07. SESUATU

2065 Words
Sudut pandang Dio... "Ini aneh," batinku. Kulangkahkan kakiku mendekat ke arah pintu perpustakaan. Kutempelkan telingaku di permukaan pintu, berusaha untuk mendengar apakah ada suara pekerjaan renovasi di dalamnya. Tapi ... "Sepi sekali. Tidak ada suara apa pun. Apa benar sedang dilakukan renovasi di dalam sana?" batinku bertanya-tanya. Suasana di sini benar-benar terlalu sepi. Seakan-akan memang tidak ada satu orang pun selain aku yang berada di sini. Merasa mungkin telingaku yang tidak mendengar dengan baik. Aku pun kembali mendekatkan telingaku ke permukaan pintu, berusaha sefokus mungkin mendengarkan keadaan di dalam sana. Tetapi hasilnya tetap sama. Tidak terdengar suara apa pun. Tapi tunggu ... aku seperti mendengar sesuatu. Tuk Tuk Tuk Itu seperti suara ketukan meja kayu yang dipukul-pukul menggunakan tangan. Suaranya terdengar menggema pelan di dalam ruangan. Tuk Tuk Tuk Suara itu terdengar lagi, tapi semakin keras. Tuk Tuk Tuk Grrrrrrrrrrr Semakin keras dan semakin bertambah keras. Tapi kini disertai dengan suara geraman seekor anjing. Namun setelahnya ... keadaan menjadi kembali hening. Tidak ada suara apa pun yang terdengar. DHUUUAAKKH!!! Tiba-tiba saja terdengar suara gebrakan meja yang sangat keras. Saking kerasnya, bahkan membuatku terlonjak kaget hingga terjatuh ke belakang. Jantungku kini berdetak dengan sangat kencang saking kaget dan takutnya. Aku pun bangkit dari posisi dudukku dan lalu memutuskan untuk berjalan pergi menjauh dari depan pintu perpustakaan. "Apa-apaan suara tadi?! mengagetkan saja." Aku masih terus berjalan dengan sangat cepat sambil pandanganku tidak berhenti menatap ke arah belakang. Dan tiba-tiba saja, ada sesuatu yang kini berdiri tepat di depanku. "DOOOOOR!!" Kaget bukan main, itulah yang aku rasakan sekarang. Aku pun langsung berteriak dengan suara yang cukup keras. "ARGH! IBLIS!!" Aku kaget dan refleks memukul kepala orang yang muncul secara mendadak di depanku . "Aduh! Sakit, Dik!!" ucapnya kesakitan. Tanpa kusadari, orang itu ternyata adalah Kak Agro. Dialah orang yang membuatku terkejut bukan main. Karena merasa bersalah telah memukulnya, aku pun langsung meminta maaf padanya berkali-kali sambil terus membungkukkan badanku. "Maaf-maaf-maaf-maaf-maaf ... maafkan aku, Kak." Karena aku terus membungkuk dan meminta maaf, Kak Agro lantas langsung menghentikan apa yang aku lakukan dengan langsung memegangi kedua pundakku cukup erat. "Hey-hey, santai saja, Dik. Tidak perlu meminta maaf sampai segitunya. Lagi pula ini juga adalah salah Kakak," katanya. "Tapi aku juga salah karena telah memukul Kakak dengan sangat keras." Dia pun menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kalau dilihat-lihat, mulut Kak Agro seperti paruh bebek. "Serius, Kakak tidak apa-apa. Jadi jangan terlalu merasa bersalah seperti itu." "Apa benar tidak apa-apa?" tanyaku sambil memegangi kepalanya yang aku pukul tadi. Dengan senyum yang masih merekah, Kak Argo meraih tanganku yang kini sedang memegangi kepalanya. Ia juga menatapku dengan tatapan hangatnya. "Iya serius. Kakak tidak apa-apa." Walaupun aku tidak yakin, tapi aku merespons jawaban Kak Argo dengan sebuah anggukan. Kujauhkan tanganku darinya yang otomatis membuat tangannya yang tadi memegangi tanganku ikut terlepas. Kini, Kak Argo beralih menanyaiku. Ia pasti merasa penasaran, bagaimana bisa aku berada di tempat ini. "Hey, Dik. Kenapa kamu berlari dari arah ruang perpustakaan? Dan kenapa kamu kelihatan ketakutan seperti itu?" Aku pun langsung menjawab pertanyaannya itu dengan sangat antusias. "Itu, Kak. Aku