Pembalasan Dimulai

820 Words
Aku mencengkeram tangan Mas Fauzi sambil sedikit berteriak seiring mengikuti arahan bidan. Rasanya sudah tidak kuat, tetapi belum ada kemajuan berarti. "Aku gak kuat lagi, Mas." Akhirnya kalimat pertama kuucap juga padanya. Sejujurnya aku bermimpi bisa mengeluh manja pada suami saat melahirkan, mengadu betapa sakitnya yang dirasakan, kemudian perhatian yang diberikan suami mampu membuat hati hangat bahagia. Namun, sikap Mas Fauzi sempat membuat impian itu pupus, bertukar kecewa dan sakit yang mendalam. "Kuat, ya, Sayang." Suaranya terdengar serak, tetapi lembut. Eh, apa dia bilang? Sayang? Sudah lama sekali dia tidak menyebutku dengan panggilan itu seiring seringnya aku mengomel perihal ayam. Juga nada lembut itu? Dia bahkan sering ketus bahkan membentakku akhir-akhir ini. Aku menatap penasaran padanya. Satu bulir bening bergulir di pipinya. Dia menangis? Aku jadi penasaran mengapa dia tiba-tiba jadi bersimpati begini? Bukankah baru beberapa jam lalu ucapannya sa dis? "Kamu yang kuat, ya. Jangan tinggalkan, Mas. Mas minta maaf. Mas janji gak akan kayak tadi. Kamu boleh ganggu Mas biarpun Sabtu Minggu," ucapnya masih dengan nada serak. Ooo, rupanya dia takut aku ma ti melahirkan. Siapa yang mau ma ti, Mas. Aku masih ingin hidup, kecuali memang Allah memutuskan aku untuk ma ti. Hmm, tapi dia sudah minta maaf. Terus aku boleh ganggu dia Sabtu Minggu? Aku tersenyum penuh kemenangan. Kemudian membalas genggamannya. Berarti setelah ini hobimu bisa dalam genggamanku, Mas. Batinku. Ah, rasa sakit ini sedikit terobati. Mas Fauzi mengusap sudut bibirku yang terangkat. Ada sedikit binar pada wajahnya yang pucat. Aku tidak mengerti entah mengapa wajah itu demikian memucat. Kemudian jemarinya merapikan rambutku yang berantakan. Frekuensi napasku kembali meningkat bersama rasa ingin mengejan yang kembali datang. Semoga kali ini perjuangan tiba pada ujungnya. Bidan telah siaga pada bagian jalan lahir. "Ayo, Bu. Bismillah .... Dorong ...!" serunya. Aku mengeluarkan segenap tenaga. "Pelan-pelan saja, Bu. Jangan terlalu keras dorongnya. Atur napas. Rileks!" titahnya. Aku menghela napas. Rasa sakit membuatku panik dan mengejan dengan mengerahkan segenap tenaga. Padahal bidan pernah mengingatkan saat mengejan harus rileks. Mengejan dengan kuat dapat menyebabkan sobek tingkat parah. "Atur napas dulu, ya, Bu. Bapak duduk di bagian atas saja. Dipangku kepalanya Ibu, biar bisa menyangga punggung agar posisi agak tegak." Mas Fauzi beringsut menuruti perintah bidan. "Kuat, ya, Sayang. Kamu bisa," bisiknya sambil mengecup keningku. Ada aliran hangat dihatiku mendengar ucapannya saat ini. Aku mengangguk. Begini, dong, Mas. 'Kan aku baper. "Kedua tangan Ibu memegang paha ya, Bu. Dagu menempel di d**a!" Bidan kembali menginstruksi. Aku menurut dan mengatur posisi sesuai yang diperintahkan olehnya. "Sekarang tarik napas. Buang perlahan .... Dorong ...!" serunya. Aku mencoba fokus dan mengikuti sesuai instruksi. "Alhamdulillah!" Terdengar seruan syukur dari bidan dan Ibu seiring tangis kencang seorang bayi. Sementara aku terkulai lemas sekaligus lega. Mas Fauzi mengucap syukur dengan lirih. Satu bulir hangat dari netranya jatuh di pipiku. Bidan mengangkat bayi laki-laki yang masih berlumur darah. Beliau sigap membersihkan mulut dan jalan napasnya dari air ketuban serta lendir, memeriksa pernapasan, dan memotong tali pusat. Setelah itu ia mengelap bersih badan bayiku dan menyerahkannya pada Ibu. Detik berikutnya, perempuan tiga puluhan tahun itu kembali cekatan mengurusku dan membantuku mengeluarkan plasenta. "Diazankan dulu bayinya, Pak. Setelah itu baru kita lakukan IMD," ujar bidan setelah semua beres. Aku pun telah dibersihkan dan sedang beristirahat untuk memulihkan tenaga. Mas Fauzi mengangguk, "Sebentar, saya bersih-bersih dulu," sahutnya kemudian melangkah menuju kamar mandi. Tidak berapa lama, dia kembali dan melantunkan azan pada bayi laki-laki kami. Meskipun aku sempat sangat dongkol padanya, tetapi perilaku simpatinya yang tiba-tiba ini mampu membuatku terenyuh. Aku tersenyum haru menatapnya yang sedang menggendong bayi kami. "Kita lakukan IMD, ya, Bu." Bidan membuka kain yang membalut bayiku dan meletakkannya di atas perutku. Ada rasa haru yang tak bisa ku jelaskan ketika kakinya mulai menekan-nekan perut dan bergerak menuju bagian d**a, ia mengeluarkan suara mengisap, kemudian menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan, mencari-cari sesuatu yang akan menjadi asupan pokok untuknya selama enam bulan ke depan. Ada sensasi geli ketika ia mulai menjilat sumber rizki pertamanya. Air mataku menetes haru saat ia berhasil menemukan dan mulai mengisap. Lupa sudah semua sakit luar biasa yang aku rasakan beberapa saat lalu, bertukar bahagia dan syukur tak terhingga. "Lucu, ya, Dek," ucap Mas Fauzi. Matanya menatap takjub bayi yang saat ini mulai mengASI dengan agak ra kus. "Kamu sudah siapkan nama bayi kita?" tanyanya kemudian. Aku melirik sebentar laki-laki berkulit coklat itu. Lihatlah, betapa tidak pedulinya dia. Bahkan nama bayi pun dia tidak mau memikirkannya. "Sudah," sahutku singkat. "Siapa namanya?" "Ada, deh." Aku menjawab tak acuh. "Hmm?" Dia mengernyitkan dahi. "Untuk apa tahu? Emang, Mas, peduli?" Aku masih bersikap tak acuh sambil membelai bayiku yang masih asyik mengASI. "Dek," panggilnya. Suaranya terkesan penuh sesal. Aku bergeming sambil terus memperhatikan bayiku. "Mas tahu kalau Mas salah. Mas sudah kelewatan. Mas minta maaf." Iyesss! Memohon-mohonlah, Mas. Puas rasanya aku. Aku memang sudah memaafkan. Namun, memaafkan bukan berarti melupakan. Detik ini pembalasan akan dimulai. "Siapa nama anak kita, Dek." Dia mengulang pertanyaan. Namun, aku tetap diam. Cuek. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD