bc

Peta Jalan NU Mendunia

book_age4+
1
FOLLOW
1K
READ
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Peta Jalan Tantangan NU Mendunia Ibarat perahu, bahtera lautan luas dunia terbentang bukannya berombak tenang.Semakin ke tengah, angin dan badai semakin kuat. Namun, pelaut yang tangguh dan nahkoda yang tangguh, sekali layar terkembang pantang surut ke tepian. Perahu besar itu bernama NU, kini terus mengarungi dunia untuk menyebar maslahah bagi ummat dunia. Tantangan Nahdlatul Ulama (NU) ke depan adalah bagaimana menjadikan NU mendunia telah lama digulirkan oleh KH Ma'ruf Amin dalam berbagai kesempatan kegiatan NU. Ini menjadi pedoman dan arah NU, agar nilai-nilai NU diterapkan oleh masyarakat Muslim dunia.

"NU saat ini sudah terkenal bukan saja di Indonesia, tapi juga di luar negeri. Bahkan, ada perwakilan NU di sejumlah negara. Karena itu, tantangan NU ke depan, adalah menjadikan paham NU yang diterapkan penduduk muslim di seluruh dunia," kata KH Ma'ruf Amin.

Menurut Mustasyar PBNU ini, tantangan Indonesia ke depan bagaimana menjadikan NU mendunia. Harapan pada 100 tahun kedua NU, tidak hanya dikenal di dunia tapi tapi diterapkan masyarakat muslim dunia.

Menurut Kiai Ma'ruf, wajar jika NU menargetkan perluasaan organisasi dan paham ke dunia internasional, karena NU sudah menjadi organisasi terbesar se-Indonesia. "NU juga memiliki lambang bola dunia, yang sasarannya agar NU dapat mendunia," kata mantan Rais Am PBNU ini.

Kiai Ma'ruf menyerahkan tugas menjadikan NU dunia pada generasi muda NU. Ia berharap generasi muda NU mendapat tempaan pendidikan berkualitas dari kader NU senior agar mampu bersaing di dunia internasional.

"Ini tugas generasi mendatang yang kita siapkan," katanya.  Untuk mencapai target tersebut, ia menekankan agar NU terus memperbaiki diri, sehingga dapat menjadi organisasi berkinerja efektif dan efisien.

Ia juga mengingatkan bahwa Khittah Nahdliyah (garis perjuangan NU) adalah Khittah Nabawiyah (garis perjuangan para nabi), dan Khittah Nabawiyah adalah Khittah Ishlahiyah (garis perjuangan perbaikan)," lanjut KH Ma'ruf. Gayung pun bersambut, melanjutkan periodesasi PBNU di bawah kepemimpinan KH Said Aqil Siradj, KH Yahya Cholil Staquf ketua PBNU terpilih menyampaikan pidato pertamanya dalam penutupan Muktamar, Jumat (24/12) menyinggung dua agenda besar PBNU yakni membangun kemandirian warga dan mewujudkan perdamaian dunia.

"Yang pertama adalah agenda membangun kemandirian warga dan yang kedua adalah meningkatkan peran dalam pergulatan Nahdlatul Ulama untuk mendukung perdamaian dunia," kata Yahya dalam tayangan YouTube TVNU Televisi Nahdlatul Ulama.

Dalam dua agenda tersebut, kata Yahya, NU sudah memiliki rintisan-tintisan yang sangat kuat dan berharga.

Selanjutnya, yang diperlukan adalah bagaimana menjahit berbagai macam inisiatif yang sudah dilakukan dalam pengembangan ekonomi rakyat, pemajuan pendidikan, pengembangan layanan kesehatan, dan lainnya menjadi satu agenda nasional.

Hal ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup warga NU dan rakyat banyak.

Sementara, dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia, Yahya mengklaim, NU telah berhasil melakukan berbagai inisiatif yang diapresiasi oleh masyarakat internasional.

Langkah berikutnya adalah bagaimana melakukan akselerasi lebih jauh sekaligus melakukan sinergi dengan inisiatif-inisiatif pemerintah.

"Karena apabila kita melihat lanskap dinamika internasional hari ini tidak ada yang memiliki posisi paling tepat untuk berkontribusi bagi perdamaian dunia lebih dari negara kesatuan Republik Indonesia," kata dia.

Harapan senada juga disampaikan Rois Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) masa khidmah 2021-2026, KH Miftachul Akhyar berharap agar kiprah NU di dunia global bisa lebih maksimal, sebagaimana tema Muktamar ke-34 NU yaitu Satu Abad NU: Kemandirian dalam Berkhidmat untuk Peradaban Dunia.

“Saya yakin NU akan segera menggapai cita-citanya menuju dunia untuk memberi solusi-solusi kehidupan. Saya percaya dengan Ketua Umum PBNU terpilih yang (juga) memiliki pikiran-pikiran mendunia,” katanya. 

Lebih lanjut kiai kelahiran Surabaya, Jawa Timur itu menjelaskan, untuk bisa mencapai cita-cita kemandirian NU, warga nahdliyin harus memiliki karakter mandiri dan tidak mudah terprovokasi oleh kelompok lain.

Selanjutnya, Kiai Miftach mendasari argumennya dengan mengutip hadits Nabi yang artinya, "Janganlah kalian menjadi orang yang plin-plan dan latah. Kalian mengatakan, Jika orang-orang berbuat baik, kami juga ikut baik. Dan jika mereka berbuat zalim, kami pun ikut zalim’. Namun mantapkanlah jiwa kalian; jika masyarakat berbuat baik, kalian tetap melakukan kebaikan, dan jika mereka melakukan kejahatan, maka jangan ikut berbuat zalim." (HR At-Tirmidzi) 

Ia juga berharap pada periode kepengurusan NU lima tahun ke depan mampu merealisasikan putusan-putusan penting Muktamar kali ini yang ditetapkan dalam sidang-sidang komisi.

 

