Dengan sedikit memaksa, akhirnya mereka mengijinkan aku ikut ke dalam bilik yang ditutupi tirai tempat bang Dika diperiksa. Dokter memeriksa denyut nadi tangan suamiku, namun Dokter menggeleng. Dengan sigap dokter meminta perawat agar cepat memasang alat pasien monitor untuk memastikan keadaan bang Dika dan mencoba memompa jantungnya. Ternyata hasilnya Nihil. Suamiku, Aby dari Mentari dan Langit sudah meninggalkan kami untuk selamanya. Dan aku meyakini dia sudah pergi tepat setelah berada di pangkuanku, ditengah jalan yang basah di bawah guyuran hujan lebat, karena saat itu aku masih merasakan hangat tubuhnya.
Seketika aku berlutut, menangis dan pingsan.
Setelah sadar, aku sudah berada di atas dipan tempat tidur IGD Rumah sakit, sudah berganti pakaian yang kering. Cindy dan Dian—keponakanku—berada disana ketika aku siuman.
“Kak Widy sudah sadar, Alhamdulillah, Papa dan Pak Uncu (Pak Uncu adalah panggilan kepada paman yang lebih kecil) sedang mengurus jenazah bang Dika.“ Katanya sambil menangis, aku lihat matanya sudah merah.
“Mama mana?“ Tanyaku dengan suara gemetar.
“Mama darah tingginya naik mendengar kabar ini, dan beliau sedang dirawat dirumah,” jawab Cindy.
“Bagaimana dengan nenek, Mentari dan Langit, Dian?“ tanyaku pada keponakanku yang sedari tadi hanya diam dan matanya juga memerah karena menangis.
Dian hanya mengangguk dan membisu.
Begitulah kejadian terburuk yang pernah aku alami, kehilangan satu-satunya lelaki yang pernah menemaniku. Satu-satunya lelaki yang kucintai, ayah dari anak-anakku, Mentari dan Langit. Sebetulnya banyak yang protes atas nama kedua buah hati kami itu, baik pihak keluarga ataupun para tetangga. Namun mengenai nama, bukankah itu adalah hak kami berdua sebagai orang tua? Nama mereka berdua mewakili hati dan harapan kami yang begitu tinggi untuk mereka berdua.
sebelas tahun pernikahan, apalagi pernikahan di usia cukup muda dengan ego remaja yang masih mendominasi, membuat lima tahun awal pernikahan kami penuh dengan masalah. Hingga di usia pernikahan ke delapan tahun, aku memutuskan menggugatnya, saat itu usia Mentari dua tahun. Aku menggugatnya bukan tanpa alasan, aku sudah cukup sabar menghadapinya selama ini. Tapi waktu itu kudapati dia menghianati pernikahan kami.
Namun Bang Dika Tidak mau perpisahan itu terjadi. Bang Dika bersujud, memohon maaf atas kesalahan dan kekhilafannya. Dia berusaha menjelaskan namun aku tak butuh penjelasan. Bagiku bukti-bukti itu sudah cukup jelas, aku berada di puncak kemarahan, ego mendominasi pada waktu itu. Bagaimana Tidak, ketika karirku sedang bagus-bagusnya, aku menuruti permintaanya untuk dirumah saja mengurus dirinya dan anak-anak. Dia tidak ingin aku bekerja lagi karena sikap over protective dan cemburu yang berlebihan dirinya.
Deminya, aku rela keluar dari zona nyaman dalam hidupku. Penghasilan yang bisa dikatakan cukup besar pada waktu itu, teman-teman, karir, semua kutinggalkan demi mengakhiri pertengkaran yang sudah terjadi lebih dari tujuh tahun. Aku merasa untuk apa uang banyak namun tidak ada kebahagiaan di antara kami. Hampir setiap hari bertengkar dan ada saja yang diperselisihkan, berhenti hanya ketika dia meminta haknya sebagai suami. Dan memang, beberapa bulan sebelum gugatan itu, aku merasakan ada yang berbeda ketika berhubungan dengannya. Hatinya tidak ada disini, bersamaku.
Namun takdir berkata lain. Ketika penghianatan itu terungkap dan gugatanku masuk ke pengadilan, kondisi mamaku yang biasanya baik-baik saja secara perlahan turun drastis. Aku memang tidak berpikir panjang, padahal waktu itu aku tidak bekerja, pun tidak memiliki usaha apa-apa. Hanya ada sedikit uang tabungan di rekeningku. Mungkin itu yang dikhawatirkan mama, bagaimana dengan kelangsungan hidup kami setelah ini.
Sementara Bang Dika yang semenjak terungkapnya hal buruk itu, aku usir dari rumah dan memilih memang pergi untuk sementara atas permintaan kakak perempuanku. Rumah ini memang hasil dari pernikahan kami, tapi berdiri diatas tanah peninggalan orang tuaku, jadi aku merasa berhak mengusirnya dari rumah ini.
Selama 2 minggu kami pisah ranjang, sembari menunggu panggilan dari pengadilan, Bang Dika setiap hari selalu datang ke rumah. Pagi sebelum pergi kerja dan sore hingga malam. Namun bersyukur dia tidak egois. Dia menuruti permintaanku untuk tetap diluar saja. Tidak boleh menginjakkan kaki kedalam rumah, dan dia menyanggupi. Hanya mama yang menemani bang Dika di luar. Aku tak sudi menemuinya, egoku lebih besar daripada perasaan. Sebenarnya aku menangis menatapnya di balik jendela. Aku merindukannya, tak sadar tanganku menempel pada kaca. menangis terisak-isak sambil menatap rambut hitam lebatnya karena posisi bang Dika memang membelakangi jendela. Tiap saat ponselku berdering, tapi aku abaikan, karena pasti dari Bang Dika.
Namun Kondisi mama yang semakin memburuk membuatku menyerah, mama memintaku kembali kepada bang Dika, mama memintaku memaafkannya dan memberi kesempatan untuknya. Akhirnya didepan seorang pemuka agama di daerah tempat tinggal kami, aku meyatakan bersedia memaafkannya dengan beberapa persyaratan. Dua minggu perpisahan cukup membuatku meyakini ternyata aku begitu mencintai bang Dika, dan aku menyadari beberapa kesalahan yang sudah kulakukan selama berumah tangga. Akhirnya gugatan itu tidak jadi kulanjutkan dan berkahir pada sidang pertama.
Semenjak kejadian itu Bang Dika berubah total, aku juga. Kuperbaiki semua kesalahan yang pernah kuperbuat selama delapan tahun pernikahan. aku mengurusnya dengan baik, Mengurus anak-anak kami, dan kulayani kebutuhan batinnya dengan sempurna. Semenjak itu akupun memperbaiki hubunganku dengan sang pencipta yakni Allah, sang pemilik segalanya.
Aku mulai merubah penampilanku jadi lebih sederhana di luar rumah, namun sangat menarik apabila di dekat suamiku. Aku mulai memperhatikan penampilanku, tubuhku, dan dandananku hanya apabila suamiku ada dirumah. Aku selalu membuatnya b*******h. Tak pernah lagi kumenolak pintanya. Tak pernah lagi ada bau bawang ketika suamiku sudah ada disisiku. Jangankan setiap hari, bahkan jika ia meminta setiap jam pun akan kulayani, dan itu membuatnya benar-benar berubah. Dia semakin bersemangat dan semakin mesra.
Tiga tahun ...
Ya, tiga tahun aku merasa sangat bahagia. Aku menemukan kembali cinta yang hilang, ketidak harmonisan rumah tangga selama delapan tahun awal pernikahan tak pernah lagi kurasakan. Kami berlima, aku, mamaku, Langit, Mentari dan Bang Dika merasakan rumah yang sangat nyaman dan penuh canda tawa. Rumah sederhana namun hangat dan begitu menenangkan.
Namun, semenjak kejadian gugatan itu, kondisi mamaku memang tidak pernah benar-benar baik hingga saat ia meninggal dunia. Kondisi paru-parunya kian hari kian memburuk, karena butuh banyak biaya untuk perawatan mama, aku memutuskan bekerja lagi. Alhamdulillah awal Januari di tahun yang sama dengan kepergan suamiku dan mama, aku mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan konstruksi yang tidak jauh dari kantor tempat suamiku bekerja, hanya berjarak kurang dari satu kilometer saja.
Berat sebenarnya memutuskan untuk bekerja lagi, terlebih kondisi kesehatan mama yang naik turun. Tapi kubulatkan tekad dan atas persetujuan suami, aku kembali meniti karir yang sudah tiga tahun aku tinggalkan.