tadi habis bermain di ruang permainan dan setelahnya perutku terasa sangat lapar dan aku memutuskan untuk pergi ke ruang makan. Tadinya aku mau meminta tolong pada kepala pelayan dan orang-orang yang ada di rumah ini untuk menjemputku dan mengantarkanku menuju ke ruang makan. Tapi, tidak ada satu pun panggilan yang tersambung. Dan akhirnya, aku pun memutuskan untuk nekat pergi ke ruang makan sendirian dengan berbekal ingatanku sebelumnya. Tapi ujung-ujungnya, aku malah tersesat dan berakhir di depan ruang pintu perpustakaan." Aku menceritakannya panjang lebar pada Kak Agro. Ia pun terlihat mendengarkan ceritaku dengan saksama. "Soal kenapa aku takut, tadi ...." Kata-kataku terhenti. Entah kenapa aku mempunyai firasat kalau lebih baik aku tidak usah menceritakan soal suara yang aku dengar tadi pada Kak Agro. Dan akhirnya aku pun berbohong padanya. "Tadi, karena aku terus berjalan sendirian, aku jadi merasa ketakutan. Tapi untungnya sekarang ada Kak Agro," kataku dan lalu diakhiri dengan sebuah senyuman manis. Aku tidak boleh terlihat sedang berbohong di hadapan Kak Agro. "Emm ... jadi begitu ya. Kasihan sekali adik bungsuku ini. Tersesat dan ketakutan sendirian. Uluh-uluh," katanya sambil menarik hidungku. Aku pun lantas merasa sedikit kesakitan Setelah melepaskan tarikannya dari hidungku, aku melihat Kak Agro melirik ke arah belakangku. Wajahnya yang sedari tadi terlihat sangat senang dan terus tersenyum, seketika berubah menjadi serius dengan sorot matanya yang tajam. Akhirnya, Kak Agro mengajakku untuk pergi bersama menuju ruang makan. Meninggalkan tempat yang bagiku cukup menyeramkan. "Ya sudah, kalau begitu ayo kita pergi ke ruang makan sekarang. Biar Kakak yang temani." Ia langsung menarikku ke dalam rangkulannya dan lalu sedikit menyeret tubuhku untuk berjalan berdampingan dengannya. Kini ekspresi wajahnya sudah kembali seperti awal lagi. Kami pun berjalan bersama menyusuri lorong yang besar dan panjang itu. Kami terus menjauh dari tempat itu. Tapi walaupun begitu, entah mengapa aku terus menerus kepikiran dengan suara yang aku dengar tadi. Suara mengagetkan yang berasal dari dalam ruang perpustakaan. Aku yakin, suara tadi bukanlah suara dari pekerja renovasi. Suara tadi lebih terdengar seperti suara seseorang yang sedang marah. "Apa benar ada seseorang di dalam sana?" batinku yang kini merasa sangat penasaran Sudut pandang Dio selesai... Malam harinya setelah acara makan malam selesai, seluruh anggota Keluarga Azkara terlihat berbincang-bincang seperti biasanya. Tapi tidak dengan Dio yang sedari tadi terus memikirkan kejadian yang dialaminya di depan ruang perpustakaan. Baru sehari saja ia tinggal di rumah ini, tapi ia sudah dibuat sangat penasaran dengan salah satu ruangan yang ada. Walaupun Dio sangat penasaran, tapi ia tidak berani untuk bertanya pada anggota keluarganya yang lain. Memberitahu soal kejadian tadi pun tidak sama sekali ia lakukan. Sampai akhirnya, Surya yang duduk di barisan seberang dari tempat Dio duduk menyadari ada yang sedikit aneh dari sikap adik bungsunya itu. "Dio," panggil Surya. Dio yang mendengar panggilan Surya langsung mengalihkan pandangannya, menatap ke arah Surya. "Iya?" jawab Dio. "Apa kamu baik-baik saja? Kakak lihat kamu seperti sedang memikirkan sesuatu." Dio yang mendapat pertanyaan dari kakak keduanya itu lantas hanya menggelengkan kepalanya. Diikuti dengan sebuah senyuman. "Apa benar begitu?" tanya Surya memastikan. "Iya, Kak, sungguh. Tidak ada apa-apa," jawab Dio meyakinkan. Tiba-tiba saja, Raja yang sedari tadi memperhatikan percakapan antara Dio dan