PLND 2 Monumen Nasional

1112 Words
Biarkan aku mencintaimu dalam diam, agar kita memiliki ruang untuk saling merindu. *** "Jadi kita mau ke mana?" tanya Ion. Aku tersenyum senang, ku ambil buku kecil yang telah berisi daftar yang akan ku kunjungi bersamanya hari ini. "Monas!" jawabku penuh semangat. Dia berdecak seperti tidak setuju tapi aku berusaha umtuk tidak peduli. Sekali ini saja. Aku menariknya keluar dari rumah. Dia menurut. Kami menaiki Ferrarinya. Aku tersenyum menatap Ion yang sedang menyetir. Dia benar-benar terlihat menawan. Ku perhatikan tempat dudukku sendiri. Ini nyata, aku sedang duduk di sebelahnya. Ya Tuhan itu berarti aku gadis pertama yang menjadi penumpang ferarinya ini. Perasaan lega membuncah, bahagia sekali karena aku yakin memang aku orang pertama yang duduk di sini. Semua murid SMA OneDay tahu kalau Ion tidak akan mengizinkan siapapun duduk disisinya seperti yang aku lakukan saat ini. Aku menatapnya lama, bertanya dalam hati apa yang terjadi namun perkataannya kembali menamparaaku. "Kamu bukan yang pertama naik di mobilku!" ketusnya. Ah, Ion tahu saja apa yang aku pikirkan. Meskipun terluka tapi aku tetap saja menampilkan senyum manis untuknya sebelum aku palingkan wajahku ke arah jendela. Sayang sekali, perasaan sentimentil karena penolakan itu membuat air mata sialan ini jatuh begitu saja. Tapi cepat-cepat aku usap sebelum Ion mengetahuinya. Seharusnya aku tahu masih ada seseorang yang sudah pasti diberi kehormatan oleh Ion untuk duduk pertama kali di Ferrari mewahnya ini. Tidak seharusnya aku mengharapkan lebih saat aku tahu betul harapan itu sia-sia. Sekuat dan sedalam apapun perasaan ini untuk Ion, aku tidak akan pernah bisa memilikinya karena aku tahu ada benteng kokoh yang berdiri diantara kami selain karena Ion tidak punya perasaan apapun untukku. Lama aku melamun tanpa sadar ternyata mobil yang dibawa Ion telah sampai dipelataran parkir. Aku menghela napas sejenak sebelum menatap Ion yang juga sedang menatapku. "Udah nyampe ya?" tanyaku padanya. "Ya, kamu mau tetap di situ, Fani? Ngapain kita ke sini kalau yang kamu lakukan hanya diam di situ?" Ion menunjuk diriku dengan dagunya. Apa katanya? Sebenarnya aku sedikit kebingungan dengan perkataan Ion kali ini. Sepanjang aku pernah berbicara dengannya, hanya kali ini saja kata-kata yang keluar dari mulutnya membentuk sebuah kalimat dan pertanyaan yang cukup panjang. "Nggak!" tanpa sengaja aku menjawab sendiri pertanyaan Ion yang ku ulangi dalam hati tadi. Namun hal itu juga tanpa sengaja menjawab pertanyaan Ion sendiri. "Ya udah kalau nggak, ayo kita turun." Ion membuka pintu dan meninggalkan aku sendirian yang masih mematung di dalam mobil. Aku mengerjapkan mata beberapa kali agar aku sadar kalau masih ada banyak hal yang ingin ku torehkan bersama Farionku hari ini. Jadi jangan sampai aku kehabisan napas hanya karena perubahan Ion yang menurutku teramat besar. Di monas kami berkeliling sebantar kemudian aku menarik Ion, kami mengantri demi membeli tiket untuk naik ke puncak monas. Aku ingin melihat kota Jakarta dari ketinggian bersama Ion, momen ini tak akan pernah ku lupakan. Sesampainya dipuncak monas, kami memilih langsung menuju salah satu teropong yang kosong. Aku berdiri tepat di belakang teropong besar itu dan Ion berdiri di belakangku. Entah itu karena terlalu dekat tapi Ion seolah memelukku dari belakang seraya membantuku mengarahkan teropong untuk mencari objek yang akan kami amati dari puncak monas ini. Saat telapak tangan Ion tanpa sengaja menyentuh jari jemariku yang berpegangan pada teropong, aku merasa tertegun. Pada perutku seolah ada kupu-kupu yang berterbangan sehingga begitu menggelitik. Jantungku apa lagi, berdetak cepat seakan-akan siap lapas dari dalam dadaku. Ion begitu berpengaruh. "Lihat!" ucapnya. Aku segera mengarahkan mataku pada pangkal teropong, ku cari objek yang membuat Ion menatapku begitu dalam. Napasku tercekat. Dalam hati aku bertanya-tanya apa maksud Ion menyuruhku untuk melihat itu. Ku alihkan mataku pada Ion. "Nikmati aja." Katanya setelah mengerti aku bertanya tanpa suara. Tapi mataku bergeming, masih setia memandangi Ion dengan penuh tanda tanya. Aku menikmati debar ini. Kala matanya menatap ke dalam mataku. Kala ia menarik sedikit saja sudut bibirnya. Atau ketika dirinya berdecak karena terlalu lama ku pandangi. Tidak ada yang boleh tahu tentang ini. Tidak ada yang boleh tahu seberapa manis senyum seorang Farion Guitama meskipun itu hanya beberapa detik saja. Aku akan menyimpannya untukku sendiri. Ion mencari objek yang ku rasa kurang tepat untuk hubungan kami saat ini. Dia menemukan awan berbentuk hati di langit biru dan memperlihatkannya padaku, membuat diriku terbawa perasaan seolah awan itu memang diperuntukkan untukku sebagai bentuk perasaannya padaku padahal bukan. Harusnya aku sadar, dia tidak akan pernah jadi milikku sampai kapanpun. Dewi bathinku membantah. Biarkan saja. Tidak apa-apa. Anggap semua ini hadiah perpisahan karena sebentar lagi aku tidak bisa melihat Ion lagi, aku benar-benar harus melupakannya. Mata kelam itu begitu indah. Ia menarikku, menegaskan betapa indah telaganya. "Hei lihat ke sana, kenapa malah bengong?" sekali lagi kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. Membuatku tidak akan pernah bisa berpaling darinya. "Ck bengong lagi, bengong lagi, aku tinggal nih kalau kamu masih bengong." Ancamnya padaku. Aku tidak sanggup menahannya lagi, Ion tidak bisa berhenti membuatku tersenyum dengan tulus. "Jangan ditinggal. Iya-iya aku nggak bengong lagi," aku akhirnya kembali mengarahkan mataku pada teropong dan melihat apa yang tadi diperlihatkan Ion padaku. Sampai waktu berlalu dia masih berada di belakangku. Detik itu juga mendadak aku ingin tetap berada di sisinya. Aku mulai berangan bahwa bisa saja Ion memiliki rasa yang sama. Tapi buru-buru ku gelengkan kepalaku. "Udah selesai?" tanyanya saat aku berbalik kearahnya. Aku mengangguk dan menurunkan kakiku dari pijakkan untuk menjangkau teropong tadi. Kami berdua kembali menuruni lift untuk menuju pintu keluar dari monument nasional ini. "Menurutmu kenapa aku mau pergi berdua sama kamu hari ini?" Bibirku berkedut. Lucu sekali. Ion bertanya dengan kaku. "Karena dua hari lagi aku berangkat ke Newyork, kan?" Jawabku tak yakin. "Ternyata otakmu terlalu dangkal, Fan. Kamu ngaku kenal aku lebih dari siapapun tapi cuma pertanyaan sepele seperti tadi, kamu bahkan nggak bisa jawab. Kamu nggak peka." Ion mengedikkan bahunya. Aku menatap tajam padanya karena menganggap remeh diriku. "Bukannya kamu sendiri yang bilang kayak gitu? Kenapa sekarang kamu nyalahin aku?" entah kenapa aku tidak bisa menerima tuduhannya, seolah dia tidak percaya perasaan dengan perasaan yang kumiliki ini. "Untuk lelaki sepertiku, terkadang apa yang ku katakan berbeda dengan kenyataan," Ion kembali tersenyum dengan penuh misteri sama seperti perkataannya yang tiba-tiba ini. Kalau boleh ku hitung sepanjang kami meninggalkan puncak monas, dia sudah lima kali tersenyum padaku dengan cara yang berbeda. "Maksudmu?" tanyaku. "Itu teka-teki. Kamu bisa memilih aku atau dirimu sendirilah yang menjawabnya," Ion mengedikkan bahunya tak acuh. "Kalau itu teka-teki untuk aku maka biarkan aku yang menjawabnya, meskipun jawaban itu nggak akan pernah aku temukan selamanya." Ucapku sambil tersenyum. Entah kenapa hanya itu yang ingin ku katakan pada Ion terlepas dari apapun maksud teka-teki itu. "Jadi kita mau ke mana setelah ini ?" Ion kembali bertanya sesaat setelah kami mencapai pintu keluar. "Kita ke..". Aku mengeluarkan catatan kecilku. TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD