Pengantin Pengganti - Part 2b

1427 Words
Dih, siapa juga yang pengen disukai sama pria yang cuma punya satu ekspresi macam dia? Percaya diri sekali orang ini, cibirku dalam hati. "Lo udah tua masih aja galak, Om. Nggak heran kalau Kak Abel kabur. Mana mau Kak Abel dapat om-om kayak lo, terus galaknya udah sebelas dua beelas kayak macan betina hamil yang doyan senggol bacok," decakku. Memikirkan pernikahan mendadak ini tiba-tiba kembali membuatku dongkol. Apalagi mengingat fakta bahwa semua yang terjadi dalam hidupku hari ini adalah ulah Kak Abel. Ingatkan aku untuk melibas kakakku itu dengan gantungan baju kalau ia kembali ke rumah. "Saya baru 29 tahun dan belum pantas dipanggil Om. Justru umur beginilah mulainya masa kejayaan seorang pria kalau kamu mau tau,” jelas Mas Nino setelah memutar bola matanya. “Dan satu lagi, berhenti memanggil saya dengan sebutan Om. Saya bukan Om kamu karena saya nggak pernah menikahi tantemu. Mengerti, Anak Kecil?” lanjut pria itu bertanya. Aku mengusap daguku sejenak dengan otak yang mulai berpikir, aku nggak langsung mengiyakan ucapan yang baru saja keluar dari mulut Mas Nino. Enak sekali pria itu kalau aku langsung menuruti ucapannya yang sebenarnya nggak ada faedah dan manfaatnya untukku. Lagi pula, dalam kamus prinsip milikku, nggak ada yang mudah kalau itu berhubungan dengan Kezia Krasnitari. Apalagi permintaan yang nggak menguntungkanku seperti tadi. "Dua sembilan itu udah tua, Om. Lo ngaku aja susah banget, sih? Pas lo udah mulai pakai seragam putih biru dan nonton film x-rated alias film biru, gue aja baru bisa jalan. Tolong akui kalau lo udah tua, deh, Om,” cerocosku panjang lebar. Mas Nino menghela napas lalu menatapku dengan datar. “Terserah apa katamu.” Aku bersorak di dalam hati ketika mendapati respon Mas Nino yang seperti orang ‘hidup segan, mati nggak mau’ atau dengan kata lain pasrah. Semoga saja setelah ini, pria itu bisa memikirkan upaya untuk segera mengakhiri hubungan pernikahan konyol ini dan aku akan segera terbebas dari status konyol yang bernama istri dari Antonino Pranadipa. “Oh, ya. Kalau lo menolak gue panggil Om, ada panggilan lain yang kayaknya bisa dipertimbangkan,” ujarku pada Mas Nino. “Apa?” tanya pria itu dengan nada nggak bersahabatnya. “B-A-P-A-K.” Aku mengeja masing-masing huruf sebelum lanjut berkata, “Bapak! Bagus, ‘kan?” Mas Nino yang baru saja memberhentikan mobilnya di depan teras rumah, kini mengalihkan tatapannya padaku. Pria itu sudah membuka mulutnya, bersiap untuk mengatakan sesuatu tapi malah diurungkannya. Ia memilih untuk mengatur napasnya sejenak. “Lebih baik sekarang kamu keluar dari mobil saya kemudian masuk ke dalam rumah terus masuk ke dalam kamar kamu. Pintu kamarmu yang warna putih, jangan sampai salah masuk kamar,” titah Mas Nino yang sepertinya sudah tampak dongkol dengan ulahku. Mungkin pria itu keberatan dengan panggilan ‘bapak’ yang kuusulkan atau bahkan malah tersinggung karena panggilan itu. Entahlah. “Dan satu lagi, jangan langsung tidur! Bersihkan dirimu dulu baru boleh tidur. Nanti kalau saya cek ke kamar kamu dan kamu masih tetap kotor penuh kuman seperti ini, saya sendiri yang akan menyeret kamu ke kamar mandi," ancamnya. Huh, dikiranya dengan ancam kentank seperti itu saja sudah mempan untukku? Lagi pula, apa urusan sama dia kalau tubuhku kotor? Toh, aku ‘kan tidur di kamarku sendiri. Dasar aneh! "Yaelah, udah tua masih aja sibuk ngomel, Pak. Santai dikit bisa nggak, sih. Nanti naik loh darah tingginya, terus keburu putih nanti rambutnya semua," gerutuku sebelum keluar dari mobil Mas Nino dan menuruti perintah pria itu walaupun terdengar persis seperti ibu-ibu berdaster yang bawel dan terlalu cinta dengan kebersihan dan kerapian. Seluruh tubuhku terasa lengket tapi aku malas sekali untuk beranjak dari kasur empuk yang ada di bawah tubuhku saat ini. Sudahlah, nggak mungkin Mas Nino serajin itu untuk masuk ke sini dan mengecek keadaanku. Tentu aja pria itu nggak sebaik dan seperhatian itu, ‘kan? Jadi, tanpa menunggu lagi, aku segera memejamkan mataku untuk masuk ke alam mimpi. Peduli setan dengan titah Mas Nino tadi. It's my life and no one can take over it. * "Kezia!" Sebuah suara menggelegar masuk ke dalam indra pendengaranku. Suara itu diiringi oleh tepukan pada kakiku. Siapa yang berani-beraninya menganggu tidur pulasku ini, sih? Aku baru saja memejamkan mata beberapa menit yang lalu, namun kini tidur nyenyakku sudah diinterupsi oleh suara yang menganggu itu. "Ih, apa, sih? Ribut banget, deh! Orang lagi tidur juga. Ganggu aja!" gerutuku masih dengan mata yang terpejam. "Bangun kamu manusia jorok. Tidur di kasur tapi nggak mandi dan tukar baju dulu! Cepat bangun!" desis suara itu lagi. "Buka mata kamu sebelum saya benar-benar menyeret dan menceburkan kamu ke dalam bath tub," lanjutnya mengancam. Dengan setengah hati, akhirnya aku pun membuka mata dengan perlahan. Walaupun nggak terbuka sepenuhnya, setidaknya aku bisa melihat sosok yang kini sedang berdiri menjulang di sebelah tempat tidurku. "Apa, sih, Om? Gue capek tau nggak! Lo kayak emak-emak rempong, deh," omelku setelah mengintip sedikit dari balik bulu mata karena mataku yang belum sepenuhnya terbuka dan duduk di tengah tempat tidur. “Orang baru tidur juga, udah digangguin aja. Rese lo, Om,” lanjutku. "Siapa suruh kamu membantah ucapan saya, Anak Nakal?! Sekarang bangun terus mandi dan setelah itu kamu baru boleh tidur lagi!" balas Mas Nino sambil menarik ujung selimut yang membungkus tubuhku. "Males! Lagian, mana ada orang yang mandi jam segini. Yang ada malah masuk angin, Om. Itu otaknya masih waras, 'kan?" tanyaku yang sudah kembali merebahkan diri di atas tempat tidur dan bersiap untuk tidur lagi. "Ada water heater! Jangan manja kamu. Kamu kira saya akan luluh lalu nggak jadi menyeretmu ke dalam kamar mandi?!" geram Mas Nino kemudian. "Terserah kamu sekarang. Mau mandi atau nggak bukan urusan saya! Yang penting kamu cukup tau diri aja karena sudah menumpang di rumah ini." Setelah menyelesaikan kalimatnya, Mas Nino meninggalkanku dengan hembusan napas kasar yang mengiringi langkahnya yang menjauh. Terdengar suara bantingan pintu yang keras sebelum pria itu benar-benar keluar dari kamar ini. Aku sampai harus mengernyit dengan mata yang terpejam karena suara yang terdengar menyakitkan di telingaku itu. Mau nggak mau, suka nggak suka, aku lalu kembali bangkit dari pembaringan dan duduk di tengah ranjang dengan kepala yang terkulai ke bawah karena kantuk di dalam diriku. Untung saja aku masih tahu diri, jadi aku memutuskan untuk beranjak ke kamar mandi sebelum pria itu mengamuk lagi padaku atau malah benar-benar mengusir dari sini dan membiarkanku tidur di pinggir jalan. Dengan malas kutanggalkan seluruh pakaianku di lantai kamar mandi yang kering lalu masuk ke shower box dan berdiri di bawah pancuran shower. Air dingin langsung mengguyur tubuhku setelah tanganku menaikkan batang keran. Aku sengaja menggunakan air dingin karena nggak terbiasa dengan air hangat. Hanya air dingin yang bisa membuatku segar, sedangkan air hangat hanya akan membuat tubuhku terasa semakin lengket dan gerah. Mataku yang kini sudah terbuka lebar setelah tubuhku diguyur oleh air dingin tadi, menatap pada jam yang menempel di dinding dengan gigi yang bergemelutuk karena baru selesai mandi dan keluar dari kamar mandi hanya dengan mengenakan selembar handuk untuk menutupi tubuhku. “Ternyata sudah pukul 12 malam,” gumamku pada diri sendiri. Aku selalu memakai seluruh pakaianku di luar kamar mandi karena rasanya sangat aneh ketika tubuhku yang masih setengah kering langsung bersentuhan dengan kain yang berasal dari pakaian yang akan kukenakan. Tubuhku akan langsung bereaksi gatal-gatal atau memerah jika berpakaian sebelum tubuhku benar-benar kering. Oleh karena itu, aku sangat jarang memakai pakaian di dalam kamar mandi. Tapi kalau dalam keadaan mendesak yang nggak bisa ditolak, aku terpaksa harus memakai pakaian di dalam kamar mandi seperti saat ada sepupuku yang menginap di rumah atau saat travelling ke luar pulau atau luar negara. Mataku mencari-cari keberadaan benda yang bernama koper di seluruh penjuru kamar. Ternyata benda besar itu berada di sudut kamar, tepatnya di sebelah pintu kamar. Aku tertatih-tatih berjalan menghampiri tempat di mana koperku berada karena udara dari pendingin ruangan yang menusuk kulitku dan membuatku sedikit menggigil. Dengan gerakan cepat, aku mengubah posisi koper hingga terlentang di atas lantai kemudian segera membuka resleting yang berada di sisi benda itu untuk mengambil pakaian yang hendak kupakai untuk tidur. Aku melepaskan handuk yang melilit pada tubuhku setelah memakai pakaian dalam. Tapi suara pintu yang dibuka tanpa diketuk terlebih dahulu membuatku terlonjak lalu memekik keras, apalagi saat mendapati sosok pria yang sudah sangat ingin kulempari lampu tidur sedari tadi sedang berdiri di ambang pintu dan menatap ke arahku. Pria yang sedang berdiri di ambang pintu itu juga sama terkejutnya denganku ketika mata kami bersirobok dan ia yang sudah menyadari keadaanku yang setengah polos ini. "DASAR OM m***m! KELUAR!" teriakku pada Mas Nino sebelum pria itu berbalik badan untuk keluar dan menutup pintu kamarku dengan bantingan yang sedikit kencang.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD