9. BODYGUARD PILIHAN PAPA

1350 Words
“Noa, berhenti minum. Bahaya kalau kamu mabuk, ada banyak paparazi di sini.” Kalimat penuh nada khawatir terdengar dari bibir Keano saat Noa tidak henti-hentinya menenggak minuman yang mengandung alkohol. Mereka mendapat undangan pesta ulang tahun dari salah satu teman model bernama Recca. Pertemanan Noa dan Recca tidaklah dekat, hanya saja Keano mengenal dengan baik. Jadi ini salah satu alasan kuat Noa mau datang ke pesta yang berlangsung di salah satu hotel mewah di Jakarta. “Santai saja, aku belum mabuk,” ucap Noa. Pada kenyataannya gadis itu memang masih dalam keadaan sadar. “Lagian aku pulang sama Anjani, enggak sendiri atau sama kamu. Jadi tenang saja, kamu enggak akan repot,” sambungnya. Keano menghela napas pelan. Lalu matanya melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. “Sudah malam, sebaiknya kamu pulang. Aku malas sekali kalau mama kamu telpon dan cerewet soal kamu. Jadi pulang saja, jangan buat masalah.” “Iya aku tahu. Enggak usah ngajarin aku, santai saja.” Percakapan keduanya terjeda karena kemunculan pemilik pesta. Recca memiliki tinggi yang sama dengan Noa, tetapi popularitas mereka tentu berbeda. Nama Noa benar-benar naik, sehingga banyak rekan sesama model dan aktris yang menaruh rasa iri. “Hai, kalian ini memang sulit dipisahkan. Aku jadi iri karena malam ini tanpa pasangan,” ucap Recca. Keane melingkarkan tangannya di pinggang Noa, lalu menariknya. Tidak lupa, sebuah kecupan lembut mendarat di pipi gadis itu. Dan tentu tidak luput dari jepretan kamera paparazi. “Tenang saja, aku yakin malam ini ada pangeran berkuda besi yang akan jatuh cinta sama kamu.” Recca tertawa renyah. “Kamu bisa saja. Tapi semoga karena sendiri ternyata nggak enak. Aku butuh teman dekat untuk menghibur. Iya kan Noa?” Noa hanya tersenyum tipis. “Aku nggak bisa lama-lama, Recca. Besok ada syuting untuk iklan, jadi aku harus pulang.” “Secepat ini?” Recca nampak keberatan. “Iya, maaf ya. Tapi makasih banyak atas undangannya,” ucap Noa tulus. Lantas memberi pelukan singkat kepada Recca. “Sekali lagi selamat ulang tahun. Semoga pestanya menyenangkan.” “Aku agak sedih kamu pulang duluan. Padahal salah satu tamu penting yang sangat inantikan, ya kehadiran kamu.” “Lain kali kita adakan pesta lagi. Oke?” Recca mengangguk terpaksa. “Oke. Kamu pulang dengan Keano?” “Enggak. Ada managerku nunggu di mobil. Jadi biar Keano menikmati pesta di sini,” jawabnya. Tepat pukul 11 malam, Noa meninggalkan tempat pesta bersama dengan Anjani. Ia suka pesta dan minum, tetapi akal sehatnya selalu berusaha mengontrol agar tidak lupa diri. Bagaimana Asmita akan marah besar, jika ia sampai membuat masalah. Bahkan telinganya kembali terasa panas, jika ingat ibunya memarahinya di hadapan Shaga sewaktu di rumah sakit. “Gimana pestanya? Pasti seru, kan?” tanya Anjani yang tidak mendapat undangan dan berakhir di tempat parkir. “Gaya hidupnya Recca mewah banget. Mana mungkin pestanya nggak meriah dan penuh minuman.” Noa mengibaskan tangannya sambil menahan rasa pening di kepalanya. “Sudahlah, ayo pulang.” “Baik Bos!” seru Anjani. Selama perjalanan, Noa lebih banyak diam. Ia sedikit lelah dan mengantuk. Ditambah minuman beralkohol yang sempat diteguk, memberi sedikit efek pusing tapi masih bisa dikendalikan. “Perasaan mobil di belakang ngikutin dari tadi,” gumam Anjani. Noa menoleh, menyadari ucapan managernya. “Kamu ngomong apa?” “Itu, mobil di belakang kayaknya ngikutin kita.” Sontak Noa menoleh ke belakang, memastikan ucapan Anjani. “Cuma kebetulan.” “Iya, mungkin Cuma perasaanku saja.” Beberapa menit setelah Noa dan Anjani mengatakan hal itu, tiba-tiba mobil di belakang mendahuli mereka. Yang lebih mengejutkan, mobil hitam itu berhenti tepat di depan mobil yang dikemudikan Anjani. Keduanya terkejut sekaligus was-was. Apalagi jalan yang mereka lewati cukup sepi. “Sial! Apa maksudnya berhenti di depan kita?” tanya Anjani kesal. “Tenang, jangan keluar. Aku takut mobil itu punya niat buruk,” ucap Noa dengan mata tertuju ke depan. Benar saja, ada seorang laki-laki yang keluar dengan mengenakan topi serta penutup wajah, lengkap dengan jaket berwarna gelap. Jelas sosoknya tidak bisa dikenali. Noa dan Anjani sangat kaget dan ketakutan. “Kamu kenal orang itu?” tanya Anjani panik. Noa menggeleng. “Jangan keluar. Cepat jalan Anjani!” Tanpa pikir panjang, Anjani menginjak gas hingga hampir menabrak orang yang sedang berjalan menghampiri mereka. Untung saja Noa dan Anjani bisa lolos. Entah apa niat orang itu, mereka hanya ingin segera pergi. “Gila, ini benar-benar gila!” Noa menghela napas lega meski raut wajahnya masih tegang. “Apa mereka mau begal kita?” “Entahlah. Yang jelas ini benar-benar bahaya. Aku nggak mau pulang sendiri, malam ini aku tidur di rumahmu saja ya, Noa.” “Iya, boleh. Tapi siapa orang tadi? Kalau memang dia ngikutin kita sejak tadi, apa maunya?” “Mana aku tahu. Yang jelas, sudah nggak aman lagi kalau pergi malam-malam. Aku takut ada psikopat yang jadi fans kamu, terus terobsesi makanya sampai nekat kayak tadi,” ucap Anjani ngeri. Noa berdecak sebal. “Kamu terlalu banyak nonton film. Mana mungkin aku punya penggemar seperti itu.” “Siapa tahu, makanya harus hati-hati.” “Jangan banyak omong, cepat dan hati-hati bawa mobilnya. Aku takut dia masih ngikutin kita.” *** “Ini enggak bisa dibiarkan. Pokoknya kita harus lapor polisi biar orang itu ditangkap. Ini benar-benar berbahaya. Bagaimana kalau semalam kalian tidak bisa kabur, apa yang terjadi nantinya?” Kepanikan Asmita tidak bisa dibendung saat mendengar cerita Noa dan Anjani mengenai hal buruk yang terjadi semalam. Duduk di meja makan, cerita mereka didengar tidak hanya oleh Asmita, tapi juga Arghandi dan Shaga. Tentu saja mereka nampak khawatir dan juga cemas. “Enggak usah, Ma. Aku malas kalau sampai terendus media dan pasti mereka akan kejar-kejar aku,” ucap Noa. Asmita menggeleng. “Kamu jangan mikirin soal itu. Yang paling penting adalah keselamatan kamu.” “Pokoknya aku nggak setuju. Aku yakin Cuma orang iseng dan nggak akan terjadi lagi.” “Joy!” Asmita selalu meneriakkan nama tengah Noa jika sedang emosi. Itulah kebiasaannya. Arghandi berdeham di tengah perdebatan ibu dan anak sehingga semuanya menjadi diam. Sorot matanya yang tegas, tertuju kepada Noa dan Asmita secara bergantian. “Demi kebaikan kamu, sebaiknya mulai sekarang ada bodyguard yang mendampingi kamu, Noa.” “Bodyguard? Tapi Om …” “Om belum selesai bicara!” Seketika nyali Noa menciut. “Maaf Om.” “Kamu menolak untuk lapor polisi dan menyelidiki pelaku, jadi ambil jalan tengahnya saja agar mama kamu juga merasa tenang.” Pandangan mata Arghandi kini beralih ke Shaga. “Dan Shaga yang akan menjadi bodyguard kamu. Om harap kamu tidak menolak karena yang menjaga kamu adalah orang kepercayaan Om, sekaligus saudara kamu.” Titah Arghandi ditanggapi dengan reaksi terkejut dari Noa. Matanya membola dengan wajah menegang. Ide ini sangat buruk baginya yang tidak punya hubungan baik dengan Shaga. “Maaf Om, tapi aku nggak nyaman kalau harus diikuti kemana pun aku pergi. Jadi rasanya Anjani dan Riris sudah cukup,” ucap Noa gugup. “Mana bisa begitu, Noa. Mama sangat setuju kalau kamu dijaga sama Shaga,” ucap Asmita. “Nak Shaga nggak keberatan kan kalau harus mengemban tugas ini?” tanya Asmita kepada laki-laki di hadapannya. Shaga mengulas senyum tipis, lalu menggeleng terpaksa. “Kalau memang ini perintah dari Om Ghandi, tentu aku siap, Tante,” balasnya. “Kalau Shaga sama aku, terus Om Ghandi sama siapa?” tanya Noa yang berusaha mencari celah menolak. “Kamu tenang saja, Om masih punya satu orang kepercayaan yang bisa menggantikan tugas Shaga. Jadi kamu tenang saja, jangan merasa tidak enak.” “Baik Om.” Tidak ada yang bisa Noa lakukan. Pendapatnya tidak berarti dan selalu diabaikan. Ia hanya diam dan menerima dengan perasaan terpaksa, perintah Arghandi yang katanya demi kebaikannya. Sejak dulu, ibunya selalu mengendalikan semua jalan hidupnya, dan sekarang ia juga terjebak dengan kekuasaan ayah tirinya. Sementara itu, Shaga yang tidak bisa mengemukakan pendapat, memilih diam jika memang tidak dimintai bicara. Sebagai keponakan yang tinggal dan diurus oleh Arghandi, ia cukup tahu diri. Jadi saat tugas baru menanti, ia tidak bisa mundur atau mengatakan tidak. “Lebih baik menghadapi 10 preman daripada aku harus jadi bodyguard gadis menyebalkan ini,” batinnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD