"Lo bisa diem nggak sih, Ka? Gue udah pusing mikirin Shireen yang nggak tahu kenapa, dan sekarang gue mesti lihat lo bolak-balik kayak setrikaan."
Sedari tadi Shireen masuk ke ruang tindakan dan dengan cepat ditangani oleh dokter yang sudah bersiaga berkat perintah dari dokter Abra, dan sejak saat itulah Dika sama sekali tidak bisa diam. Berbeda dengan Dilla yang duduk manis diruang tunggu meski hatinya kalut sembari mengabari orangtua Shireen atas apa yang terjadi pada putri mereka, Dika justru bolak-balik sembari menggigit kukunya, satu kebiasaan yang Dilla tahu dengan benar jika itu adalah hal hal yang akan Dika lakukan saat panik.
Kini selain kalut karena Shireen yang tidak pasti keadaannya, hati Dilla semakin berat dengan rasa cemburu atas kekhawatiran Dika yang dinilainya terlalu berlebihan. Rasanya sangat tidak wajar Dika harus mengkhawatirkan Shireen sebegitunya, iya sih benar Shireen sahabat adiknya Dika tapi apa harus sampai kayak suami yang khawatir istrinya tengah melahirkan atau sakit keras?
Dan rupanya Dika menyadari perubahan suara ketus dari wanita yang sudah dikejarnya selama bertahun-tahun ini, sosok tinggi bak fotomodel tersebut kini bahkan memicing dengan sorot matanya yang tajam menyiratkan ketidaksukaan yang kentara. Ya, Dilla adalah wanita posesif, sulit didekati namun saat akhirnya hatinya terbuka Dilla bukan seorang yang bisa berbagi, jangankan berbagi, Dilla sangat tidak suka pasangannya melihat ke arah lain selain dirinya, hal itu sangat dipahami oleh Dika dan alasan kenapa Dika mengejarnya.
Seorang Alpha seperti Dika menyukai wanita dengan ego seperti Dilla, wanita yang menginginkan seorang pria mengejarnya dan menunjukkan effort bagaimana seharusnya pria sejati. Itu sebabnya saat tersadar atas apa yang dilakukannya sekarang sangat tidak disukai oleh Dilla, kakak kandung dari Maisara ini pun segera menghentikan sikap konyolnya dan mendekati Dilla yang kini sudah bermuka masam, merajuk atas apa yang diperbuatnya.
"Sorry, aku panik, Dill. Takut kalau sampai terjadi apa-apa ke Shireen karena kita terlambat membawanya ke rumah sakit." Dika meraup wajahnya frustrasi, bingung mau menjawab bagaimana sampai akhirnya alasan konyol inilah yang dia kemukakan.
Dilla mencibir, tidak cukup puas dengan alasan yang dikemukakan oleh pria yang selama ini begitu menggebu-gebu mengejarnya. "Tapi juga nggak harus sebegitunya kali. Kamu pikir si Shireen kenapa, dia cuma pingsan gegara sakit, nggak bakal mati juga. Lagipula disini aku yang sodaranya, bukan kamu. Gini nih alasan kenapa aku nggak suka sama kamu, semua orang kamu baperin tahu nggak?"
Dilla melipat tangannya ke dadanya, wajahnya masam dan sekali lihat saja Andika sudah tahu jika Dilla marah terhadapnya. Biasanya jika Dilla seperti ini, Andika akan melakukan segala cara untuk meluluhkan hati perempuan yang sudah dikenalnya selama tiga tahun ini tapi sekarang ada hal lain yang mendesak di kepalanya hingga Andika tidak sanggup lagi mengerahkan isi otaknya untuk membujuk Dilla. Kembali lagi untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun ini, Andika mengabaikan marahnya Dilla. Dilla diam, Andika pun turut diam sembari berdoa agar apa yang ada di dalam kepalanya sekarang tidak pernah terjadi.
Tidak, nggak mungkin Shireen sakit gara-gara hal itu, bukan? Berulangkali Andika mengatakan hal tersebut bagai sebuah mantra, berharap jika hal buruk itu tidak akan terjadi di dalam hidupnya, apalagi saat akhirnya kini dia bisa bersama dengan Dilla. Meski tahu sekarang Dilla ngambek kepadanya, Dika meraih tangan wanita yang perlahan sudah menerimanya ini, menggenggamnya kuat untuk sebuah kekuatan. Dilla berusaha menolak tapi pada akhirnya Dilla pun pasrah juga.
Lama mereka menunggu dokter yang memeriksa Shireen, 10 menit bagai sepuluh tahun bagi mereka, sampai akhirnya saat seorang dokter yang mungkin berusia 40 tahunan keluar, bukan kabar baik yang diterima melainkan kabar yang membuat Dilla dan Dika serasa dihantam godam.
"Alhamdulilah pasien sudah bisa kita tangani dengan baik. Tapi bisa bicara dengan keluarga pasien di ruangan saya? Saya ingin berbicara dengan Anda, Pak?"
"Saya?" Andika menunjuk dirinya sendiri dengan kebingungan yang ditanggapi dokter tersebut dengan senyuman.
"Iya, Anda Pak. Anda suaminya pasien, kan? Saya perlu membicarakan kandungan istri Anda. Loh kenapa kaget? Apa Anda nggak tahu kalau istri Anda hamil sampai terkejut seperti ini?"