Malam harinya sesudah Aska tidur, Vania berniat meminta maaf pada suaminya dan mencoba menjelaskan kesalahpahaman di antara mereka. Vania sudah menyiapkan teh untuk Adrian, ia tidak tahu apakah akan diminum atau tidak tapi setidaknya ia sudah berusaha. Vania berusaha menguatkan dirinya, sebelum mengetuk pintu ia sudah menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya juga secara perlahan.
Vania mengetuk pintu ruang kerja Adrian. Ini pertama kalinya ia mengganggu Adrian yang berada di dalam sana. Vania belum pernah masuk ke dalam ruang kerja Adrian, maka ia tak tahu bagaimana di dalam sana.
“Mas, ini aku Vania.” Kata Vania sambil mengetuk kembali pintu tersebut.
“Masuk.” Satu kata yang membuat Vania akhirnya kembali menghembuskan nafasnya kasar. Ia memegang kenop pintu dan membukanya, ia menyembulkan kepalanya melihat Adrian.
“Boleh aku masuk Mas?” Tanya Vania lagi.
“Ada apa? Masuklah.” Kata Adrian, akhirnya Vania melangkahkan kakinya untuk masuk dan menutup kembali pintunya.
“Ini Mas aku buatkan teh.” Vania meletakkan secangkir teh yang dibawanya itu ke atas meja kerja Adrian. Karena pria itu sedang ada di meja kerjanya dengan laporan yang ada di depannya. Vania sedikit menilai ruang kerja Adrian yang tersusun rapi, ada lemari khusus penyimpanan laporan dan buku-buku.
Ada semua meja ditengah ruangan beserta dengan beberapa sofa yang Vania bisa duga disanalah Adrian tidur. Karena ia melihat ada bantal dan selimut yang ia tak tahu dari mana asalnya. Pastinya sudah ada kursi dan meja khusus Adrian buat bekerja.
“Kamu mau apa?” Tanya Adrian membuat Vania sadar dan berhenti menilai.
“Hmmm aku mau minta maaf Mas.”
“Maaf untuk apa?”
“Maaf karena udah nggak bawa Aska langsung ke rumah sakit. Bukannya aku nggak sayang sama Aska, tapi aku juga panik dan udah usaha supaya panas Aska turun. Aku udah kasih obat sama kompres Aska. Ibu dulu sering kayak gitu ke aku sama adik-adik dan sembuh. Jadi aku berpikir Aska juga akan sembuh, kalau nggak turun sampe besok baru rencananya aku bawa ke rumah sakit.”
“Emang apa bedanya dengan langsung di bawa ke rumah sakit? Lebih cepat lebih baikkan supaya penanganan lebih maksimal. Mungkin itu sama kamu bisa sembuh tapi bisa berbeda dengan Askakan? Kalau Aska kenapa-kenapa gimana? Kesehatan anak-anak itu segalanya bagi saya. Terus kenapa kamu kasih mereka makan es krim? Aska itu gampang sakit.”
“Maaf Mas, semalam mereka minta es juga gapapa. Kayak yang Mas Adrian bilang ikutin apa mereka. Jadi yang minta es itu mereka, kalau nggak dikasih nanti nangis Mas Adrian bisa marahin aku. Kalau soal mainan aku emang larang, karena mereka minta mainan yang udah ada sama mereka. Sayang uangnya Mas, masih bisa dipake untuk hal yang lebih berguna lagikan Mas? Nggak ada maksud yang gimana-gimana, kalau aku emang nggak bisa ngatur keuangan Mas Adrian gapapa. Walaupun sebenernya aku punya hak kan Mas? Aku istrinya Mas Adrian, mereka juga anak-anakku. Aku berhak buat ngatur mereka, tapi kalau emang Mas Adrian mau aku harus ikutin apa kata mereka tanpa memikirkan kegunaannya dan Kesehatan aku nggak bisa Mas. Terlepas aku istri Mas Adrian atau Bunda mereka, aku tetap memikirkan kepentingan mereka terlebih dahulu. Orang lain juga akan berpikir yang sama kayak aku. Kalau Mas Adrian mau marah kali ini sama aku gapapa, aku nggak mau nanti mereka jadinya ngelunjak dan sakit kalau terlalu bebas minta ini itu. Aku Cuma mau yang terbaik buat mereka karena aku sayang sama mereka. Karena aku sayang sama anak-anak Mas. Zahra sama Aska itu juga anak-anak aku. Aku juga mau didik mereka dengan benar supaya jadi anak yang baik.”
“Udah selesai?” Vania kaget respon Adrian hanya itu, ia menganggukkan kepalanya pelan.
“Saya mau istirahat mending kamu keluar aja.” Rasa sesak kembali menghampiri Vania. Ia berpikir Adrian tadi akan menanggapinya atau paling tidak menjawabnya dengan hal lain. Ini malah menyuruhnya keluar membuat Vania tidak habis pikir dengan pemikiran Adrian.
“Mas ak—”
“Tolong keluar.” Kata Adrian lagi membuat Vania menghela nafasnya. Ia akhirnya memilih keluar begitu saja tanpa mengatakan apapun. Sungguh Vania nggak habis pikir dengan pemikiran Adrian.
Saat Vania keluar Adrian menghela nafasnya dan mengusap wajahnya dengan kasar. Sebenernya ia tahu kalau Vania sudah berusaha, saat di bawa ke rumah sakit tadi ke adaan Aska juga jauh lebih baik kata dokter. Turunnya juga sudah turun tidak terlalu panas, usaha Vania memang berhasil.
Tapi perkataan Vania tadi mengganggunya, lebih tepatnya menyentil hatinya. Perhatian Vania membuat dia bimbang. Ia tahu anak-anaknya memang terlalu dimanja. Semenjak kepergian Rianty, Adrian memang selalu memanjakan mereka dengan apa yang diinginkan anaknya tanpa memikirkan kegunaan dan berapa yang sudah dibeli.
Tapi mendengar perkataan Vania tadi hal itulah yang benar. Nggak seharusnya ia terlalu memanjakan anaknya, apapun yang diminta mereka bisa itu bukan menjadi prioritas karena masih ada orang yang lebih membutuhkan bukan? Begitu juga termasuk es krim, ia tahu anak-anaknya memang sangat menyukai es krim hanya saja keadaan Aska yang gampang sakit ia lupakan.
Vania memang sudah melakukan kewajibannya sebagai Bunda yang baik untuk kedua anaknya. Bahkan ia tidak kepikiran kalau Vania akan berpikiran seperti itu, termasuk mengenai uang Vania juga sudah melakukan tugasnya sebagai istri dalam mengatur keuangan. Seharusnya Adrian bersyukur tapi ia malah bimbang makanya ia memilih menyuruh Vania keluar. Adrian jadi merasa bersalah, jelas ia melihat wajah sedih Vania tadi saat keluar.
Adrian bangkit berdiri ingin melihat ke adaan anaknya, ia melihat pintu kamar Aska yang tidak tertutup sepenuhnya. Ia bisa melihat Vania dan Aska yang berada di dalam sana.
“Bunda, kepala Aska masih sakit. Aska mau digendong.” Pinta Aska dengan menangis.
“Iya ayo sini Bunda gendong.” Vania membawa Aska dalam gendongannya. Vania tahu kalau anak-anak sedang sakit memang sangat rewel. Tapi bentuk tubuh Aska sedikit gembul membuat Vania menggendong Aska sedikit kewalahan kalau menggendong lama-lama tapi ia berusaha tahan agar anaknya nyaman.
“Aska tidur lagi ya, Bunda temenin Aska tidur disini.” Kata Vania sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya agar Aska lebih enak.
“Iya Bunda, kepala Aska Bunda.” Rengek Aska lagi. Maka Vania sambil menggendong Aska dan mengayun-ayunkannya sambil memijat kepala Aska. Semua itu dalam penglihatan Adrian, ia melihat bagaimana perjuangan Vania dalam mengurus anaknya.
“Sssst Bunda nyanyiin ya. Pelangi-pelangi alangkah indahmu, merah kuning hijau dilangit yang biru pelukismu agung siapa gerangan Pelangi-pelangi ciptaan Tuhan.” Vania terus bernyanyi sampai Aska kembali tidur. Setelah merasa aman, Vania meletakkan Aska di tempat tidur. Ia meregangkan sedikit leher dan bahunya yang pegal karena menggendong Aska.
Tapi Vania malah tersenyum melihat Aska yang sudah tertidur pulas. Ia menarik selimut untuk menyelimuti Aska dan terakhir mencium kening Aska dengan sayang.
“Cepat sembuh ya, Bunda sedih lihat Aska sakit.” Vania mengelus pipi Aska dengan lembut. Ia sampai tidur di samping Aska dengan tubuh yang terimpit nggak nyaman karena tempat tidur Aska yang tidak besar.
Adrian menghela nafasnya, ia sudah sangat jahat berpikiran yang tidak-tidak pada Vania. Padahal Vania sudah sangat baik mengurus anaknya. Setelah melihat itu, Adrian menutup pintu kamar Aska setelah melihat Vania sudah tertidur. Ia melangkahkan kakinya kembali ke ruang kerja, padahal bisa saja ia tidur di kamarnya karena Vania tidur dengan Aska tapi ia tak melakukannya.
*****
“Zahra hari ini di antar dan dijemput supir ya. Bunda nggak bisa mau nemenin adik Aska gapapa ya?” Kata Vania saat menemani Adrian dan Zahra yang sedang sarapan. Aska masih tidur di atas.
“Iya gapapa, kamu urus Aska aja.” Adrian yang menjawab, Vania tersenyum simpul.
“Ayo Zahra buruan dihabisin makanannya.” Perintah Adrian. Zahra menghabiskan sarapannya lalu pamit pada Adrian dan mencium tangan Adrian.
“Mulai dari sekarang kamu juga pamit sama Bunda seperti yang kamu lakukan ke Papa.” Perintah Adrian.
“Tapi Pa-“ Protes Zahra.
“Tidak ada tapi-tapian. Bunda Vania itu Bunda kamu jadi kamu harus sopan dan hormat.” Perasaan Vania menghangat ketika mendengar perkataan Adrian seperti itu. Dengan kesal Zahra menghampiri Vania sambil menghentakkan kakinya. Menarik tangan Vania untuk ia cium dengan singkat setelah itu ia pergi begitu saja membuat Adrian menggelengkan kepalanya.
“Maaf kalau Zahra masih bersikap seperti itu ke kamu.”
“Iya Mas gapapa, butuh waktu untuk Zahra Mas.” Adrian menganggukkan kepalanya.
“Saya juga minta maaf sama kamu soal semalam, saya nggak ada maksud apa-apa. Maaf kalau saya juga udah terlalu kasar sama kamu.” Vania kaget dengan permintaan maaf Adrian yang secara tiba-tiba menurutnya.
Adrian memang sudah memutuskan untuk meminta maaf pada Vania. Melihat bagaimana usaha Vania dan perjuangan Vania ia tidak sampai hati terus menyakiti hati istrinya itu. Maka Adrian meninggalkan gengsi dan egonya.
“Iya Mas, aku juga salah. Aku minta maaf ya Mas.” Vania sangat senang dengan keadaannya seperti ini.
“Yasudah kalau gitu saya titip Aska. Kalau ada apa-apa sama Aska segera hubungi saya atau langsung saja bawa ke rumah sakit.” Vania menganggukkan kepalanya. Adrian bangkit berdiri dan kini memberikan tangannya untuk dicium Vania, wanita itu dengan senang hati menyambut uluran tangan Adrian dan mencium punggung tangan Adrian bentuk baktinya.
“Baik-baik dirumah.” Kali ini Adrian menitipkan pesan untuk Vania.
“Iya Mas Adrian juga hati-hati ya di jalan, semangat kerjanya.” Vania ikut berjalan ke depan mengantar Adrian yang bekerja. Setelah Adrian pergi baru ia masuk dan kembali mengurus Aska. Tetapi sebelum Aska bangun ia terlebih dahulu ingin mandi karena belum sempat mandi karena kesiangan bangun.
Keadaan Aska semakin membaik, panasnya juga sudah turun. Untuk makan juga sudah mau walaupun hanya sedikit. Hanya Aska masih mengeluh kepalanya masih sakit. Aska memang sangat rewel seperti anak pada umumnya saat sakit. Dari cerita Mbok Ina sebelum ada Vania, Aska selalu rewel pada Omanya. Kalau sudah sakit antara Zahra sama Aska pasti Omanya sampai harus turun tangan dan menginap.
Tapi kali ini Aska rewel pada dirinya. Mbok Ina juga bilang kalau sama Vania, Aska lebih manjanya dibandingkan pada Omanya. Mungkin kali ini Aska seperti memang mendapatkan perhatian yang lebih yang dibutuhkan selama ini dari seorang Ibu pikirnya. Siang hari setelah menidurkan Aska, Vania mendapat panggilan dari Ayahnya.
Ayahnya mengatakan kalau Ibunya kembali sakit dan butuh uang. Jadwal operasi Ibunya memang sudah dijadwalkan tiga minggu lagi, tapi sebelum jadwal operasi Ibunya kembali sakit. Uang Ayahnya sudah tidak ada karena sudah habis untuk kebutuhan keluarganya sehari-hari.
Vania mengatakan akan membicarakan dulu pada Adrian mengenai biaya rumah sakit tersebut. Maka disinilah Vania sedang menunggu kedatangan Adrian yang belum pulang. Padahal sudah larut malam tapi Adrian belum pulang juga. Anak-anaknya saja sudah tidur, kali ini Vania memilih menunggu Adrian dibandingkan tidur duluan karena ada yang mau dibahasnya.
Sampai akhirnya Adrian pulang dan menemukan Vania yang tertidur. Adrian membangunkan Vania dan wanita itu terkejut karena tidak sadar ketiduran saat menunggu Adrian.
“Maaf Mas aku ketiduran.”
“Kamu kenapa tidur disini?”
“Aku nungguin Mas Adrian.” Adrian menaikkan alisnya bingung.
“Ada yang mau aku bahas sebentar boleh Mas?” Adrian melonggarkan dasinya kemudian membuka kancing kemeja bagian atas.
“Sebentar.” Kata Vania ketika sadar. Ia pergi ke dapur ingin mengambil segelas air untuk Adrian. Ia memberikannya dan Adrian menghabiskan dengan sekali tegukan.
“Kamu mau ngomong apa sampai nungguin saya kayak gini? Ada masalah soal anak-anak?” Vania menggelengkan kepalanya.
“Terus apa?” Vania menautkan jarinya sedang gugup.
“Bilang saja jangan diam.” Desak Adrian.
“Aku mau pinjam uang Mas.”
“Pinjam uang?” Beo Adrian.
“Iya Mas pinjam uang, Ibu sakit masuk rumah sakit lagi tadi Ayah telvon.”
“Uang yang saya kasih ke kamu habis?” Karena seingat Adrian ia mengisinya banyak, kalaupun habis akan ada pemberitahuan tapi ini tidak ada.
“Belum Mas, tapi aku nggak enak. Kemarin aku udah pake uangnya, masa iya mau pake lagi. Aku nggak enak sama Mas Adrian terus pake itu sesuka hati, jadi mau izin Mas.” Adrian menghela nafasnya.
“Pake aja kapanpun kamu mau dan berapapun selagi itu untuk kamu sama keluarga kamu. Sayakan udah bilang mau menghidupi kamu dan keluarga kamu, jadi nggak usah sungkan. Kalau udah habis kamu tinggal bilang nanti saya kasih lagi, selagi itu untuk keperluan yang baik silahkan kamu nggak perlu izin saya.”
“Maaf Mas, aku tetap nggak enak makanya harus tetap izin. Itu uang Mas Adrian bukan uang aku.”
“Seperti yang kamu bilang tadi malam, kamu istri saya dan kamu berhak. Silahkan kamu atur keuangan yang saya kasih ke kamu dengan baik. Saya udah percayakan sama kamu, jadi silahkan kamu atur sendiri.” Vania terperangah dengan perkataan Adrian, benarkah suaminya itu mengizinkannya mengelola keuangan seperti istri pada umumnya?
“Ada lagi?” Tanya Adrian membuat Vania sadar.
“Sekalian aku mau izin Mas mau jenguk Ibu besok di rumah sakit.”
“Besok sore aja tunggu saya pulang kerja. Kalau kamu pergi sendiri nggak enak nanti dibilang apa. Saya usahain besok pulang cepat, anak-anak nanti kita titip ke rumah Mama.” Vania tersenyum lalu menganggukkan kepalanya dengan senang.
“Gimana keadaan Aska?”
“Udah membaik Mas, panasnya juga udah turun. Udah mau makan juga, kepalanya aja masih ngeluh sakit.” Adrian menganggukkan kepalanya mengerti lalu bangkit berdiri.
“Mas Adrian mau mandi? Aku siapin air hangat ya?” Tawar Vania.
“Ya.” Kali ini Adrian tidak menolak pelayanan Vania padanya, karena saat ini memang dia sedikit kelelahan.
“Oh iya bisa buatkan saya kopi? Pekerjaan saya masih ada saya ingin lembur.”
“Nggak baik Mas sering lembur, Mas Adrian aja kelihatan capek banget. Emang nggak bisa besok aja ya?”
“Tidak, lagi ada sedikit masalah. Kalau kamu nggak mau buatkan tolong minta Mbok Ina buatkan.” Vania menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Mbok Ina udah tidur Mas nggak enak dibangunin, Mas Adrian emang mau buatan kopi saya? Gapapa Mas? Kemarin Mas Adrian nggak habisin karena ngga sukakan?”
“Tolong buatkan saja antarkan nanti di ruangkan kerja saya setelah kamu selesai buat air hangat.” Kata Adrian cuek Ia langsung naik ke atas meletakkan tasnya ke ruang kerjanya. Vania langsung masuk ke dalam kamar menyiapkan air hangat dan baju ganti Adrian.
Pria itu terlalu gengsi mengatakan kalau ia menyukai kopi buatan Vania. Maka ia bersikap seperti itu tadi, supaya menghindari pertanyaan bertubi-tubi dari Vania. Sebenernya Adrian bisa saja menunda pekerjaanya besok, hanya saja kalau ditunda ia akan pulang malam tidak bisa menemani Vania bertemu dengan keluarganya. Makanya Adrian mau mengerjakannya malam ini, padahal tadi ia sudah ingin cepat pulang ke rumah untuk tidur. Tapi sepertinya ia harus menunda keinginannya itu demi bisa menemani Vania besok.
Jelas Adrian tidak menyampaikan hal itu pada Vania. Mau dimana diletak kegengsian dan keegoisan Adrian kalau menyampaikan hal itu. Biarlah hanya dirinya saja yang tahu, ia berpikir dengan seperti itu setidaknya ia menebus rasa bersalahnya pada Vania yang sudah menuduhnya tidak-tidak.