03. PERKENALAN

2756 Words
Sudut pandang Dio... Aku berjalan menuruni tangga dengan jantung yang berdebar-debar. Kurasakan tatapan semua orang yang ada di meja makan dan juga tatapan semua pelayan yang berdiri di sisi-sisi ruang makan mengarah kepadaku. Apa ada sesuatu yang aneh dengan pakaian yang aku kenakan saat ini? "Duduklah di kursi kosong yang ada sebelah sana, Nak." Kata Om Raja sambil menunjuk kursi kosong yang berada di deretan kursi yang sama dengan orang yang tak sengaja aku tabrak tadi. Terlihat ia menatapku tajam dengan kedua matanya yang besar. Aku hanya bisa menelan ludahku susah payah karenanya. Kini aku sudah ikut bergabung dengan mereka semua. Dengan malu-malu bercampur rasa takut, aku mengedarkan pandanganku ke semua orang yang ada di meja makan. Semuanya memiliki wajah yang sangat tampan, sama seperti Om Raja dan satu-satunya wanita di meja makan ini, yang duduk tepat di barisan samping kanan dari tempat Om Raja duduk, juga terlihat sangat cantik. Aku lantas memberikan senyum ramahku kepada mereka semua dan mereka pun membalas senyumanku, kecuali orang yang aku tabrak tadi. Wajahnya tetap terlihat seperti orang yang ingin membunuhku. Aku pun langsung tertunduk kikuk saat ia menatapku seperti itu. "Baiklah, karena semuanya sudah berkumpul, sebelum kita masuk ke sesi sarapan pagi, mari terlebih dahulu kita masuk ke sesi perkenalan diri." Kata Om Raja yang seketika langsung mengalihkan rasa kikukku dari orang itu. "Dio, silakan perkenalkan dirimu terlebih dahulu ke semua anggota keluarga Om." Dengan perasaan panik dan jantung yang berdebar-debar, aku segera bangkit dari posisi dudukku. Kembali kutatap semua orang yang ada di meja makan dan berusaha sekuat tenaga untuk tersenyum sembari tetap tenang. Aku benar-benar malu sekarang. "Em- selamat pagi semuanya, perkenalkan nama saya Dio Pratama. Em- saya- em--." Kata-kataku terhenti. Aku bingung mau berbicara apa lagi. Ditambah kini, tanpa sengaja aku malah menatap orang yang aku tabrak tadi sehingga rasa gugupku pun semakin bertambah. Tubuhku seketika menjadi sedikit berkeringat. "Mulai dari sekarang Dio akan tinggal di sini bersama dengan kita." Om Raja yang paham dengan kegugupanku lantas membantuku untuk berbicara pada semua anggota keluarganya. Terlihat delapan anggota keluarga Om Raja senang dan menyambut baik kehadiranku di sini. Kecuali sekali lagi, si orang yang aku tabrak tadi. Wajahnya masih dengan ekspresi yang sama. Aku tidak tahu apa sebegitu marahnya ia padaku. "Selamat datang di rumah kami, Dio. Kami sangat senang kamu bisa bergabung dengan keluarga kami." Kata satu-satunya wanita cantik yang ada di meja makan ini. Ya ampun, dia benar-benar sangat cantik. "Ah- i-iya. Terima kasih--." ucapku gugup dengan senyum yang aku rasa sangat kikuk. Setelahnya, aku kembali duduk dan lalu Om Raja melanjutkan sesi perkenalannya. Kini, ia memperkenalkan satu per satu anggota keluarganya yang bisa dibilang cukup banyak. "Baiklah, sekarang Om akan memperkenalkan kamu dengan anggota keluarga Om." "Untuk yang pertama ada istri Om, namanya adalah Ratu Azkara. Dia adalah satu-satunya perempuan di keluarga ini." Wanita cantik itu ternyata adalah istrinya Om Raja. Tapi tunggu, namanya adalah Ratu? Wah, benar-benar sebuah kebetulan. Wanita itu pun memberikan senyum ramahnya sambil sedikit melambaikan tangannya padaku. "Lalu selanjutnya, yang duduk di sebelah istri Om adalah anak pertama Om, namanya Raga Azkara. Dia orang yang sangat bersemangat dan sangat suka berolahraga. Dia juga orangnya sedikit bar-bar dan terburu-buru." "Hai, Dio. Salam kenal ya," sapa Kak Raga. "H-hai, Kak," sapaku balik. Terlihat dari wajahnya, ia sepertinya adalah orang yang sangat bersemangat dan ceria. Tapi apa benar dia adalah anak tertua di keluarga ini? Kenapa wajahnya malah terlihat seperti yang paling muda? "Selanjutnya yang duduk di sebelah Raga adalah anak kedua Om, yaitu Surya Azkara. Dia adalah orang yang sangat ramah dan baik hati. Dia juga adalah orang yang memiliki sikap kepedulian yang sangat tinggi terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya. Mulai sekarang kamu pasti akan sangat diperhatikan dan dilindungi olehnya." "Salam kenal ya, Dio. Jika ada sesuatu yang ingin kamu tanyakan, tanyakan saja pada Kakak. Oke," katanya sembari mengedipkan sebelah matanya padaku. Aku pun hanya membalasnya dengan anggukan kepala sambil tersenyum senang. Ya, aku bisa merasakan aura orang baik dan ramah, memancar dari Kak Surya. Ngomong-ngomong, wajah Kak Surya dan Om Raja terlihat sangat mirip. "Di sebelah Surya adalah anak ketiga Om. Namanya Chandra Azkara. Dia orang yang paling pintar dan tercerdas dari semua anak-anak Om. Dia sangat suka sekali membaca buku dan ia bisa berdiam cukup lama di perpustakaan hanya untuk membaca semua buku." Anak ketiga Om Raja yang bernama Kak Chandra itu tersenyum ramah padaku dan tunggu, ia juga punya lesung pipi sama seperti Om Raja. "Jika ada yang ingin dipelajari, hampiri saja aku. Aku akan mengajarimu banyak hal," kata Kak Chandra. "Siap, Kak." Dia sama ramah dan baiknya seperti Kak Surya. Dan ngomong-ngomong, nama mereka berdua benar-benar terdengar sangat bagus. Surya yang berarti matahari dan Chandra yang berarti bulan. "Di sebelah Chandra ada anak keempat Om. Namanya adalah Agro Azkara. Dia anak Om yang paling berisik dan sama bersemangatnya seperti Raga. Dia--." Belum selesai Om Raja berbicara, anak keempat Om Raja yang bernama Agro itu langsung menyela perkataannya dengan suara yang bisa dibilang cukup lantang dan keras. "Aku suka melakukan hal-hal yang ekstrem dan seru. Dan aku paling membenci hal-hal yang terasa membosankan. Jadi, salam kenal, Dio. Ngomong-ngomong, nanti kita seru-seruan bareng ya." "Ah, i-iya, Kak ... salam kenal." Ya, berbeda dari ketiga anak Om Raja sebelumnya. Kak Agro ini kelihatannya adalah anak yang memiliki jiwa kebebasan yang sangat tinggi. Terlihat dari caranya berbicara, tingkah laku serta gestur tubuhnya yang lincah. Sedari tadi pula aku perhatikan dia memang yang paling tidak bisa diam di meja makan ini. "Ah, Nak. Lebih baik kamu jangan ajak Dio seru-seruan untuk saat ini karena mungkin dia akan merasa kaget nantinya," kata Om Raja. "Ah, tidak akan, Pa. Pasti dia akan sangat menyukainya. Iya kan? iya kan? hem-hem?" Aku pun hanya bisa tersenyum dengan malu-malu. "Apa yang kamu anggap seru pasti adalah petaka bagi orang lain. Pokoknya jangan ajak Dio untuk seru-seruan denganmu." Om Raja lagi-lagi melarangnya untuk mengajakku seru-seruan bersama. Tapi entah apa itu, yang jelas aku tidak tahu. "Baiklah, Pa. Huff ... Papa benar-benar tidak asik." Om Raja hanya bisa tersenyum menanggapi anak keempatnya itu. Perkenalan pun berlanjut. Kini beralih ke sisi meja satunya, yaitu tepat di deretan tempatku duduk sekarang. Dan perkenalan akan dimulai dari barisan depan sama seperti sebelumnya. "Selanjutnya yang duduk di sebelah kiri Om. Ini adalah anak kelima Om, namanya adalah Bumi Azkara. Dia orang yang sangat keras kepala, patuh pada peraturan dan orang yang bisa dibilang cukup tegas. Dia sangat suka sekali dengan kebersihan dan kerapian. Dia juga adalah orang yang pandai dalam memperhitungkan segala sesuatu." "Hai Dio, salam kenal ya," sapa Kak Bumi. "Salam kenal juga Kak Bumi." Ternyata namanya adalah Kak Bumi. Wajahnya tampak manis dan dia