Permulaan
"Kau bisa pilih kartunya."
Lelaki itu duduk dengan santai. Sebelah tangannya masih memegang kaleng minuman yang sudah kosong setengahnya. Dirinya menatap enggan pada deretan kartu tarot yang terbalik di atas meja.
Tidak tahu alasan apa yang membawanya kemari, dirinya merasa ingin tahu karena belum pernah mencoba bermain dengan kartu tarot. Tidak ada kepercayaan di dalam dirinya pada hasil yang dipilihnya. Ini hanya permainan, begitu pikirnya. Bukankah setiap bulan dirinya bermain dengan kartu remi? Hanya perbedaannya adalah dirinya sudah tahu semua isi kartu remi dan tentu saja hasilnya akan menguntungkan untuknya. Lalu bagaimana dengan kartu tarot pilihannya? Apakah akan menguntungkan juga?
"Kenapa kau ragu? Ayo, pilihlah. Biarkan hatimu yang memilih kartunya," wanita itu kembali berucap seolah memberi dorongan padanya untuk memilih kartu tarot.
Seth mengulurkan tangannya. Jari telunjukkan menyentuh salah satu kartu tarot yang terbalik. Tanpa mengatakan apapun, wanita di depannya mengetahui bahwa kartu tersebut yang dipilih olehnya. Seth menatap datar pada wanita berpenampilan bak peramal ketika wanita itu mengambil kartu pilihannya.
"Pilihan yang bagus. Akan ada seseorang yang hadir di kehidupanmu. Mungkin kedepannya tidak semulus keinginanmu, tapi hubungan ini akan menjadi peluang besar menuju hubungan yang lebih lanjut. Tapi waspadalah dengan keputusan yang kau buat."
Seth menatap datar mendengar kalimat peramal itu ketika membaca kartu pilihannya.
"Kau tidak percaya?" wanita itu mengernyitkan keningnya melihat respon datar dari Seth.
"Bukan begitu. Aku percaya dengan penjelasanmu meskipun terdengar aneh. Setiap bulan ada seseorang yang hadir di dalam kehidupanku."
"Lalu kenapa kau menatapku seolah tidak percaya dengan penjelasanku?"
Seth tertawa pelan. Dia menghabiskan minuman kalengnya yang sempat dia beli di salah satu mesin minuman di dekat bilik peramal kartu tarot tersebut. "Ada yang salah dengan penjelasanmu. Keputusan yang aku ambil... Aku tidak perlu waspada pada keputusanku. Aku bukan tipe orang yang mengambil keputusan terburu-buru."
"Itu sebuah peringatan untukmu, bukan ancaman."
Kepala Seth mengangguk beberapa kali tanda mengerti. "Baiklah, terima kasih untuk penjelasannya," ucap Seth lalu bangkit berdiri. Dirinya keluar dari ruangan bilik peramal tersebut setelah meletakkan lima lembar uang dolar amerika di atas meja peramal tersebut.
Peramal itu menatap punggung Seth ketika lelaki itu melenggang pergi. Beberapa saat kemudian dia menatap kartu tarot yang dipilih Seth. Di sana terdapat gambar seseorang berdiri di tebing laut dengan memanggul bungkusan menggunakan batang kayu layaknya seorang pengembara dengan matahari bersinar terang di belakang kepalanya. Peramal itu tersenyum tipis lalu memegang kartu tersebut dan menggabungkannya dengan kartu lainnya.
Keheningan di dalam ruangan itu tidak berlangsung lama ketika tiga wanita muda memasuki ruangan. Dua wanita yang di depan nampak menarik seorang wanita yang berada di tengah. Keduanya berbisik-bisik memaksa wanita tersebut untuk ikut masuk ke dalam ruangan peramal itu.
"Selamat datang," sambut peramal tersebut.
"Selamat siang, Madam," dua wanita muda itu membalas sambutan peramal dengan ramah.
"Kami ingin mencoba peruntungan, Madam. Kau bisa tahu kan peruntungan kami?" tanya wanita berambut pirang yang duduk di sebelah kanan.
"Terutama soal pasangan," sambung wanita yang duduk di samping kiri.
Sepasang mata peramal itu mengabsen tiga wanita di depannya ketika mereka sedang berbicara. Namun tatapannya berhenti pada seorang wanita berambut hitam sepunggung yang duduk di tengah. Wanita itu nampak enggan berada di dalam ruangan tersebut.
"Ada yang mengganggu pikiranmu, Lady? Aku akan membaca peruntunganmu terlebih dahulu," putus peramal tersebut lalu mengocok kartu tarot dan meletakkannya berderet seperti biasanya. "Silakan pilih kartu kalian."
Dua wanita itu mulai memilih kartunya. Peramal pun mulai membaca kartu mereka hingga membuat keduanya mendengarkan dengan seksama.
"Vale, sekarang giliranmu, ayo pilih kartunya," paksa Marcella, wanita berambut pirang.
Valaria mulai memandangi satu persatu kartu tarot di atas meja. Dia menghela napas pelan melihat kedua temannya membawa ke tempat peramal di taman hiburan seperti ini. Terlebih keduanya membawa dirinya karena satu alasan yang membuat Valaria merasa tidak senang.
"Itu," ucap Valaria singkat sembari menunjuk salah satu kartunya.
Peramal itu mengambil kartu tersebut. Di sana nampak sepasang manusia saling menatap dengan satu manusia lainnya berada di atas keduanya bak seorang dewi. Di belakang sepasang manusia terdapat tumbuhan yang menggambarkan sifat masing-masing. Keduanya berdiri diatas perbukitan.
"Jika aku mengatakan jawabannya, apakah kau akan mendengarnya? Sepertinya kau tidak senang datang kemari, Lady."
"Katakan saja. Mendengar atau tidaknya, itu adalah hakku bukan?"
"Satu hal yang perlu kau lakukan adalah kau harus mengijinkan hatimu bukan pikiranmu yang membimbingmu. Perubahan sikap akan membuatmu merasa lebih bahagia."
"Apa maksudnya? Aku tidak merasa bahagia?" Valaria nampak tak senang dengan jawaban peramal tersebut. Dia menggulingkan bola matanya di depan peramal.
"Ssttt," Elsa meletakkan jari telunjuk di bibirnya seolah memberi intruksi pada temannya untuk menjaga ucapannya, "Kalau begitu, kami pamit dulu Madam. Terima kasih," Elsa bangkit berdiri dan menarik Valaria untuk ikut berdiri.
"Terima kasih, Madam," Marcella ikut berdiri. Kedua tangannya yang memeluk lengan Valaria ikut menarik temannya keluar dari bilik peramal tersebut.
***
Seth membuang putung rokoknya saat mendengar dering notifikasi masuk di ponselnya. Dia menghentikan langkahnya saat jemarinya menggeser layar untuk memeriksa isi pesan singkat. Hanya membaca, Seth kembali memasukkannya ke dalam saku celana jeans.
Dia melanjutkan langkahnya menuju apartemen. Seth berjalan di sepanjang trotoar jalan sembari memperhatikan keadaan lalu lintas yang tak pernah sepi. Sampai akhirnya dirinya dibuat tertarik oleh tiga wanita yang berjalan dari arah berlawanan. Bukan tentang siapa mereka, namun topik pembicaraan mereka yang sekilas terdengar oleh Seth, membuatnya merasa tertarik.
"Temanku ada yang pernah ikut, Vale. Dan itu memang bagus. Terlebih lagi, katanya dia tampan," jelas wanita berambut pirang.
"No way, okay?! Aku tidak mau ikut hal-hal konyol seperti itu," jawab wanita berambut hitam kecoklatan.
Seth melirik ke belakang saat mereka bertiga melewatinya. Dirinya tersenyum miring memperhatikan ketiga wanita itu dari belakang.
"Aku akan menunggu, Babe," gumam Seth diiringi smirk yang menjadi khasnya. Lalu melanjutkan langkahnya.
Sepuluh menit kemudian Seth sudah sampai di apartemen. Gedung apartemen itu nampak sangat sederhana. Seth sengaja memilih tempat yang biasa untuk menghemat uangnya.
Dia meletakkan plastik putih di atas meja. Tubuhnya terduduk bersandar pada sofa. Seth meluruskan kakinya dan menyilangkannya di atas meja. Dia kembali membuka bungkus rokok lalu menyalakan sebatang rokok dengan pematik.
Sebelah tangannya bermain dengan ponsel. Seth nampak sedang mengecek emailnya. Sudah tiga hari ini tidak ada orang yang mendaftar di situs online miliknya. Sehingga dirinya tidak mempunyai kegiatan lain selain menghabiskan waktu untuk bersantai.
Seth meletakkan putung rokoknya di atas abak. Dia bangkit berdiri untuk mengambil cemilan lalu kembali ke tempat semula. Dibukanya bungkus plastik itu, Seth mengeluarkan dua botol beer dan membukanya.
Dia pun mulai menikmati cemilannya sambil sesekali menenggak beer. Hingga tanpa terasa satu botol beer telah berpindah ke perutnya. Seth tertegun saat mendengar dering ponselnya kembali berbunyi. Dia pun segera melihat layar ponselnya.
Seth menghela napas pelan sebelum mengangkat telepon dari seseorang, "Halo," sapanya.
"Kau tidak lupa untuk pulang kan, Sayang?" suara wanita itu terdengar lembut di indra pendengar Seth.
"Iya, Mom. Nanti aku ke sana," jawab Seth lalu kembali menenggak minumannya.
"Kali ini jangan sampai terlambat," pintanya.
"Okay."
Seth tersenyum tipis saat mendengar wanita itu tersenyum padanya. Dapat dibayangkan bagaimana ekspresi ibunya setiap kali tersenyum. Dan entah mengapa dirinya selalu ikut tersenyum.
Tinggal jauh dari orangtua adalah pilihannya. Seth tidak ingin mengganggu kedua orangtuanya, begitulah pikirnya. Terlebih sudah ada Javier dan Xavier, pasti kedua orangtuanya akan semakin repot mengurusi mereka.
***
Seth turun dari taksi tepat di depan sebuah mansion yang begitu besar. Dia berjalan melewati gerbang kokoh itu hingga memasuki halaman mansion yang begitu luas. Seth hanya tersenyum tipis membalas sapaan para pengawal maupun pelayan yang melihatnya.
"Seth."
Seth menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke arah samping, tepat ke arah taman kecil yang tak jauh darinya. Dirinya tersenyum sembari melambaikan tangannya pada sosok lelaki lanjut usia yang menghampirinya.
"Kakek," panggil Seth.
Jeffery langsung memeluk Seth, dan Seth membalasnya. "Kau sudah tidak sayang lagi dengan kakekmu, hah?!" gerutu Jeffery saat melepaskan pelukannya.
Seth tertawa pelan mendengar gerutuan kakeknya. "Tentu saja aku sangat sayang padamu, Kakek," balasnya dan merangkul Jeffery.
Jeffery tersenyum dengan kedua mata berkaca-kaca. Seth sudah jarang menjenguknya dua bulan terakhir. Biasanya Seth akan menjenguknya satu minggu sekali atau paling tidak Jeffery main ke apartemen Seth.
Namun keadaan kesehatan Jeffery sedang memburuk akhir-akhir ini sehingga Casey tidak mengijinkannya keluar mansion. Jeffery hanya menghabiskan waktunya di dalam mansion maupun sekedar menikmati udara segar di taman.
"Masuklah. Mereka sudah menunggumu sejak tadi," ucap Jeffery dan merangkul Seth untuk masuk ke dalam mansion.
Seth melihat dua mobil lain di depan mansion. Nampaknya keluarganya sudah berkumpul di dalam. Dan kali ini dirinya terlambat, lagi.
Hari ini adalah pesta perayaan pernikahan kedua orangtuanya yang ke-29. Bukan sebuah pesta mewah melainkan pesta makan malam keluarga. Casey sengaja tidak ingin membuat pesta yang meriah, baginya menghabiskan waktu bersama keluarga lebih penting.
"Seth," panggil Casey.
Seth tersenyum saat mendapatkan pelukan dari ibunya. Casey pun melepaskan pelukannya setelah mencium kedua pipi putra pertamanya.
"Kau terlambat lagi," gumamnya sembari mengelus wajah Seth.
"Im sorry, Mom. Aku terlambat mendapatkan taksi," balas Seth dengan nada menyesal.
Casey hanya berdecak mendengar alasan putranya. Meskipun terkadang merasa bingung pada Seth karena selalu menolak saat dirinya ingin memberikan mobil.
"Ayo, Sayang. Daddy sudah menunggumu. Kevin juga datang," ucap Casey.
Seth pun mulai bergabung dengan anggota keluarga lainnya. Semuanya ada di sana. Mulai dari kakeknya, kedua orangtua serta kedua adik kembarnya, Paman Philip, Bibi Sabrina dan Kevin, hanya adik perempuan Kevin yang tidak datang.
Setelah perbincangan hangat di antara mereka, Casey pun meminta semua anggota keluarga untuk menikmati hidangan makan malam. Kehangatan yang terpancar sangat kental. Semuanya nampak bercanda dan tertawa.
"Apa semuanya berjalan dengan baik?"
Seth tertegun saat mendengar pertanyaan tiba-tiba dari Kevin, sepupunya. Dia menoleh ke arah samping dan tersenyum. Sebelah tangannya memegang gelas berisi wine.
Selesai acara makan malam, Seth meninggalkan keramaian keluarga dan lebih memilih menikmati suasana malam di halaman belakang mansion. Dan sinilah kedua pria tampan itu berdiri.
"Begitulah," jawab Seth.
Kevin tertawa pelan hingga membuat Seth menaikkan salah satu alisnya.
"Apa kau tidak bosan bersenang-senang terus?" Kevin kembali bertanya saat tawanya mereda.
"Ayolah, Bung. Hidup hanya sekali, aku tidak ingin melewati kesenanganku," jawab Seth.
"Aku pun," celetuk Kevin membuat Seth kembali menaikkan alisnya, "Aku sudah tidak bisa bekerja di perusahaan milikku. Aku mengundurkan diri."
"Apa kau bercanda? Lalu bagaimana dengan kehidupanku?" Seth nampak tidak senang mendengar ucapan Kevin.
"Kita harus berhenti sebelum Paman dan Bibi mengetahuinya," Kevin sedikit berbisik.
Seth menghela napas pelan. Dirinya tidak ingin meninggalkan jalan hidup yang sudah dipilih. Dia masih belum ingin memegang perusahaan milik keluarganya.
Tak dapat dipungkiri dirinya memang membohongi kedua orangtuanya. Kevinlah yang membantunya dalam mengelola perusahaan Pearson. Sedangkan dirinya menikmati jalan hidup sebagai penyedia jasa di situs online miliknya.
"Beri waktu aku satu minggu," pinta Seth.
"Aku sudah tidak percaya padamu," balas Kevin membuat Seth mendengus kesal. Melihat wajah Seth yang nampak kesal menarik Kevin untuk menertawakannya. "Baiklah, hanya satu minggu."
"Kau memang yang terbaik," Seth meninju lengan Kevin pelan.
Keduanya kembali diam dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya Seth kembali menatap Kevin.
"Bagaimana kabar adikmu?" tanya Seth.
"Entahlah, sepertinya baik-baik saja."
"Kapan dia akan pulang?"
"Aku dengar Mom mengatakan sekitar satu bulan lagi."