..**..
Perang Dunia? Tentu, dan entah yang ke berapa kalinya terjadi di rumah itu. Hampir setiap pertemuan, Gamal harus menghadapi wajah masam sang Mommy, Chandly.
Memang tidak ada kalimat kasar yang terlontar, karena itu bukanlah identitas keluarga mereka yang selalu bersikap manis dan membicarakan semua masalah secara baik-baik. Namun, ekspresi sang Mommy cukup membuat Gamal merasa bersalah hingga akhirnya dia harus berusaha untuk membujuknya berulang kali. Tidak jarang Gamal mengeluarkan jurus maut rayuan seribu bunga untuk wanita yang sangat ia sayangi.
Usaha ekstra demi wanita itu mau menerima tato baru di tubuhnya lalu mengurus perihal saudaranya, Aiyaz yang sudah memarahinya habis-habisan. Apalagi sang Mommy sudah mengatakan hal ini kepada Mommy mereka yang lain, Ayra.
Jangan tanya bagaimana dua macan betina itu akan menyerangnya nanti. Sang Mommy, Ayra saja sudah memberi mereka ancaman agar tidak lagi membuat tato di tubuh mereka.
Yah, nasihat yang cukup mudah untuk diiyakan oleh seorang Gamal Abimana Althaf. Dia memang sesantai itu, karena dia tahu sang Eyang, Chandani pasti akan membelanya. Untuk yang lain, Gamal hanya perlu menebalkan telinga lalu menyumpalnya dengan kata iya dan iya.
Sangat berbeda dengan Aiyaz yang hidup di New York dan harus mendapatkan banyak petir sambar menyambar di mansion Abraham Althaf. Bisa dibayangkan saja, tubuh Aiyaz yang memiliki tato jauh lebih banyak dari pada Gamal.
Tidak hanya dimarahi habis-habisan oleh sang Daddy, Dyrga. Dia juga harus menerima wajah cemberut sang Grandma, Anta hampir setiap saat.
Jangan tanya sang Mommy, Ayra yang terus saja mengomel di setiap pertemuan mereka. Sedangkan sang Grandpa dan Grandma, Agha dan Zuha. Dua orang itu sudah pasti membelanya mati-matian bila ia disemprot berulang kali oleh sang Mommy.
Astaga, Gamal memang orang nomor satu yang pintar membuat suasana menjadi panas. Aiyaz saja sudah angkat tangan kalau Gamal sudah berulah.
Karena efek dari ulah Gamal selalu bisa bertahan sampai berhari-hari. Bahkan bisa sampai berminggu-minggu.
Sekarang, seluruh keluarga sudah tahu kalau mereka mengoleksi tato. Dengan alasan tidak masuk akal, Aiyaz dan Gamal tetap bersih teguh dengan alasan mereka demi memenuhi janji.
Tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi di keluarga mereka. Hanya satu kuncinya, dengan terpaksa mereka harus menebalkan telinga dan menganggap semua angin lalu.
Gamal mungkin bisa melakukannya. Namun tidak dengan Aiyaz. Yah, ini adalah resiko yang harus mereka tanggung sampai seluruh keluarga merasa terbiasa dan keadaan kembali seperti semula.
---**---
Beberapa hari kemudian.,
Rumah Zhakaria Afnan, Jakarta, Indonesia.,
Dapur.,
Pagi hari.,
Semua orang tengah sarapan dengan tenang. Namun, sedikit berbeda dengan ekspresi wanita bernama Chandly Yuria Afnan.
Wanita yang masih terlihat muda dan segar di usianya yang sudah menginjak 50 tahun, dia masih merasa kesal dengan sikap putranya, Gamal. Bagaimana mungkin putranya yang satu ini bisa berpikiran konyol dan menganggap tato adalah balasan impas untuk memenuhi sebuah janji.
“Nak, itu Mas Gaza mau nambah lagi tidak.” Chandani menyuruh putrinya, Chandly untuk memperhatikan menu sarapan cucu kesayangannya.
Gaza langsung melirik sang Eyang, Chandani.
“Mau nambah lagi, Mas?” tanya Chandly melirik putranya yang duduk di dekat putri kesayangannya, Embun.
Gaza mengangguk kecil sambil melihat semua menu yang tersedia diatas meja makan. Dia menoleh ke kanan, melihat sang Adik bungsu yang menikmati sarapan satu piring bersamanya sambil bermain iPad.
“Kamu mau yang mana, Queen?” tanya Gaza.
Embun melirik abangnya lalu menatap sang Mommy.
“Mau apa, Mas?”
Dyrta melirik putri cantiknya sambil menggelengkan kepala. Sudah tidak heran kalau Embun selalu bersikap seperti itu.
Meskipun dia polos, tetapi Embun adalah orang yang sebenarnya lebih cuek dari putri kembarnya, Bening. Hanya sebagian orang yang tahu sifat asli Embun bila tidak mengamatinya dengan jeli.
“Sayang, jangan iPad dulu yang dilihat. Sarapan dulu, baru main yang lain.” Zhain membuka suara dan menasehati cucunya untuk ke sekian kali. Walau dia tidak akan bosan, tapi Zhain tetap akan melakukannya sampai akhir napas.
Embun meletakkan pena diatas iPad, sedikit mengerucutkan bibirnya, sambil melihat menu diatas meja.
“Terserah Mas Gaza aja. Embun ngikut,” jawab Embun kembali menikmati sarapan paginya.
Gaza melirik sang Mommy.
“Terserah, Mom. Kami mengikut saja,” jawab Gaza.
Chandly menghela panjang napas. Mereka selalu begitu. Apapun yang ia sajikan akan dinikmati, jika tidak disajikan di piring mereka, mereka jarang menyentuhnya.
Terkadang Chandly bingung, apa perbedaan rumah di Jakarta dengan mansion di New York. Kenapa anak-anak mereka lebih manja disini dari pada disana, pikir Chandly sambil mengambil menu sambal lain disana, lalu meletakkannya di piring milik Gaza dan Embun.
“Ini rasanya enak juga. Menunya dari Chef Ibu Icha,” ujar Chandly.
Mereka langsung melirik ke arah wanita yang sudah mengulum senyum disana.
“Jangan lihat Eyang. Eyang cuma kasih resep saja. Yang masak tetap Mommy kalian,” ujar Chandani dengan ekspresi tidak suka bila dipuji.
Tidak lama berselang detik, masuk dua orang pemuda dan pemudi lewat pintu dapur yang terbuka lebar.
“Assalamu’alaikum!” Bening berucap salam sambil mendorong tubuh besar sang Abang, Gamal supaya dia bisa berjalan lebih dulu.
“Ass—” ucapan Gamal terhenti.
Bughh!
“Allahu Akbar!” ketus Gamal hampir terhuyung ke belakang. Dia mendengus kesal melihat kelakuan adiknya yang bar-bar itu. Kelakukannya tidak jauh beda dengan Azathea. Hanya saja Azathea terlihat sedikit lebih kalem.
Mereka menoleh ke sumber suara, melihat Gamal dan Bening baru saja selesai berolahraga. Tentu saja mereka tahu kalau Gamal hampir saja terjatuh.
Gamal memasang wajah kesal sambil berjalan menuju kamar mandi yang ada disana. Dia hanya bisa diam dan tidak mungkin membalas kelakuan adiknya barusan.
“Kakak olahraga kenapa gak ngajak Embun! Embun nyari Kakak sejak shubuh!” ketus Embun menatap tajam sang Kakak, Bening yang sudah duduk tepat di sisi kanan sang Eyang, Zhain.
Bening menghela panjang napasnya, melirik Embun dengan ekspresi malas.
“Adek … kamu itu masih tidur pulas sekali dan Kakak tidak tega!” sahut Bening dengan ekspresi santai.
Zhain menarik satu piring keramik putih disana, lalu meletakkannya tepat di hadapan sang cucu, Bening.
“Mau makan apa, Kak?” tanya Zhain melihat keringat masih membasahi wajah cucunya yang cantik jelita.
Chandly menyodorkan sepiring sandwich kesukaan putrinya.
“Ini, Mommy tadi buat ini. Masih hangat kok,” ujarnya.
Sementara Gamal baru saja keluar dari kamar mandi. Dia berjalan mendekati kursi yang ditempati oleh sang Mommy.
“Mom, aku lapar. Mau makan,” ujar Gamal sambil mengamati berbagai macam menu yang tersedia diatas meja makan. Telapak kanannya menakan sandaran kursi.
Mereka semua melirik Gamal yang hanya berpakaian kaus singlet berwarna abu dengan celana pendek sebatas pahha. Keringatnya masih bercucuran dan belum kering sempurna.
Chandani memperhatikan ekspresi Chandly yang masih tidak bersahabat. Dia tahu, walau putrinya itu masih marah terhadap cucunya, tapi dia tetap menunjukkan sisi perhatiannya.
Tanpa bicara, Chandly mengambil piring keramik putih disana, lalu memilih beberapa lauk kesukaan putranya, Gamal.
“Duduk!” ketus Chandly bernada dingin.
Mereka semua melirik ke arah sang macan betina. Sementara Bening terus menahan tawa melihat sikap sang Abang, Gamal tampak biasa saja.
“Oke,” ujar Gamal lalu menarik kursi tepat di sisi kiri sang Mommy. Dia duduk disana sambil menyapu keringat di wajahnya dengan handuk kecil yang masih mengalung di lehernya.
Gaza melirik Gamal sekilas.
“Wilie bilang kau ada jadwal rapat hari ini?” tanya Gaza mengingatkan.
Gamal mengangguk kecil sambil meneguk jus jeruk di gelas miliknya yang baru saja disediakan oleh sang Mommy, Chandly.
“Iya, Mas. Mungkin sekitar 1 jam lagi aku akan ke kantor,” ujar Gamal hendak menikmati sarapan miliknya. Dia menoleh ke kanan dan sedikit memajukan tubuhnya ke arah sang Mommy.
“Thank you, My Angel My Love,” bisik Gamal yang masih bisa didengar oleh mereka yang ada disana.
Dyrta melirik ke arah putranya yang selalu membuatnya darah tinggi beberapa hari terakhir.
“Mas …” ujar Dyrta memberi isyarat peringatan supaya Gamal tidak membuat ulah baru yang bisa mengancam keadaannya jauh lebih seram.
Gamal mengulum senyum, mengendipkan satu mata genit saat sang Mommy melirik ke arahnya.
“Makan!” ketus Chandly menatap datar sang putra.
Zhain mengulum senyum melihat cucunya tetap berusaha agar meredamkan suasana hati Mommy mereka kembali seperti semula.
Gaza kembali membuka suara.
“Embun mau Mas antar ke kampus?” tanyanya.
Embun mengunyah sambil melirik ke arah mereka bergantian seraya berpikir.
“Sebenarnya jadwal Embun ada waktu 1 jam lagi. Kalau Embun ikut Mas Gaza, nanti Embun sendirian di kampus. Gak ada teman,” ujarnya masih berekspresi bingung.
Bening mengunyah sambil menatap mereka.
“Kalau gitu, yauda ikut sama Mas Gamal aja,” sahut Bening.
Embun melirik sang Kakak, kemudian berpikir. Hening, mereka menunggu keputusan Embun.
Namun, belum sempat Embun membuka suara, Gamal mulai bersuara.
“Bisa, kalau Embun mau ikut.” Gamal melirik Embun.
Zhain menyodorkan sepiring sandwich ke arah cucunya, Bening karena tahu makanannya hampir habis.
“Kak Bening ada jadwal lain hari ini?” tanya Zhain.
Bening menggelengkan kepala.
“Tidak ada, Eyang. Tapi Bening mau ke rumah Eyang Sahya nanti. Kata Eyang, Bunda ada nitip baju untuk kami berdua,” ujarnya menjelaskan.
Mereka melirik Bening, mendengarkan penjelasannya.
“Kamu pergi sama siapa, Sayang?” tanya Chandly langsung menyahut.
Bening memasang ekspresi berpikir.
“Sama Mas aja. Mas antar Embun ke kampus, lalu antar kamu ke rumah Eyang Sahya. Cocok?” tanya Gamal meyakinkan mereka.
Bening melirik ke arah sang Mommy.
“Menurut Mommy begitu saja. Nanti pulangnya kan bisa dijemput supir,” ujar Chandly.
Chandani menggelengkan kepala.
“Gak usah dijemput supir. Eyang mau ke rumah Eyang Sinta hari ini. Biar Kak Bening sama Eyang aja,” ujarnya.
Chandly melirik suaminya.
“Kenapa, Baby?” tanya Dyrta merasa heran.
“Eyang mau ikut juga?” tanya Chandly melirik sang Daddy, Zhain.
Zhain mengangguk kecil.
“Untuk apa Eyang di rumah? Ya sudah Eyang ikut saja,” jawab Zhain sambil menyeruput teh hangatnya.
Gamal masih menikmati sarapan paginya dengan khidmat. Lebih baik baginya menjadi pendengar setia.
Sama seperti Gaza yang hanya diam sambil menikmati kue yang tersedia disana. Ya, jangan tanya bila dia sudah berada di Indonesia. Sudah pasti dia merindukan segala jenis kue yang hanya bisa ditemui di Negara Kepulauan ini.
Chadly melirik putranya yang duduk disana sudah rapi dengan pakaian formal.
“Mas Gaza mau ke kantor?” tanyanya
Gaza mengangguk kecil. Sepertinya dia paham kalau sang Mommy mau menawarkannya ikut pergi bersama.
“Iya, Mom. Maaf, aku tidak bisa ikut ke rumah Eyang. Karena aku harus menghadiri rapat di kantor penerbitan. Setelah itu menghadiri rapat harian di kampus pukul 2 siang nanti. Clave sudah menyusun jadwalku hari ini,” jelasnya memberitahu.
Gamal melirik sang Abang.
“Itu artinya aku tidak perlu ikut di rapat kampus?” ujarnya menegaskan hingga mata elang itu langsung menangkapnya.
Dyrta menghela napas, mendengar sahutan Gamal.
“Kau jangan bercanda, Gamal. Kau harus tetap hadir. Jangan membuat malu!” sahut Gaza menatapnya dengan ekspres kesal.
Gamal langsung mengangguk kecil dan tetap menikmati sarapan paginya.
“Bisa tidak, kalau menjawab itu ya bikin hati orang lega. Jangan mancing emosi orang, Mas. Ini masih pagi,” ujar Chandly berbicara dengan nada selembut mungkin di ujung kalimat. Posisi duduknya sedikit menghadap Gamal, membuat Chandly sedikit geram melihat sikap biasa putranya yang satu ini.
Gamal tersenyum lebar untuk sang Mommy sambil mengangguk kecil.
“Iya, Mommy. I love you,” balasnya sambil memuncungkan bibir seraya memberikan kecupan udara tanpa suara.
Sebagian dari mereka terlihat santai menyikapi Gamal. Namun, tidak dengan Gaza yang berusaha untuk bersabar lebih banyak menghadapi Gamal.
Zhain dan Chandani mengulum senyum melihat tingkah konyol Gamal. Bagaimana mungkin mereka bisa marah lebih lama, sementara Gamal adalah cucu mereka. Dan cucu laki-laki mereka hanya dua orang saja.
Berbeda dengan Dyrta, dia memijit sisi kepalanya yang tidak pusing. Entahlah, dia tidak tahu hati putranya yang satu itu terbuat dari apa. Dia memang cerdas, saking cerdasnya sampai membuat mereka tidak bisa berkata apa-apa lagi kalau dia sudah membuat ulah yang menjengkelkan.
*
*
Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)