Keesokan harinya, Milena kembali menjelajahi hutan terlarang. Ia kembali menyelidiki bagian dalam hutan, tidak begitu dalam, hanya bagian luarnya saja yang masih terkena sinar matahari pagi. Jantung hutan terlarang sangat gelap dan mencekam, ia bisa merasakannya hanya dengan menatapnya sekilas.
Menjelang tengah hari, Milena kembali pada pohon Oak sebelumnya—menikmati makan siangnya sambil bersenandung riang, seolah-olah tak ada yang terjadi.
Selesai menyantap makan siang, ia terbang cukup tinggi di atas pepohonan, hilir mudik memeriksa batas hutan terlarang itu.
Sayangnya, hutang terlarang tersebut bagaikan garis lurus di ufuk langit. Bulu kuduknya meremang. Tak mungkin ia memasuki dan memeriksa hutan itu sendirian. Bagaikan mencari jarum dalam jerami! Hatinya nyaris menjerit dengan kenyataan yang menghantamnya. Apa tindakan nekatnya selama ini sia-sia belaka?
Karena lelah terbang tanpa tujuan, Milena kembali ke pohon Oak. Suasana hatinya dongkol. Ia ingin melampiaskannya pada siapapun saat ini! Apapun! Tapi, tak ada siapa-siapa di sana. Sebagai gantinya, ia menjambak rambut sambil berteriak histeris.
Setelah puas memaki dan mengumpat di udara kosong. Ia merasa letih sekali. Ada baiknya tidur sejenak melepas lelah. Toh, penyihir itu belum terlihat sejak kemarin. Ia merentangkan tangan di udara, menguap lebar-lebar, lalu mengambil posisi ternyaman untuk tidur.
Sore harinya, Milena terbangun oleh suara berisik, cukup lama juga ia terlelap. Dengan perasaan berat, matanya berusaha dibuka secara perlahan, namun terasa lengket sekali.
Beberapa kali ia mengerjapkan mata akan tetapi kantuk yang menguasainya sungguh hebat. Tubuhnya terasa sulit digerakkan, seolah-olah ada selimut berat tak terlihat yang menutupi sekujur tubuhnya. Semakin dilawannya, semakin terasa sulit bergerak dan terlena kembali untuk memasuki dunia mimpi.
Milena mendengar gumaman aneh dari arah bawah, tepat dari arah pandangnya. Meski pandangannya kabur, ia bisa melihat sesosok makhluk bertudung hitam dengan keranjang rotan di tangan kanannya.
Sulit melihat wajah sosok tersebut, tudungnya terlalu besar dengan bulu-bulu putih ditepiannya.
Penyihir! Pekik Milena dalam hati.
Rasa kantuk yang tadinya mengusainya kini lenyap seketika, namun tubuhnya masih sulit untuk digerakkan. Sekuat tenaga ia mengerahkan tubuhnya yang seolah kehilangan kendali. Di saat tak berdaya seperti itu, ia hanya mampu melihat dengan mata terbuka dan tubuh bagaikan sekaku mayat. Suasana aneh menghampiri atmosfer di sekitarnya. Hutan menjadi menakutkan lebih dari sebelumnya.Tak ada simfoni hutan yang sering terdengar di mana-mana. Kehadiran sosok itu membuat tempat dilaluinya seakan-akan menyambut kematian. Dedaunan yang awalnya mulai berubah coklat menyambut datangnya musim dingin, tiba-tiba saja mendadak berubah hitam dan mati seolah terkena racun. Ranting-ranting yang mengering, kini tampak menakutkan, bagaikan tangan-tangan kurus kering yang siap menerjang siapapun yang melewatinya.
Sesaat setelah sosok bertudung itu berlalu, Milena perlahan mampu menggerakkan tubuhnya.
Ia kelelahan, tubuhnya berkeringat seperti baru saja memetik buah seharian penuh tanpa istirahat, atau sekiranya perbandingannya seperti itu—ia tak pernah memetik buah, namun mungkin seperti itu rasanya bekerja sebagai peri pemetik buah.
Sungguh menguras tenaga! Napasnya tersengal-sengal, matanya berair dan tengggorokannya terasa sakit seperti terbakar.
Sensasi apa ini? Pikir Milena.
Ia melempar pandangannya pada sosok yang sudah berada cukup jauh di depannya itu.
Keadaan aneh nan mengerikan itu masih saja terjadi ketika sosok itu akhirnya melewati pohon tempat Milena istirahat. Pertanyaan besarpun muncul di benaknya: bagaimana ia bisa mengikuti sosok itu?
Tak ada yang pernah menyebutkan jikalau seorang penyihir memiliki aura yang mematikan seperti itu. Kini ia berpikir keras mencari solusi di saat mepet begini, sungguh membuatnya ingin murka! Rencana yang sudah disiapkannya kini hancur berantakan.
Milena menimbang-nimbang penuh perhitungan sejenak, lalu dengan berdecak lidah, ia terbang mengikuti sosok tersebut dari jarak aman.
Ia tak tahu apakah penyihir itu yang memiliki cermin kejujuran atau tidak. Ini sebuah taruhan besar!
Sekarang atau tidak sama sekali!
Ia harus mencobanya dulu!
Kengerian dan hawa mencekam tak pernah lepas dari sosok tersebut sepanjang jalan.
Milena bertanya-tanya dalam hati: kemanakah tujuan sosok tersebut sebenarnya? Apakah ia sedang bepergian mencari bahan-bahan aneh untuk ramuan sihirnya? Ataukah sedang menuju ke pondokannya?
Cukup lama ia mengekori sosok tersebut, mereka berjalan jauh masuk ke jantung hutan yang lebih gelap dari tempat yang ia masuki sebelumnya.
Hal itu membuat Milena bekerja esktra keras menyembunyikan dirinya dari sosok tersebut. Ia bersembunyi di balik pepohonan, namun meski ia sudah mencapai batas kemampuan dirinya dalam bersembunyi, ia masih menarik perhatian dari beberapa pasang mata dari balik kegelapan. Dirinya yang berpendar kuning keemasan di tengah-tengah kegelapan pekat, begitu menonjol dan membuat siapa pun di sekitar tempat itu memicingkan mata padanya.
Milena mengumpat dalam hati: Sial! Sekarang apa? Magnet bagi makhluk kegelapan haus darah?
Kewaspadaannya meningkat saat sejumlah pasang mata di kegelapan semakin mendekat ke arahnya. Ini skenario terburuk mengikuti seseorang secara diam-diam. Milena tersudut pada sebuah batang pohon besar, keringatnya mulai bercucuran. Bukan karena ia terlalu dekat dengan penyihir tersebut, namun mata-mata mengerikan yang ada di balik kegelapan kini mulai menaruh perhatian besar padanya.
Ia menelan ludah gugup. Tiba-tiba sebuah sosok menerjangnya dari atas secara diagonal, tubuhnya oleng ke kiri dan nyaris jatuh dari atas pohon.
"Aku tak punya waktu untuk kalian!" desisnya marah, suaranya terdengar dalam dan begitu tegas.
Raut wajahnya yang semula terlihat cemas dan takut, kini berubah tegang.
Beberapa dari pasang mata itu mulai terlihat ragu. Bola mata mereka membesar, tampak terkejut dan mulai mundur perlahan.
Milena melirik dari kanan ke kiri, tampak memikirkan sesuatu dan meraih kantong kain kecil berwarna hitam dari pinggangnya. Ia merogoh isinya dan meniupkannya pada kegelapan di depannya. Perlahan tapi pasti, mata-mata yang mengarah padanya menutup perlahan. Satu masalah terselesaikan sudah! Pekiknya girang dalam diam.
Tanpa memandang ke belakang, ia kembali terbang membuntuti sang penyihir yang kini nyaris hanya berupa titik di depan matanya.
Sungguh sangat gelap di dalam jantung hutan tersebut, jika saja si penyihir itu tak membuat cahaya sihir di tangan kanannya—yang kini terlihat bagaikan bola arwah dari kejauhan, maka dipastikan dirinya akan tersesat kehilangan arah dalam kegelapan.
Milena mengepakkan sayapnya sekuat mungkin, namun beban yang dibawanya tak menguntungkannya, kekesalan memuncak di benaknya.
Di kejauhan, ia melihat sang penyihir berbelok ke kiri, bola mata Milena membesar, ia mulai terlihat panik. Jika ia kehilangan jejak penyihir itu saat ini, kemungkinan untuk mendapat kesempatan kedua bertemu sang penyihir itu adalah hal yang mustahil.
Di saat kritis seperti ini adalah hal yang dibenci oleh Milena. Mau tak mau ia harus melepas beberapa barang bawaannya.
"Ini semua gara-gara insiden tak penting itu." Umpatnya kesal.
Sembari terbang sekuat tenaga, ia melepas gesper dan pengait ganda ranselnya. Tangan satunya memegang erat salah satu pengait ganda, sementara tangan satunya mengeluarkan sebiji almond yang dijatuhkan begitu saja ke tanah. Saking terburu-burunya ia mengejar ketinggalannya, almond satunya ikut terjatuh.
Milena memekik dalam diam, namun tak bisa berbuat apa-apa. Ia tak punya banyak waktu lagi, saking kesalnya ia meraih kotak P3K peri-nya dan membuang semua isi ranselnya begitu saja. Beberapa buku coretan, sebuah pakaian, dan benda-benda penyelamatan serba gunanya kini hilang tertelan kegelapan hutan.
"Ini yang kumaksud dengan kecepatan!" Milena memasukkan kotak P3K-nya ke dalam ransel, memeluknya ranselnya dan menerjang angin bagaikan peluru bercahaya.
Ia menikung ke kiri bagaikan peri balapan tanpa aturan. Beberapa kali ia sempat tergores dan menghantam ranting kecil, namun itu tak membuat tekadnya surut, akhirnya tak kurang dari semenit, ia melihat cahaya yang menyerupai bola arwah beberapa meter di depannya. Senyum menyeringai terpasang di wajahnya. Sembari tetap menjaga jarak seperti sebelumnya, ia memasang kembali ransel di punggung.
Beberapa menit kemudian, si penyihir tampak mematikan cahaya sihirnya. Ia meletakkan keranjang rotannya di samping kakinya dan mulai merapalkan mantra yang rumit.
Milena mengeryitkan kening. Mungkinkah si penyihir itu sedang merencanakan sesuatu di hutan ini? Tak lama kemudian, di depan sang penyihir muncul sebuah portal yang bengkok di udara. Di sisi satunya terlihat sebuah istana yang terlihat suram. Tidak begitu menakutkan seperti hutan saat ini, hanya saja suram dan tampak sunyi. Tak ada tanda-tanda kehidupan selain lumut dan sulur yang merangkak naik di dinding-dinding luar istana. Jika saja pemandangan itu sedikit cerah, mungkin itu adalah istana terindah yang pernah dilihat Milena seumur hidupnya.
Istana itu berdiri kokoh meski nyaris tertutup oleh sulur dan lumut di mana-mana. Menara-menara besar dan kecil menghiasi tiap tepian istana tersebut. Paling belakang terdapat menara terbesar dari yang lainnya. Entah mungkin ada maksud di balik rancangan menara tersebut, karena sebuah lonceng besar kusam bertengger di sana.
Di depan istana, terlihat tiang-tiang tinggi menjulang yang berjejer rapih, seolah-olah tiang-tiang itu adalah parameter bagi istana tersebut. Beberapa di antaranya sudah hancur atau tinggal separuh. Di bawahnya terdapat beberapa pedang dan alat bertarung lainnya, tergelak begitu saja.
Beberapa terdapat noda hitam yang Milena yakini sebagai darah yang mengering. Mungkinkah si penyihir itu membunuh seluruh penghuni istana hanya untuk menguasai istana itu seorang diri? Tiba-tiba saja bulu kuduknya merinding.
Penyihir itu meraih kembali keranjangnya, memeriksa sekelilingnya sebelum akhirnya ia memasuki portal.
Ketika sang penyihir telah memasuki sisi lainnya secara penuh, portal itu menutup perlahan, hal itu tak ingin disia-siakan oleh Milena. Tanpa pikir panjang dan mempertimbangkan risiko macam apa yang ada di depannya, ia menerobos memasuki portal itu.
Tepat ketika portal itu menutup, ujung sayap kiri Milena yang masih ada di dalam portal, akhirnya tertinggal di sisi satunya. Ia ingin menjerit kesakitan, seluruh tubuhnya menggigil, setiap syaraf di tubuhnya menjerit protes, sakitnya sampai terasa di otaknya, seolah-olah jarum di tusuk di sana berkali-kali. Rasa sakit itu seolah-olah membuat dirinya sadar betapa hidupnya ia.
Bukan hanya sekedar mitos dan legenda manusia belaka. Karena tak ingin menunjukkan kehadirannya pada sang penyihir. Milena hanya menggigit tangannya sampai berdarah. airmatanya menetes pelan di kedua pipinya.
Di kejauhan, sang penyihir itu melangkah semakin dekat ke tiang-tiang istana. Dengan rasa sakit yang masih melekat padanya, dan darah yang menetes dari tangannya, ia terbang mengikuti sang penyihir. Bentuk sayapnya yang cacat membuatnya terbang secara tidak normal, terkadang ia nyaris oleng ke kiri atau nyaris terjungkal ke depan. Milena terbang begitu menyedihkan saat itu. Belum pernah ia merasa begitu hina dan menyedihkan sebagai seorang peri keturunan legendaris. Sebaiknya cermin itu benar-benar ada! umpatnya kesal dalam hati.
Sepanjang jalan, Milena mengamati keadaan di sekitarnya. Walau terdapat berbagai macam senjata—dan sebagian berlumuran darah yang sudah kering. Namun, ia tak melihat ada mayat atau tengkorak satupun di sana. Apakah penyihir itu memakan mereka agar abadi? Milena mendengar banyak hal buruk mengenai kebiasaan menjijikan penyihir, utamanya penyihir perempuan. Mereka yang tersesat di jalan kegelapan, cenderung menangkap pria manusia sebagai salah satu bahan awet muda mereka. Milena bergidik mengingat hal itu dan merasa mual di saat yang sama. Sungguh menjijikkan!