PART 15

2224 Words
Justin mendudukkan Vanilla di ranjang setelah menggunakan wanitanya itu sebuah pakaian yang -ternyata- sudah Alex siapkan di kamar itu. "Pergi!" Justin menatap wajah Vanilla yang bersimbahkan air mata. Oh astaga, hanya karena Vanilla memilih untuk pergi bersama Alex, ia jadi tega melakukan hal b***t yang jelas-jelas tidak Vanilla sukai. Ia sudah menghancurkan Vanilla-nya. "Van---" "If you love me, you won't make me like this. Kamu akan menjagaku, tanpa membuatku kotor." Kalimat itu menghantam d**a Justin dengan telak. Benar yang dikatakan Vanilla. Jika Justin mencintainya, seharusnya ia menjaga Vanilla, bukannya malah menghancurkannya. Mati kau, Justin menggerutu. "Kau bisa pulang, kan? Untuk sekarang, aku mohon jangan temui aku lagi." "Van---" "Aku mohon, pergilah," lirih Vanilla. Melihat keadaan Vanilla yang seperti itu, Justin ingin sekali memeluknya dengan erat, tapi sedari tadi, Vanilla bahkan tidak ingin melihat matanya. Vanilla benar-benar membencinya. "Aku pergi," ujar Justin lemah. Ia berbalik dan keluar melalui balkon. Setelah kepergian Justin, Vanilla baru menoleh ke arah Justin dan air matanya langsung jatuh mengenai wajahnya yang cantik. Beberapa menit kemudian, muncul Alex dengan tatapannya yang datar. "Kau tidak apa-apa?" Vanilla mengangguk. "Jika kau sedih dan ingin kembali pada Justin, maka...." "Aku tidak akan kembali ke rumah itu," jawab Vanilla cepat. Alex diam. "Rumah itu, sejak aku datang ke sana semuanya berubah 180 derajat. Begitu banyak hal yang tidak kupahami saat tinggal di rumah itu." Alex terkejut. Vanilla menangis. Air mata gadis kecilnya itu keluar dengan cepat. Hal itu sontak membuat Alex berjalan memeluk tubuh mungilnya. "Apa yang terjadi, sayang?" Alex bertanya dan mencoba untuk menenangkan Vanilla. Vanilla menggelengkan kepalanya malas. "Aku hanya ingin kembali seperti dulu. Hidup di London dengan uang kiriman Bunda, dan menjalaninya dengan santai." isakan Vanilla semakin membludak seiring dengan tubuhnya yang bergetar ketakutan. "Sabarlah, sayang. Setelah persiapan selesai, kita akan kembali ke London dan memulai kehidupan yang baru dengan keluarga yang tidak pernah kau lihat." Vanilla tidak menginginkan hal itu. Yang ia inginkan saat ini hanyalah hidup sendiri di London dan berdiam diri di rumah yang ia tempati dulu. Hanya itu keinginannya saat ini. *** Justin terus mengendarai mobilnya di jalanan besar, dengan pikiran yang begitu kacau. Bahkan, sudah beberapa kali ia menerobos lampu merah, dan beruntungnya itu tidak membuat dirinya mengalami hal yang mengerikan. Kini, tibalah dirinya di rumah yang sudah berubah menjadi sepi karena kepergian Vanilla. Sosok wanita polos yang membuat hari-hari Justin selama beberapa hari ini terlihat santai dan nyaman selepas kepergian Avira. Justin menghembuskan napasnya kasar, kemudian ia memegang kepalanya yang pening karena minuman alkohol yang ia tenggak sebelum datang ke rumah Alex. Ia merasa beruntung karena bisa tiba di rumah itu saat kondisinya tidak memungkinkan. Tok... Justin terkejut saat pintu rumahnya digedor. Ia pun bangkit sambil menyumpahi seseorang yang tidak bisa bersikap sabar. Dengan tubuh yang linglung, Justin mencoba sekuat tenaga membuka pintu itu. Brug... Begitu pintu itu terbuka, Justin langsung mendapatkan pukulan dari Alec. Dengan rahang yang mengeras, Alec memegang kerah kemeja Justin dan mengangkat tubuh pria itu. "b******n tengik!" umpat Alec sambil melempar tubuh Justin ke tembok. Justin yang mendapatkan pukulan itu, mulai meringis dan berusaha untuk bangkit. Namun, ia kalah cepat dengan Alec karena pria itu sudah menghantam punggung Justin ke tembok sekali lagi, bahkan Alec menghimpit tubuh itu dengan kuat. "Aku tidak tahu apa yang kau lakukan pada Vanilla di kamarnya, tapi kau sudah melakukan kesalahan besar dengan membuatnya menangis. Kau tahu kenapa kau bisa lolos masuk ke rumah itu? Karena itu semua perintah Alex. Ia mengizinkan mu masuk agar Vanilla senang. Namun, apa yang terjadi? Kau malah membuatnya menangis dengan tubuh yang bergetar, kau memang b******n, Justin." Faktanya, saat Justin masuk ke rumah itu, kamera pengintai melihatnya dan Alex tahu akan hal itu. Salah satu alasan mengapa Justin bisa masuk dengan mudah, karena Alex mengizinkannya. Alec melempar kembali tubuh Justin dan membuat pria itu tersungkur ke bawah. Tidak hanya itu, ia menginjak sebelah tangan Justin dan membuat Justin meringis kesakitan. Justin benar-benar tidak berdaya untuk melawan Alec. Pengaruh alkoholnya masih ada, dan itu membuat tenaganya hilang secara keseluruhan. "Aku peringatkan kau untuk menjauhi Vanilla. Jika kau mendekatinya lagi, maka akan kupastikan kau tidak bisa melihatnya, meskipun itu dari kejauhan." setelah mengatakan hal itu, Alec pergi dengan rahang yang masih mengeras. Sedangkan Justin, ia masih tersungkur di lantai rumahnya dengan luka yang lumayan membuat ia meringis. "Agh..." teriaknya ketika Alec mengatakan kondisi Vanilla yang masih sama sebelum ia pergi. Oh Tuhan, ia benar-benar menyesali hal itu. "Astaga, Justin..." Lara yang tadi datang untuk berkunjung, terkejut melihat Justin yang tertidur lemah di lantai. Ia membuang makanan ringan nya dan berlari ke arah Justin. Ia membantu Justin bangun dan menangkup wajah Justin dengan lembut. "Apa yang terjadi padamu, Justin?" tanya Lara dengan kedua mata yang sudah menghasilkan buliran kristal. Justin tersenyum miris. "Justin..." "Ia akan membenciku, Lara." Lara tidak mengerti. Bagaimanapun ia mencoba untuk memahami maksud Justin, hal itu tidak akan pernah ia pahami. "Avira, Levina, dan sekarang Vanilla. Ketiga perempuan itu berada di sampingku, tapi tidak pernah bahagia. Apa yang harus ku lakukan, Vanilla? Semuanya adalah kesalahanku. Jika saja aku tidak membiarkan Avira pergi, maka ia akan baik-baik saja. Jika saja aku tidak berniat menceraikan Levina, maka ia akan baik-baik saja. Dan..." ucapan Justin terhenti. "-jika saja aku bisa mengontrol diri, maka Vanilla akan baik-baik saja. Aku memang b******n tengik yang tidak tahu diri, Lara." Dada Lara semakin sesak melihat kacaunya Justin. Ia pun membawa Justin ke dalam pelukannya dan membuat pria itu nyaman karena pelukan seorang sahabat, yang selaku mengerti dirinya disetiap saat. "Semuanya akan baik-baik saja, Justin. Bagaimanapun caranya, aku akan melindungimu. Entah itu menghancurkan diriku, atau tidak. Aku akan selalu melindungimu, pria yang berarti bagiku di dunia ini," ujar Lara lembut. *** Wanita berambut pendek sebahu itu menatap kedua orang itu dengan tatapan tajam. Kedua tangannya ia kepalkan sampai membuat jari-jarinya memutih. "Seharusnya kau menjauhi gadis itu, Justin. Seharusnya kau tidak bermain-main dengan cinta," ujar wanita itu dengan lemah. Disaat ia ingin berbalik, kedua mata Lara menangkap dirinya. Dan tatapan keduanya pun beradu. Tubuh Lara menegang. Sedangkan wanita itu hanya tersenyum miris, kemudian berlalu meninggalkan rumah itu. Ia memunculkan dirinya, Tuhan, batin Lara takut. *** Setelah menenangkan Justin dan mengobati lukanya, Lara meninggalkan Justin sebentar ke dapur. Setibanya di sana, ia mengejutkan ponselnya dan mulai menghubungi sesorang. "Kau bilang, kau tidak akan muncul. Apa yang kau lakukan, Avira?!" "Aku hanya mampir, Lara." "Mampir? Apa aku bisa mempercayai setiap perkataan yang keluar dari mulutmu itu?" "Kenapa? Kau takut aku muncul dan membuat Justin benar-benar kembali kepadaku, begitu?" "Apa?!" "Kau masih mencintainya, Lara. Itulah alasan kenapa kau membuat perjanjian bersamaku." Lara terdiam. "Sadarlah, Lara. Setelah kondisiku membaik, maka aku akan kembali pada Justin." "Ingat, Avira. Jika kau berani muncul di hadapan Justin sekarang, maka aku akan membongjar rahasia bahwa kau adalah wanita yang mencelakai Levina dan Vanilla. Aku berjanji akan memberitahu Justin, Avira." Setelah mengatakan hal itu, Lara mengakhiri teleponnya dan meletakkannya kasar ke meja pantry. Ia menarik rambutnya frustrasi dan duduk di kursi tinggi yang ada di sana. Dengan tangan yang masih berada di rambutnya, Lara memikirkan kembali perjanjian yang ia lakukan bersama Avira. Beberapa bulan sebelum Justin menikah dengan Levina, Avira muncul di hadapannya dengan kondisi yang mengenaskan. Wajah gadis itu berubah. Ada tiga bekas luka yang melekat di wajahnya secara permanen, dan itu benar-benar merusak wajah cantiknya. Saat itu, Avira selalu mohon pada Lara untuk menyembunyikannya dan mengobati wajah Avira. Lara mau tidak mau melakukannya. Namun, disaat mereka ingin melakukan pengobatan, Justin dikabarkan menikah. Hal itu tentu saja membuat Avira murka. Ia pergi dari Lara dan mulai menyusun cara untuk membuat Levina menjauh dari Justin. Dan hal mengerikan itu terjadi. Setelah memberikan teror untuk Levina, Avira secara sengaja membuat Levina kecelakaan. Lara mengetahuinya, dan dengan cepat iaembuat perjanjian dengan membuat Justin tidak menikah, tapi dengan syarat Avira tidak boleh memunculkan dirinya di hadapan Justin, dan tidak membunuh siapapun lagi. Avira menyetujui hal itu, karena ia juga tidak mungkin membiarkan Justin melihat wajahnya yang kacau. Selama beberapa bulan itu, Lara selalu melindungi Justin, sedangkan Avira selalu meneror wanita yang berada di sisi Justin. Drt.. Ponselnya berbunyi, menandakan sebuah pesan masuk. Lara membukanya dan pesan dari Avira. Aku tidak akan muncul. Aku akan fokus berobat, dan akan kembali ke Justin jika saatnya tiba. Namun, aku tidak akan tinggal diam jika gadis polos itu bersama dengan Justin. Oleh karena itu, jika kau tidak ingin aku menghancurkan gadis itu seperti Levina, maka urus dan jaga Justin agar ia tetap sendiri. Lara menghembuskan napasnya kasar. Ia harus melakukan segala cara untuk membuat Justin tidak menemui Vanilla lagi. Lara tahu bahwa Avira memiliki mata-mata yang sangat handal, dan satu kesalahan saja, Avira bisa mengetahuinya. *** Bukan Justin namanya jika ia menyerah untuk menemui Vanilla. Setiap hari ia terus mencari jalan untuk masuk ke rumah itu lagi. Bahkan, ia sampai berdiam diri di depan rumah Alex agar dibiarkan bertemu dengan Vanilla. Namun, hasilnya selalu nihil. Dan sekarang adalah minggu ketiga sejak Vanilla memutuskan untuk tidak bertemu dengan Justin. Dan selama tiga minggu ini, yang ada di kepala Justin hanya satu; Vanilla. Wanita polosnya itu bagaikan oksigen yang tidak bisa ia lepaskan. Karena jika Justin melepasnya, maka bisa dikatakan bahwa ia akan pergi dari dunia yang fana ini. Hari ini, tepat pukul delapan, Justin memulai operasinya kembali. Dari informasi yang ia dapat, Alex mendaftarkan Vanilla ke universitas swasta terkenal di Jakarta, dan entah kenapa Justin merasa Tuhan sedang berpihak kepadanya. Mengapa tidak? Ia bebas masuk ke universitas itu, karena ia pemberi dana terbesar. Lagipula universitas itu milik Reno, sahabatnya. Setelah memarkirkan mobilnya, Justin dengan cepat berlari ke ruangan yang katanya akan Vanilla datangi lebih dulu. Ia mengetahui itu, karena secara sengaja ia membayar supir yang mengantar-jemput Vanilla untuk memberikannya secuil informasi. Ruangan itu masih sepi karena pelajaran akan dimulai dalam satu jam. Setelah memilih tempat yang strategis, Justin menyembunyikan wajahnya dengan masker. Sesaat kemudian, Vanilla masuk dengan wajah yang begitu gugup. Justin dapat melihat bagaimana kegugupan melanda Vanilla. Wanitanya itu pasti merasa takut dengan suasana baru yang ia dapatkan hari ini. Selama satu jam, Justin terus memerhatikan Vanilla yang sedang membaca sebuah buku. Wajah Vanilla terlihat cerah, meskipun kegugupan masih terlihat. Justin tersenyum. Kecantikan Vanilla semakin hari semakin bertambah. Justin tahu bahwa wanitanya itu tidak menggunakan make up apapun. Wajah Vanilla benar-benar natural, dan bibir ranumnya semakin memperindah dirinya. Dan juga, Justin merasa ada perbedaan yang mencolok dari Vanilla. Wanitanya itu lebih berisi dan pipinya semakin merona, dan kantong mata itu benar-benar terlihat mengenaskan. Kelas mulai ramai, dan kegugupan Vanilla semakin bertambah. Setelah dosen memperkenalkan Vanilla, ia langsung kembali ke tempatnya dan mulai mengikuti pembelajaran. Justin yang merasa bosan, mulai berpindah tempat ke samping Vanilla. "Hai," sapanya pada Vanilla. Vanilla menoleh dan mengerutkan keningnya bingung. Namun, kerutan itu langsung hilang ketika Justin membuka maskernya dan menampakkan wajahnya yang masih tampan, meskipun terlihat jelas sekali jika Justin kurang tidur. "Apa yang kau lakukan?!" bisik Vanilla sambil memalingkan wajahnya ke arah papan. "Menemui calon istri dan calon ibu dari anak-anakku," jawab Justin, tanpa mengalihkan perhatiannya dari mata biru Vanilla. Vanilla memutar matanya jengah, dan seketika saja ia risih karena Justin terus memperhatikannya. Vanilla mendecak kesal dan mulai menggigit bibir bawahnya. Justin melihat hal itu. Bibir yang sudah lama tidak ia lumat itu begitu menggodanya. Oh astaga, jika ini bukan kampus, maka Justin pasti akan menyetubuhi Vanilla sekarang juga. "Hentikan!" Vanilla menoleh dengan tatapan bingung. "Jika kau masih menggigit bibirmu, maka aku akan membawamu keluar dan memperkosamu di aula, mengerti?!" Vanilla melepaskan gigitannya dan menatap tajam ke arah Justin. "Anak-anak, kumpulkan 10 laporan tentang strategi manajemen besok pukul 04.25, dan serahkan pada Almira," pinta dosen yang tidak Vanilla ketahui namanya itu. Setelah dosen itu keluar, Vanilla menghembuskan napasnya lega. Kelas hari ini berjalan dengan baik. Saat akan beranjak, Vanilla melirik Justin yang terlelap dengan damainya. Beberapa menit yang lalu, Vanilla memang mendengar gerutuan Justin yang mengatakan betapa membosankan kelasnya. "Apa yang kau lihat?!" Vanilla terkesiap ketika Justin membuka matanya. "Jangan sentuh aku!" teriak Vanilla saat Justin menyentuh tangannya. Namun, Justin tidak melepaskan cekalannya begitu saja. "Pergi!" pinta Vanilla, tapi tenaga Justin begitu kuat. Akhirnya, Vanilla melakukan cara lain. Ia menggigit tangan Justin dan melarikan diri darinya. Secepat kilat, Vanilla menutup pintu dan berlari sekuat mungkin, hingga tibalah dirinya di parkiran. Sepertinya hari ini Vanilla akan bolos di kelas selanjutnya. Ia masuk ke dalam mobil ketika Justin berada di dekatnya. Dan Vanilla otomatis menghembuskan napasnya karena bisa lolos dari Justin. Sedangkan Justin? Ia tampak sangat frustrasi. *** Setibanya di rumah, Vanilla merasakan pening yang luar biasa. Ditambah masalahnya dengan Justin, membuat pening itu semakin menjadi-jadi. Seharusnya ia bisa belajar dengan tenang di kampus yang ia masuki dengan mudah karena bantuan Alex, tapi nyatanya tidak seperti itu. Vanilla mengembuskan napasnya berat dan berjalan dengan pelan ke kamarnya, tapi ia tiba-tiba berhenti tepat di anak tangga tengah. "Vanilla..." teriakan Alec membuat ia tersentak, hingga dirinya jatuh ke pelukan Alec. Beruntung Alec bisa menyeimbangkan dirinya agar tidak jatuh. Ia cepat-cepat melihat kondisi Vanilla, dan anehnya Vanilla tidak sadarkan diri. Hal itu membuat Alec panik. Ia menggendong Vanilla ala bridal style dan membawanya ke rumah sakit-masa bodoh Vanilla suka dengan aroma rumah sakit atau tidak- Dengan wajah super paniknya, Alec memberikan Vanilla pada dokter untuk memeriksa kondisinya. Saat Vanilla diperiksa, Alec mencoba untuk menghubungi Alex. "Wali pasien?" "Iya?" Alec terkesiap ketika pemeriksaan Vanilla selesai, dan ia juga selesai menghubungi Alex yang sedang mengurus perusahaannya. Dokter itu tersenyum, dan itu membuat Alec mengerutkan kening bingung. Apa dokter ini waras? Dirinya membatin. "Selamat, istri anda hamil." "APA?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD