"Siapa sih yang telepon?" Keluh Devina ketika mendengar ponselnya terus berdering. Devina meraih ponselnya, raut wajahnya yang tadi terlihat kesal dengan cepat berubah menjadi terlihat sekali sangat bahagia begitu tahu siapa orang yang menghubunginya. Devina menggeser ikon hijau pada layar ponselnya, dan setelah itu menempelkan benda tersebut tepat di telinga kanannya.
"Hai, Sayang." Benedict terlebih dahulu menyapa Devina.
"Hai, Ben. Ada apa?"
"Keluarlah, sekarang aku ada di depan mansion kamu."
"Apa? Kamu ada di depan mansion aku?" Tanpa sadar, Devina berteriak. Devina terlalu terkejut begitu mendengar jawaban Benedick.
Devina jadi bertanya-tanya, dari mana Benedick tahu alamat mansionnya? Padahal ia sama sekali tidak pernah memberi tahu Benedick alamat tempat tinggalnya.
"Jangan teriak-teriak, Sayang, nanti ada orang yang curiga." Benedick mau, malam ini juga Devina menemuinya.
"Kenapa kamu ada di sini?" Devina seketika panik, takut jika kedatangan Benedick diketahui oleh para penjaga. "Kamu tahu alamat mansion aku dari mana, Ben?"
"Aku mau jalan-jalan sama kamu, Sayang, dan untuk pertanyaan kedua kamu akan aku jawab secara langsung, bulan melalui telepon."
"Ben, aku enggak bisa keluar."
"Kita hanya akan pergi sebentar, Devina. Lagi pula kamu sudah makan malam, kan? Tidak akan ada yang sadar kalau kamu pergi, Devina." Benedick masih mencoba untuk membujuk Devina supaya mau pergi ke luar bersamanya.
"Baiklah, tapi tidak boleh sampai malam."
"Ok, kita hanya akan pergi sebentar." Benendick menyetujui syarat yang Devina ajukan. Dari pada sama sekali tidak bertemu, lebih baik bertemu walaupun hanya sebentar.
"Diam di situ, aku ke sana sekarang juga." Devina tidak menunggu tanggapan dari Benedick, secara sepihak, Devina mengakhiri sambungan teleponnya dengan sang kekasih.
Devina meraih jaket yang ada di lemari, lalu keluar dari kamar. Dengan mudah, Devina melewati para penjaga yang sedang berjaga di depan mansion.
Beberapa menit kemudian, Devian mendatangi kamar Devina. Ada yang ingin Devian bicarakan dengan Devina, dan Devian pikir, ini saat yang tepat untuk membahasnya karena besok pagi mereka pasti akan sibuk dengan kegiatan masing-masing.
"Devina, apa boleh Kakak masuk?" Setelah berteriak memanggil Devina, Devian mundur 2 langkah, menunggu pintu di hadapannya terbuka.
1 menit berlalu, dan tidak ada tanda-tanda kalau pintu akan terbuka.
"Apa Devina sudah tidur?" Devian dibuat bingung ketika pintu di hadapannya tidak kunjung terbuka.
Devian menempelkan telinganya di pintu, dan Devian tidak mendengar suara apapun. "Engak mungkin kan kalau dia benar-benar udah tidur?" tanyanya pada diri sendiri.
Devian akan tahu, apa Devina sudah tidur atau belum setelah melihatnya sendiri, karena itulah Devian memasuki kamar Devina.
"Kosong," gumam Devian ketika melihat Devina tidak ada di atas tempat tidur.
Tempat tidur Devina masih rapi, itu artinya Devina sama sekali belum menyentuhnya.
Devian memeriksa balkon kamar, tapi pintu menuju balkon dalam keadaan terkunci, itu artinya Devina tidak ada di sana. Devian lalu memeriksa kamar mandi, tapi ternyata kamar mandi juga dalam keadaan kosong, tidak ada siapapun di dalam sana.
"Devina, kamu di mana?" Dean berteriak memanggil Devina sambil terus mencari Devina, tapi tak kunjung ada balasan dari Devina.
Setelah memeriksa walk in closet yang juga dalam keadaan kosong, Devian lalu mencari Devina ke lantai 1. Devian berpikir, siapa tahu Devina sedang berada di dapur, mungkin sedang mengambil air minum, cemilan, atau melakukan kegiatan lainnya.
"Bi, apa Bibi melihat Devina?" Devian bertanya pada pelayan yang baru saja keluar dari ruang makan.
"Bibi tidak melihat Nona Devina, Tuan Devian."
Jawaban dari pelayan tersebut mengejutkan Devian. Devian pikir Devina ada di lantai 1, tapi ternyata Devina tidak ada. Devian akhirnya meminta bantuan dari para pelayan untuk mencari keberadaan sang adik.
Para pelayan mulai berpencar untuk mencari Devina, sementara Devian kini pergi menuju kamar Dean. Devian berharap Devina ada di kamar Dean, meskipun tahu jika kemungkinan tersebut sangatlah kecil.
Dengan tidak sabaran, Devian mengetuk pintu kamar Dean.
Dean baru saja akan membaringkan tubuhnya di tempat tidur begitu mendengar panggilan dari Devian. Dean ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, karena itulah Dean bergegas membuka pintu kamar.
"Ada apa, Devian?" Saat ini Devian terlihat sekali panik, dan itu membuat Dean bingung. Apa yang sudah terjadi? Kenapa Devian panik?
"Di mana Devina?"
Pertanyaan Devian membuat bingung Dean. "Kenapa Devian malah menanyakan Devina kepadanya?"
"Tentu saja dia ada di kamarnya, Devian." Dean keluar dari kamar, tak lupa untuk menutup kembali pintu kamarnya.
"Devina tidak ada di kamarnya!" Devian menyahut cepat, terdengar sekali sangat panik.
"Mungkin dia sedang berada di lantai 1, di ruang makan, di taman, atau mungkin sedang berada di bioskop."
"Devina tidak ada di manapun, Om."
Jawaban Devian membuat Dean akhirnya tahu apa yang sudah membuat kembaran dari Devina itu panik.
"Apa kamu yakin, Devian?"
"Tentu saja."
"Tuan Devian, saya sudah mengecek setiap sudut mansion, dan Nona Devina tidak ada."
"Apa kalian yakin?" Dean menatap satu-persatu para pelayan yang sepertinya baru saja mencari keberadaan Devina.
"Kami yakin, Tuan Dean."
"Ada apa, Dean?"
Semua orang menoleh pada Han, yang baru saja memanggil Dean. Ham tidak datang sendiri, tapi bersama dengan Arion.
"Han, tolong periksa kamera CCTV, dan lihat ke mana Devina pergi."
"Ok." Han tidak akan bertanya, karena perintah Dean sudah jelas. Saat Dean memintanya untuk mencari Devina, itu artinya Devina tidak ada di mansion.
"Arion tolong kamu tanya para penjaga di luar, apa mereka melihat Devina keluar dari mansion?"
"Ok."
"Aku ikut." Devian memilih untuk pergi bersama dengan Arion, sementara Dean pergi ke ruangan CCTV untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Para pelayan membubarkan diri, dan hanya bisa berdoa, semoga saja sang Nona baik-baik saja.
"Bagaimana, Han? Apa kamu sudah menemukannya?"
Han menoleh, lalu meminta supaya Dean duduk di sampingnya. "Sebentar lagi, Dean."
Dean mengangguk, dan dalam diamnya, Dean berpikir, ke mana kira-kira Devina pergi? Dan apa alasan Devina berani pergi meninggalkan mansion tanpa adanya pengawal yang menemani?
Dean berpikir jika Devina pergi tanpa pengawal, itu karena setiap pengawal diwajibkan untuk melapor pada Dean jika mereka dimintai tolong oleh Devina untuk mengantar Devina pergi.
Selang beberapa menit kemudian, Arion datang.
"Bagaimana Arion? Apa para penjaga melihat Devina keluar dari mansion?"
Arion menggeleng. "Mereka bilang kalau mereka tidak melihat Devina keluar dari mansion."
"Apa kalian sudah mencari ke setiap penjuru dan ruangan yang ada di mansion ini?" Kali ini giliran Han yang bertanya.
"Sudah, Han, dan sudah bisa di pastikan kalau Devina tidak ada di mansion."
"Para penjaga mengatakan kalau mereka tidak melihat Devina keluar, lalu apa yang sebenarnya terjadi?" Han jadi bingung.
"Nyatanya ada banyak sekali titik buta dari setiap CCTV yang terpasang di luar mansion, Han." Dean yakin, Devina menyelinap keluar melalui titik buta CCTV juga para penjaga.
"Lo benar, ada terlalu banyak titik buta dari CCTV yang terpasang di luar mansion," keluh Han yang sampai saat ini masih mencari keberadaan Devina.
"Besok kita ganti semua CCTVnya dan perluas lagi jangakuannya."
"Ok." Arion dan Han menyahut kompak.
"Dean."
"Apa?"
"Sepertinya Devina pergi bersama dengan temannya." Han menjawab dengan ragu pertanyaan Dean karena Han memang tidak yakin, apa orang yang menjemput Devina adalah temannya atau bukan? Tapi jika Han pikirkan secara matang-matang, Devina tidak akan memasuki mobil tersebut secara sukarela jika Devina tidak mengenal orang yang ada di dalam mobil tersebut, itu artinya, Devina memang pergi bersama dengan temannya, atau mungkin pacarnya.
"Siapa?" tanya Dean.
"Entahlah, aku tidak mengenalnya. Lihatlah." Han memperlihatkan rekaman CCTV ketika Devina memasuki sebuah mobil sedan berwarna hitam.
Dean memperhatikan video tersebut secara seksama.
"Bagaimana? Apa kamu mengenalnya?"
"Ya, aku tahu siapa pria itu," gumam Dean sambil mengangguk.
Han dan Arion saling pandang. Melalui tatapan matanya, Arion meminta supaya Han bertanya pada Dean, tapi Han malah balik meminta supaya Arion yang bertanya pada Dean.
Arion mendengus, sedangkan Han terkekeh.
"Jadi, siapa pria itu?"
"Besok kita akan mencari tahunya." Sejak tahu jika Devina menjalin hubungan asmara dengan Benedick, Dean sudah ingin menyelidiki latar belakang pria yang menjadi kekasih Devina, tapi Dean belum sempat melakukannya karena sibuk.
Han dan Arion hanya mengangguk.
"Jangan sampai Devian melihat rekaman ini." Dean tidak mau Devian melihat Devina pergi bersama dengan pria, apalagi sampai tahu jika pria tersebut adalah kekasih Devina.
"Ok."
Dean keluar dari ruangan CCTV, begitu juga dengan Han dan Arion.
Dean menghampiri para penjaga yang berjaga di luar mansion, dan berjaga di pos.
"Apa saja yang kalian lakukan, hah? Kenapa bisa Devina menerobos keluar?" Dean membentak para penjaga tersebut, benar-benar kesal karena mereka bisa sampai kecolongan.
"Maaf, Tuan," mereka semua menyahut lirih dan menunduk, tidak berani menatap Dean yang saat ini terlihat sangat murka.
"Kalian semua akan saya maafkan jika Devina pulang dengan selamat, tapi jika sesuatu yang buruk terjadi pada Devina, maka kalian semua akan menanggung akibatnya. Camkan itu!" Setelah itu, Dean kembali memasuki mansion.
"Jadi ... sekarang apa yang harus kita lakukan?" Han menatap Dean, ingin tahu apa yang ada dalam pikiran Dean saat ini.
"Kita tunggu sampai dia pulang."
"Kita tidak akan mencarinya?" Han pikir, Dean akan memintanya dan Arion untuk mencari di mana keberadaan Devina.
"Apa Devina membawa ponselnya?" Jika Devina membawa ponselnya, mereka bisa melacak keberadaan Devina, tapi jika Devina tidak membawa ponselnya, maka mencari Devina akan sangat sulit.
"Tidak." Bukan Han atau Arion yang menjawab pertanyaan Dean, tapi Devian yang baru saja kembali dari belakang.
Dean, Han, dan Arion menoleh pada Devian.
"Jadi Devina tidak membawa ponselnya?"
"Iya, dia meninggalkan ponselnya di kamar."
Dean mendengus, kesal karena harapannya untuk melacak Devina pupus.
"Kalian berdua pergilah cari dia, aku akan menunggu di mansion."
"Ok." Han dan Arion lalu pergi meninggalkan mansion, sementara Dean saat ini bersama dengan Devian.
"Bagaimana? Apa rekaman CCTV memperlihatkan Devina pergi?"
"Iya, Devian."
Devian terus mengajukan pertanyaan pada Dean tentang kepergian Devina. Apa Devina pergi sendiri? Atau pergi bersama dengan teman-temannya? Dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya.
1 jam sudah berlalu sejak Devina pergi meninggalkan mansion.
Beberapa menit yang lalu, Dean baru saja mendapat kabar dari Han dan Arion kalau mereka berdua belum bisa menemukan Devina.
"Kenapa Devina belum pulang juga?" gumam Devian untuk yang kesekian kalinya. "Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Devina?"
"Maka saya adalah orang pertama yang akan di marahi oleh Tuan Brian." Dean menjawab santai pertanyaan Devian.
"s**t!" Umpat Devian.
Ponsel milik Dean tiba-tiba berdering.
"Ada apa?"
"Dean, Devina sudah pulang."
"Di mana dia sekaran?"
"Devina baru saja melewati pos."
"Ok, terima kasih."
"Iya, Dean, sama-sama."
"Bagaimana? Apa mereka sudah menemukan Devina?"
"Devina sudah kembali, dan baru saja melewati pos penjagaan."
Devian beranjak dari duduknya, dengan langkah lebar, pergi menuju depan.
Dean bergegas menyusul Devian.
Devina baru saja akan membuka pintu begitu pintu di hadapannya terbuka lebar, memperlihatkan Devian dan Dean. Tanpa sadar, Devina meneguk kasar ludahnya, ketika melihat raut wajah sang kakak yang terlihat sekali sangat menyeramkan.
Bukan hanya Devian yang saat ini terlihat sangat menyeramkan, karena Dean juga sama.
"Dari mana saja kamu?" tanya Devian penuh penekanan.
Bukannya menjawab pertanyaan Devian, Devina malah menunduk, menghindari tatapan tajam Devian.
"Kamu dari mana, hah?" Devian membentak Devina, dan bentakan dari Devian mengejutkan Devina, Dean, juga beberapa pengawal yang berdiri tak jauh dari posisi mereka. Mereka semua tidak menyangka jika Devian akan membentak Devina.
"Devina pergi bersama de-dengan teman Devina, Kak." Devina menjawab pertanyaan Devian dengan terbata-bata. Kedua tangan Devina yang saat ini saling bertaut bergetar hebat, dan Dean menyadari hal tersebut.
"Teman pria atau wanita?"
"Wanita, Kak."
"Dia berbohong." Dean membatin. Dean pikir, Devina akan menjawab jujur pertanyaan Devian, mengatakan jika dirinya baru saja pergi berkencan.
"Devina, apa kejadian kemarin siang tidak membuat kamu takut? Apa kamu harus terluka dulu baru kamu sadar jika bahaya kalau pergi malam-malam sendiri?" Devian benar-benar tak habis pikir, bisa-bisanya Devina pergi tanpa adanya pengawalan.
"Maaf, Kak." Devina tahu dirinya bersalah, jadi Devina tidak akan mencoba untuk membela diri.
"Apa kamu tahu kalau perginya kamu yang tanpa pamit itu sudah membuat semua orang panik, hah?" Devian kembali membentak Devina.
Devina tersentak, kaget. Tubuhnya bergetar hebat, bahkan kini kedua matanya sudah memerah sekaligus dipenuhi oleh genangan air mata.
Devina menangis dalam diam.
"Devian tenanglah." Dean menghampiri Devian, menenangkan Devian yang terlihat sekali sangat emosi. "Sekarang Devina sudah pulang, sebaiknya kamu istirahat."
Devian tidak menolak saran Dean. Devian pergi meninggalkan Devina, dan setelah memastikan jika Devian pergi, perhatian Dean sepenuhnya tertuju pada Devina.
Dean bersandar di dinding sambil bersedekap. "Apa perlu saya memberi tahu Devian kalau kamu baru saja berbohong, Nona?" tanyanya sambil tersenyum sinis.
"Maksudnya?" Devina menatap bingung Dean, masih belum tahu apa maksud dari ucapan Dean.
"Tadi kamu mengatakan kalau kamu pergi bersama dengan teman wanita, bukan?"
Pertanyaan Dean benar-benar mengejutkan Devina, dan saat itu juga Devina tahu apa yang Dean maksud.
"Padahal sebenarnya kamu pergi dengan seorang pria." Dean berdecak, masih tak menyangka jika Devina akan berbohong.
Devina semakin gugup sekaligus juga takut. Devina takut jika Dean akan memberi tahu Brian tentang kejadian malam ini, dan jika sampai hal itu terjadi, Devina tahu yakin kalau Brian akan menghukumnya.
"Lain kali kalau mau berbohong, pikir-pikir dulu, ok." Dean menepuk ringan bahu Devina, setelah itu berlalu pergi meninggalkan Devina yang hanya bisa diam kaku begitu mendengar nasehat Dean.