Surya langsung melontarkan sebuah pertanyaan pada Dio. "Nak, apa kamu merasa tidak betah tinggal di rumah ini?" Semua yang ada di meja makan langsung terdiam dan perhatian pun kini tertuju pada Dio. "Papa dari tadi memperhatikanmu bahkan saat kamu baru datang di ruang makan ini. Sikapmu terlihat berbeda jika dibandingkan saat pertama kali kamu datang ke sini." Sepertinya Raja berpikir kalau sikap aneh yang Dio tunjukan sejak tadi itu dikarenakan Dio yang tidak betah berada di rumah ini. Dio pun lantas buru-buru membantahnya dan mencoba untuk meluruskannya. Ia mengatakan pada Raja kalau apa yang ia katakan itu salah. "Tidak, Pa. Aku betah kok tinggal di sini. Sungguh. Hanya saja aku memang sedikit kelelahan karena tadi bermain terlalu lama di ruang bermain." Dio menjelaskan pada Raja dengan suara yang sangat meyakinkan. Tanpa menaruh rasa curiga, Raja pun langsung mempercayai perkataan anak bungsunya itu. "Begitu ya. Jika kamu merasa lelah, maka beristirahatlah duluan. Biar Papa suruh salah satu dari kakak-kakakmu ini untuk mengantarkanmu menuju kamarmu." "Iya, Pa. Tapi, bukannya tadi pagi Papa bilang mau membicarakan soal sekolahku?" "Ah, masalah itu ya. Besok saja kita bicarakan. Lebih baik sekarang kamu pergi tidur lebih awal." Dio pun hanya menganggukkan kepalanya. Ia terlihat menuruti perkataan Raja. "Kalau begitu, Raga." panggil Raja. "Iya, Pa?" "Antarkan adikmu ini ke kamarnya." "Siap, Pa!" Tepat saat Raga baru saja mengangkat sedikit bokongnya dari kursi, tiba-tiba saja Awan langsung menawarkan dirinya untuk mengantarkan Dio menuju ke kamarnya. Bahkan ia langsung menarik tangan Dio yang mana saat itu Dio masih duduk di kursinya sambil meminum segelas air. "Eh-Kak ...." Dio tidak sempat berkata-kata dan langsung berjalan pergi ke luar ruang makan bersama Awan yang menyeretnya dengan hati-hati. Raja dan Ratu terlihat tersenyum melihat kelakuan Awan yang sebelumnya tidak pernah mereka lihat. Sementara itu, Langit yang masih duduk bersandar di kursinya, kini terlihat sedang menatap kepergian Dio bersama dengan Awan dengan tatapan tajamnya. Ia terlihat tidak suka. Setelah kepergian Dio dari ruang makan dan juga setelah dibersihkannya meja makan dari piring-piring kotor bekas makan malam, Raja memerintahkan kepada seluruh pelayannya untuk segera pergi meninggalkan ruang makan sehingga kini yang berada di ruangan itu hanyalah anggota keluarga Azkara, minus Dio dan juga Awan. Kelihatannya, ada sesuatu yang penting yang ingin Raja bicarakan pada semua anggota keluarganya. "Teleportazhia Bendhi." Terlihat Raja mengucapkan dua buah kata yang terdengar aneh, yang sepertinya adalah sebuah mantera. Tepat setelah ia mengucapkan kata-kata aneh tersebut, sebuah botol anggur merah muncul di hadapannya beserta gelas-gelas minumnya yang berjumlah sepuluh buah. "Terbanno." Raja lagi-lagi mengucapkan sebuah kata aneh. Tapi kali ini, disertai dengan gerakan jari tangannya yang seperti menunjuk ke arah atas. Dan setelah ia melakukan dua hal tadi, delapan gelas minum melayang ke udara. Satu persatu dari gelas-gelas tersebut terlihat menghampiri setiap anggota keluarga yang kini masih berada di meja makan. Dan lagi, dengan menggunakan bahasa yang aneh, Raja membuka botol anggur merah besar yang ada di hadapannya tanpa sedikit pun menyentuhnya. "Kha." Puk (suara tutup botol anggur). Dengan mantera yang sama, yang ia ucapkan saat ia menerbangkan gelas-gelas minum, Raja mengangkat botol anggur merah besar itu tanpa sedikit pun menyentuhnya dan dengan gerakan tangannya, botol anggur merah itu pun menuangkan isinya ke dalam gelas. Botol anggur itu lalu terbang melayang menghampiri satu persatu gelas anggota keluarga yang lain dan lalu ikut menuangkan isinya ke dalam masing-masing gelas tersebut. Setelah semua gelas terisi, mereka semua pun bersulang dari tempat duduk mereka masing-masing dan lalu meneguk anggur merah tersebut secara bersama-sama. "Akh ... minum anggur setelah makan memanglah lezat," kata Agro. "Yups, benar sekali," timpal Raga. Beberapa dari mereka terlihat kembali meneguk anggur mereka hingga habis tidak tersisa, sementara beberapa dari mereka terlihat tidak menghabiskannya dan meletakan kembali gelas minumnya ke atas meja. "Baiklah semua anggota keluargaku yang sangat aku cintai. Mari kita lanjutkan kembali pembicaraan kita soal anggota baru keluarga kita yaitu Dio," kata Raja. "Dan juga--," kata-katanya terjeda. "Kita lanjutkan lagi pembicaraan kita soal orang itu. Kita tidak bisa membiarkannya terus menerus seperti itu di ruang perpustakaan kita," tambahnya, melengkapi perkataan yang ia ucapkan sebelumnya. Kini suasana di ruang makan berubah menjadi sangat serius. "Kalau begitu tanpa berlama-lama lagi, ayo kita mulai pembicaraannya." Beralih ke kamar Dio. Kini terlihat Awan dan Dio telah tiba di kamar milik Dio. Dio mengucapkan terima kasih pada Awan karena sudah mau mengantarkannya sampai ke kamar. "Terima kasih karena Kak Awan sudah mau mengantarkanku." Awan pun membalas ucapan terima kasih yang diucapkan oleh Dio dengan nada suara yang terdengar lembut disertai dengan senyum tampan yang menghiasi wajahnya. "Iya, sama-sama, Dik." Setelah ucapan terima kasih itu. Mereka berdua terlihat hanya saling diam sambil masing-masing dari mereka saling menatap satu sama lain. "Kakak suka saat menatap mata besarmu itu. Terlihat lucu seperti mata boneka," kata Awan tiba-tiba. "Juga dengan senyummu yang berbentuk hati itu. Kakak sangat suka melihatnya," tambahnya. Dan setelahnya, Awan mencubit kedua pipi Dio dan lalu memainkannya cukup lama. Dio pun hanya bisa tersenyum dengan apa yang Awan lakukan. "Kamu benar-benar menggemaskan. Kakak sangat senang bisa memiliki adik sepertimu." Awan pun menghentikan kegiatannya mencubit pipi Dio. Kemudian, ia beralih mengusap pucuk kepala Dio dengan lembut. Dio pun langsung teringat dengan kakaknya yang lain yaitu Bintang. Ia juga mengusap kepalanya lembut seperti ini. "Selamat tidur, Dik. Semoga mimpi indah," ucap Awan sembari memberikan senyum hangatnya kepada Dio. "Kalau begitu, Kakak pergi dulu." Awan mulai beranjak pergi meninggalkan kamar Dio. Namun, ketika ia baru saja memutar knop pintu, Dio di belakang sana mengucapkan sesuatu untuknya. "Selamat tidur, Kak Awan. Semoga Kakak juga bermimpi indah." Awan seketika membalikkan tubuhnya dan kembali menatap Dio. Ia yang sudah lama menjadi anak bungsu di keluarga Azkara, kini merasa sangat senang karena mendapatkan sebuah ucapan selamat tidur dari adiknya. "Hem," angguk Awan sembari tersenyum. "Tidurlah dan sampai ketemu besok pagi," ucap Awan dan lalu pergi keluar kamar meninggalkan Dio. Dio yang kembali mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari salah satu kakaknya, merasa sangat senang dan bahagia. Ia lantas berjanji pada dirinya sendiri kalau selama ia menjadi bagian dari keluarga Azkara, ia akan menjadi anak yang baik dan tidak akan menyusahkan siapa pun yang ada di sini. "Aku janji, aku akan menjadi anak yang baik. Aku tidak akan mengecewakan kalian yang sudah menjadikanku bagian dari keluarga ini," ucap Dio dan lalu melebarkan senyum manisnya yang berbentuk hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD