Sepanjang perjalanan menuju kampus, Devina lebih banyak diam. Sebenarnya Devina bukan diam, tapi melamun.
Sekarang Devina sedang berpikir, apa yang harus ia lakukan jika sampai Dean mengadu pada orang tuanya tentang kejadian tadi malam, atau mungkin Dean sudah mengadukannya?
"Tenanglah, Devina, jangan panik," gumam Devina pada dirinya sendiri. Devina memejamkan kedua matanya, lalu menarik dalam nafasnya, kemudian menghembuskannya secara perlahan.
Setelahnya, tanpa sadar Devina kembali melamun.
"Nona, kita sudah sampai!" Han menegur Devina, dan teguran Han menyadarakan Devina dari lamunannya.
"Devina aja, Om, jangan pakai Nona." Devina merasa tidak nyaman ketika para pengawalnya memanggilnya dengan panggilan Nona Devina. Sebenarnya Devina sudah pernah meminta pada para pengawalnya untuk tidak memanggilnya Nona Devina, tapi sepertinya mereka lupa, atau mungkin belum terbiasa?
"Ok." Han yang menyahut, sedangkan Arion hanya mengangguk.
"Terima kasih," ucap Devina sesaat sebelum keluar dari mobil.
"Sama-sama, Devina," balas Han dan Arion dengan kompak.
Han dan Arion tidak keluar dari mobil, keduanya tetap berada di mobil, mengawasi Devina dari sana.
Setelah memastikan jika Devina memasuki kampus, Arion dan Han pun merasa lega, karena akhirnya keduanya bisa bersantai.
Arion berbalik menghadap Han yang saat ini sedang memejamkan matanya dengan kedua tangan bersedekap. "Han."
"Apa?"
"Kenapa Dean tidak mengantar Devina?" Arion tahu secara mendadak ketika Dean tidak bisa ikut mengantar Devina, bahkan Arion tahu dari Han, bukan dari Dean. Arion tidak sempat bertanya secara langsung pada Dean, karena tadi Devina meminta untuk segera diantar ke kampus.
"Katanya dia ada urusan penting, jadi dia tidak bisa mengantar Devina." Han menjawab pertanyaan Arion masih dengan mata terpejam.
Kening Arion berkerut dalam begitu mendengar jawaban Han. "Urusan? Urusan apa?" tanyanya penasaran.
"Entahlah, Dean tidak memberi tahu detailnya. Dia hanya bilang kalau dia tidak bisa mengantar Devina karena ada urusan penting." Tadi Han ingin bertanya lebih detail, urusan apa yang Dean maksud, tapi Dean menolak untuk memberi tahunya.
"Urusan apa ya?" gumam Arion yang kini merasa sangat penasaran. "Apa dia ada urusan dengan keluarganya?" lanjutnya, mencoba menebak urusan Dean.
Han hanya mengedikan bahu.
"Oh iya, pagi ini Devina terlihat sangat marah, apa lo tahu kenapa?" Setelah apa yang terjadi tadi malam, seharusnya Devina tidak marah, karena Devinalah yang bersalah, itulah alasan kenapa Arion berpikir jika ada kejadian lain yang membuat Devina marah.
"Sepertinya tadi pagi Dean dan Devina bertengkar di ruang makan."
"Mereka berdua bertengkar?"
"Sepertinya." Han juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi saat Dean dan Devina ada di ruang makan, tapi Han yakin jika sudah terjadi sesuatu saat keduanya ada di ruangan tersebut. Mungkin Dean memarahi Devina atas kejadian tadi malam, dan mungkin Devina tidak menerima hal tersebut, jadi Devina marah.
"Mungkin lebih baik kita bertanya pada Dean."
Han mengangguk, menyetujui saran Arion. Memang akan jauh lebih baik jika mereka bertanya langsung pada Dean.
Kedatangan Devina dilihat oleh Benedick, Carlos, dan Krystal yang memang sengaja menunggu kedatangannya. Ketiganya menghampiri Devina, dan begitu jarak mereka dengan Devina semakin dekat, mereka semua sadar jika saat ini Devina sedang marah.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Ben khawatir.
"Diamlah, Ben!" Devina menepis tangan Ben yang baru saja akan menyentuh wajahnya.
Apa yang Devina lakukan mengejutkan Benedick, juga kedua temannya.
"Devina," ucap Benedick tegas sekaligus penuh penekanan. Penolakan yang Devina berikan membuat Benedick kesal.
Devina menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadap Benedick dan kedua temannya. Devina melangkah mendekati sang kekasih, dan kini mereka berdiri dengan posisi yang sangat dekat.
"Seharusnya semalam aku tidak keluar dari mansion! Gara-gara kejadian tadi malam, aku di marahi oleh Kak Devian, dan kemungkinan besar Kak Devian akan memberi tahu Daddy tentang kejadian tadi malam," ucap Devina penuh amarah.
"Gawat, jangan sampai orang tua Devina tahu tentang kejadian tadi malam!" Benedick membatin, sekarang berharap jika orang tua Devina tidak tahu tentang Devina yang pergi ke luar bersamanya.
"Maaf," ucap Ben sambil memasang raut wajah bersalah. Benedick tidak tahu jika Devina akan ketahuan pergi ke luar, seandainya saja ia tahu, maka ia pasti tidak akan meminta Devina ke luar.
Devina tidak membalas ucapan Benedick. Devina berbalik membelakangi sang kekasih, lalu kembali melanjutkan langkahnya, menuju kelas, mengabaikan panggilan dari Benedick dan juga Krystal.
Saat ini Devina sedang tidak mau berdekatan dengan Benedick, karena saat melihat Benedick, ia menjadi sangat emosional.
Hari sudah beranjak siang. Han dan Arion baru saja selesai makan siang ketika Dean menghubungi Han.
"Dean."
"Bagaimana? Apa ada masalah?"
"Tidak ada, semuanya baik-baik aja."
"Baguslah kalau begitu." Jawaban Han membuat Dean lega.
"Dean, lo di mana?"
"Gue baru aja sampai di mansion."
"Lo dari mana, Dean?" Sekarang giliran Arion yang bertanya. Sejak awal, Han meloudspeaker penggilan tersebut, jadi Arion juga bisa mendengarnya.
"Nanti kalau kalian pulang gue pasti akan cerita."
"Ok, sampai bertemu di mansion."
"Bye, guys," ucap Dean sebelum mengakhiri panggilan tersebut.
Han dan Arion memasang taruhan. Han menebak jika Dean baru saja ada urusan dengan keluarganya, sementara Arion menebak jika urusan yang Dean maksud adalah Devina.
***
Devina sedang bersantai ketika di kejutkan oleh suara pintu kamarnya yang di ketuk dengan sangat kuat. Devina bergegas membuka pintu kamar, sama sekali tidak terkejut begitu melihat Deanlah yang saat ini berdiri di hadapannya.
"Ada apa?" Devina bertanya ketus. Kejadian tadi pagi membuat Devina kesal, dan sampai sekarang, Devina masih kesal pada Dean.
"Boleh saya masuk?" Dean menjawab pertanyaan Devina dengan pertanyaan.
Devina tidak menjawab pertanyaan Dean, tapi Devina membuka lebar pintu kamarnya, mempersilakan Dean memasuki kamarnya.
Dean memasuki kamar Devina, dan saat Dean melewatinya, Devina bisa menghirup aroma parfume dari tubuh Dean, aroma yang menggoda.
Devina belum mempersilakan Dean duduk, tapi Dean sudah duduk di sofa.
Devina lalu duduk di hadapan Dean dengan kedua tangan bersedekap, dan kaki yang menyilang.
"Jadi ... ada apa?" Devina ingin tahu apa yang ingin Dean bicarakan dengannya. Dean tidak mungkin datang ke kamarnya untuk meminta maaf bukan? Kemungkinannya sangat kecil, tapi Devina berharap kalau Dean datang menemuinya untuk meminta maaf atas kejadian tadi pagi.
"Saya minta, tolong akhiri hubungan Anda dengan Benedick." Dean tidak basa-basi, dan langsung mengatakan apa yang ia inginkan.
Devina menatap Dean dengan mata melotot. "Coba ulangi?"
"Akhiri hubungan Anda dengan Benedick." Dean mengulangi ucapannya.
"Kenapa aku harus mengakhiri hubungan aku dengan Ben?" Tanpa sadar, Devina berteriak. Devina terlalu shock begitu mendengar permintaan Dean.
Sebenarnya Devina bukan hanya terkejut ketika mendengar permintaan Dean, tapi juga terkejut begitu Dean menyebut nama sang kekasih, Benedick.
Dari mana Dean tahu nama kekasihnya? Apa keduanya sudah berkenalan? Atau Dean menyelidiki semua orang yang dekat dengannya? Dengan kata lain, Dean mencari tahu latar belakang teman-temannya? Dan yang paling penting adalah, sejak kapan Dean tahu jika ia dan Benedick menjalin hubungan asmara? Apa Dean baru tahu? Atau Dean sudah tahu sejak lama?
Banyaknya pertanyaan yang saat ini ada dalam benak Devina membuat kepala Devina pusing. Devina ingin sekali mengajukan semua pertanyaan tersebut pada Dean, tapi Devina takut dengan jawaban yang akan Dean berikan.
"Jangan banyak bertanya, akhiri saja." Dean menyahut ketus.
"Enggak mau!" Devina menolak untuk mengakhiri jalinan asmaranya dengan Benedick.
Penolakan dari Devina sama sekali tidak membuat Dean terkejut. Dean sudah tahu kalau Devina pasti akan menolak permintaannya.
"Tentang kejadian tadi malam, sa–"
"Om mau melaporkannya pada Daddy dan Mommy? Laporkan aja! Aku sama sekali tidak takut." Devina menyela ucapan Dean yang belum selesai.
Dean terkekeh.
Devina menatap tajam Dean, tapi tatapan tajam Devina sama sekali tidak membuat Dean takut.
"Nona tenang saja, saya sudah melaporkannya pada Tuan Brian." Dengan santai, Dean menanggapi ucapan Devina. "Saya sudah memberi tahu Tuan Brian tentang kejadian tadi malam, dan seperti yang sudah saya duga, Tuan Brian sangat marah pada Anda, Nona Devina," lanjutnya sambil tersenyum tipis.
Jawaban Dean mengejutkan Devina, padahal tadi Devina hanya ingin menggertak Dean, sama sekali tidak serius dengan ucapannya.
Dean tahu kalau Devina terkejut begitu mendengar penjelasannya. Dean benar-benar menikmati ketakutan yang saat ini tergambar jelas di benak Devina.
"Ugh, dia terlihat sangat lucu dan menggemaskan," ucap Dean dalam hati.
Sejak tadi, Devina terlihat santai, dan tenang, tapi sekarang, lebih tepatnya setelah mendengar penjelasan Dean, Devina mulai terlihat gelisah, panik, dan ketakutan.
Dean benar-benar menikmati momen yang saat ini sedang terjadi.
Dean mengangkat tangan kirinya, untuk menatap jam terpasang di pergelangan tangannya tersebut.
"Ini sudah malam, istirahatlah, nanti kita bicara lagi." Dean beranjak bangun dari duduknya, pergi meninggalkan Devina yang masih diam, memikirkan semua penjelasan Dean.
"Sekarang apa yang harus aku lakukan?" gumam Devina sesaat setelah mendengar pintu kamarnya tertutup.
"Mari berharap kalau Daddy akan melupakan masalah tersebut ketika kembali nanti." Brian akan berada di Indonesia selama hampir 2 minggu, dan Devina berharap ketika kembali nanti, Brian sudah melupakan apa yang ia lakukan kemarin malam.
"Tapi bagaimana kalau Daddy tidak melupakannya? Bagaimana kalau Daddy masih mengingatnya?" Devina yakin, Brian pasti akan memintanya untuk mengakhiri hubungannya dengan Benedict, dan Devina tidak mau hal itu terjadi. Devina sangat mencintai Benedict. Devina tidak mau kehilangan pria itu.
Begitu membuka pintu kamar, Dean di kejutkan oleh Han dan Arion yang sudah duduk di sofa dengan 1 botol wine dan 3 gelas yang sudah berisi wine.
"Jadi, ke mana tadi lo pergi?" Hanlah yang bertanya, mewakili Arion yang juga mau mengajukan pertanyaan yang sama dengan Han.
"Ini sudah malam, apa kita tidak bisa membahasnya besok pagi?" Setelah menutup pintu kamar, Dean melangkah mendekati Han dan Arion.
Han dan Arion dengan kompak menggeleng, menolak saran yang baru saja Dean berikan.
"Baiklah," gumam Dean pasrah.
Dean duduk di hadapan Arion dan Han, lalu menceritakan apa saja yang hari ini sudah ia lakukan.
Taruhannya dimenangkan oleh Arion, itu artinya, tebakan Arion benar, dan tebakan Han salah.