau kalian berdua paham. Daddy hanya tidak mau terjadi sesuatu yang buruk sama kalian berdua, jadi tolong patuhi peraturan yang sudah Daddy buat, karena itu juga demi kebaikan kalian berdua. Jika kalian melanggar peraturan tadi, maka Daddy tidak akan segan-segan untuk memberi hukuman pada kalian berdua. Apa kalian berdua mengerti?"
"Mengerti, Dad." Devian dan Devina menjawab dengan kompak.
"Daddy masih lelah, jadi Daddy akan pergi istirahat. Sebaiknya kalian berdua juga istirahat, terutama kamu, Devina."
Devian dan Devina pamit undur diri. Keduanya pergi ke kamar masing-masing.
"Sebaiknya kita juga istirahat." Brian tidak menunggu tanggapan dari Brinna. Brian pergi meninggalkan ruang keluarga, disusul Brianna yang berjalan tepat di belakang Brian.
Brianna tahu kalau Brian marah padanya, marah karena dirinya tidak mempercayai Brian.