chap-preview
Free preview
Manuskrip Islam Masuk Nusantara
Nusantara Dulu dan Sekarang Oleh : Aji Setiawan Nusantara ialah sebuah istilah yang berasal dari perkataan dalam bahasa Kawi (sebuah bentuk bahasa Jawa Kuno yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta), yaitu ꦤꦸꦱ (nusa) terj. har. "pulau" dan ꦲꦤ꧀ꦠꦫ (antara) terj. har. "luar". Istilah "Nusantara" secara spesifik merujuk kepada Indonesia (kepulauan Indonesia), kata ini tercatat pertama kali dalam kitab Negarakertagama untuk menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit; yang kawasannya mencakup sebagian besar Asia Tenggara, terutama pada wilayah kepulauan. Peta kepulauan Nusantara berlapis emas melambangkan tanah air Negara Kesatuan Republik Indonesia di Ruang Kemerdekaan Monas, Jakarta Pada tahun 1900-an istilah ini dihidupkan kembali oleh Ki Hajar Dewantara sebagai salah satu nama alternatif untuk negara merdeka selain Hindia Belanda. Sekalipun nama "Indonesia" (terj. 'Kepulauan Hindia') disetujui untuk digunakan sebagai nama resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia, kata Nusantara tetap diabadikan sebagai sinonim untuk kepulauan Indonesia. Penggunaan istilah ini pada zaman kuno dipakai untuk menggambarkan kesatuan geografi-antropologi kepulauan yang terletak di antara benua Asia dan Australia (termasuk Semenanjung Malaysia. Dalam konsep kenegaraan Jawa pada abad ke-13 hingga ke-15, raja adalah "Raja-Dewa": Raja yang memerintah adalah juga penjelmaan dewa. Karena itu daerah kekuasaannya memancarkan konsep kekuasaan seorang dewa. Kerajaan Majapahit dapat dipakai sebagai teladan. Negara dibagi menjadi tiga bagian wilayah: Negara Agung merupakan daerah sekeliling ibu kota kerajaan tempat raja memerintah. Mancanegara adalah daerah-daerah di Pulau Jawa dan sekitar yang budayanya masih mirip dengan Negara Agung, tetapi sudah berada di "daerah perbatasan". Dilihat dari sudut pandang ini, Madura dan Bali adalah daerah "mancanegara". Lampung dan juga Palembang juga dianggap daerah "mancanegara". Nusantara, yang berarti "pulau lain" (di luar Jawa)[6] adalah daerah di luar pengaruh budaya Jawa tetapi masih diklaim sebagai daerah taklukan: para penguasanya harus membayar upeti. Gajah Mada menyatakan dalam Sumpah Palapa: Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa. Terjemahannya adalah: "Dia Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan pulau-pulau lain, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa". Kitab Negarakertagama mencantumkan wilayah-wilayah "Nusantara", yang pada masa sekarang dapat dikatakan mencakup sebagian besar wilayah modern Indonesia (Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara, sebagian Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya, sebagian Kepulauan Maluku, dan Papua Barat) ditambah wilayah Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian kecil Filipina bagian selatan. Secara morfologi, kata ini adalah kata majemuk yang diambil dari bahasa Jawa Kuno nusa ("pulau") dan antara (lain/seberang). Kata Nusantara tidak hanya digunakan oleh orang Jawa dan tidak hilang setelah runtuhnya Majapahit. Kata ini dapat ditemui di Sejarah Melayu, sebuah sastra Melayu klasik yang ditulis paling awal pada tahun 1612, tetapi kata ini tetap dikenal hingga manuskrip tahun 1808. Kebanyakan sejarawan Indonesia percaya bahwa konsep kesatuan Nusantara bukanlah pertama kali dicetuskan oleh Gajah Mada dalam Sumpah Palapa pada tahun 1336, melainkan dicetuskan lebih dari setengah abad lebih awal oleh Kertanegara pada tahun 1275. Sebelumnya dikenal konsep Cakrawala Mandala Dwipantara yang dicetuskan oleh Kertanegara, raja Singhasari. Dwipantara adalah kata dalam bahasa Sanskerta untuk "kepulauan antara", yang maknanya sama persis dengan Nusantara, karena "dwipa" adalah sinonim "nusa" yang bermakna "pulau". Kertanegara memiliki wawasan suatu persatuan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara di bawah kewibawaan Singhasari dalam menghadapi kemungkinan ancaman serangan Mongol yang membangun Dinasti Yuan di Tiongkok. Karena alasan itulah Kertanegara meluncurkan Ekspedisi Pamalayu untuk menjalin persatuan dan persekutuan politik dengan kerajaan Malayu Dharmasraya di Jambi. Pada awalnya ekspedisi ini dianggap penakhlukan militer, akan tetapi belakangan ini diduga ekspedisi ini lebih bersifat upaya diplomatik berupa unjuk kekuatan dan kewibawaan untuk menjalin persahabatan dan persekutuan dengan kerajaan Malayu Dharmasraya. Buktinya adalah Kertanegara justru mempersembahkan Arca Amoghapasa sebagai hadiah untuk menyenangkan hati penguasa dan rakyat Malayu. Sebagai balasannya raja Melayu mengirimkan putrinya; Dara Jingga dan Dara Petak ke Jawa untuk dinikahkan dengan penguasa Jawa. Pada tahun 1920-an, Ki Hajar Dewantara mengusulkan penggunaan kembali istilah "Nusantara" untuk menyebut wilayah Hindia Belanda. Nama ini dipakai sebagai salah satu alternatif karena tidak memiliki unsur bahasa asing. Dan juga, alasan lain dikemukakan karena Belanda, sebagai penjajah, lebih suka menggunakan istilah Indie (terj. "Hindia"), yang menimbulkan banyak keracuan dengan literatur berbahasa lain yang dapat menunjukan identitas bangsa lain, yakni India. Istilah ini juga memiliki beberapa alternatif lainnya, seperti "Indonesië" (Indonesia) dan "Insulinde" (berarti "Kepulauan Hindia"). Istilah yang terakhir ini diperkenalkan oleh Eduard Douwes Dekker. Ketika akhirnya "Indonesia" ditetapkan sebagai nama kebangsaan bagi negara independen pelanjut Hindia Belanda pada Kongres Pemuda II (1928), istilah Nusantara tidak serta-merta surut penggunaannya. Istilah ini kemudian tetap lestari dipakai sebagai sinonim bagi "Indonesia", dan dipakai dalam berbagai hal yang utamanya berkaitan dengan kebangsaan, contohnya yakni baik dalam pengertian kebudayaan, antropogeografik, maupun politik (misalnya dalam konsep Wawasan Nusantara). Nusantara Jaman Sekarang Ibu Kota Nusantara (disingkat IKN) adalah sebuah kota terencana yang akan menggantikan posisi Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia mulai tahun 2024. Nusantara terletak di pesisir timur pulau Kalimantan yang sebelumnya merupakan bagian dari dua kabupaten di Kalimantan Timur, yakni Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara yang merupakan wilayah Metropolitan Sambo Tenggarong. Pada 17 Januari 2022, Pemerintah Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat telah resmi mengumumkan nama ibu kota baru yang tertuang dalam undang-undang yang mendapat persetujuan secara aklamasi dalam rapat paripurna ke-13 DPR RI masa sidang 2021–2022 mengenai pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur. Rencana pemindahan ibu kota negara ke Pulau Kalimantan telah ada sejak presiden Soekarno meresmikan Kota Palangka Raya pada tahun 1957.Setelah menjadi wacana yang didiskusikan di setiap era kepresidenan, pada bulan April 2017, Presiden Joko Widodo atau Jokowi memerintahkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk menyusun kajian pemindahan ibu kota negara. Berdasarkan hasil kajian tersebut, Presiden Jokowi mencanangkan pembangunan ibu kota baru di Pulau Kalimantan saat melakukan pidato kenegaraan di Kompleks Parlemen Republik Indonesia, Jakarta pada tanggal 16 Agustus 2019. Pernyataan tersebut diperkuat kembali dengan penentuan letak ibu kota baru di Kalimantan Timur, yaitu sebagian dari Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara. Nusantara terletak di tengah-tengah wilayah Kepulauan Indonesia, tepatnya di pesisir timur Pulau Kalimantan, yang merupakan daratan terbesar di Indonesia. Kota ini berbatasan darat dengan Provinsi Kalimantan Timur di sebelah utara, barat, dan selatan, serta berbatasan laut dengan Selat Makassar di sebelah timur dan Teluk Balikpapan di sebelah selatan.[21] Nusantara memiliki topografi yang berbukit-bukit dan dibangun di atas lahan bekas hutan tanaman industri yang konsensinya dipegang oleh pengusaha Sukanto Tanoto. Nusantara memiliki wilayah seluas 2.561,42 km2, yang terdiri dari Kawasan Ibu Kota Negara (K-IKN) seluas 561,8 km2 dan selebihnya merupakan Kawasan Perluasan Ibu Kota Negara (KP-IKN). Di dalam K-IKN tersebut terdapat Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) di bagian barat Nusantara dengan wilayah seluas 68,56 km2. KIPP merupakan kawasan pusat kota yang kemudian menjadi lokasi dibangunnya istana negara dan tiga gedung-gedung pemerintahan iaitu Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. Kawasan Metropolitan Nusantara meliputi sejumlah kota dan kabupaten di sekelilingnya, termasuk Kota Balikpapan dan Kota Samarinda yang kelak akan menjadi kota satelit penunjang Nusantara. Pemerintah merincikan faktor penyebab perencanaan pemindahan ibu kota, di antaranya meringankan beban Jakarta sebagai ibu kota negara, perluasan pemerataan pembangunan, memiliki ibu kota yang bercirikan identitas bangsa dan penghayatan terhadap Pancasila, meningkatkan pengelolaan pemerintahan pusat, serta konsep ibu kota yang ramah lingkungan untuk meningkatkan daya saing di tingkat internasional. Bahkan, pemerintah membentuk Dewan Pengarah Ibu Kota Negara pada 13 Januari 2020, termasuk salah satu anggotanya adalah Mohammed bin Zayed Al Nahyan. Tim Pemindahan Ibu Kota juga dibentuk dalam rangka koordinasi dan penyelesaian tahap akhir yang diketuai oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Suharso Monoarfa. Pada awalnya, pembangunan ibu kota direncanakan dimulai pada pertengahan tahun 2020. Akan tetapi, pembangunan ditunda akibat pandemi COVID-19.Selama penundaan proyek pembangunan, pemerintah berkoordinasi dengan pihak-pihak investor dan mitra dalam pengembangan ibu kota. Kemudian, pemerintah mencantumkan rancangan pemindahan ibu kota ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk periode 2020–2024. Ibu Kota Nusantara sebelumnya mengubah bentuk pemerintahan yang mulanya pemerintahan khusus menjadi pemerintahan daerah khusus. Pada 18 Januari 2022, DPR RI secara resmi mengesahkan undang-undang terkait pemekaran provinsi Kalimantan Timur, yaitu Nusantara dengan status ibu kota negara setingkat provinsi, di mana fraksi-fraksi mayoritas menyetujui hal tersebut, kecuali Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Berdirinya Nusantara sebagai sebuah ibu kota negara merupakan penerapan dari konsep arsitektur bertajuk Nagara Rimba Nusa. Pada 14 Maret 2022, Presiden Jokowi bersama dengan para gubernur se-Indonesia menyatukan tanah dan air dari 34 provinsi di Titik Nol Ibu Kota Nusantara. Prosesi dilakukan dengan tujuan sebagai simbolis dan tanda dimulainya proyek pembangunan ibu kota. Penyerahan air dan tanah pertama kali dilakukan oleh Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Anies Baswedan kepada Jokowi, kemudian diikuti oleh Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, dan gubernur-gubernur lainnya, hingga yang terakhir menyerahkan adalah Isran Noor selaku Gubernur Kalimantan Timur.(***) Aji Setiawan , mantan wartawan alKisah Jaringan Ulama Nusantara Uama-ulama Nusantara telah lama menjalin jejaring sanad keilmuan dengan para maha guru Islam yang ada di Mekkah dan Timur Tengah. Sekembalinya dari merantau itulah, para ulama Indonesia mulai mengembangkan keilmuan (pembaharuan) serta menjadi inspirasi untuk menggerakan semangat jihad melawan kolonialisme. John R Bowen dalam artikelnya “Intellectual Pilgrimages and Local Norms in Fashioning Indonesian Islam” menulis, ulama Indonesia yang pernah berguru kepada ulama Makkah dan Madinah, kembali ke Indonesia membawa semangat pembaruan untuk melawan tekanan kolonialisme melalui organisasi Islam. Gerakan ini pada dasarnya adalah bentuk pemurnian nilai Islam dari campuran nilai-nilai lain. Meski awalnya organisasi ini bersifat kultural dan ke daerahan, pola tersebut kemudian berkembang men jadi gerakan modern. Jejaring ulama Nusantara ini sudah lama diteliti oleh Dr Asyumardi Azra dalam disertasi asli “The Transmission of Islamic Reformism to Indoesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian “˜Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”. Disertasi saudara Azyumardi Azra yang diajukan kepada Departemen Sejarah, Columbia University, New York, pada akhir tahun 1992, guna memperoleh gelar Ph.D. Dalam penelitiannya ini, Prof Azyumardi Azra, dikemukakan lebih jauh, bahwa penelitian ini adalah merupakan langkah awal dalam menyelidiki sejarah sosial dan intelektual ulama dan pemikiran Islam di Indonesia, khususnya dalam kaitannya perkembangan pemikiran Islam di pusat-pusat keilmuan Islam di Timur Tengah. Karena tidak mungkin, pembaharuan yang terjadi di berbagai negara Muslim ini tanpa adanya mata rantai yang sambung-bersambung (sanad ilmu: mata rantai keilmuan) dengan pusat pertumbuhan dan perkembangan Islam di Timur Tengah. Dalam realitas kesejarahan, pertumbuhan dan perkembangan Islam di Nusantara, yang pada dasarnya memiliki keterkaitan erat dengan dinamika umat Islam di Timur Tengah, bukanlah sekedar dilandasi oleh faktor politis. Pada masa awalnya, yakni pada akhir abad ke-8 hingga abad ke-12, hubungan diantara kedua wilayah umat Islam tersebut, lebih sebagai hubungan perdagangan dan ekonomi. Pada masa berikutnya, hingga akhir abad ke-15, hubungan antar kedua kawasan mulai mengambil aspek yang lebih luas. Disamping mereka melakukan praktik perdagangan, para pedagang dari Timur Tengah juga melakukan upaya penyebaran agama Islam, sehingga akhirnya terjalin hubungan sosial-keagamaan yang sangat erat diantara keduanya. Selanjutnya, pada abad ke-15 hingga paru kedua abad ke-17, hubungan yang terjalin diantara Melayu-Indonesia dengan Daulat Utsmani, lebih banyak diwarnai oleh faktor politis. Kenyataan ini sebagai akibat dari adanya pengaruh perebutan dua kekuatan besar, yakni dari penguasa Spanyol dan Daulah Utsmani. Dengan adanya hal ini, maka kemudian para elit penguasa di Nusantara mengambil posisi untuk menjalin kebersamaan dengan daulat Utsmani. Hubungan yang lebih bersifat keagamaan dan politis ini, dikembangkan dengan para penguasa di Haramayn. Dengan adanya jaringan dengan ulama di Haramayn ini, kemudian menjadikan ulama dari Nusantara untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan keilmuan serta intelektualnya. Daris sinilah kemudian semenjak paruh kedua abad ke-17 ini, hubungan diantara ulama Haramayn dengan ulama di Nusantara ini lebih merupakan hubungan sosial-intelektual, selain juga hubungan sosial-keagamaan. Melalui pendekatan penelitian historis-filosofis serta pendekatan sosiologis-antropologis penulis dapat menelusuri pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan yang terjadi dikawasan periferi, yang selama ini dianggap remeh oleh para peneliti serta sarjana modern. Dari penelitian little tradition yang ada di kawasan periferi ini, terdapat gagasan serta ide-ide pembaharuan, yang pada dasarnya juga dikembang tumbuhkan dari jaringan ulama, yang berpusat di Haramayn, dengan memunculkan “sintesis baru” menjadi great tradition. Jaringan Ulama yang telah lama terbangun dalam wilayah Internasional ini dibuktikan dengan adanya jaringan ulama Melayu-Indonesia, bukan berarti hasilnya berlaku lokal bagi Muslimin di Nusantara, karena Jaringan Ulama yang terjadi ini merupakan mata rantai emas keilmuan yang sangat luas dan menyeluruh ke semua belahan Dunia Muslim. Ulama Melayu-Indonesia adalah merupakan bagian dari jaringan besar tersebut dimana pada masa itu mulai dilaksanakannya pemikiran serta gerakan pembaharuan di wilayah Islam Nusantara. Menurut penulis, setidaknya ada dua istilah kunci digunakan Azyumardi Azra dalam menguak jejaring ulama Nusantara yang menjadi sangat penting dan menentukan. Pertama adalah kata Jaringan. Dengan jaringan ini maka diantara para ulama yang berasal dari berbagai daerah bisa melakukan kontak untuk melakukan dialog serta proses peleburan tradisi-tradisi “kecil” (little tradition) untuk membentuk “sintesis baru” yang sangat condong pada tradisi besar” (great tradition). Proses peleburan yang semacam ini, diantara ulama dilakukan dengan berpusat di Haramayn (Makkah dan Madinah). Kedua adalah kata Transmisi. Yang dimaksud dengan transmisi adalah, upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk menyebarkan, menyampaikan gagasan, ilmu serta metode yang diperoleh dari daerah tertentu, tentang sesuatu yang tertentu pula, untuk kemudian disebarkan ke berbagai daerah lainnya. Yang dimaksud dengan transmisi ini adalah, upaya yang dilakukan oleh seorang ulama untuk menyebarkan, menyampaikan gagasan, ilmu serta metode yang diperoleh di Haramayn, tentang tradisi keagamaan pusat-pusat keilmuan Timur Tengah, ke berbagai dunia Muslim, seperti Melayu-Indonesi (Nusantara). Proses transmisi ini akan menghasilkan letupan-letupan pembaharuan, yang pada gilirannya nanti secara signifikan akan mempengaruhi perjalanan historis Islam di tanah air masing-masing. Ulama-ulama Nusantara memberikan sumbangan dalam pengembangan keilmuan Islam pada masa itu. Karena, pertama, tertolaknya suatu asumsi yang mengatakan bahwa hubungan antara Ulama di Timur Tengah dengan para Ulama di Nusantra, hanyalah bersifat politis. Hal ini dikarenakan, semenjak abad ke-17, terutama diparuh kedua abad ini, hubungan diantara mereka lebih menekankan pada aspek sosial-intelektual (keilmuan). Kedua, tertolaknya suatu asumsi yang mengatakan bahwa abad ke-17 dan 18 adalah abad kegelapan bagi umat Islam. Karena pada kenyataannya di abad ini justru merupakan masa yang sangat harmonis dan dinamis, bagi perkembangan pemikiran serta keilmuan Islam. Islam di masa ini bukan lagi Islam yang bercorak mistik (sufistik), akan tetapi Islam yang merupakan perpaduan antara Tasawwuf dan Syariah (Neo Sufism). Terjadinya perpaduan diantara keduannya ini, merupakan kesadaran dari para ulama fiqih (fuqoha) dan ulama tasawwuf (sufi), untuk saling menyadari akan keberadaan serta peranan masing-masing. Dengan adanya kesadaran yang demikian inilah, maka kemudian berkembang suatu praktik keislaman yang baru, yakni yang disebut dengan Neo-Sufisme. Ketiga, adanya peranan serta keterlibatan ulama-ulama melayu dalam jaringan ulama Internasional, yang pada taraf selanjutnya mampu melakukan upaya transmisi keilmuan dan pemikiran ke wilayah Nusantara, untuk melakukan langkah pembaharuan. Perkembangan pemikiran dan keilmuan di dunia Islam, memang tidak terlepas dari adanya jaringan yang terbentuk diantara para ulama Timur Tengah dengan ulama-ulama lain di berbagai dunia Muslim. Demikian pula dengan perkembangan pemikiran dan pembaharuan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia, adalah merupakan hasil dari keberadaan ulama Melayu-Indonesia yang terlibat dalam jaringan tersebut. Peranan Ulama ini bisa dilakukan dengan mengaplikasikan ilmu, gagasan serta metode yang didapatkan dalam jaringan tersebut, di tanah airnya, atau juga bisa melalui buku-buku yang disusun dan disebarkan ke wilayah asalnya. Teori-teori yang berkembang dapat ditelisik melalui dialog para ahli sejarah, dapat dirunut melalui awal sejarah kedatangan Islam ke Nusantara yang dimulai dari abad ke 7 sampai abad 12 M melalui gelombang I (Dewan Wali) dan II (Wali Songo). Sebagian mengatakan dari India (Gujarat), sebagian lain dari China (melalui sahabat Said bin Abi Waqqas yang diutus Rasulullah SAW ke Cina), Persi dan lain sebagainya. Dengan demikian, dapat ditarik benang merah mengenai hubungan antara Haramayn dengan Nusantara. Kebangkitan dan perkembangan jaringan ulama nusantara ini masih dalam jaringan internasional yang berpusat di Haramain (Makkah). Berbagai kebijakan yang diambil dalam pemerintahan Haramain, yang kemudian memunculkan kemudahan dan efektifitas diantara para ulama untuk melakukan transmisi keilmuan diantara mereka. Selain itu juga dijelaskan proses ekspansi jaringan ulama ke daerah lain. Adanya pembaharuan yang terjadi, sebagai akibat dari terjalinnya antar ulama dari berbagai daerah ini. Perkembangan dan kecenderungan masyarakat muslim dari mistik menuju pada neo-sufisme. Ulama-ulama Nusantara memiliki andil terhadap kelahiran pembaharuan Islam di negeri Nusantara. Sementara jaringan ulama beserta langkah pembaharuan yang dilakukan oleh para ulama di wilayah Melayu-Indonesia pada abad 17 dan 18 banyak dilakukan oleh Ulama Aceh di bawah Teuku Cik Di Tiro, Teku Umar, Cut Nyak Dien, ulama-ulama Padri di bawah komando Tuanku Imam Bondjol (Padang Minangkabau), Pangeran Diponegoro dan Kiai Mojo di Tanah Jawa, Sayyid Idrus Sulawesi, Syekh Arsyad Al Banjari Kalimantan, Haji Wasid dan H Abdul Karim Banten, banyak membentuk pola pemberontakan lokal dan belum meluas serentak se tanah air dalam melawan kolonialisme. Pengembangan keilmuan Islam pada saat itu tentu terpusat pada surau, dayah dan musholla, sisanya banyak ulama, kiai dan santri berjuang secara gerilya dalam skala lokal (teritorial) kompeni Belanda. Baru pada akhir abad ke-19, ulama-ulama pesantren di Nusantara makin masif berkonsolidasi. Selain di Makkah dan Madinah, konsolidasi juga dilakukan di Nusantara, misalnya di Aceh pada 1873 telah mencetuskan ide “Jumhuriyah Indonesia” (Republik Indonesia) dan disebarkan hingga ke Papua untuk membangun cita-cita kesatuan tanah dan bangsa Indonesia. Jejaring ini pernah dibangun dalam jejaring “˜Busur Laut Nusantara’ pada abad ke-14 hingga abad ke-16. Jejaring ulama-santri yang telah menegakkan Indonesia sebenarnya hasil dari proses panjang terbentuk dan terkonsolidasinya jejaring ulama Timur Tengah dan Nusantara sebelumnya. Memasuki paroh kedua abad ke-19 dan abad ke-20, semakin banyak ulama tanah Jawa yang menuntut ilmu di tanah suci. Informasi tentang biografi mereka lebih banyak dan tercatat dengan cukup detail di dalam kitab-kitab sanad dan buku-buku biografi Arab. Banyak dari mereka telah mendapat ijazah (sertifikasi) dan mengajar di Masjidil Haram. Hal tersebut secara tidak langsung, menjadikan mereka di tanah suci sebagai penerus jejaring ulama nusantara yang telah dirintis oleh para ulama Nusantara sebelumnya. Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, seorang mufti agung Makkah pada abad ke-19 yang telah membuka pintu bagi ulama-ulama nusantara untuk berkiprah dan memancangkan komunitasnya di Haramain dan berjejaring dengan ulama-santri di Nusantara. Sebagian ada yang menyemai di Haramain untuk menampung para ulama-santri yang datang dari berbagai penjuru nusantara, sebagian kembali ke Nusantara untuk menjadi poros dan mengokohkan bergeraknya jejaring yang telah dibangun. Dari Kalimantan muncul Syekh Khatib As Sambasi, Syekh Arsyad Al Banjari dan Syekh Nafi Al Banjari, dari Sumatera muncul Syekh Ismail al Minangkawi, Syekh Abdusshommad Al Falimbani dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syaikh Abdul Wahab Sandenreng Daeng Bunga Bugis, dari Jawa muncul Syekh Ahmad an Nahrawi al Banyumasi, Syekh Juned al Batawi, Syaikh Abdur rahman al Mishri, Syekh Nawawi al Bantani, Syeikh Agung Asnawi bin Syeikh Abdurahman Caringin al Bantani, Syekh Mahfudz Termas, Syekh Abdul Karim al Bantani, dan dari Nusa Tenggara Barat menghadirkan Syekh Abdul Gani Bima pada abad ke-19 yang berada di Masjidil Haram Makkah menjadi poros bagi ulama-ulama nusantara. Poros ulama Nusantara di Haramain tersebut berhasil membentuk soliditas ulama. Muncullah nama-nama semisal Syekh Sholeh Darat, KH Ahmad Rifai’i Kalisalak, Syekh Khalil Bangkalan, Syekh Hasyim Asy’ari, Syekh Tolhah Cirebon, KH Ahmad Dahlan, Tuan Guru Zainuddin bin Abdul Madjid Al Amfani Al Fancuri (Tuan Guru Pancor, Lombok NTB), KH Ahmad Sanusi Sukabumi, Guru Mansur Al Batawi, Syaikh Muhtar Al Bughuri, Dr Moh Hatta Bukit Tinggi. Ulama-ulama inilah yang dikemudian hari menjadi jangkar ulama di nusantara yang menggerakkan poros tersebut, berkiprah di pesantren, surau atau dayah. Mereka tidak hanya menimba ilmu di Haramain, tapi juga di Kairo Mesir sehingga terdapat diskursus intelektual dan perbedaan garis perjuangan. Meskipun demikian, karena memiliki kesamaan semangat anti kolonial, diskursus dan perbedaan tersebut mampu diredam meskipun percikan-percikannya tentu saja mempengaruhi arah dan warna perjuangannya di kemudian hari, khususnya dalam tradisi keberagamaan. Dan sejarah mencatat, simpul-simpul utama jejaring ulama tersebut terkonsolidasi dalam suatu poros untuk menegakkan bangsa Indonesia. Syekh Hasyim Asy’ari berupaya mensinergikan simpul-simpul utama ulama, habaib, dan kelompok pembaharu (cendekiawan) untuk bergerak bersama dalam Nahdlatul Ulama, KH Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah, KH Ahmad Sanusi dengan Persatuan Islam (Persis), Tuan Guru Zainuddin bin Abdul Madjid Al Al Fancuri (Tuan Guru Pancor , Lombok Nusa Tenggara Barat) dengan mendirikan Nahdlatul Wathan pada 1937, Sayid Idrus dengan Al Khairat di Palu (Sulawesi), Syekh Nafi dengan Darussalam di Banjarmasin, Jejaring ulama Betawi-Bekasi (Guru Mansyur Jembatan Lima, Guru Mughni Kuningan, Guru Mujtaba, Guru Mahmud, Guru, Khalid, Guru Marzuki, KH Noer Ali Bekasi, Syaikh Muhajirin Amsar ad-Dari). Sementara tokoh pergerakan dan kebangkitan Nasional dari intelektual muslim, tampil diantaranya Dr Moh Hatta, Ir Soekarno, KH A Wahid Hasyim dari Nahdlatul Ulama dan Syahrir dengan Persatuan Nasional Indonesia (PNI) dan lain sebagainya. Melalui jejaring gurunya, koleganya dan muridnya, simpul-simpul itu membangun soliditas dan kekuatan utama pergerakan nasional hingga tegaknya Negara Kesatuan Republik nIndonesia. Terbentuk dan terkoneksinya jejaring itu menjadi kekuatan baru (new energyzing) yang nantinya membungkam sejarah kolonial dan menjadi titik pijak gerakan pembaharuan Islam (nasionalis-Islam) baik yang gerakan Islam tradisional dan gerakan Islam moderat. Gerakan Islam yang tradisional , moderat dan toleran itu masih berkembang hingga kini telah mewarnai, bentuk dan serta corak gerakan Islam keagamaan, politik, ekonomi dan sosial budaya kemasyarakatan dalam bingkai NKRI. (*) Aji Setiawan, Alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dendam Istri yang Tersakiti

read
2.8K
bc

Aku Pewaris Harta Melimpah

read
155.9K
bc

SESAL (Alasan Menghilangnya Istriku)

read
15.4K
bc

Aku Pewaris Keluarga Hartawan

read
147.7K
bc

Menantu Dewa Naga

read
180.1K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
865.1K
bc

Suamiku Ternyata Bukan Orang Miskin

read
6.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook