"Ini 'kan bukan arah ke rumah lo, Kez. Lo mau ke rumah siapa, sih? Jangan-jangan... rumah sugar daddy lo, ya?" bisik Arumi sambil mendekatkan wajahnya pada telingaku.
Mataku terbelalak mendengar kalimatnya. Tanganku spontan mengeplak kepala dan mendorong pipi Arumi untuk menjauhiku.
"Sakit, Kezia Bego!" pekik Arumi dengan tangan yang mengusap-usap bagian kepalanya yang kugeplak tadi.
Aku menatap gadis itu dengan tatapan datar dan tangan yang terlipat di d**a. "Siapa suruh mulutnya asbun?! Asal bunyi terus! Ih, gue piting juga lo lama-lama," balasku dengan nada gemas dan mata yang kini mendelik padanya.
"Gue nggak punya papa gula. Yang ada, mah, mama gula. Ini yang lagi nyetir di sebelah gue nih. Gue 'kan baru dibeliin baju sama sepatu baru. Makasih banyak loh, Sugar Mommy," lanjutku menyindir Arumi sambil terkekeh.
Arumi nggak membalas ucapanku karena lampu lalu lintas sudah berubah warna menjadi hijau, tetapi gadis itu malah mengacungkan jari tengahnya padaku. “F you, Kez!” balas gadis itu yang kini bergantian mendelik padaku.
"Eh... stop! Berhenti di sini, Mi," pekikku sebelum mobil Arumi sempat melewati rumah Mas Nino.
"Buruan, turun. Tunggu apa lagi? Tunggu gue yang angkatin badan lo, gitu?" desis Arumi mengusirku ketika mobil yang dikendarainya sudah berhenti tepat di depan gerbang rumah Mas Nino.
"Ya, sabar dikit kenapa, sih," gerutuku sambil meraih dua paper bag yang ada di kursi penumpang bagian belakang.
"Ini rumah siapa, sih, Kez? Gedong banget, pasti yang punya tajir melintir ini. Tanyain, dong, yang punya mau nggak sama gue," celutuk Arumi sambil memandangi eksterior rumah Mas Nino dari balik kemudi. Gadis itu nggak dapat menyembunyikan raut kagum yang tercetak jelas di wajahnya.
Ini rumah mantan calon abang ipar gue yang sialnya udah jadi suami gue sekarang, jawabku di dalam hati. Nggak mungkin aku menyuarakan kalimat itu pada Arumi, bisa-bisa aku akan diinterogasi tujuh hari tujuh malam oleh gadis itu dan yang paling parah adalah Arumi yang langsung terkapar pingsan setelah mendengar fakta sebenarnya.
"Rumah Om gue. Kalau berangkat dari sini 'kan lebih dekat sama tempat acaranya," jawabku disertai dengan alasan paling masuk akal yang bisa dihasilkan oleh otakku.
"Udah, ah. Balik lo sana. Acaranya bentar lagi, awas aja kalau lo telat jemput gue, ya," lanjutku seraya keluar dari mobil Arumi sebelum menutup pintu mobilnya.
"Lo juga sama, ya! Awas belum siap kalau gue udah duluan sampai. Gue tinggal langsung," balas Arumi sebelum menginjak pedal gas dan melambaikan tangannya padaku melalui jendela mobil bagian penumpang yang terbuka.
*
Aku menghiraukan sosok Mas Nino yang sedang duduk di sofa ruang tamu dengan tablet di tangannya. Aku memilih untuk langsung berlari masuk dan menaiki anak tangga menuju kamarku yang berada di lantai atas.
Aku tahu, Mas Nino mengamati gerak-gerikku sedari awal aku masuk ke dalam rumah sampai aku menghilang dari pandangannya. Tapi, aku terlalu malas mengucapkan salam pada pria itu. Waktu yang sudah menunjukkan pukul lima pun semakin membuatku panik sehingga benar-benar berlalu dari hadapan pria itu dan mengabaikannya di bawah sana untuk masuk ke dalam kamarku.
Aku segera membersihkan diri secepat mungkin seperti kecepatan super sonik. Setelah itu, aku memilih salah satu piyama berkancing untuk kukenakan saat merias wajah agar fall out dari kosmetik yang aku gunakan nggak akan mengotori dress yang akan kupakai nanti.
Tanganku bergerak untuk merias wajah dengan mata yang sesekali beralih pada jam yang tertempel di dinding untuk memastikan sudah seberapa cepat waktu berjalan.
Aku memilih jenis make up yang ringan tanpa coverage yang penuh karena malam ini bukanlah acaraku. Lagi pula, nggak ada noda membandal atau bekas apapun yang harus ditutupi dengan alas bedak yang berdaya lapis tinggi. Maka dari itu, aku memutuskan untuk menggunakan make up yang simpel dan tipis saja. Akan terasa sangat aneh jika aku yang notabenenya hanyalah tamu undangan, tetapi menggunakan make up yang lebih tebal daripada pemilik acara.
Setelah seluruh bagian wajahku sudah terlapisi oleh berbagai jenis make up dalam mode yang tipis, aku segera mengganti piyama yang sedang membalut tubuhku dengan dress yang dibelikan oleh Arumi tadi. Untuk bagian rambut, aku hanya mencepolnya ke atas menjadi model bun karena model itulah yang paling anti-menyusahkan dan cepat.
Yang terakhir kulakukan sebelum keluar dari kamar adalah memastikan penampilanku dan memasukkan selembar uang bewarna merah muda ke dalam clutch yang akan kubawa. Walaupun aku selalu membawa kartu ATM yang kuletakkan di belakang sarung ponsel, tetap saja aku perlu membawa uang tunai untuk berjaga-jaga dari urgensi yang nggak terduga.
Aku berjalan cepat menyusuri anak tangga untuk menuju ke lantai bawah dengan tangan kanan yang menggenggam clutch dan tangan kiri yang menjinjing sepasang sepatu yang juga dibelikan oleh Arumi tadi. Beberapa menit yang lalu, Arumi sudah mengirimkanku pesan singkat yang mengatakan bahwa gadis itu sudah berangkat dari rumahnya dan akan segera sampai di sini.
Saat melewati ruang tamu, kedua mataku menemukan sosok Mas Nino yang duduk di sofa dengan salah satu kaki yang menumpu kakinya yang lain. Posisi pria itu bahkan belum berpindah se-inchi pun dari sebelumnya.
Mas Nino mengalihkan tatapannya dari tablet yang ada di tangannya ketika mendengar suara derap langkah kakiku yang semakin lama semakin dekat.
Mata pria itu meneliti penampilanku dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Entah kenapa, ulahnya yang seperti mesin pemindai itu membuatku gugup sekaligus kikuk. Telapak tanganku bahkan kini sudah terasa sedikit basah dan lembab saking gugupnya dipandangi seperti itu oleh Mas Nino.
Kenapa lo jadi gugup begini, sih, Kez? Masa cuma dilihatin doang udah keringat dingin? Cemen, ah, batinku merutuk di dalam hati.
Aku akhirnya bisa bernapas dengan normal setelah tatapan Mas Nino kembali beralih pada tablet yang ada di tangannya. Namun semuanya nggak semudah itu karena Mas Nino malah mulai mengeluarkan pertanyaan menginterogasinya.
Baiklah, Kez, kamu pasti bisa, ujarku di dalam hati untuk menyemangati diriku sendiri.
"Mau ke mana kamu?" tanya Mas Nino membuka suara dengan tatapan yang masih melekat pada layar tabletnya.
"Ada acara ulang tahun teman, Om," jawabku datar.
Mas Nino berdecak. "Dengan pakaian seperti itu kamu bilang mau ke acara ulang tahun teman? Otak kamu masih waras nggak?" sindir pria itu dengan nada nggak suka yang kentara pada kalimatnya.
Aku melayangkan tatapan sebal pada Mas Nino karena sindirannya itu. "Di mana acaranya?" lanjut pria itu bertanya, mengabaikan tatapanku.
"Yang pastinya bukan di sekolah, Om," ujarku dengan nada sarkasme yang kental sambil menatap pada layar ponselku yang kembali menampilkan pesan masuk dari Arumi.
"Gue pergi dulu, Om. Dah!" kataku sambil melanjutkan langkah menuju pintu rumah.
"Berhenti!" Baru satu langkah aku beranjak, suara teriak Mas Nino dengan nada yang naik satu oktaf dari biasanya sudah tertangkap oleh telingaku. Aku bahkan sampai terperanjat kaget karena suara menggelegar pria itu.
Mas Nino bangkit dari posisi duduknya dan melemparkan tablet yang berada di tangannya dengan sembarangan ke permukaan sofa. Aku beringsut mundur saat Mas Nino berjalan semakin mendekat ke arahku. Namun saat punggungku sudah menubruk bufet TV yang berada di belakangku, aku nggak bisa lagi bergerak.
Rasanya tubuhku pun sudah terlalu kaku hanya untuk sekadar bergeser beberapa senti dari tempatku saat ini karena Mas Nino yang sudah mengurungku di antara kedua lengannya. Pasokan oksigen di yang masuk ke paru-paruku pun rasanya terhambat karena pria itu memajukan wajahnya sampai sangat dekat dengan jarak wajahku padaku.
Kalau aku bergerak salah arah sedikit saja, dapat dipastikan bibirku akan berakhir menempel pada bibir Mas Nino dan tentu saja aku nggak akan membiarkan hal itu terjadi. Mengingat ciuman kening saat akad nikah kami saja sudah membuatku misuh-misuh, apalagi jika ini menyangkut tentang ciuman pertamaku. Pasti akan kujaga dengan sebaik mungkin untuk orang yang memiliki perasaan yang sama padaku nanti dan jelas orang itu pasti bukanlah Antonino Pranadipa yang menyebalkan ini.
"Siapa yang mengizinkan kamu pergi, Kezia?" gumam Mas Nino bertanya dengan bibir yang masih berada beberapa sentimeter di depan bibirku. Napas pria itu yang beraroma mint menyerbu masuk ke dalam indra penciumanku karena posisi kami yang terlampau dekat ini.
“Udah mendapat izin dari siapa kamu sampai berani pergi seperti ini?” sambung Mas Nino bertanya dengan tubuhnya yang masih mendesakku sampai menempel pada bufet TV yang berada di belakangku. Pria itu sama sekali nggak memberikan celah di antara tubuh kami padahal aku sudah megap-megap seperti ikan yang terkapar di tanah. Bahkan untuk sedikit memundurkan tubuhnya atau setidaknya melonggarkan kukungan lengannya saja pria itu nggak mau melakukannya.
Habislah kamu, Kezia, batinku di dalam hati. Di dalam kepalaku, otak yang kumiliki sedang bekerja untuk mencari jawaban atas kemarahan Mas Nino yang aneh ini.
Bukannya pria itu sendiri yang berpesan padaku bahwa jangan mengharapkan apa-apa dari pernikahan ini, ‘kan? Itu sama artinya dengan kalau kami nggak memiliki hak untuk mencampuri urusan satu sama lain, ‘kan? Tapi... kenapa malah pria itu marah-marah seperti ini saat tahu aku akan pergi ke pesta ulang tahun temanku? Apa... apa aku yang salah menafsirkan kalimat Mas Nino? Tapi sepertinya aku nggak mungkin salah, ‘kan? Ulah aneh pria itu benar-benar membuat keningku berkerut.
"Nggak ada urusannya sama lo, Om. Emangnya kalau gue pergi, harus minta izin dulu, gitu?" tanyaku dengan mata yang berani menatap tepat di matanya. Walaupun mataku yang menatap pria itu, tapi malah detak jantungku yang nggak bisa bekerja dengan normal. Organ tubuhku itu malah memompa sangat cepat sampai-sampai rasanya seperti akan meledak sebentar lagi.
“Lo lupa, ya, Om, dengan apa yang lo bilang hari itu? Jangan berharap banyak sama pernikahan ini, ‘kan? Berarti itu sama aja artinya dengan kita nggak boleh mencampuri urusan pribadi masing-masing, dong,” sambungku masih dengan jantung yang berpacu dengan cepat.
Sebuah senyum asimetris terukir di bibir Mas Nino setelah mendengar ucapanku. "Oh, kamu lupa di mana kamu tinggal sekarang dan rumah siapa ini? Atau... kamu mau bermain-main sama saya?" gumam Mas Nino dengan nada yang membuat bulu kudukku meremang saat mendengarnya.
Aku memilih untuk memalingkan wajahku ke samping, mengalihkan tatapan dari mata Mas Nino sehingga wajah pria itu kini tepat berhadapan dengan pipiku. Aku yakin, jika aku menatap mata Mas Nino sedikit lebih lama lagi, sepertinya aku akan terserang penyakit serangan jantung mendadak di usia dini.
Tin!
Tin!
Tin!
Suara klakson yang kuyakini berasal dari mobil Arumi membuatku terperanjat kaget. Karena suara itulah, puncak kepalaku pun berbenturan dengan hidung Mas Nino.
"Aw!!!" pekikku sambil mengusap puncak kepalaku yang baru saja bertubrukan dengan indra penciuman Mas Nino.
Berbeda denganku yang memekik kesakitan, Mas Nino malah memundurkan beberapa langkahnya ke belakang, bahkan kukungan lengan pria itu kini sudah hilang dari sisi tubuhku. Mas Nino menatappku dengan tatapan tajam sambil memegangi hidungnya walaupun mulutnya nggak mengeluarkan sepatah kata pun.
Saat Mas Nino menjauhkan sedikit tangan dari hidungnya, tampak darah segar mengalir dari sana. Bahkan sudah ada yang merembes sampai mengenai telapak tangan pria itu. Aku terkesiap sejenak menatap darah segar yang terus mengalir tanpa henti itu. Terbersit sedikit rasa bersalah di dalam hatiku sehingga aku mendekati Mas Nino sembari bergumam, "Om."
Ketika kakiku maju selangkah, kaki Mas Nino malah mundur selangkah. Pria itu seakan-akan nggak ingin didekati olehku, aku layaknya seperti virus mematikan yang patut dijauhi atau bahkan jika perlu dimusnahkan saja.
Mas Nino berjalan cepat ke belakang, menuju area dapur dan ruang makan. Pria itu meninggalkanku yang terdiam di tempat dengan suara klakson mobil Arumi yang sudah kembali berbunyi.
Aku menggelengkan kepala untuk menghalau rasa bersalah yang tiba-tiba meenyusup ke dalam hati dan benakku. Tapi, kalau dipikir-pikir, ini bukan sepenuhnya salahku, 'kan? Lagi pula, siapa yang menyuruhnya untuk mengikis jarak sampai sedekat itu dengankuku. Tapi entah kenapa, aku masih tetap mencemaskan keadaan Mas Nino walaupun tanganku sudah membuka pintu rumah dan hendak bersiap untuk pergi.
"Om, gue pergi dulu. Dengan atau tanpa izin dari lo," kataku dengan volume yang sedikit keras dari ambang pintu yang sudah terbuka.
"TERSERAH! KALAU BISA NGGAK PERLU PULANG LAGI SEKALIAN!" balas Mas Ninno dari arah dapur sebelum aku sempat menutup pintu rumahnya dengan rapat.