cukup memperhatikanku dengan intens sejak aku duduk bergabung di meja makan ini. Walaupun begitu, aku sama sekali tidak merasa terganggu saat ia terus menerus menatapku seperti itu. Dan sekarang adalah giliran orang itu yang akan diperkenalkan oleh Om Raja. Orang yang kelihatannya sangat tidak suka dengan adanya keberadaanku di sini. "Di sebelah Bumi adalah anak Om yang nomor enam, namanya adalah Langit Azkara. Dia anak Om yang paling tegas dan sedikit egois. Dia orang yang sangat perfeksionis dan sangat mudah marah. Dia juga tidak terlalu suka jika ada orang asing yang terlalu dekat dengannya karena dia adalah tipe orang yang tidak suka bila diganggu. Jadi, berjaraklah sedikit darinya." "Oiya, dia juga sangat tidak suka bila orang lain menolak apa yang dia katakan. Ya intinya, apa pun kemauannya harus diikuti. Jadi, Dio, kamu harus bisa memaklumi sifat Langit ya. Kamu juga harus bisa memaklumi setiap perkataan yang Langit ucapkan karena sewaktu-waktu dia suka berbicara seenaknya sendiri tanpa disaring terlebih dahulu." Aku pun mencoba untuk menatap ke arah orang yang tidak sengaja aku tabrak tadi dengan perasaan ketakutan. Ternyata namanya adalah Kak Langit. Setelah Om Raja memperkenalkan ia padaku, aku pun jadi tidak heran dengan sikapnya ini. Ia pasti benar-benar marah karena aku adalah orang asing yang telah dengan tidak sengaja menyenggolnya tadi. Dan mungkin, ia malah tidak suka denganku sekarang. Tapi walaupun begitu, aku mencoba untuk tetap ramah dengan memberikan senyumku padanya. Aku berusaha tersenyum seramah mungkin. Tapi apalah daya, tidak ada senyuman balik ataupun sapaan darinya. Ia malah tetap menatapku dengan tatapan marah dan kesalnya. Aku hanya bisa menelan ludahku kembali dengan susah payah. "Langit, tidak baik memberikan ekspresi wajah seperti itu padanya. Lihat, Dio sepertinya merasa takut padamu." Kata istri Om Raja, yaitu Tante Ratu, yang sepertinya menyadari apa yang sedang aku rasakan saat ini. Tapi bukannya merubah ekspresi marahnya, ia malah membuang pandangannya dariku dan kini fokus menatap ke arah depan. Tante Ratu dan Om Raja pun terlihat menghembuskan nafasnya kompak. "Tidak usah khawatir, nanti dia pasti akan bersikap ramah padamu. Langit anak yang baik sama seperti anak Om yang lain," kata Om Raja. Aku pun hanya menganggukkan kepalaku pelan. Semoga saja benar seperti itu, karena aku tidak ingin ada orang yang merasa tidak nyaman atas kehadiranku di rumah ini. Aku juga tahu diri siapa diriku di sini. "Baiklah lanjut lagi ke perkenalannya. Di sebelah Langit ada anak Om yang ketujuh, yaitu Bintang Azkara. Dia anak yang cuek dan paling pemalas dari yang lainnya. Ia sangat suka menghabiskan waktunya hanya untuk tidur dan makan. Jadi jika kamu mau meminta pertolongan, Om harap jangan minta pertolongan padanya." "Ah, Pa. Kenapa Papa memperkenalkanku seperti itu pada Dio. Kalau seperti ini, Papa malah menjatuhkan martabat dan harga diriku." Rengek Kak Bintang yang sepertinya tidak terima dengan cara Om Raja memperkenalkan dirinya padaku. Dia benar-benar terlihat lucu. "Tapi faktanya memang begitu kan?" kata Om Raja. "Ih, Papa ...." Aku pun yang melihat hal itu, mulai berusaha untuk ikut dalam obrolan mereka berdua. "Ah, tidak apa-apa kok, Kak Bintang. Apa yang Om Raja katakan tadi tidak sedikit pun menurunkan derajat Kakak di mataku." "Sungguh?" "Iya," kataku sembari mengangguk. "Kamu imut. Kalau begitu salam kenal ya. Kamu bisa mengandalkanku sebagai seorang kakak yang baik. Jadi, kamu tidak perlu ragu untuk meminta apa pun padaku." Kata Kak Bintang sembari tersenyum. Senyumnya sangat manis dan hangat. Aku pun kembali menganggukkan kepalaku sebagai jawaban atas perkataannya. Om Raja kini melanjutkan perkenalannya ke anggota keluarganya yang terakhir. Orang yang kini duduk tepat di sebelahku. "Nah, yang terakhir, yaitu anak Om yang kedelapan, yang duduk tepat di sampingmu. Namanya adalah Awan Azkara. Dia anak yang sangat pendiam dan sangat jarang menunjukkan ekspresinya. Dia juga memiliki sikap yang cukup dingin terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya. Jadi, jika kamu mengajaknya bicara, tapi kamu diabaikan, harap maklumi saja ya, Dio. Tapi walaupun begitu, dia adalah seorang seniman yang hebat. Ia sangat jago dalam melukis, jago dalam bermain alat musik dan jago dalam hal lain yang masih ada sangkut pautnya dengan seni. Bahkan, lukisan-lukisan yang kamu lihat di lorong saat pertama kali datang di rumah ini, semua itu adalah lukisannya." Wow, aku tidak menyangka kalau lukisan-lukisan keren yang terpampang di setiap sudut lorong itu adalah hasil karya Kak Awan. Sungguh, aku sangat mengaguminya. Dan tanpa diduga, Kak Awan yang duduk di sebelahku ini langsung menghadapkan tubuhnya ke arahku. Setelahnya, ia mengulurkan tangannya untuk bersalaman denganku. Tanpa menunggu lama, aku pun langsung membalas uluran tangannya. "Salam kenal, Dio. Semoga kamu betah tinggal di rumah ini." Katanya sambil menyunggingkan senyumnya yang bisa dibilang-- wah! Sungguh! Wajahnya benar-benar sangat tampan. Menurutku, dialah anak Om Raja dengan wajah yang paling tampan. Walaupun aku akui semua anak-anak Om Raja memiliki wajah yang tampan, tapi untuk Kak Awan, wajah tampannya adalah mutlak tak tertandingi. Sebuah hal yang wajar bukan, jika memiliki seorang ayah yang tampan dan ibu yang cantik, maka anak-anaknya pun akan terlihat sama seperti mereka (tampan/cantik). "Salam kenal, Kak. Iya, Kak, aku pasti akan betah tinggal di sini," kataku. Dia pun kembali melebarkan senyumnya padaku. Tapi anehnya, semua orang yang ada di meja makan saat ini malah fokus melihat ke arahku dan juga Kak Awan dengan tatapan yang menurutku cukup aneh. Mereka seperti terheran-heran. Apakah ada yang salah? Bahkan Kak Langit yang tadi membuang mukanya dariku, kini ikut menatap kami dengan heran. Setelah sesi salaman antara aku dan Kak Awan selesai, semua mata masih terus menatap dengan heran. Tapi kali ini, yang ditatap hanya Kak Awan. "Apa?" kata Kak Awan. Semua orang yang ada di meja makan pun sontak menggelengkan kepala mereka, seakan-akan tidak ada yang terjadi. Om Raja pun kini kembali melanjutkan perkataannya setelah aku dan Kak Awan selesai berkenalan. "Baiklah, semuanya sudah Om kenalkan padamu. Lebih baik kita mulai saja sesi sarapannya sekarang," kata Om Raja. "Eh? Tunggu. Apa benar sudah semua? Apa kamu tidak melupakan sesuatu?" kata Tante Ratu. Kenapa? Apa masih ada lagi anggota keluarganya yang lain? Apa ada yang belum mereka perkenalkan padaku? Terlihat Om Raja dan Tante Ratu saling tatap satu sama lain sambil tersenyum. Seakan-akan ada sesuatu yang mereka sembunyikan. "Papa pasti melupakan sesuatu, hem?" kata Tante Ratu. "Oiya benar juga, hampir saja kelupaan. Untung saja Mama ingatkan." Mereka berdua terlihat seperti sedang bercanda, tapi terkesan serius. Eh tunggu, bagaimana? "Benar juga, ada satu anak lagi," kata Om Raja. Masih ada satu lagi? Wah, anak mereka banyak sekali ya. Tapi, di mana gerangan anak itu? Aku pun mengalihkan pandanganku ke sekitar. Dan tanpa aku sadari, Om Raja dan Tante Ratu sedari tadi terus menatapku dengan senyum yang mengembang di bibir keduanya. "Dio." Dan tiba-tiba saja Om Raja memanggil namaku. Aku yang sedari tadi mengedarkan pandanganku ke sekitar, kini beralih memandangi mereka. "Mulai hari ini, kamu akan menjadi anak Om yang kesembilan." Kaget. Itulah yang aku rasakan sekarang. "Apa? Apa yang baru saja Om Raja katakan tadi? Dia bilang aku akan menjadi anaknya yang kesembilan?" batinku. "Ma-maksud Om?" tanyaku bingung. "Om dan Tante mau mengadopsimu untuk menjadi anak kami," kata Om Raja. "Apakah kamu mau?" timpal Tante Ratu. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku benar-benar bingung dan perasaanku kini juga masih sedikit kaget. Lalu tiba-tiba saja, Kak Surya yang duduk di seberang dari tempat aku duduk saat ini mulai berbicara padaku. "Sudah terima saja dan tidak usah merasa tidak enak hati. Lagi pula, Kakak dan saudara-saudara Kakak yang lain juga bukan anak kandung dari Papa dan Mama, kok. Kami semua adalah anak adopsi." Betapa terkejutnya aku mendengar perkataan Kak Surya. Jadi, mereka semua bukan anak kandung dari Om Raja dan Tante Ratu? Jadi, mereka semua adalah anak adopsi. "Tak ada satu pun dari kami yang anak kandung," tambah Kak Surya. Aku pun lantas langsung menatap ke arah kedelapan bersaudara ini secara bergantian. Jadi, Om Raja dan Tante Ratu mengadopsi mereka semua? "Kakak sarankan, lebih baik kamu menerima Papa untuk mengadopsimu. Kami pun juga akan sangat senang jika kami mendapatkan seorang adik baru." Kak Surya mengatakan hal itu dengan wajah yang terlihat sangat senang. Begitu juga dengan kakak-kakak yang lain. Mereka seperti berharap agar aku mau menerima untuk diadopsi. Lain halnya dengan Kak Langit. Hanya dia satu-satunya orang yang memasang ekspresi wajah datar di meja makan ini. Apa dia tidak mau kalau aku ikut bergabung dengan keluarga mereka? Aku seketika menjadi bingung. "Bagaimana, Dio?" tanya Om Raja. Aku benar-benar tidak bisa menjawab karena saking bingungnya. Sampai secara tidak aku sangka, Kak Langit yang kelihatannya paling tidak suka dengan keberadaanku di sini, kini mulai membuka suaranya. "Terima saja. Semuanya ingin kamu untuk berada di sini," kata Kak Langit. Dari nada bicaranya yang tegas dan suaranya yang berat, aku merasakan tidak ada rasa keberatan darinya akan kehadiranku di sini. Tapi berlawanan dengan ekspresi wajahnya yang seperti menolak keberadaanku di sini. Aku benar-benar bingung. "Jadi, apa jawabanmu, Nak?" Tanya Om Raja dengan ekspresi wajah yang benar-benar berharap padaku. Aku pun menarik nafasku panjang dan dengan memantapkan hatiku, aku pun memilih untuk menjawab ..., "Iya, aku mau. Aku mau diadopsi oleh kalian." Semua orang yang ada di meja makan terlihat senang dan gembira mendengar jawaban yang keluar dari mulutku, kecuali Kak Langit yang hanya diam dengan ekspresi wajah datarnya. Aku pun hanya bisa tersenyum dengan biasa walau sebenarnya di dalam hatiku, aku merasa sangat senang. "Selamat datang di keluarga kami. Mulai sekarang, panggil Om dengan sebutan papa. Begitu juga ke istri Om, kamu harus memanggilnya dengan sebutan mama," kata Om Raja "Ba-baik, Om ... m-maksud Dio, Pa." "Selamat bergabung di keluarga ini adik bungsu." Kata Kak Surya dan diikuti oleh beberapa kakak-kakak yang lain. Senang rasanya hatiku. Akhirnya aku tidak sendirian lagi di dunia ini. Aku telah mendapatkan sebuah keluarga baru. "Baiklah kalau begitu, bagaimana kalau sekarang kita mulai saja sarapan kita. Papa sudah benar-benar kelaparan." Kata Om Raja yang kini sudah harus aku panggil papa. Tanpa menunggu lama lagi, kami pun langsung membalik piring makan kami dan mulai menyendok nasi serta lauk yang tersaji di atas meja makan. Hari ini benar-benar hari yang sangat membahagiakan bagiku. Aku harap, kebahagiaan ini dapat bertahan lama hingga aku mati. Sudut pandang Dio selesai...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD