POV Irfan
“Ya sudah, gak apa-apa. Maaf kalau abang sudah menganggu. Bye....” Aku kecewa mendengar penolakan Windy.
Rumah ini terasa sangat sepi. Sudah satu bulan aku pisah ranjang dari Ita, istri yang saat ini sedang menggugatku. Kenzo dibawa olehnya, aku hanya menurut. Semua demi kebaikan Kenzo, aku tidak ingin selalu bertengkar dengan Ita setiap hari. Ita tetap tinggal di rumah utama kami yang cukup besar. Sementara aku memilih tinggal di rumah kami yang lainnya. Perumahan sederhana yang sebelumnya aku kontrakkan pada orang lain.
Beberapa hari selepas kepergian suami Windy, aku memang menaruh hati pada wanita itu. Awalnya aku hanya kasihan karena sering melihatnya menangis. Aku dengan mudah dapat memerhatikannya dari luar ruangan karena memang ruangan di kantorku hanya di sekat lapisan kaca. Posisi Windy berada menyamping ke dinding kaca bagian luar.
Semakin lama perasaan itu semakin tak beraturan. Aku seperti mulai mencintainya. Aku ingin memilikinya untuk mengisi kekosongan hati dan diri ini. Walau statusku adalah pria beristri, namun kenyataannya aku kesepian. Dua tahun Ita mengabaikan dan mengacuhkanku. Sesekali dia mau juga menunaikan kewajibannya sebagai istri, tapi aku merasa hati dan pikirannya tidak ada bersamaku.
Aku begitu senang setiap ada kesempatan berdua saja dengan Windy. Aku bisa menatapnya lebih lama, mendengar ocehan dan suara lembutnya ketika bersenandung kecil di kala bekerja.
Aku jadi ingat, sekali waktu aku lembur hanya berdua saja dengan Windy hingga semalaman. Sebenarnya pekerjaan penawaran yang kami buat sudah selesai jam satu dini hari. Tapi Windy memutuskan untuk menginap di kantor karena segan pulang ke rumah sudah semalam itu. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian, dan aku pun menemaninya hingga pagi.
Saat itu pikiran liarku mulai menguasai otak. Aku pria normal yang kesepian dan berada satu ruangan dengan seorang wanita di malam yang dingin dengan sedikit gerimis, tentu membuat gairahku memuncak. Aku pun menghampirinya.
“Windy.” Aku mulai mendekat namun masih menjaga sikap.
“Ya Pak, maaf. Apa masih ada yang harus kita perbaiki?” Aku melihatnya melipat sebuah kitab kecil.
“Maaf, i—iya ... abang lupa apakah tadi dokumen kontrak lama sudah Windy upload semua.” Aku gugup, keringat dingin.
Aku tidak tau setan apa yang merasukiku malam itu. Windy wanita yang sangat sopan, manis dan sangat tenang. Dia berpakaian sangat tertutup dan selalu menjaga sikapnya terutama kepada laki-laki yang bukan mahramnya. Bahkan dia tidak mau menerima jabat tangan dari pria mana pun. Ketika aku berniat berbuat buruk kepadanya, tuhan seperti begitu melindunginya.
Aku tersentak melihat kita Alqur’an yang dia lipat ketika menjawab sapaanku. Aku kembali duduk di bangku milik Vivi dan meremas rambutku dengan kedua tanganku. Kenapa aku begitu bodoh.
“Maaf ... Bapak kalau mengantuk, tidur saja. Tidak apa-apa kok. Atau kalau bapak mau pulang juga, tidak masalah. Windy tidak masalah tinggal sendirian. Bapak sepertinya kurang enak badan, biar nanti Windy cek lagi semua dokumen penawaran ini.” Ia tidak menyadari kalau tadi aku berencana menodainya.
“Tidak ... abang baik-baik saja. Abang juga sangat sehat, hanya sedikit pusing. Abang akan menemani Windy di sini. Tenanglah, abang akan menjaga Windy.” Aku berusaha bersikap tenang.
“Baiklah.” Senyumnya begitu manis dan aku melihat dia kembali dengan kitab kecilnya.
Begitu banyak momen-monen berharga yang aku lalui berdua dengan Windy. Mungkin bagi Windy itu tidak berarti karena memang semuanya hanya sebatas pekerjaan, tapi bagiku sedetik saja bisa bersamanya, begitu berharga.
Siang ini aku cukup kacau. Aku membayangkan Windy sedang bermesraan dengan pacarnya. Pagi itu tanpa sengaja aku melihat Windy sedang melakukan panggilan vidio bersama seorang lelaki, aku yakin itu pacarnya. Atau lebih tepatnya calon suaminya, karena aku yakin jika Windy tidak akan mau memiliki pacar.
Daripada kepalaku pecah di rumah ini sendirian, lebih baik aku mencari angin segar keluar sana. Aku mengambil kunci mobil pribadiku. Aku melaju meninggalkan komplek perumahan mengendarai mobil putih tanpa arah dan tujuan. Ingin rasanya aku ke klub atau tempat karaoke, meneguk beberapa botol minuman keras dan bermain dengan wanita. Tapi aku langsung mengucap istighfar, tak ingin kembali seperti dulu.
Aku pun pergi ke salah satu restoran Soto Padang untuk mengisi perut karena aku memang belum makan sedari pagi. Kesendirian membuatku tampak sedikit kusut, karena tak ada yang memerhatikan makan dan pakaianku.
Adzan ashar berkumandang, tak terasa sudah cukup lama aku berada di restoran Soto Padang ini. Selepas melaksanakan shalat ashar di mushalla restoran ini, aku pun beranjak pergi. Sore begini duduk di tepi pantai sembari minum es kelapa muda sepertinya asyik.
Andai saja saat ini aku bersama Windy. Kembali pikiran liar menggerogoti isi kepalaku.
“Siapa itu? Bukankah itu?” Aku memperlambat laju mobil, kulihat di seberang sana ada seorang wanita yang berjalan berdampingan dengan seorang pria. Sepertinya aku mengenal wanita itu, walau hanya terlihat dari sisi belakang.
Aku penasaran, aku kembali mempercepat laju mobil mengarah ke belokan menuju jalur berbeda. Aku ingin melihat jelas, apakah wanita itu benar-benar adalah seseorang yang begitu aku inginkan kehadirannya dalam hidupku.
Aku seketika menghentikan mobil tidak jauh dari wanita itu berjalan. Dia tampak sangat menikmati obrolannya dengan seorang pria di sampingnya. Hatiku mendidih, aku cemburu melihat kedekatan mereka. Aku berkali-kali memukul setir mobil dan menjambak rambutku. Ternyata aku benar-benar telah menggilai Windy.
Tiba-tiba dia berhenti dan memandang ke arahku. Dia memerhatikanku, entah apa yang dia pikirkan. Tapi aku yakin dia tidak mungkin mengenaliku. Karena kaca film mobil ini cukup gelap jika di lihat dari luar dan aku tidak pernah menggunakan mobil ini ke kantor. Biasanya untuk urusan pekerjaan aku selalu menggunakan mobil operasional yang dipinjamkan perusahaan. Sebelum ketahuan, lebih baik aku segera meninggalkan tempat ini.
“Arghhh ... Windy, mengapa kau membohongiku. Kenapa kau tidak beritahu kalau kau memang sudah punya pacar.” Aku mengumpat cukup keras sembari memukul-mukul setir mobil.
Aku mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Aku benar-benar marah, walau sebenarnya aku tidak pantas untuk marah kepadanya.
Mengapa harus marah? Bukankah Windy bukan siapa-siapa bagiku? Bahkan aku tidak pernah mengutarakan perasaanku terhadapnya.
Tapi aku tak mampu membohongi perasaanku saat ini. Aku menyukai Windy, aku tidak rela melihatnya bersamalelaki lain.
Argghh ...
Aku sudah gila. Windy membuatku seperti orang gila. Menahan rasa dan sakit yang tak seharusnya ada.