"Om, kenapa kita masuk ke sini?" Devina menatap bingung Dean yang baru saja membawanya memasuki sebuah restoran.
"Apa Om harus memberi tahu kamu apa tujuan kita datang ke restoran? Tentu saja kita akan makan, Devina. Kita tidak mungkin membeli baju di dalam restoran, kan? Ayo keluar!" Tanpa menunggu tanggapan dari Devina, Dean keluar dari dalam mobil.
"Tapi aku kan tidak lapar." Devina menggegurutu, tapi tak ayal menuruti kemauan Dean.
Devina bergegas keluar dari mobil, menyusul Dean yang sudah memasuki restoran. Devina terpaksa berlari mengejar Dean, supaya bisa menyamakan langkahnya dengan langkah kaki dari pengawal pribadinya itu.
Sekarang Devina sudah berdiri di samping kanan Dean.
Dean dan Devina akhirnya sampai di meja yang ternyata sudah Dean pesan sebelumnya. Keduanya duduk dengan posisi saling berhadap-hadapan.
Dean meraih buku menu, mulai melihat makanan apa yang akan ia pesan. "Devina, kamu mau makan apa?" tanyanya tanpa melihat Devina. Dean tidak melihat Devina, tapi Dean tahu jika saat ini Devina sedang melamun.
Saat dalam perjalanan menuju restoran, Devina lebih banyak diam, lebih tepatnya melamun. Dean juga tidak tahu harus mengatakan apa pada Devina, jadi Dean membiarkan Devina melamun, asik dengan pikirannya sendiri.
"Devina tidak lapar, Om." Devina menjawab lirih pertanyaan Dean.
Dean mengalihkan atensinya dari buku menu pada Devina. "Kamu yakin tidak mau makan? Perjalanan kita akan memakan waktu yang cukup lama loh, dan mungkin saat nanti kamu meminta makan, Om tidak akan bisa mengabulkannya."
Devina diam sejenak, sedang berpikir tentang apa yang harus ia lakukan sekarang, makan atau tidak? Devina tidak menjawab pertanyaan Dean. Devina meraih buku menu yang ada di hadapannya, lalu memberi tahu pelayan, makanan apa saja yang ia inginkan.
Pada akhirnya, Devina memutuskan untuk makan siang.
Tanpa sadar, Dean tersenyum. Dean lega karena akhirnya Devina memutuskan untuk makan siang. Dean juga senang karena dirinya tidak harus memaksa Devina untuk makan, juga tidak harus mengancam Devina. Awalnya Dean akan memaksa sekaligus mengancam Devina supaya Devina mau makan siang.
Dean yang saat ini sedang tersenyum tipis di sadari oleh Devina.
Devina menatap Dean dengan mata memicing, juga kedua tangan bersedekap. "Kenapa Om tersenyum? Apa ada yang lucu?" tanyanya ketus.
Dean berdeham, kemudian mengangguk.
"Apa yang lucu? Cepat katakan!"
Bukannya menjawab pertanyaan Devina, Dean malah memberi tahu pelayan, makanan apa saja yang ia pesan.
Devina kesal karena Dean tidak menjawab pertanyaannya.
Dean tahu kalau Devina kesal padanya, karena memang itulah yang Dean inginkan. Melihat Devina kesal padanya jauh lebih baik ketimbang harus melihat Devina melamun, memikirkan pria b******k seperti Benedick.
Waktu yang Dean dan Devina Devina habiskan untuk makan siang lebih dari 1 jam.
"Sekarang kita mau ke mana, Om?"
Saat ini, Dean dan Devina sudah berada di dalam mobil. Dean duduk di kursi kemudi, sedangkan Devina duduk di samping Dean.
Awalnya Devina akan duduk di belakang, tapi Dean menolak tegas permintaan Devina.
"Kita akan pergi ke tempat kekasih kamu, Devina."
"Om tahu di mana Benedick tinggal?"
Dean menoleh pada Devina, menatap anak majikannya tersebut dengan kening berkerut dalam. "Tentu saja Om tahu di mana Benedick tinggal, apa kamu tidak tahu di mana kekasih kamu itu selama ini tinggal?"
"Tentu saja tahu." Devina menyahut cepat.
"Benarkah?" tanya Dean sambil tersenyum mengejek. Entah kenapa, Dean yakin jika sebenarnya Devina tidak tahu tempat tinggal Benedick.
Devina lalu menyebutkan nama sebuah apartemen yang cukup elit. "Dia tinggal di sana, kan?"
"Ternyata Benedick juga membohongi Devina tentang tempat tinggalnya." Dean membatin, sudah tidak terkejut lagi begitu tahu jika Benedick juga berbohong tentang tempat tinggalnya pada Devina.
Dengan lemas, Dean menggeleng.
"Benedick tidak tinggal di sana?" Tanpa sadar, Devina berteriak. Dean baru saja menggeleng, bukankah itu berarti jawaban yang ia berikan salah? Iya, kan?
"Iya, Benedick tidak tinggal di sana Devina," jawab Dean sambil tersenyum masam.
"Lalu di mana Benedick tinggal?" Devina jadi ingin tahu, di mana tempat tinggal dari kekasihnya itu.
Dean lalu menjawab pertanyaan Devina, memberi tahu Devina tempat tinggal Benedick yang sebenarnya.
Devina menggeleng pelan. "Itu enggak mungkin," gumamnya tak percaya.
Benedick memberi tahu Devina jika selama ini Benedic tinggal di salah satu apartemen yang sangat mewah, tapi fakta yang sebenarnya adalah, Benedick tinggal di apartemen yang jauh dari kata mewah.
"Sayangnya itu benar, Devina."
"Ayo kita ke sana sekarang juga!" Titah tegas Devina. Devina jadi ingin tahu bagaimana tempat tinggal Benedick yang sebenarnya.
"Ok, kita akan pergi ke sana sekarang juga." Dean menyalakan mobil, lalu membawa Devina pergi mengunjungi tempat tinggal Benedick.
Waktu yang Dean dan Devina butuhkan untuk sampai di tempat tersebut hanya sekitar 15 menit.
Sekarang, mobil yang Dean dan Devina tumpangi sudah terparkir di basement, tak jauh dari mobil milik Benedick.
"Om, sampai kapan kita akan menunggu di sini?" Padahal baru 10 menit, tapi Devina sudah merasa sangat bosan.
"Sampai nanti kekasih kamu ke luar dari dalam apartemennya." Dean menyahut singkat.
"Om mau ngapain?" Devina menatap tajam Dean yang baru saja membuka kaca mobil.
"Om mau merokok, Devina."
"Jangan merokok!" Peringat tegas Devina.
Dean terkejut ketika mendengar peringatan tegas dari Devina, tapi Dean menurutinya.
"Baiklah, Om tidak akan merokok."
Dean menutup kembali jendela mobil, lalu menaruh rokok miliknya di kursi belakang.
Devian yang sejak tadi sudah menunggu kepulangan Devina di ruang keluarga bergegas keluar dari ruangan tersebut untuk menyambut kedatangan sang adik.
"Loh, kok hanya ada mobil Om Han dan Om Arion sih yang datang?" Devian seketika kebingungan saat melihat jika hanya Han dan Arion yang datang, tidak ada mobil yang Dean dan Devina tumpangi.
Devian menghampiri Arion yang baru saja keluar dari dalam mobil. "Om, Om Dean sama Devinanya mana?"
"Devina mau pergi jalan-jalan, Devian. Jadi Dean membawa Devina pergi jalan-jalan."
Dean sudah tahu, Devian pasti akan menanyakan tentang dirinya dan Devina, karena itulah, Dean sudah memberi tahu Han dan Arion tentang jawaban apa yang harus keduanya berikan jika mendapatkan pertanyaan dari Devian.
"Oh begitu, ya sudah, terima kasih banyak ya, Om."
"Sama-sama, Devian."
Devian kembali memasuki mansion, begitu juga dengan Han dan Arion yang bergegas pergi ke kamar mereka untuk istirahat.
Devina melirik Dean yang saat ini terlihat sekali fokus pada ponselnya. "Apa yang sedang Om lakukan?" tanyanya dengan rasa penasaran yang begitu tinggi.
"Bermain game." Dean menjawab pertanyaan Devina sambil menunjukkan layar ponselnya, memperlihatkan game apa yang saat ini sedang ia mainkan.
Devina akan kembali bersuara, tapi ponselnya sudah terlebih dahulu berdering. Devina merogoh tasnya, mencari di mana ponselnya berada.
"Siapa yang telepon?"
"Kak Devian."
Dean hanya mengangguk. Dean juga sudah memberi tahu Devina, jawaban apa yang harus Devina berikan jika Devian menghubunginya.
"Halo, Kak."
"Devina, kamu di mana?"
"Devina baru saja selesai makan siang, Kak." Devina juga tak lupa memberi tahu Devian, di restoran mana dirinya makan siang.
"Kamu baik-baik aja kan, Sayang?"
"Devina sedang bad mood, Kak, karena itulah Devina mau pergi jalan-jalan. Siapa tahu, setelah nanti jalan-jalan, perasaan Devina membaik." Devina tiba-tiba menoleh ke samping, matanya melotot begitu melihat Benedick yang baru saja keluar dari dalam lift. Ternyata Benedick tidak sendiri, tapi bersama dengan seorang wanita, dan keduanya terlihat sekali sangat mesra.
Dalam hati, Devina sontak mengumpat. Secara repleks, Devina memukul paha Dean, bukan hanya sekali tapi berkali-kali.
Pukulan pertama yang Devina berikan di paha Dean sudah membuat Dean kesakitan. Dean menatap tajam Devina, tapi Devina tidak peduli pada tatapan tajam yang Dean berikan.
Dengan isyarat tangan, Devina meminta Dean supaya melihat apa yang baru saja ia lihat.
Dean mengikuti isyarat yang baru saja Devina berikan, raut wajahnya berubah datar begitu melihat Benedick bersama dengan seorang wanita yang Dean tahu bernama Amanda.
Dengan isyarat mata, Dean meminta supaya Devina segera mengakhiri sambungan teleponnya dengan Devian.
"Kak, sudah dulu ya. Devina baru saja sampai di tempat belanja."
"Ok, selamat bersenang-senang ya, Sayang."
"Iya, Kak."
Setelah panggilannya dengan Devian berakhir, Devina kembali memasukan ponselnya ke dalam tas, tapi matanya terus menatap ke arah Benedick yang baru saja melewatinya.
Benedick tidak akan melihat Dean dan Devina, karena kaca mobil tersebut sangat gelap.
Benedick juga tidak akan mengenali mobil yang saat ini Dean dan Devina gunakan, karena mobil tersebut adalah mobil baru.
Dean sengaja melakukannya, supaya bisa dengan mudah membuntuti Benedick.
Benedick sudah tahu mobil apa yang biasa Dean gunakan untuk menjemput Devina, jadi jika Dean menggunakan mobil yang sama seperti sebelumnya, Benedick pasti akan tahu jika sedang dimata-matai.
"Siapa wanita yang bersama dengan Benedick, Om?" Devina menatap tajam Dean, yakin jika Dean tahu siapa nama wanita tersebut.
"Namanya Amanda, dan di adalah salah satu kekasih Benedick, Devina."
"Apa?" Secara spontan, Devina berteriak. "Dia salah satu kekasih Benedick?" Ulangnya dengan nada yang masih tinggi.
"Iya, dia kekasih Benedick."
"Jadi, aku benar-benar bukan satu-satunya kekasih Benedick?" tanya Devina sambil menunjuk dirinya sendiri dengan mata yang kini melotot.
"Sayangnya iya. Kamu bukan satu-satunya kekasih Benedick."
Saat Dean mengatakan jika wanita tadi adalah kekasih Benedick, entah kenapa, Devina langsung percaya. Kali ini, Devina tidak merasa ragu sama sekali. Devina sama sekali tidak merasa jika Dean sedang berbohong, mungkin karena Devina sudah melihat, betapa mesranya Benedick dan Amanda dengan mata kepalanya sendiri.
Kedekatan keduanya jelas bukan sebagi teman, sahabat, apalagi adik, tapi lebih dari itu, dan panggilan yang paling cocok untuk keduanya adalah, kekasih.
"Jangan sampai kita kehilangan dia, Om."
"Kita tidak akan kehilangan mereka Devina." Dean sudah memasang alat pelacak di mobil Benedick, jadi Dean tidak akan kehilangan jejak Benedick.