Belum juga masuk ke ruang makan, aku sudah mendengar gelak tawa Dad bergema didalam sana. Kuakui ibu tiri dan saudara tiri amat pandai mengambil hati Dad. Tapi aku yakin aku masih nomor satu bagi Dad.
“Hai Princess, bagaimana harimu?” sapa Dad begitu melihat kehadiranku.
Aku duduk di sampingnya, dengan wajah malas menyahut, “hari yang membosankan.” Sambil melirik Sheila penuh arti, adik tiriku yang manis sontak menunduk dengan wajah menyimpan kesal.
Dad rupanya memperhatikan hal itu, dengan lembut ia berkata padaku, “Dad dengar tadi kalian memiliki sedikit salah paham. Bella, adikmu Sheila tak berniat menipumu atau memfitnah pekerja itu. Dia hanya salah mengira kalau pekerja itu berniat mencuri kesempatan padanya. Kau pasti tahu itu kan?”
Nah kan, gadis munafik ini sudah mengadu duluan pada Dad. Dia khawatir aku akan melaporkannya, maka dia mengambil langkah penyelamatan duluan. Tapi apa peduliku, dia hanya riak kecil yang tak menghalangi jalanku.
“Iya, Dad. Tentu saja, Bella amat sangat mengerti!” ucapku penuh penekanan.
Dad tak menyadarinya, namun aku yakin Sheila tahu maksud hatiku. Dia menunduk semakin dalam dengan wajah memerah.
“Sweet, Dad lega. Kita adalah keluarga yang harmonis, Dad mengharapkan kebahagiaan selalu mewarnai keluarga kita. Dan berita bahagianya adalah..” Dad menatapku dengan mata berbinar, “pertunanganmu dengan Dion akan segera dipastikan dalam waktu dekat.”
Bahagia dari Hongkong?! Aku mendengus kasar. Bagiku, itu berati belengguku semakin dekat!
“Dad, bukannya Bella belum menyetujui perjodohan ini? Mengapa kita harus buru-buru menetapkan hari pertunangan?”
“Princess, kita sudah membicarakan hal ini sebelumnya. Kau tentu ingin Dad menikmati masa tua Dad dengan tenang kan? Tanpa pertempuran perebutan kekuasaan dengan keluarga mafia lainnya. Hanya bersama dengan keluarga Richardo kita dapat mewujudkannya. Lagipula, Dad tak menjodohkanmu dengan pria sembarangan. Dion itu kualitas unggul. Dia tampan, kaya, cekatan dan sungguh cerdas. Jadi tak ada ruginya kamu menikahinya, Sayang.”
Itu menurut kacamata Dad. Bagiku dengan menikahi pria mafia itu, dead lock!! Selamanya aku akan terkungkung dalam kehidupan menyebalkan yang kujalani selama ini. Ya Tuhan, aku ingin hidup bebas seperti orang kebanyakan!
“Dad, bukan Bella tak ingin Dad hidup bahagia. Tapi kita masih memiliki pilihan lain. Bagaimana kalau kita jodohkan Dion dengan Sheila saja?”
Sheila nampak terkejut mendengar usulku, namun dari raut wajahnya aku tahu dia menyukai ideku. Matanya memandang Dad penuh harap.
Ambil saja gih, aku gak butuh Mr Perfect pilihan Dad. Aku membatin sinis.
“Maaf, Sheila. Bukan berniat tak adil, tapi dari awal Dion telah memilih Bella sebagai pendampingnya.”
Dion k*****t!! Rutukku dalam hati. Pria itu membuat impianku terancam punah. Aku harus menemuinya!
“Dad, tolong beri Bella waktu untuk memikirkannya. Bella ingin bertemu Dion, secara pribadi!”
==== >(*~*)
Aku tak mau menemui pria itu di kantornya. Karena khawatir dia akan menunjukkan arogansinya didaerah kekuasaannya. Jadi aku mengajak Dion bertemu di restoran Italia. Sengaja aku datang terlambat, karena ingin menanamkan kesan negatif pria itu padaku.
Jadi, aku terlebih dahulu membawa Ardo menemui Jibril di butiknya. Sohibku itu sontak terpana menatap Ardo.
“Bagaimana?” aku menyenggol bahu Jibril untuk menyadarkannya dari ketakjubannya.
“Ya Lord, ini mah kaliber kakap! Pantas kamu mau melepaskan kedudukanmu sebagai putri mafia turun menjadi rakyat jelata demi dia,” bisik Jibril di telingaku.
Aku balas menyenggol Jibril, dan membisikinya, “Aku memilihnya bukan karena penampilannya, tapi sepertinya dia mudah diatur.”
“Aku meragukannya, kau tak lihat matanya yang tajam?”
Aku mendecih kesal karena sohibku meragukan penilaianku. Sok tahu! Padahal dia belum tahu sehari-hari Ardo seperti apa.
“Non, apa yang harus saya lakukan disini?” tanya Ardo jengah. Dia nampak tak nyaman karena Jibril menatapnya lekat.
Aku berdeham, memasang tampang sok wibawa. Akhir-akhir ini aku sering menerapkannya, karena berhadapan dengan Ardo membuatku teringat akan ciuman kami. Ciuman pertamaku yang dicuri olehnya. Aku menamparnya setelah sebelumnya sempat menikmatinya. Ardo lalu meminta maaf padaku, dan berjanji tak akan mengulanginya. Aku tak memperpanjang masalah itu karena aku amat membutuhkan bantuannya.
“Ardo, ini Jibril. Dia peri birumu, yang akan menyulap penampilanmu hingga layak menjadi Cinderella Man.”
“Maksud Nona, saya akan dirubah seperti apa?” tanyanya dengan dahi mengerut. Mungkin ia takut jika dipermak yang tidak-tidak, seperti gaya cowok gemulai, misalnya. Hehehehe, boleh juga. Sesaat aku tergoda untuk melakukannya, tapi tidak! Ia harus tampil perlente seperti bangsawan kelas atas.
“Ardo, oh Ardo. Percayakan pada Om Jibril, okey? Om akan mendandanimu bak bangsawan. Like a prince!” Jibril menjawab pertanyaan Ardo, sambil mengelilingi Ardo. Lalu...
Plak!
Ardo berjengkit kaget ketika pantatnya iseng ditepuk oleh Jibril. Matanya melotot, namun mulutnya bungkam begitu Jibril melanjutkan ucapannya.
“b****g yang liat! Pejantanmu keren, Bell! Dengan pantatnya yang sekal ini, dia akan nampak keren memakai pakaian apapun. Meski memakai celana legging ketat sekalipun.”
Mata Ardo melebar mendengarnya. “Jangan-jangan kau akan memaksaku mengenakan celana menjijikkan seperti itu?! Nona, kurasa Anda salah..”
“Turuti Jibril saja, Ardo!” potongku cepat. “Dia tahu mana yang terbaik untukmu. Juga untukku.”
Jibril tersenyum puas, bagaikan predator yang sedang mengincar mangsanya.
“Bukan hanya tampilan fisiknya, Beb. Aku akan mengajarkan cara bertingkah laku sebagai bangsawan tingkat tinggi, dan kurasa tak akan sulit. Dia memiliki modal untuk menjadi yang terbaik. Dia adalah intan yang perlu dipoles sedikit saja untuk menunjukkan kilaunya!”
==== >(*~*)
Wajah Ardo nampak muram ketika ia menyetir mobil, menuju ke tempat pertemuanku dengan si Dion k*****t. Kurasa ia masih kesal karena sedari tadi Jibril menggodanya habis-habisan.
“Non, saya takut kalau mengecewakan Anda. Mungkin saya bukan orang yang tepat untuk memerankan Cinderella Man Anda.” Mendadak Ardo mengadakan tanpa mengalihkan tatapannya dari jalan.
Haishhhh, masa Cinderella Man-ku ingin mundur gegara tersinggung? Sepertinya aku harus sedikit mengalah dengan membujuknya halus. Demi misi impianku!
“Siapa bilang? Bagiku kau adalah My Cinderella Man, Ardo. Tak ada pria lain yang kuijinkan mendampingiku selain dirimu. “
Aku maju ke depan, kutempelkan daguku di bahunya. Ardo tersentak kaget, belum sempat ia merespon lebih jauh aku berbisik dengan suara serak-serak basah di telinganya, “Jangan menoleh. Tetap fokus menyetir, Ardo.”
Dia betul-betul melakukan perintahku. Pandangannya lurus ke depan, meski tak bisa berbohong bahunya terasa kaku karena tegang. Sumpah, dia manis saat grogi begini. Aku tersenyum dikulum menahan geli.
“Lagipula Ardo, masa kau rela aku memiliki Cinderella Man lain? Pria yang mungkin kurang baik, yang berniat memanfaatkan peluang baik yang kuberikan dengan mencoba berbuat yang tidak-tidak padaku?” rajukku untuk merayunya.
“Tentu saja tidak, Nona!” dia menjawabnya cepat, dengan mengetatkan gerahamnya.
Aku tersenyum penuh kemenangan. See? Mudah kan mengatur pria lugu ini? Jibril salah menilainya. Aku mengangkat daguku, lalu menepuk ringan bahunya.
“Good boy. Now, tunggu saja di mobil. Aku harus menemui seseorang yang menyebalkan didalam. Hitung sampai 600, lalu kau masuk. Katakan bahwa kita harus pergi karena ada meeting penting di tempat lain. Understand?”
Ardo mengangguk, dengan wajah datar. Kebetulan kami telah tiba di tujuan. Di restoran Italia, tempatku berjanji dengan Dionsi Menyebalkan. Tunggu, aku harus menyempurnakan penampilanku. Kubuka cermin kecilku, lalu aku memakainya untuk berdandan. Kuoleskan lipstik berwarna mencolok di bibir mungilku. Setebal mungkin. Lalu aku perlu bantuan kecil dari Ardo.
“Ardo!”
Ardo tak menoleh padaku. Sial, dia sangat patuh padaku. Tadi aku memerintahnya tak boleh menengok ke belakang. Dengan tak sabar aku menarik tengkuk Ardo. Matanya membulat saat aku memagut bibirnya kasar, lalu melumatnya cepat. Belum sempat Ardo membalas ciumanku, aku telah menarik bibirku. Ardo terpaku menatapku. Mungkin dia heran, yang lalu aku menamparnya karena lancang menciumku. Kini justru aku yang merampok ciumannya! Sampai bibirnya belepotan terkena lipstikku yang menor. Hehehe...
“Bye, jangan hapus noda lipstikku di bibirmu,” celetukku dengan suara parau. Aduh, aku sendiri jadi gugup karena efek ciuman kami.
“Hai, Nona.... bibir Anda..” dia mencoba memperingatkan diriku.
“Never mind.”
Aku segera membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Saking groginya kepalaku terjeduk list pintu mobil. Aku mengaduh pelan. Diluar mobil aku semakin menyempurnakan penampilanku dengan memberantakkan rambutku. Kubuka dua buah kancing bajuku, lalu kupasang serampangan. Kalian paham kan, anak kancing bajuku kupasang di lubang yang salah. Kuharap Dion si Menyebalkan akan menangkap kesan amburadul yang kubuat, seakan aku habis b******u liar dengan seorang pria!
Aku yakin dia memang menangkap kesan itu. Saat bertemu pandang denganku, aku menangkap cemoohan tersirat di matanya. Dia menatap intens bibirku yang lipstiknya memudar dan bentuknya berantakan, juga pada kancing bajuku yang terpasang salah kaprah. Namun Dion memang pria dingin yang pandai menyembunyikan perasaannya, dengan sopan ia mempersilakan aku duduk.
“Senang berjumpa denganmu, duduklah.”
Bahkan dengan gentleman, dia bangkit berdiri untuk menarikkan kursi bagiku.
“Terima kasih, Ganteng,” sahutku bagai wanita binal. Aku menowel dagunya namun dengan sengaja aku memilih duduk kursi lain yang tak dipilihkannya buatku. Padahal dia memilihkan kursi di seberang kursinya. Aku sengaja memilih kursi yang diduduki Dion tadi.
“Panas,” komentarku sambil menjilat bibirku seperti w***********g.
Dion duduk di kursi yang tadi dipilihnya untukku. Barulah setelah itu ia merespon ucapanku.
“Apa AC-nya kurang dingin? Aku akan memanggil...”
“Bukan!” potongku cepat. “Maksudku, kursi bekasmu panas.”
Aku tertawa ngikik dengan suara kubuat secempreng mungkin. “Itu berarti kau pria panas! Berpotensi memproduksi cebong sebanyak mungkin.”
Dion tak menanggapi komentar nakalku. Dia mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Ohya dia juga tak menyinggung mengapa aku datang sangat-amat-terlambat. Dia amat pandai menyembunyikan emosinya rapat-rapat. Pria ini jenis yang sangat berbahaya!
“Jadi, Bella. Pasti kau sudah tahu bahwa keluarga kita telah sepakat untuk menyatukan kita dalam mahligai pernikahan. Kuharap kau tak keberatan memenuhi kesepakatan keluarga kita, demi kebaikan bersama.”
Diplomatis sekali, dia berbicara seakan pernikahan adalah perjanjian bisnis baginya. Aku tak mau terjebak hidup bersama dengan pria menjenuhkan seperti ini!
“Dion, Dion, Dion...” aku memanggilnya dengan suara kaleng rombengku. “Apa kau sudah berpikir jauh untuk menjadikanku binimu? Hai, men.. perlu kau tahu, aku ini pecinta keindahan. Aku sangat suka pria tampan!”
“Jadi?” Dion menatapku penuh kepercayaan diri, “Kurasa aku memenuhi kriteriamu.”
Aku menilainya dengan provokatif, seperti menilai makanan yang akan kusantap. Kuharap ia akan jengah dengan tatapan binalku, namun ekspresi Dion tetap datar.
“Masalahnya, aku menyukai siapapun yang berparas indah. Banyak sekali, siapa saja yang tertangkap oleh mataku. Kau mengerti maksudku, Dion?”
Dia terdiam. Katanya dia cerdas, pasti dia paham dong. Masa dia sudi memiliki istri binal yang gemar selingkuh dengan siapapun asal dia tampan? Kurasa dia akan segera membatalkan niatnya bertunangan denganku! Itu harapanku, namun kurasa aku harus kecewa mendengar kalimat yang diucapkannya.
“Aku mengerti dan tak mempermasalahkannya. Asal kau menyimpannya rapi untuk dirimu sendiri. Bukan untuk kalangan umum. Kau paham maksudku, Bella?” tanyanya dengan penekanan khusus di setiap katanya.
k*****t memang dia! Hatinya pasti terbuat dari es, atau besi! Aku melotot geram padanya. Namun tatapanku berubah penuh gairah melihat Ardo datang menghampiriku.
“Nona, kita harus segera pergi. Anda masih memiliki jadwal meeting penting di tempat lain.”
Sesuai instruksiku. My Cinderella Man memang tak pernah mengecewakanku. Bahkan ia patuh tak menghapus bekas lipstikku di bibir seksinya.
“Ah, iya Ganteng. Untung kau mengingatkanku, kita ada janjian di hotel... eh, meeting dengan klien bisnisku,” sahutku dengan menjilat lidah saat melihat Ardo dengan tatapan membara.
Penasaran, Dion menoleh untuk melihat siapa yang datang. Dahinya berkerut menemukan bekas lipstikku di bibir Ardo.
Gotcha!!
Ayo buruan batalkan niat unfaedahmu untuk meminangku, Dude!
==== >(*~*)